Sejak kepulangannya dari Gunung Kunlun, saldo Xander terus bertambah. Hal ini seperti kita ketahui, adalah akibat hadiah jackpot dari sistem, membuat Kekayaannya kini terasa tak berbatas."Satu kuadriliun, ini jumlah yang sangat banyak, hampir tak masuk akal untuk sosok seorang barista sepertiku..." Batin Xander sambil kesulitan memejam mata.Namun setelah ia memutar musik terapi tidur di kamar mewahnya, Xander langsung terlelap. Aromaterapi Lavender kental tercium, membuatnya relaks.Keesokan harinya, Xander masih bermalas-malasan di kamar mewah apartemennya. Pandangannya menerawang, pikirannya sibuk mencari ide untuk lini bisnis baru. Berkutat dengan bisnis keuangan, mall dan gerai kopi, membuat Xander ingin merambah bisnis baru."Apa lagi yang harus kucoba?" gumamnya. "Kekayaanku terus bertambah. Haruskah aku membuka maskapai penerbangan baru? Atau mungkin..."Sebuah ide lama tiba-tiba melintas di benaknya."Pesawat pribadi! Kenapa tidak? Aku sudah punya lisensi penerbangan. Tingg
Pagi hari awal Bulan Desember terlihat cerah, menjanjikan suasana yang sempurna untuk berlibur menjelang Natal. Bagi orang-orang kaya, Singapura sudah menjadi pilihan yang populer, apalagi jaraknya yang dekat dari Jatavia.Sejak tanggal 1 Desember, pesawat-pesawat selalu penuh dengan penumpang yang bersemangat memulai liburan mereka. Di terminal pribadi untuk jet-jet mewah, suasana juga tak kalah ramai.Di ruang tunggu yang mewah, banyak wanita berpenampilan glamor duduk dengan tas-tas mahal, menunjukkan gaya yang penuh pesona. Mereka bercanda sambil melakukan swafoto di latar belakang yang stylish, mempercantik unggahan media sosial mereka dengan senyuman menawan.Foto-foto tersebut menghiasi feed di media sosial, memperlihatkan kehidupan glamor yang hanya bisa diimpikan orang banyak. Dengan pencahayaan yang pas, setiap unggahan terasa memikat, seolah dunia mewah ini hanya milik mereka.Namun, di sisi lain, kesibukan di bandara ini mencerminkan kesenjangan sosial yang nyata. Tawa cer
Di lapangan terbang internasional Kota Jayatavia, siang itu terasa sangat terik. Matahari bersinar dengan keras, menyinari bumi tanpa belas kasihan, membuat semua orang di sana merasa kepanasan dan lelah.Di bawah pesawat jet khusus untuk penerbangan VIP yang hanya melayani sedikit penumpang, sekelompok kru berdiri menantang sinar matahari, seperti tidak takut pada panas yang membakar kulit mereka.Mereka mengenakan seragam biru tua yang tampak rapi, meski keringat sudah mulai mengalir di pelipis mereka karena suhu yang menyengat.“Copilot Xander, ini penerbangan pertama kita bareng, kan?” tanya Pilot Doddy Barra sambil melirik sarung tangan kulitnya yang berkilau. Suaranya terdengar meremehkan, tapi ia tetap berdiri tegap, menunjukkan sikap percaya diri yang berlebihan.“Aku harap kamu bisa sopan pada pelanggan kami nanti. Perusahaan penerbangan Skymaster ini yang terbaik! Kami cuma melayani kalangan elite dan pejabat negara. Orang-orang yang masuk daftar seratus orang terkaya di neg
Penerbangan menuju Singapore tidaklah lama, tetapi di dalam pesawat, suasana terasa tegang.Wajah Pilot Donny cemberut, tak memberi senyuman sedikit pun kepada Xander yang duduk di sampingnya. Meskipun demikian, Xander berusaha berpikir positif, mencoba membuang semua emosi negatif yang ada.“Wajar saja. Mungkin karena dia lebih senior dan kapten, jadi ingin menunjukkan wibawa di depanku, seorang pemula,” batin Xander, menahan diri agar tidak terpancing dalam kemarahan.Selama perjalanan singkat itu, Pilot Donny berkali-kali keluar dari ruang kokpit, menyapa dua tamu VIP – Tuan Hendra Ang dan kekasih gelapnya yang hanya bermodal kecantikan, Lucy Setiawan.Dengan sikap percaya diri yang berlebihan, Donny tidak ragu untuk melontarkan pujian kepada Lucy, seolah-olah itu adalah bagian dari layanan, meskipun semua orang tahu itu hanya sebuah penjilatan untuk menjilat ego si wanita simpanan.“Tuan Hendra Ang dan Nona Lucy, sekali lagi kami dari Skymaster Airlines mengucapkan terima kasih te
Dalam penerbangan dengan Jet Pribadi Skymaster Airlines, suasana huru hara didalam pesawat tampak semakin memuncak.“Kamu pelacur!” teriak Lucy Setiawan dengan marah, suaranya menggema di sepanjang kabin mewah itu.PLAK!Dengan angkuh dan tanpa ragu, Lucy melayangkan tamparan keras ke wajah Anastasia. "Berani-beraninya kamu bilang aku wanita simpanan? Kamu tahu apa sebenarnya yang terjadi?"Lucy berdiri dengan penuh percaya diri dan menantang. Dia berkacak pinggang di atas Anastasia yang terjatuh terduduk di lorong sempit antara kursi-kursi penumpang yang dihiasi kulit halus.Dengan mata yang menyala-nyala, ia melanjutkan caci makinya..."Apa yang kamu tahu, jalang? Tidak lama lagi, Tuan Hendra Ang akan memperistri aku. Kepergian kami ke Singapura ini untuk mencari gaun pengantin terbaik! Kamu hanya wanita jalang yang cemburu melihat kebahagiaanku dan berusaha menggoda calon suamiku. Dasar tak tahu malu!"Anastasia, meski terpukul dengan kasarannya pelanggan jet pribadi kali ini, memp
Changi Airport – Singapore.Pintu jet pribadi Skymaster yang mewah berderak terbuka, dan suasana di dalam kabin masih dipenuhi ketegangan, residual dari huru-hara yang baru saja terjadi.Aroma campuran parfum mahal dan ketidaknyamanan sangat menyengat udara, menciptakan atmosfer yang tidak nyaman bagi semua yang ada di situ.Tiba-tiba, segerombolan petugas memasuki kabin dengan langkah yang cepat dan penuh ketegasan, total mereka ada sepuluh orang. Masing-masing dari mereka terdiri dari petugas keamanan bandara, staf maskapai, dan beberapa polisi internasional yang siap mengatasi permasalahan di kabin Skymaster penerbangan prribadi.Melihat hal ini, Hendra Ang langsung bereaksi dramatis, berteriak seolah baru saja mengalami penyiksaan yang tak terbayangkan.“Tolong! Tolong!” serunya dengan suara serak penuh kepanikan, berusaha membuat wajahnya tampak sepitang, seolah-olah ia adalah korban dari sebuah kejahatan kejam.“Tuan polisi dan para petugas, tolong kami! Lihatlah istri saya yang
Tentu saja, Pilot Donny Barra meradang di dalam hatinya saat menyaksikan drama yang berlangsung di kabin Skymaster Airlines. Ia tak menyangka bahwa rencana yang telah ia susun dengan hati-hati untuk mencelakakan Xander justru berbalik menjadi bumerang yang tak terduga.“Siapa yang mengirim video dari CCTV ini?” pikir Donny, dengan kemarahan terpendam yang semakin membakar. Ia mendelik tajam, menatap Xander dengan kebencian yang semakin mendalam, seolah ingin menelannya hidup-hidup.Sempat terbersit dalam benaknya untuk menuduh Anastasia, pramugari yang dianggapnya berperan dalam kekacauan ini.“Tapi tidak mungkin. Anastasia hanyalah seorang gadis sederhana, yang beruntung telah lolos seleksi ketat untuk menjadi pramugari jet pribadi ini. Dia berasal dari latar belakang keluarga yang kurang mampu,” jawab dirinya dengan skeptis.Semakin dipikirkannya, semakin sesak hati Donny. Apalagi ketika suara panggilan telepon dari Hendra Ang menyentuh telinganya, mengabarkan bahwa perusahaan Hendr
Tiga jam kemudian, suasana tegang melanda kabin pesawat yang terparkir di hanggar. Kebosanan mulai menggerogoti pikiran Xander dan Anastasia, seperti tikus yang ngebut di dalam labirin tanpa arah.“Ada apa sebenarnya ini? Mengapa kami belum diizinkan pergi?” tanya Anastasia dengan nada cemas, matanya melirik jam tangan yang seolah-olah sudah berputar dua kali, tetapi jarum detik tampaknya tersangkut di angka tiga. “Bukankah pihak otoritas bandara sudah melakukan pemeriksaan? Mengapa Kapten Donny masih menahan kami di sini?”Mendengar kegelisahan itu, Xander berusaha menenangkan. “Sabar saja, Anastasia. Sepertinya Kapten Donny mengincar kita berdua dan tidak segan-segan melaporkan kepada pihak perusahaan. Sungguh, ini adalah permainan yang sangat tidak elegan,” jawabnya, berusaha terdengar penuh keyakinan.“Firasatku bilang, sebentar lagi akan ada penyelidik dari perusahaan yang datang untuk mendengar klarifikasi kita. Ku harap kamu menjelaskan sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.