Sementara itu, di ruang kecil yang sempit namun penuh kesibukan, tempat para pramugari berjaga, tiga gadis sedang terlibat percakapan berbisik. Gladys, pramugari yang melayani Xander, tampak sibuk melipat beberapa serbet, namun jelas pikirannya melayang entah ke mana."Dia masih sangat muda. Tapi menggunakan layanan First Suite seolah itu hal biasa. Apa dia influencer terkenal atau semacamnya di negaranya?" tanya Ling, teman sesama pramugari, sambil terkikik pelan. Matanya berbinar, penuh rasa ingin tahu."Atau jangan-jangan dia artis papan atas dari sana," sambung Joey, ikut-ikutan penasaran, mencoba membayangkan sosok Xander, pria yang di bicarakan Gladys kawan mereka.Namun Gladys, alih-alih ikut tersenyum, justru terlihat muram. Dia menghela napas panjang, matanya menerawang. "Dia sangat tampan... Mengingatkanku pada pria yang pernah aku kagumi sewaktu SMA dulu. Rasanya seperti melihat kenangan berjalan di depan mata."Ling menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kalau begitu, ken
Setelah mengantar ketiga gadis itu ke hotel dan mereka berganti pakaian kasual, tak lama kemudian Xander, bersama Gladys, Ling, dan Joey, sudah duduk di sebuah bar dan resto bernama Whisper Garden.Suasana di dalamnya elegan, dengan pencahayaan lembut yang memantulkan kilauan dari berbagai ornamen di dinding.Dari lantai 67, ketiga gadis itu berdiri mengagumi pemandangan Kota Jayavia yang menyala di malam hari, kota metropolitan yang seolah berkilau dengan gemerlap lampu.“Aku terbiasa melihat dari ketinggian saat melakukan penerbangan. Namun, kali ini memandang keindahan kota dari sebuah gedung tinggi sungguh berbeda,” desis Gladys, tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.Sorot matanya penuh keinginan, seakan ingin menyerap setiap detail dari pemandangan yang menakjubkan itu.“Aku juga. Baru sekali ini, dan rasanya luar biasa,” Ling menambahkan. Senyumnya lebar, menandakan betapa terpesonanya dia dengan panorama di hadapannya.“Aku juga sama,” Joey menyusul, berbagi semangat yang s
Setelah Xander mengantar tiga gadis pramugari yang sudah ketakutan itu, dia berpikir bahwa semua ini tidak akan berhenti di sini.Dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh kejadian barusan, ia meraih ponselnya dan menelpon seseorang yang sangat penting, yaitu Grace Song.Saat ini, Grace menjabat sebagai Direktur Utama di Bank Central Halilintar, dan bisa dipastikan dia tengah sibuk. “Halo, Tuan Xander? Anda di mana?” suara Grace Song terdengar.Ada suara hiruk-pikuk di latar belakang yang menandakan betapa sibuknya dia di kantor.‘Ia masih di kantor,’ batin Xander sambil mengamati pemandangan kota Jatavia di sekelilingnya. “Aku sudah di Jatavia,” jawab Xander pendek, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.“Mengapa Anda tidak memintaku menjemputmu? Bukankah sudah kukatakan bahwa Randy siap mengantar Anda kapan saja?” Suara Grace terdengar sedikit menyesal, seolah dia merasa bersalah karena tidak bisa membantu.Randy Anker, sopirnya, adalah seorang mantan preman yang ahli bela diri
Namanya Manager Ruddy. Pria berusia tiga puluh lima tahun ini telah bekerja di Whisper Garden selama sepuluh tahun.Karirnya dimulai dari bawah, seperti pelayan biasa yang bekerja shift malam, menahan lelah dan hiruk pikuk para tamu. Tapi perlahan, kerja kerasnya terbayar. Manajemen Whisper Garden mengakui ketekunan Ruddy. Dari supervisor, akhirnya ia dipromosikan menjadi Manager di restoran dan bar eksklusif di rooftop Bank Central Halilintar—sebuah posisi yang menjadi puncak karirnya.Sebagai Manager, Ruddy tahu Whisper Garden dimiliki oleh pemilik Bank Central Halilintar. Karena Grace Song adalah Direktur Utama bank tersebut, Ruddy berasumsi bahwa Grace Song juga pemilik Whisper Garden.Setiap seminggu sekali atau tiga hari sekali, seorang sekretaris akan datang meminta laporan atas semua yang terjadi di sana.Beberapa hari yang lalu, Kevin Ng, anak dari keluarga Santoso Coorporation yang terkenal di Jatavia, datang ke Whisper Garden.Dengan gaya berkelas, mengenakan jas mahal yang
Sejak berhasil membujuk Manager Whisper Garden, Ruddy, untuk mengusir Xander, hati Kevin Ng dipenuhi kepuasan yang dalam.“Langkah awal yang sempurna untuk menjalin kerjasama dengan investor yang akan menyuntikkan dana besar ke Santoso Corporation. Dimulai dengan hiburan yang tak terduga!” pikir Kevin sambil tersenyum kecil.Dia menyesap anggur merah yang berputar pelan di dalam gelas kristalnya. Dari sudut matanya, ia melihat seorang waiter berbicara dengan Xander dan tiga gadis yang sibuk berpose untuk akun media sosial mereka.Kevin tak bisa menahan tawa kecil ketika aksi selfie mereka terhenti seketika. Waiter, ditemani bodyguard berjas hitam, perlahan menghampiri Xander dan mengusirnya dengan sopan.Namun, di mata Kevin, tindakan itu terasa terlalu lembut.“Kenapa mereka begitu sopan? Seharusnya seret saja pria miskin itu keluar! Berani-beraninya dia berlagak seperti orang kaya, makan dan minum di Whisper Garden.” Kevin mencibir dalam hati, menatap tajam ke arah lift yang membawa
Titania Auction telah menjadi nama besar yang bergaung di seluruh negeri. Meski baru didirikan dua tahun yang lalu, lembaga lelang ini sudah menjadi buah bibir di kalangan elit.Diambil dari nama Ratu Peri dalam drama A Midsummer Night's Dream karya William Shakespeare, Titania melambangkan kekuatan, keanggunan, dan kemewahan—citra yang sempurna untuk lembaga lelang paling bergengsi di Negeri Konoya.Di bawah namanya yang berkilau, Titania Auction berdiri sebagai simbol kemewahan megah yang mengundang decak kagum dari siapa saja yang mendengar namanya.Namun, yang jarang diketahui publik adalah siapa pemilik sebenarnya dari pelelangan eksklusif ini. Titania Auction adalah bagian dari kerajaan bisnis Tjiang Corporation, perusahaan milik David Tjiang, orang kedua paling berpengaruh di negeri ini menurut berbagai sumber terpercaya.Namanya mengisi halaman-halaman majalah bisnis dan sosial kelas atas, seperti sebuah kehadiran yang tak terbantahkan di puncak daftar kekuasaan.Setiap tiga b
Xander tiba di Pulau Para Dewa dan langsung disambut oleh panitia acara—seorang pria berusia tiga puluhan dengan wajah ramah yang mengenakan pakaian tradisional. Penampilannya memberi kesan formal, sopan, dan penuh etiket, sangat sesuai dengan acara kelas atas yang akan dihadiri.“Tuan Xander?” sapa pria itu di antara keramaian terminal kedatangan di bandara internasional. Di tangannya ada papan nama tebal bertuliskan “Xander Sanjaya” yang ditunjukkannya dengan hormat.“Ya, benar,” jawab Xander singkat, sedikit bingung karena perhatian yang ia terima terasa berlebihan untuk seseorang yang dahulu bukan siapa-siapa, hanya seorang barista di kehidupan sehari-harinya.“Nama saya Kusuma, saya akan menjadi pemandu Anda selama acara pelelangan eksklusif berlangsung di Pulau Para Dewa. Mari ikut saya. Mobil Anda sudah menunggu, Tuan Xander,” kata Kusuma dengan senyum ramah yang profesional.Di luar, sebuah Mercedes-Benz G-Class mengkilap sudah menunggu dengan pintu yang dibuka lebar oleh Kusu
"Tuan muda Xander! Apa Anda juga menghadiri acara ini?"Sebuah suara yang familiar terdengar di telinga Xander, membuatnya secara refleks menoleh untuk melihat siapa yang menyapanya.BAM!Di hadapannya, berdiri seorang wanita dengan kecantikan yang luar biasa langka. Clara Gunawan, tampil memukau dalam balutan gaun merah menyala, karya seorang desainer ternama. Bahu rampingnya yang terbuka memperlihatkan kulit putih mulus yang kontras dengan warna bajunya.Pinggangnya yang ramping dibalut dengan sabuk kain satin khusus berwarna merah yang membentuk pita di bagian belakang, memberikan sentuhan elegan dan anggun pada penampilannya. Gaun itu melebar ke bawah, menutupi kakinya hingga ke lantai, seolah-olah Clara adalah bintang yang sesungguhnya pada acara itu."Instruktur Lala... apa kabar? Sudah lama tidak bertemu," sapa Xander dengan ramah. Meski suaranya terdengar tenang, namun matanya tak bisa menyembunyikan kekaguman yang jelas tergambar dari tatapannya.Seketika Xander terpaku pada
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.