Seperti yang sudah Lilian kira sebelumnya, ia tetap yakin bahwa Xander hanyalah seorang pria sederhana, mungkin seorang mahasiswa yang rajin menabung, atau bisa jadi seorang pekerja yang menyisihkan uang sedikit demi sedikit demi bisa menikmati liburan mewah di Shanghai.Namun, semakin lama Lilian mengenal Xander, semakin ia ragu pada kesimpulan itu.Ketika mereka tiba di Restoran Shang High Cuisine—restoran yang terkenal dengan hidangannya yang mewah dan mahal—Lilian mulai merasa tidak nyaman."Apakah Xander rela menghabiskan banyak uang hanya demi terlihat sopan di depanku?" pikirnya sambil mengernyit sedikit. "Mungkin sebaiknya aku memilih hidangan yang paling sederhana untuk meringankan bebannya."Ketika pelayan datang menghampiri mereka dengan senyum ramah dan sopan, Lilian sudah siap untuk memesan menu yang sederhana. Namun, sebelum sempat ia membuka mulut, Xander dengan penuh percaya diri langsung menyebutkan serangkaian hidangan yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya.L
Lain di Shanghai, lain pula di Jatavia, kota dengan keruwetan khasnya sendiri. Di sinilah keluarga Setiawan menaruh harapan besar pada saat mendengar kabar kedatangan Nyonya Ouyang, sosok investor dari Shanghai yang katanya bisa menyelamatkan bisnis mereka dari jurang kebangkrutan.Di bandara Kota Jatavia, setelah kedatangan Nyonya Ouyang."Aku berharap kedatangan Nyonya Ouyang dari Shanghai akan membawa angin segar buat perusahaan Setiawan Grup," ujar Haris Setiawan kepada istrinya, Rika, sambil menatap jauh ke depan seolah bisa melihat masa depan gemilang yang penuh dengan keuntungan—untuk dirinya sendiri tentunya, bukan untuk perusahaan."Akhirnya, langit membuka mata bagi keluarga Setiawan kami," balas Rika dengan nada penuh harap. Meski di dalam hati, yang ia bayangkan bukan kesuksesan perusahaan, melainkan kesempatan untuk bisa mengumpulkan lebih banyak keuntungan, dan tentu saja berjudi di lorong Kancil yang sudah menjadi kegemarannya.Di tengah percakapan singkat itu, mereka s
“Terima kasih untuk makan malam yang elegan, Tuan Xander,” kata Lilian dengan senyum kecil yang menyiratkan kehangatan, saat mereka berdua berjalan perlahan di sepanjang tepi sungai Huangpu.Malam itu, udara musim gugur terasa sejuk, dan pohon-pohon sycamore di sepanjang jalan berdesir lembut diterpa angin. Daun-daun kering jatuh satu per satu, melayang pelan sebelum akhirnya mendarat di jalan setapak yang mereka lewati.Cahaya lampu jalan menambah suasana damai dengan sorot lembut yang memantul di permukaan sungai.Xander, yang sejak tadi memperhatikan Lilian, melihat dirinya berusaha menahan dingin di balik senyum tipisnya. Tanpa berpikir dua kali, ia mengambil syal keluaran butik Louis Vuitton dari tasnya—item eksklusif yang baru ia beli khusus untuk perjalanan ke Shanghai ini.Dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian, Xander mengulurkan syal itu ke arah Lilian.“Anda kedinginan, Lilian. Pakailah ini sebagai penghangat, sekaligus hadiah kecil dariku,” kata Xander, melilitkan
Dalam perjalanan menyeberang jalan menuju Hotel Bund, Lilian terus diliputi rasa penasaran. Pikirannya dipenuhi tanda tanya.“Dari mana Tuan Xander ini mempelajari seni bela diri seperti itu? Teknik-teknik seperti itu sudah sangat jarang di zaman sekarang," batinnya.Lilian sendiri berasal dari keluarga petarung, para juara gelanggang dan arena yang terkenal. Sejak kecil, ia pun telah belajar seni bela diri yang serupa, meskipun ia memilih tidak terjun ke dalam dunia pertarungan resmi. Lilian lebih memilih jalur akademis, melanjutkan studi di Universitas Shanghai Jiao Tong, jurusan teknik. Meskipun begitu, warisan keluarganya tidak mudah ia lepaskan; seni bela diri sudah mendarah daging dalam dirinya.Ketika Xander memesan taksi online di depan Hotel Bund dan mereka menunggu bersama, Lilian akhirnya tak bisa menahan diri lagi."Tuan Xander, ternyata Anda juga menguasai seni bela diri Taiji? Dari mana Anda mempelajarinya? Saya yakin pasti seorang Guru yang sangat terkenal yang mengaja
Sementara itu, di ruang kecil yang sempit namun penuh kesibukan, tempat para pramugari berjaga, tiga gadis sedang terlibat percakapan berbisik. Gladys, pramugari yang melayani Xander, tampak sibuk melipat beberapa serbet, namun jelas pikirannya melayang entah ke mana."Dia masih sangat muda. Tapi menggunakan layanan First Suite seolah itu hal biasa. Apa dia influencer terkenal atau semacamnya di negaranya?" tanya Ling, teman sesama pramugari, sambil terkikik pelan. Matanya berbinar, penuh rasa ingin tahu."Atau jangan-jangan dia artis papan atas dari sana," sambung Joey, ikut-ikutan penasaran, mencoba membayangkan sosok Xander, pria yang di bicarakan Gladys kawan mereka.Namun Gladys, alih-alih ikut tersenyum, justru terlihat muram. Dia menghela napas panjang, matanya menerawang. "Dia sangat tampan... Mengingatkanku pada pria yang pernah aku kagumi sewaktu SMA dulu. Rasanya seperti melihat kenangan berjalan di depan mata."Ling menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kalau begitu, ken
Setelah mengantar ketiga gadis itu ke hotel dan mereka berganti pakaian kasual, tak lama kemudian Xander, bersama Gladys, Ling, dan Joey, sudah duduk di sebuah bar dan resto bernama Whisper Garden.Suasana di dalamnya elegan, dengan pencahayaan lembut yang memantulkan kilauan dari berbagai ornamen di dinding.Dari lantai 67, ketiga gadis itu berdiri mengagumi pemandangan Kota Jayavia yang menyala di malam hari, kota metropolitan yang seolah berkilau dengan gemerlap lampu.“Aku terbiasa melihat dari ketinggian saat melakukan penerbangan. Namun, kali ini memandang keindahan kota dari sebuah gedung tinggi sungguh berbeda,” desis Gladys, tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.Sorot matanya penuh keinginan, seakan ingin menyerap setiap detail dari pemandangan yang menakjubkan itu.“Aku juga. Baru sekali ini, dan rasanya luar biasa,” Ling menambahkan. Senyumnya lebar, menandakan betapa terpesonanya dia dengan panorama di hadapannya.“Aku juga sama,” Joey menyusul, berbagi semangat yang s
Setelah Xander mengantar tiga gadis pramugari yang sudah ketakutan itu, dia berpikir bahwa semua ini tidak akan berhenti di sini.Dengan pikiran yang masih dipenuhi oleh kejadian barusan, ia meraih ponselnya dan menelpon seseorang yang sangat penting, yaitu Grace Song.Saat ini, Grace menjabat sebagai Direktur Utama di Bank Central Halilintar, dan bisa dipastikan dia tengah sibuk. “Halo, Tuan Xander? Anda di mana?” suara Grace Song terdengar.Ada suara hiruk-pikuk di latar belakang yang menandakan betapa sibuknya dia di kantor.‘Ia masih di kantor,’ batin Xander sambil mengamati pemandangan kota Jatavia di sekelilingnya. “Aku sudah di Jatavia,” jawab Xander pendek, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.“Mengapa Anda tidak memintaku menjemputmu? Bukankah sudah kukatakan bahwa Randy siap mengantar Anda kapan saja?” Suara Grace terdengar sedikit menyesal, seolah dia merasa bersalah karena tidak bisa membantu.Randy Anker, sopirnya, adalah seorang mantan preman yang ahli bela diri
Namanya Manager Ruddy. Pria berusia tiga puluh lima tahun ini telah bekerja di Whisper Garden selama sepuluh tahun.Karirnya dimulai dari bawah, seperti pelayan biasa yang bekerja shift malam, menahan lelah dan hiruk pikuk para tamu. Tapi perlahan, kerja kerasnya terbayar. Manajemen Whisper Garden mengakui ketekunan Ruddy. Dari supervisor, akhirnya ia dipromosikan menjadi Manager di restoran dan bar eksklusif di rooftop Bank Central Halilintar—sebuah posisi yang menjadi puncak karirnya.Sebagai Manager, Ruddy tahu Whisper Garden dimiliki oleh pemilik Bank Central Halilintar. Karena Grace Song adalah Direktur Utama bank tersebut, Ruddy berasumsi bahwa Grace Song juga pemilik Whisper Garden.Setiap seminggu sekali atau tiga hari sekali, seorang sekretaris akan datang meminta laporan atas semua yang terjadi di sana.Beberapa hari yang lalu, Kevin Ng, anak dari keluarga Santoso Coorporation yang terkenal di Jatavia, datang ke Whisper Garden.Dengan gaya berkelas, mengenakan jas mahal yang