Rika Setiawan berjalan tergesa-gesa keluar dari kediaman Setiawan Grup, langkah kakinya cepat dan dipenuhi ketidakpastian.Nafasnya memburu, dan hatinya dikuasai amarah yang mendidih karena sudah tak tahan lagi dengan tingkah Nyonya Ouyang yang semakin semena-mena. “Dasar perempuan tua tak tahu diuntung!” desis Rika menggerutu.Kebencian yang terpendam membuat dadanya bergetar, seolah-olah setiap napas yang dihirupnya adalah sumber kemarahan yang siap meledak. Namun, apa daya? Ia hanya dapat melampiaskan kemarahan itu melalui caci maki di dalam hati saja.“Kamu bisa saja pelit,” desis Rika dalam nada puas sembari menggeram. “Tapi aku jauh lebih lihai! Perempuan tua itu ternyata bodoh! Tak mungkin ia menyadari bahwa aku sudah menipunya!” Di balik senyum sinis itu, Rika bersembunyi di balik perasaan aman yang rapuh.Dengan jari-jarinya yang lincah dan terampil, Rika meraba sepuluh lembar uang pecahan seratus ribu rupiah yang tersimpan rapi di dalam bra-nya.Uang tersebut adalah hasil da
“Seratus ribu rupiah!” kata driver taxi online dengan nada was-was. Ia khawatir penumpangnya adalah orang yang kurang waras dan tidak punya uang.Namun, ketika melihat perempuan menor itu merogoh sesuatu dari bra-nya, wajah driver itu berubah. "Ia punya uang. Meskipun disimpan di dalam branya, setidaknya cara ini menunjukkan bahwa ia bisa membayar," batinnya dengan sedikit lega.Rika melempar uang seratus ribu ke arah sang driver, sambil gerutu dan sumpah serapah keluar dari bibirnya. “Tagihanmu sungguh mahal. Seharusnya biaya ini hanya lima puluh ribu rupiah, mengapa harus seratus ribu?”Seketika bibir sang driver terasa gatal; ia ingin berdebat.Namun, melihat mata Rika yang menyala dengan ekspresi seolah orang kurang waras, ia membatalkan niatnya dan segera tancap gas, meninggalkan Rika sendirian di jalanan.Sepeninggal taxi online itu, Rika melangkah panjang-panjang, seolah-olah dia adalah seorang perawati yang melenggang di atas runway catwalk yang megah. Ia berusaha menampilkan
Rika semakin menjadi-jadi. Dalam hati, ia merasa puas bisa menindas orang-orang kecil seperti para pekerja kafe ini.Bermodalkan gaya mewah—meski semua barang yang ia kenakan hanyalah produk KW murah—ia berhasil menipu orang-orang di sekitarnya, membuat mereka percaya bahwa ia adalah sosok kaya raya yang berpengaruh di Kota Jatavia.“Buatkan aku Americano!” kata Rika dengan suara yang dibuat seanggun mungkin, meski terdengar sedikit memaksa. Berdiri di depannya, seorang barista perempuan, matanya sulit menahan diri untuk tidak mengamati wajah polos si barista yang tanpa riasan.“Huh, seperti inikah penampilannya? Apa mereka pikir ini standar pelayanan kelas atas?” batinnya sambil mencibir. Ia mengamati tangan si barista yang sibuk, lalu mendengus pelan. “Aku ingin melihat, apakah kamu bisa membuat minuman kegemaran para artis Korea,” ujarnya dalam hati, penuh ambisi.Sebenarnya, Rika tak pernah mencicipi Americano sebelumnya. Pengetahuannya hanya berdasarkan tontonan drama Korea grat
Xander sedang bersantai di teras apartemen mewahnya yang berada di lantai dua puluh yang tinggi. Ia sedang menikmati udara pagi yang sedikit lebih sejuk meskipun terik matahari mulai terasa. Pikirannya terasa jernih setelah berhasil memenjarakan Kevin Ng.“Akhirnya, ancaman yang mengusik brand XS – Skincare kami berhasil dipenjarakan. Semoga tidak ada lagi orang bodoh yang berani mengancam brand ambassador perusahaan,” gumamnya dalam hati dengan senyum puas.Xander baru saja menyesap seteguk Americano, menikmati pahitnya minuman dingin yang sedikit bercampur es batu. Matanya terpejam sejenak, menikmati rasa yang menyegarkan.“Minuman yang luar biasa. Kreasi Chef Teddy memang selalu terbaik. Tidak sia-sia aku membayar tinggi untuk memastikan dia tetap bekerja untukku,” pikirnya sambil menikmati setiap detik.Dari teras apartemen yang dilengkapi dengan fasilitas canggih dan panorama spektakuler, Xander melirik ke luar, memandang Kota Jatavia yang perlahan terbangun di pagi hari.Dengan
Entah karena alasan apa, hari ini Rika seolah-olah dikelilingi oleh keberuntungan. Dewi Fortuna tampaknya berbaik hati padanya, menghadiahkan kemenangan dalam permainan mahjong yang selama ini digemarinya.Dengan modal awal satu juta lima ratus ribu rupiah, dalam waktu singkat ia sudah mengantongi sepuluh kali lipat dari modalnya.Kemenangan demi kemenangan Rika membuat teman-temannya cemburu. Suasana permainan semakin tegang dengan bisikan penuh niat buruk dan rasa iri dari semua penjudi.“Rika... aku yakin kamu pasti pergi ke dukun terlebih dahulu sebelum bermain hari ini,” bisik Angel Smith, istri kedua dari mantan Direktur Bank Central Asia, Mr. Smith.Suara Angel bergetar penuh harap. “Kapan-kapan, kamu harus mengajakku ke sana. Aku ingin meminta berkah—bukan sekadar untuk permainan mahjong ini, tetapi agar suamiku lengket padaku dan menceraikan istri pertamanya.”Angel adalah seorang pelakor, penuh ambisi dan kecemburuan.Ia bertekad menjadi wanita yang sepenuhnya dalam dekapan
Kelompok preman yang dipimpin oleh Hardy memang menjalankan perannya dengan rapi, seperti bayangan yang tak kasat mata di Gorilla’s Kafe. Grace Song sengaja merekrut mereka untuk melindungi kafe dari balik layar, memastikan bisnis tetap berjalan tanpa gangguan.Namun, nasib buruk tak dapat dielakkan. Ketika seluruh anak buah Hardy pergi makan siang, saat itulah Rika Setiawan mengambil kesempatan memainkan aksinya.Kericuhan yang ditimbulkannya menjadi noda yang sulit dilupakan, terutama bagi Hardy yang langsung merasa namanya tercoreng begitu menerima telepon dari Grace Song yang penuh amarah.“Ayo pergi cari jalang itu di rumah judi Bos Hui! Hari ini, aku akan pastikan ada kaki yang patah!” geram Hardy penuh emosi, menghantam meja di hadapannya.Empat anak buahnya, yang tengah menikmati sarapan di warung pinggir jalan, langsung tersentak. Tanpa banyak bertanya, mereka bergegas mengikuti Hardy keluar, siap untuk memberikan “pelajaran” yang diperintahkan.Kisah berikutnya, seperti yang
Xander melangkah masuk ke dalam Gorillas Kafe, tapi yang menyambutnya hanya keheningan yang aneh. Tidak ada keramaian pelanggan, tidak ada hiruk pikuk yang biasa.Bahkan Dimas, sang manajer yang selalu tampak sibuk mengatur ini-itu, entah ke mana. Satu-satunya tanda kehidupan di tempat itu adalah dua petugas keamanan yang berdiri di depan pintu masuk.Ia menghentikan langkah, pandangannya menyapu ruangan yang kosong. Heningnya terasa ganjil. “Kemana semua orang? Mengapa sepi begini?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Salah satu petugas, yang mengenakan seragam sedikit kusut, tersenyum canggung. “Ah, Xander. Apa kabar?” tanyanya basa-basi, nada suaranya seperti mencoba menenangkan.“Semua pergi,” sela petugas yang lain sebelum rekannya melanjutkan. “Mereka sedang menonton keramaian di lorong Kancil, di rumah judi milik Bos Hui.”Xander mengerutkan alis. “Keramaian apa? Apa yang terjadi di sana?”Pertanyaan itu membuat kedua petugas saling pandang sejenak, seperti dua anak sekolah yan
Tentunya, kekacauan yang ditimbulkan oleh Rika Setiawan tak berhenti begitu saja.Suatu sore yang panas, ketika suasana di kediaman keluarga Setiawan, yang kini dihuni oleh Nyonya Ouyang, terasa lebih dingin dari biasanya, Dimas – mewakili pihak manajemen The Gorilla’s Kafe akhirnya tiba untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan Rika yang telah mencemarkan nama baik kafe mereka di media sosial.Namun, yang mereka temui bukanlah sambutan hangat yang mereka harapkan.“Pergi kalian!” suara Nyonya Ouyang menggema tajam, lebih dingin dari angin musim hujan yang berhembus. Wajahnya yang angkuh tak menunjukkan sedikitpun ekspresi kesal, malah tampak seolah-olah mereka sedang mengganggu kenyamanan istana pribadi.“Tapi, Nyonya Rika Setiawan bilang, anda yang bertanggung jawab atas semua ini,” Dimas, salah satu pengelola kafe, tak tinggal diam. Ia berusaha menyuarakan pembelaan, meskipun rasa gugup menghimpit di dadanya. “Kami punya alat bukti!”Dengan keyakinan yang meluap, Dimas menga
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.