Jarum pendek di jam dinding sudah hampir menunjukkan angka delapan malam. Tetapi, Ella belum ada kabarnya.
Kedua orangtua Ella kuatir karena putri semata wayang mereka itu tak biasanya terlambat pulang tanpa kabar. Ditelpon pun tidak bisa.
"Pi, kita langsung ke sekolahnya saja sekarang, ya?" usul Riana tak bisa membendung kecemasannya lagi.
"Oke," sahut Aji kepada istrinya. Segera dia beranjak meninggalkan meja kerjanya dan memerintahkan sopir menyiapkan mobil.
Di dalam perjalanan, Aji segera menelpon seseorang.
"Halo, Nak Al," sapa Aji. "Maaf terpaksa saya mengganggu malam-malam."
"Iya, Om. Tidak apa," sahut suara pemuda di seberang sana. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Nak Al ini sedang di mana?"
"Baru saja sampai di depan kosan."
"Bisa tolong kembali ke sekolah? Putri saya belum pulang ke rumah."
"Laila belum pulang?" suara pemuda itu terdengar terkejut.
"Begitulah. Karena itu saya dan maminya kuatir sekali. Bantu kami mencarinya!"
"Siap, Om!"
Riana yang sedari tadi melihat wajah suaminya, sedikit agak lega. "Syukurlah kali ini kita tidak mencari Ella sendirian, ya, Pi. Beruntung ada Nak Al," ucapnya.
Aji tersenyum dan memeluk istrinya. Sebenarnya dia juga cemas sekali. Tapi tak boleh memperlihatkannya di depan sang istri.
Setelah pengalaman pahit yang menimpa sang putri dahulu, Aji dan Riana memutuskan menyewa jasa pengawal pribadi untuk menjaga putrinya selama di sekolah. Tetapi, Ella tidak mengatahui apapun tentang ini.
"Sekolahnya Non Ella sudah di depan, Tuan," kata sopir memberitahu. Mobil melambat. "Apa kita akan masuk ke dalam? Karena saya ingat Non Ella melarang saya bawa mobil ke dalam sana. Biasanya saya disuruh berhenti agak jauhan. Lalu Non Ella turun dan jalan kaki."
Aji geleng-geleng kepala mendengar kelakuan putrinya itu.
"Sekarang kita kan sedang mencari Ella, Pi? Ayo, kita masuk saja! Biar Ella cepat ketemu!" desak Riana. Dia yakin sekali putrinya itu masih berada di dalam lingkungan sekolah.
"Sebentar," tahan Aji yang sudah melihat sesosok pemuda berjalan mendekati mobil mereka. Lalu di jendela pintu pun terdengar ketukan halus. Dia segera menurunkan kaca jendela di sisinya.
"Malam, Om, Tante," sapa pemuda itu. "Barusan saya sudah mencari ke dalam. Menelpon ponselnya. Tapi ponsel Laila tidak bisa banyak membantu. Sepertinya ponselnya juga mati."
"Saya yakin El, eh, Laila masih di dalam sana, Nak Al!" sahut Riana nyaris kelepasan menyebutkan nama Ella, bukan Laila.
"Kalau begitu saya akan cari lagi. Om dan Tante mohon tunggu di sini saja."
"Tunggu!" tahan Aji. Lalu menyodorkan ponselnya. "Nak Al, bawa ponsel saya ini."
Lalu Aji membuka sebuah aplikasi yang menunjukkan lokasi sang putri.
"Laila membawa dua ponsel?" tanya pemuda itu kaget. Karena setahu dia, Laila hanya membawa satu ponsel jadul berlayar monochrome selama bersekolah. Sedang untuk aplikasi mencari lokasi paling tidak harus menggunakan android.
"Iya, dia hanya membawa satu ponselnya saja. Tapi saya menambahkan chip pelacak lokasi dalam kalung yang dipakainya. Laila tidak tahu, karena putri saya cuma mengira itu kalung biasa. Sama seperti dia tidak tahu tentang Nak Al yang kami tugaskan untuk menjaga selama di sekolah."
Pemuda yang dipanggil Nak Al itu tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada keluarga itu. Bukan saja karena menyewa dirinya untuk menjaga Laila selama di sekolah, mereka juga memberi proteksi seakan Laila seorang putri. Dia jadi penasaran, proteksi macam apa lagi di sekeliling gadis itu?
"Siap, Om. Saya gunakan ini. Pasti lebih cepat menemukannya dan membawanya ke sini."
Lalu pemuda itu berlari memasuki lingkungan SMA elit lagi. Masih ada beberapa anak dan guru di beberapa tempat, mengingat SMA elit juga menyediakan sebuah gedung asrama untuk murid-muridnya. Namun keberadaan pemuda itu tidak akan menimbulkan kecurigaan karena dia juga berstatus murid di sekolah itu.
Riana mengawasi kepergian sosok pemuda itu sembari meremas erat tangan suaminya. "Semoga Ella baik-baik saja, ya, Pi," ucapnya.
"Amin."
Tak berapa lama kemudian, ponsel Riana berdering. Segera dia menyodorkan ponselnya kepada sang suami. Riana tak siap bila menerima kabar buruk.
"Ketemu?" tanya Aji langsung to the point.
"Iya, Om. Laila di dalam gudang. Pingsan."
"Ya Tuhan!" jerit Riana lalu pecahlah tanggisnya dalam pelukan Aji.
"Bagaimana kondisi putriku?" tanya Aji takut mendengar kabar buruk seperti beberapa tahun silam.
"Aman, Om. Tidak kurang sesuatu apapun. Saya sedang membopongnya menuju mobil Om. Sebentar lagi sampai."
"Ella!" pekik Riana spontan, membuka pintu mobil cepat dan melompat keluar. Menghambur untuk menyambut putrinya itu.
Pemuda itu tampak mudah saja membawa tubuh Ella yang masih tidak sadarkan diri.
"Saya sudah memeriksanya kondisi Laila, Tante. Laila cuma pingsan dan ada benjol di dahi saja. Sepertinya dia kena pukul sesuatu. Tapi tidak berbahaya," lapor sang pemuda.
Laila dibaringkan di dalam mobil dalam pangkuan Riana. Sedang Aji pindah ke kursi depan sebelah sopirnya.
"Maaf, Om, Tante. Ini semua kesalahan saya yang kurang maksimal dalam menjalankan tugas. Siang tadi Laila mengirimkan kabar mau cepat pulang. Jadi saya pikir tidak ada masalah," sesal sang pemuda saat mengembalikan ponsel milik Aji.
"Terima kasih banyak, Nak Al. Nanti saya transfer bonus, ya," ucap Aji tak menghiraukan permintaan maaf pemuda itu. Lalu mobil pun melaju.
***
Ella membuka mata perlahan. Dia lega mendapati sekelilingnya terlihat familiar. Tubuhnya sedang berbaring di ranjangnya sendiri. Memakai selimutnya yang biasa. Ini kamarnya.
"Kamu sudah sadar, Sayang?" sapa suara lembut Riana.
"Mami!" seru Ella sembari bangkit dan memeluk maminya itu.
"Ada apa sebenarnya? Kamu pingsan di dalam gudang yang terkunci. Apa ada yang jahat sama kamu?" Riana tampak cemas.
Ella membeliak kaget. Membayangkan Mami Papi membuat kehebohan mencari-cari putrinya di sekolah. Lalu anak-anak SMA elit jadi tahu kalau dirinya bukan murid beasiswa, tapi anak orang kaya!
"Mami ke sekolahku? Apa ada murid SMA elit yang tahu?" cecar Ella kemudian. "Aduh ... Apa sekarang mereka tahu siapa aku?"
Riana mengelus rambut Ella. "Sayang ... Kenapa malah hal itu yang kamu cemasin, sih? Memang kenapa kalau mereka tahu kami orangtuamu? Papimu bisa saja meratakan gedung sekolahmu itu demi menemukanmu kembali!" omelnya dengan mata berkaca-kaca.
"Mami Papi kuatir banget peristiwa masa lalumu terulang lagi!"
Ella mengangguk mengerti. Lalu dia memeluk maminya lagi. "Maafin Ella ya, udah bikin Mami dan Papi kuatir banget ...," sesalnya.
Riana tampak mengusap air matanya. "Tapi syukurlah kami menemukanmu. Kamu nggak apa-apa kan? Kamu pingsan lama sekali," katanya lagi.
"Harusnya aku langsung menelpon Mami waktu itu. A-aku aman, kok. Cuma terkunci di dalam gudang saja. Makanya kupikir bisa kuatasi sendiri. Aku kan sudah kelas sebelas, Mi," tutur Ella kemudian. "Aku udah hampir bisa keluar lewat jendela. Lalu ada sesuatu yang menampar keras wajahku sampai aku terjatuh."
"Bagaimana ceritanya kamu bisa terkunci di dalam gudang?" tanya Riana.
Ella mengerutkan dahi. "Aku ... Menunggu Anna, Mi. Lalu ada yang mendorongku dan mengunci pintu gudang di belakangku," tuturnya mengingat-ingat.
"Anna melakukan itu? Bukannya dia sahabatmu?"
Ella menggeleng ragu.
"Anna memang sempat marah. Gara-gara aku gagal membawakan minuman pesanannya. A-aku menabrak ..." Ella segera menghentikan ucapannya.
Ella kuatir bila Mami tahu peristiwa tabrakan dengan Dony dan tuntutan ganti rugi itu, Mami akan segera memberikan tiga puluh juta itu tanpa pikir panjang. Uang sejumlah itu cuma sedikit sekali bagi keluarga mereka. Lalu, penyamaran si culun Laila terbongkar! Tidak!
"Sayang ... Ada apa?" desak Riana melihat putrinya memijit-mijit kening sekarang.
"Pusing, Mi ...," dalih Ella lirih.
"Ya udah ... Ceritanya dilanjut besok saja. Sekarang sudah larut malam. Kamu tidur saja dulu, ya," kata Riana. "Besok kamu enggak usah ke sekolah dulu."
Ella mengangguk mengiyakan saja. Setelah maminya pergi dan menutup pintu kamar, segera dia terlelap.
Siapa sangka tengah malam Ella tersentak bangun sampai terduduk. "Aduh! Kenapa cowok itu muncul di mimpiku? Nuntut aku ganti rugi jadi kekasihnya?!" racaunya. Padahal seingat Ella, harusnya dia dituntut ganti rugi jadi pelayan selama di sekolah, bukan jadi seorang kekasih Dony.
"Aduh!" seru Ella lagi saat teringat ucapan maminya. "Dony pasti nyari-nyari aku di sekolah besok! Aku bisa dituduh orang yang enggak bertanggungjawab, nih! Gimana, dong?!"
(Bersambung)
"Dasar cewek enggak bertanggungjawab!" umpat Dony geram.Pagi itu Dony sudah menunggu lama di lorong belakang sekolah. Tetapi tak seorang pun yang muncul di sana.Berani benar dia? Apa Laila cuma satu-satunya cewek di SMA elit yang tidak mengenalnya? Tidak memuja sejuta pesona Dony seperti cewek lainnya?Parahnya, Dony cuma tahu nama cewek itu saja. Laila.Dony ingat kemarin dia sempat membaca kartu siswa milik cewek itu."Kalau enggak salah ingat, di kartu tertulis cewek itu kelas 10. Berarti dia kelas 11 sekarang," gumam Dony kemudian. "Hmmm ... Tapi, cewek itu di kelas 11 yang mana?""Mau cari cewek kelas 11?" ulang suara Reno. Sahabat Dony itu entah sejak kapan muncul di situ."Mau tahu aja!" sahut Dony. "Ngapain kamu di sini?""Tuh, si bangkai nyariin kamu!" lapor Reno. "Dia kebingungan dah kayak kehilangan ekor!"Sejenak Dony mengerutkan kening untuk mencerna kalimat ajaib sahabatnya. Biasanya Ang
"Apa?" sentak Rendy pada ponsel yang baru diatur loadspeaker.Rendy memang sedang sibuk. Tubuhnya mengkilat bermandikan keringat. Sedang di bawahnya Winda menatap penuh harap. Tetapi Rendy lebih mementingkan ponselnya yang berdering di detik-detik yang salah. Hanya karena di layar ponsel terbaca 'Informan'."Ma-maaf mengganggu, Tuan. Tapi ini tentang adikmu. Katanya, harus segera melaporkan kabar apapun tentang Dony kepadamu," sahut suara di seberang sana."Sebaiknya ini kabar yang sangat penting! Karena kamu menggangguku di saat yang keliru!""Buku. Dony kehilangan sebuah buku. Dia marah sampai gampang banget gebukin orang," jawab si informan. "Ini termasuk kabar penting, kan?""Buku apa yang hilang?" tanya Rendy sembari mengerutkan kening, lalu meraih ponselnya dan mematikan pengaturan loadspeaker-nya. Kemudian menempelkan di telinga kirinya. Dia tak ingin percakapan berikutnya terdengar oleh telinga sang pelayan yang sedang ditindih tubuhn
Ella baru menyadari telah kehilangan barang-barangnya saat mau kembali ke sekolah. Di mana tas selempang dan ponsel monochrome-nya?Terakhir Ella ingat, semua barang itu ikut terkunci di dalam gudang bersamanya. Sedang sejak beristirahat di rumah, perhatian Ella teralihkan dengan jadwal terapi ke dokter psikolog keluarga. Hingga sang dokter memutuskan Ella bisa kembali bersekolah."Mami ...," panggil Ella sembari berderap menuju dapur. Berharap sang Mami mengetahui."Mami tahu di mana tas selempang dan ponselku? Yang biasa aku pakai ke sekolah itu?""Tas buluk dan ponsel jadul?" ulang Riana sembari memasak nasi goreng."Ih, Mami!" protes Ella karena Mami mengejek barang-barangnya.Riana kemudian mengangkat bahu. "Enggak lihat, tuh. Hilang juga gapapa, kan? Mami bisa nyediain yang baru dalam sekejap mata," ujarnya sembari menjentikkan jari.Ella menjulurkan lidahnya melihat gaya Mami sok jadi ibu peri."Masa, sih? Waktu terkunci
"Apa kamu punya buku itu, Cinderella?" cetus Haikal yang sudah berada di sisi Ella.Ella mengerjap. Kemudian dia terbahak keras. "Apaan, sih? Namaku Laila, bukan Cinderella," ucapnya kemudian."Mirip," sahut Haikal memaksa. "Ya, siapa tahu aja buku yang hilang itu ada di kamu.""Aku tuh adanya buku pr dan catatan teman-teman. Sekarang pasti udah menggunung banyaknya!" seloroh Ella. "Memangnya sang pangeran mau bantu ngerjain semua itu? Hahaha!"Haikal pun tergelak pelan. Dia tahu dunia sahabatnya itu sejak masuk di SMA elit sebagai siswa beasiswa. Laila harus membantu mengerjakan pr dan menyalinkan buku catatan teman-teman. Tetapi herannya, Laila tidak pernah sekalipun menolak. Hingga Haikal curiga, Laila sebenarnya tidak bisa bilang tidak. Itu suatu penyakit, kan?"Ayo, ke kelas aja!" ajak Ella."Bantuin pacarnya, Mas. Tadi Eneng ini nyaris saja jatuh pingsan," cetus Pak Satpam asal tuduh saja."Bukan pacar, Pak!" ralat Ella cepat. L
Ella terbiasa berangkat pagi-pagi sekali. Jadi mobilnya bisa menepi dengan aman tanpa ketahuan di dekat SMA elit. Lalu, Ella akan turun dan berjalan kaki menuju gerbang putih.Namun pagi itu, ketika Ella baru beberapa langkah lagi mendekati gerbang putih, sebuah sedan hitam mendecit keras dan berhenti tepat satu inci di dekatnya. Ujung sepatu Ella nyaris terlindas roda."Ap ...!" Ella mematung. Tak sempat melanjutkan jeritan. Karena pintu mobil di dekat sisi tubuhnya mendadak menjeblak terbuka."Masuk!" perintah suara cowok di bangku kemudi.Dony!"Masuk kataku! Kecuali kamu bawa tiga puluh juta sekarang!" teriak Dony."I-iya," sahut Ella menurut akhirnya.Ella tahu itu adalah perbuatan terbodoh seumur hidupnya. Masuk ke dalam mobil dengan seorang cowok di urutan teratas yang harusnya dia hindari. Tapi mau bagaimana lagi? Dia shock! Dan cuma ada seratus ribu di dompetnya!Setelah Ella duduk di kursi samping Dony, mobil pu
"Enggak usah dekat-dekat!" seru Ella panik sembari mengacungkan gagang alat pel ke arah Dony, memberi serentangan jarak di antar mereka. "Apa yang harus kulakukan?"Dony mengerutkan kening. "Memang apa yang kamu pikir akan aku lakukan ke kamu, heh?" sentaknya. "Dasar otak ngeres!""Maksudku, kamu bilang aja dari sana kan, bisa?""Oke, oke! Tapi turunin dulu alat pel-nya!"Ella menurut."Kamu tahu sayembara berhadiah yang lagi ramai di sekolah kita?" tanya Dony kemudian.Ella mengangguk saja. Ya, siapa yang enggak tahu? batinnya."Kenapa kamu enggak ikutan jadi pesertanya?""Enggak tertarik!"Mata Dony membulat. "Apa kamu enggak tahu hadiah sayembara itu? Semua cewek sampai gila dan menghalalkan segala cara di luar sana!"Ella menatap tajam si cowok brengsek. Membenarkan kacamata berbingkai bulat tebal yang melorot di hidungnya, lalu mencermati Dony dari atas ke bawah. Lalu naik ke atas lagi. "Hadiahnya, Kakak kan?
"Sial, sial, sial ...!"Ella berlari sambil memekik panik. Gadis berseragam putih abu-abu itu memacukan kaki-kakinya lebih cepat lagi. Dia harus berlomba dengan waktu. Jarak yang harus ditempuh lumayan jauh, sedang sahabatnya bukan tipe orang yang sabaran menunggu. Anna Ratulusia bisa marah! Pagi itu sebenarnya Ella sudah tiba di depan SMA Elite. Gerbang Putih itu sudah di depan mata. Tapi, letak kantin yang jadi tujuannya masih jauh di ujung sana. Semua ini gara-gara ponsel monochrome-nya, begitu tuduh Anna selalu. "Makanya ganti android, dong! Kamu itu anak jaman kapan, sih? Kok, betah banget sama barang-barang jadul?" Omelan sahabatnya itu masih terngiang di telinga Ella. "Kamu bisa kirim SMS, kan?" sahut Ella tadi. "Apa?!" Terbayang Anna sedang membeliak ngeri. Cewek cantik itu memang jijik dengan segala hal yang berbau kuno. SMS termasuk salah satunya. Baginya, kecantikan dan penampilan harus up to date.
"Laila?" ulang Angga. "Yakin, Bro? Itu nama cewek yang menabrakmu dan menghilangkan ponsel mewah itu?" Dony mengangguk mantap. "Masih ada ya nama jadul seperti itu ya? Macam lagu dangdut jaman dulu. Hahaha!" Angga terpingkal. Lalu Dony menyodorkan kartu pelajar yang berhasil disitanya dari cewek itu kepada dua sahabatnya. Reno buru-buru menyambarnya. "Penampilannya jauh lebih parah dari namanya," gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Foto cewek berkacamata bulat dengan rambut dikepang dua itu agak buram di kartu itu. Tipikal culun. Tetapi anehnya, Reno merasa agak familiar. Seakan sempat bertemu si cewek culun tapi otaknya menolak memasukkan sosok itu dalam ingatan. "Dan, cewek ini yang akan kamu jadikan pacar?" Reno tersentak dan membeliak ngeri. "Don, jangan dengar usulan Angga tadi!" Angga pun terlonjak. Tersadar kebodohannya tadi. Asal ucap saja mulutnya itu. "Iya, Bro. Lupakan!" ucap Angga c