"Enggak usah dekat-dekat!" seru Ella panik sembari mengacungkan gagang alat pel ke arah Dony, memberi serentangan jarak di antar mereka. "Apa yang harus kulakukan?"
Dony mengerutkan kening. "Memang apa yang kamu pikir akan aku lakukan ke kamu, heh?" sentaknya. "Dasar otak ngeres!"
"Maksudku, kamu bilang aja dari sana kan, bisa?"
"Oke, oke! Tapi turunin dulu alat pel-nya!"
Ella menurut.
"Kamu tahu sayembara berhadiah yang lagi ramai di sekolah kita?" tanya Dony kemudian.
Ella mengangguk saja. Ya, siapa yang enggak tahu? batinnya.
"Kenapa kamu enggak ikutan jadi pesertanya?"
"Enggak tertarik!"
Mata Dony membulat. "Apa kamu enggak tahu hadiah sayembara itu? Semua cewek sampai gila dan menghalalkan segala cara di luar sana!"
Ella menatap tajam si cowok brengsek. Membenarkan kacamata berbingkai bulat tebal yang melorot di hidungnya, lalu mencermati Dony dari atas ke bawah. Lalu naik ke atas lagi. "Hadiahnya, Kakak kan?
"Sial, sial, sial ...!"Ella berlari sambil memekik panik. Gadis berseragam putih abu-abu itu memacukan kaki-kakinya lebih cepat lagi. Dia harus berlomba dengan waktu. Jarak yang harus ditempuh lumayan jauh, sedang sahabatnya bukan tipe orang yang sabaran menunggu. Anna Ratulusia bisa marah! Pagi itu sebenarnya Ella sudah tiba di depan SMA Elite. Gerbang Putih itu sudah di depan mata. Tapi, letak kantin yang jadi tujuannya masih jauh di ujung sana. Semua ini gara-gara ponsel monochrome-nya, begitu tuduh Anna selalu. "Makanya ganti android, dong! Kamu itu anak jaman kapan, sih? Kok, betah banget sama barang-barang jadul?" Omelan sahabatnya itu masih terngiang di telinga Ella. "Kamu bisa kirim SMS, kan?" sahut Ella tadi. "Apa?!" Terbayang Anna sedang membeliak ngeri. Cewek cantik itu memang jijik dengan segala hal yang berbau kuno. SMS termasuk salah satunya. Baginya, kecantikan dan penampilan harus up to date.
"Laila?" ulang Angga. "Yakin, Bro? Itu nama cewek yang menabrakmu dan menghilangkan ponsel mewah itu?" Dony mengangguk mantap. "Masih ada ya nama jadul seperti itu ya? Macam lagu dangdut jaman dulu. Hahaha!" Angga terpingkal. Lalu Dony menyodorkan kartu pelajar yang berhasil disitanya dari cewek itu kepada dua sahabatnya. Reno buru-buru menyambarnya. "Penampilannya jauh lebih parah dari namanya," gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Foto cewek berkacamata bulat dengan rambut dikepang dua itu agak buram di kartu itu. Tipikal culun. Tetapi anehnya, Reno merasa agak familiar. Seakan sempat bertemu si cewek culun tapi otaknya menolak memasukkan sosok itu dalam ingatan. "Dan, cewek ini yang akan kamu jadikan pacar?" Reno tersentak dan membeliak ngeri. "Don, jangan dengar usulan Angga tadi!" Angga pun terlonjak. Tersadar kebodohannya tadi. Asal ucap saja mulutnya itu. "Iya, Bro. Lupakan!" ucap Angga c
"Sekarang kan, kamu kapten. Kamu harus punya cewek, Man! Maksudnya, buat jadi pasangan pas Prom Night. Kapten kan dapat undangan khusus. Karena anak cowok kelas dua enggak boleh datang. Kecuali kamu ... cewek! Hahaha ...." Haikal tergelak. "Prom Night? Bukannya itu masih akhir tahun, ya? Masih lamaaa ... Masih banyak waktu," ucapnya santai. "Tapi kalau enggak dari sekarang ... Kamu akan kehabisan cewek cantiknya!" "Kamu pasti ngajak Anna, kan?" tebak satu temannya. Haikal menggeleng pelan. "Hmmm ... Aku kayaknya akan ngajak Laila saja," akunya kemudian. *** Anna terkesiap mendengar pengakuan Haikal itu. Bayangan mahkota Princess itu hancur berkeping-keping di atas kepalanya. Ugh! Apa kurangnya aku dibandingkan si culun? batin Anna geram. Hatinya semakin kesal kepada Laila. "Ini enggak bisa dibiarin! Aku enggak mau kehilangan mahkotaku!" jerit Anna gemas. "Anna ...?" tegur sebuah suara meyadarkan Anna
Ella disergap ketakutan saat menyadari keadaan sekelilingnya.Ruangan sepi. Sendiri.Penerangan kurang. Pandangan remang-remang.Tak ada jalan keluar. Dia terkunci.Gelap.Masa lalu terulang lagi ....Ella masih kelas 5 SD ketika itu. Dia baru mendapatkan tepukan tangan dan ucapan selamat karena berhasil memerankan Sang Pengeran dengan baik. Pentas Drama Putri Salju sukses menjadi acara pamungkas wisuda kelas 6.Waktu itu Ella sedang mencari-cari Mami di bangku penonton tapi tidak ketemu. Kemudian seorang anak laki-laki berseragam SMP menawarkan bantuan."Sini. Ikuti aku," ajak cowok itu. "Para orang tua barusan tadi dipanggil ke ruangan sana.""Orangtua Kakak juga?" tanya Ella kecil."Iya. Ini aku juga mau ke sana. Yuk, kita bareng saja!"Saat itu Ella kecil percaya saja. Dia di sekolahkan di sekolah yang bagus oleh kedua orangtuanya. Tentunya anak laki berseragam SMP itu adalah seorang kakak dari murid di sini. Lagi pula senyum cowok it
Dony dan Angga ber-high five saat berhasil keluar dari lingkungan sekolah. Setelah adu lomba lari menuju parkiran dan memasuki mobilnya dengan panik, akhirnya sedan hitam itu meluncur cepat membelah jalan raya."Gila! Tembakanmu jitu banget, Man! Persis kena wajah si hantu!" seru Angga. "Pingsan-pingsan dah si hantu! Hahaha!"Tapi Dony yang sedang menyetir sama sekali tidak ikut tertawa."Sejak kapan hantu bisa pingsan, bego?!" umpat Dony tersadar. "Berarti, kita tunggang langgang ketakutan tadi cuma gara-gara manusia biasa?""Mungkin.""Parah! Kamu sih, tadi pakai menjerit kayak cewek! Bikin orang ikutan kaget dan panik saja! Pokoknya jangan sampai ada yang tahu! Apalagi Rendy!"Angga terlongong. "Benar juga," gumamnya sembari menepuk dahinya sendiri."Kamu ambil bukuku itu dari dalam gudang besok!" ultimatum Dony."Tapi kan ada hantunya, Don?" cetus Angga.Plak!Dony sukses mengeplak belakang kepala sahabatnya i
Jarum pendek di jam dinding sudah hampir menunjukkan angka delapan malam. Tetapi, Ella belum ada kabarnya.Kedua orangtua Ella kuatir karena putri semata wayang mereka itu tak biasanya terlambat pulang tanpa kabar. Ditelpon pun tidak bisa."Pi, kita langsung ke sekolahnya saja sekarang, ya?" usul Riana tak bisa membendung kecemasannya lagi."Oke," sahut Aji kepada istrinya. Segera dia beranjak meninggalkan meja kerjanya dan memerintahkan sopir menyiapkan mobil.Di dalam perjalanan, Aji segera menelpon seseorang."Halo, Nak Al," sapa Aji. "Maaf terpaksa saya mengganggu malam-malam.""Iya, Om. Tidak apa," sahut suara pemuda di seberang sana. "Ada yang bisa saya bantu?""Nak Al ini sedang di mana?""Baru saja sampai di depan kosan.""Bisa tolong kembali ke sekolah? Putri saya belum pulang ke rumah.""Laila belum pulang?" suara pemuda itu terdengar terkejut."Begitulah. Karena itu saya dan maminya kuatir sekali
"Dasar cewek enggak bertanggungjawab!" umpat Dony geram.Pagi itu Dony sudah menunggu lama di lorong belakang sekolah. Tetapi tak seorang pun yang muncul di sana.Berani benar dia? Apa Laila cuma satu-satunya cewek di SMA elit yang tidak mengenalnya? Tidak memuja sejuta pesona Dony seperti cewek lainnya?Parahnya, Dony cuma tahu nama cewek itu saja. Laila.Dony ingat kemarin dia sempat membaca kartu siswa milik cewek itu."Kalau enggak salah ingat, di kartu tertulis cewek itu kelas 10. Berarti dia kelas 11 sekarang," gumam Dony kemudian. "Hmmm ... Tapi, cewek itu di kelas 11 yang mana?""Mau cari cewek kelas 11?" ulang suara Reno. Sahabat Dony itu entah sejak kapan muncul di situ."Mau tahu aja!" sahut Dony. "Ngapain kamu di sini?""Tuh, si bangkai nyariin kamu!" lapor Reno. "Dia kebingungan dah kayak kehilangan ekor!"Sejenak Dony mengerutkan kening untuk mencerna kalimat ajaib sahabatnya. Biasanya Ang
"Apa?" sentak Rendy pada ponsel yang baru diatur loadspeaker.Rendy memang sedang sibuk. Tubuhnya mengkilat bermandikan keringat. Sedang di bawahnya Winda menatap penuh harap. Tetapi Rendy lebih mementingkan ponselnya yang berdering di detik-detik yang salah. Hanya karena di layar ponsel terbaca 'Informan'."Ma-maaf mengganggu, Tuan. Tapi ini tentang adikmu. Katanya, harus segera melaporkan kabar apapun tentang Dony kepadamu," sahut suara di seberang sana."Sebaiknya ini kabar yang sangat penting! Karena kamu menggangguku di saat yang keliru!""Buku. Dony kehilangan sebuah buku. Dia marah sampai gampang banget gebukin orang," jawab si informan. "Ini termasuk kabar penting, kan?""Buku apa yang hilang?" tanya Rendy sembari mengerutkan kening, lalu meraih ponselnya dan mematikan pengaturan loadspeaker-nya. Kemudian menempelkan di telinga kirinya. Dia tak ingin percakapan berikutnya terdengar oleh telinga sang pelayan yang sedang ditindih tubuhn