Erangan demi erangan terdengar memilukan. Harto terus berjuang, untuk bisa terlepas dari segala ilmu hitam yang ibunya tanam untuk dirinya.
"To-long!" ucap Harto terbata-bata. Hati para saudaranya tergerak ingin menolong, namun busu Anwar dengan cepat menahannya. "Biarkan dia berjuang untuk dirinya sendiri! Dia belum stabil, masih ada sosok yang ingin mengendalikannya," ucap busu Anwar. Beberapa kali Harto menatap para saudaranya, dengan tatapan memelas. Ia juga menatap Nana. Namun, dengan cepat Nana memalingkan pandangannya. Nana masih trauma dengan kejadian tadi, yang hampir saja membuatnya celaka. "Lawan terus mas Harto! Jangan mau kalah! Derajat kita lebih tinggi dibanding makhluk itu!" busu Anwar terus memberi arahan, sekaligus meminta para santri mengencangkan bacaannya. Harto meraung, lalu memuntahkan cairan hitam pekat beberapa kali. Hingga akhirnya memuntahkan cairan bening, dan jaRombongan Harto gegas keluar setelah mendengar suara jeritan Nana. Begitu pun dengan istri anak anak busu Anwar. "Ya Allah, Busu!" pekik Bani dan yang lainnya bersamaan. Semuanya langsung menyerbu busu Anwar yang terkapar tak sadarkan diri. Sedang di dekatnya ada tumpukan abu yang berbau menyengat. "Ya Allah, Abah!" pekik istri dan anak busu Anwar bersamaan. "Apa yang terjadi Na? Kenapa busu Anwar seperti ini?" tanya Agung. Nana masih tergugu, ia menangis sejadi-jadinya. Lidahnya bahkan terasa kelu untuk menceritakan semuanya. "Nanti saja tanya itu Mas. Tolong angkat suami saya ke dalam dulu!" pinta istri busu Anwar, wajahnya terlihat sangat khawatir. Mau tak mau, Marto dan yang lainnya membantu mengangkat busu Anwar ke dalam rumah. "Baringkan di sini saja Mas!" ujar istri busu Anwar, menyiapkan bantal yang sudah dilapisi kain. "Ya Allah, B
Tepat satu minggu berlalu, akhirnya rombongan Harto bersiap pulang ke kota. Harto, Nana dan Ahmad sudah dinyatakan terbebas dari target tumbal dari ibu Harto. "Sudah siap semua?" tanya Marto, selaku supir. "Sudah Mas, semuanya sudah beres," sahut Harto, mengacungkan jempolnya. "Oke, kalau sudah beres semua, kita pamit dulu ke busu Anwar dan keluarga!" ujar Marto, turun dari kursi kemudi. Di ruang tamu, busu Anwar dan bu Aminah terlihat sendu menatap bus mini di halaman rumahnya. Satu minggu kedatangan rombongan Harto, memberi kesan tersendiri oleh pasangan suami istri itu. "Kalian pulang hari ini?" tanya busu Anwar. "Iya Busu, kami mau mengucapkan terimakasih banyak pada Busu dan bu Aminah sekeluarga, terimakasih sudah menerima kami di sini, terimakasih sudah membantu kami sejauh ini. Kalau tidak ada Busu, mungkin saat ini adik-adik kami masih terjerat dalam lembah hitam itu," ucap Marto, sel
Bus mini berhenti mendadak karena teriakan Nana. Beruntung saat itu jalanan yang dilalui tidak ramai. Kalau ramai, entah apa jadinya saat Marto menginjak rem mendadak seperti tadi. "Ya Allah, Mas. Ada apa?" tanya Bani, memegang jidatnya. "Tadi Nana teriak, makanya aku rem mendadak. Memangnya ada apa sih Na?" tanya Marto, wajahnya terlihat menahan kesal. "Siapa yang teriak Mas? Aku tidak berteriak," sanggah Nana, kebingungan. "Iya Mas, dari tadi Nana diam. Kapan Nana teriak?" timpal Harto, yang dibenarkan oleh saudara yang lain. "Masa sih? Apa mungkin aku salah dengar?" gumam Marto, memijit keningnya. "Mungkin mas Marto hanya kelelahan. Lebih baik kita mampir istirahat dulu Mas. Kebetulan di depan sana ada kedai makan. Sekalian makan siang kita di sana!" ujar Harto. Bus mini bergerak menuju tempat yang Harto maksud. Di sepanjang perjalanan, Marto terus memikirkan kejadian tadi y
Hari itu menjadi hari yang begitu mengharukan bagi keluarga Nana. Hampir satu bulan ketiganya pergi, akhirnya hari ini bisa berkumpul juga. "Bagaimana Na? apa semuanya sudah beres?'" tanya Ayu. "Alhamdulillah sudah Kak," jawab Nana, dengan mata berkaca-kaca. "Syukurlah kalau sudah beres. Memangnya apa yang terjadi di sana, sampai-sampai kalian semua lama sekali pulang?" tanya Ayu, yang memang sedari awal tidak terlalu mengetahui perihal dari ibu mertua adiknya. "Ya begitu Kak, ceritanya panjang," sahut Nana sekenanya. Ia memilih untuk tidak menceritakannya sekarang. Selain lelah, ada Harto juga di sampingnya. Tidak mungkin ia menceritakan semuanya, sedang anak dari cerita mengerikan ada di sana ikut mendengar. Nana masih menjaga perasaan Harto. Biar bagaimanapun juga, itu adalah ibunya. Namun, seolah mengerti dengan keadaan. Harto memilih pamit mengajak putri kecilnya masuk ke dalam kamar den
Malam hari, tanpa sepengetahuan Nana dan keluarga. Ahmad diam-diam pergi dari rumah, dengan niat menemui Wati di kedai makan tempatnya melihat pertama kali. Ahmad begitu yakin, jika yang ia lihat waktu itu benar-benar Wati. Entah, karena benar-benar sudah sangat jatuh cinta, atau karena terpengaruh ilmu pengasih dari ilmu kuyang yang diwarisi oleh Wati. Sesampainya Ahmad di depan kedai. Keadaan sudah mulai terlihat sepi. Bukan karena sepi pengunjung, melainkan sepi karena sudah waktunya tutup. "Benar kan apa yang aku bilang? Itu benar-benar Wati. Apa dia kerja di sini?" batin Ahmad, memilih bersembunyi di dekat pohon rindang di samping kedai. Cukup lama Ahmad menunggu, akhirnya lampu kedai tersebut padam, yang menandakan sang pemilik dan para pekerjanya sudah selesai dengan aktifitas mereka. Wati berjalan santai menuju belakang kedai makan. Sesekali ia berbalik menatap sekitarnya. Merasa aman, ia gegas
Harto dan yang lainnya tersentak kaget mendengar kalimat yang Ahmad lontarkan. "Melihat apa maksud kamu Mad?" tanya Harto. "Melihat kepala terbang?'' timpal Ayu bertanya. Ahmad mengangguk. Ia bahkan bergidik ngeri saat mengingat, bagaimana mengerikannya Wati melepaskan kepala dari badannya. "Ja-jadi itu benar Wati? Wati sudah mulai mencari mangsa?" gumam Harto, kedua matanya berkaca-kaca merasa iba dengan nasib adik sepupunya yang sudah mau berkorban untuk keluarga kecilnya. Ahmad mulai menceritakan semua yang ia lihat tanpa ada sedikitpun yang terlewat. Hatinya terasa sakit, saat mengingat sang pujaan hati berubah menjadi sosok menyeramkan. Saat semuanya sedang serius mendengar cerita Ahmad. Suara teriakan dari jalan depan rumah, membuat mereka semua terdiam. 'Kuyang' 'Kejar kuyang itu!' Suara teriakan orang saling bersahutan. Hal itu sontak saja
Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.
Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,