1 bab lagi sampai bab 99 ya 🤗
“Liam,” panggil Nicholas sembari selangkah mendekat pada William. “Aku bertanya karena khawatir.” “Pada siapa?” sahut William sebelum sempat Nicholas menjelaskan. “Khawatir pada Lilia karena kamu menyimpan perasaan padanya, ‘kan?” “Tidak bisakah kamu bersikap lebih tenang? Emosimu selalu meledak seperti—“ “Tenang di depan orang yang terlihat jelas menginginkan apa yang aku miliki?” potong William seraya mengangkat dagunya. “Dengar ini, Nic!” katanya menekan. “Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu khawatirkan! Aku bisa mengatasinya, tidak perlu bantuanmu! Jangan mendekat pada Lilia atau berpikir bisa mengambilnya dariku. Berhentilah ikut campur!” Nicholas menghela dalam napasnya, kedua bahunya yang bidang dan terbalut di dalam setelan jasnya yang rapi itu merosot penuh dengan rasa kecewa. “Dan berhenti berfantasi dengan istri orang, apalagi itu adik iparmu!” imbuh William. “Jika kamu masih terus ikut campur, dan sesuatu yang buruk terjadi pada hubunganku de
Gretha tak serta merta menjawab Lilia. Ia menunduk, terlihat ingin menyembunyikan kondisi perutnya yang memang membuncit. Untuk beberapa saat, keheningan yang menghampiri mereka itu menumbuhkan duri di dalam hati Lilia. Kebekuan di antara mereka runtuh saat Gretha akhirnya mengangguk membenarkan apa yang ia katakan. “Iya,” jawabnya. “Seperti yang kamu lihat.” Wajahnya terangkat, membalas tatapan Lilia dengan netranya yang mengembun. Seolah penderitaan dan segala beban terhimpun di sana. Bibir Lilia gemetar saat ia melepas tangannya dari Gretha, tenggorokannya terasa serak, tak mampu bersuara. Ia ingin memungkiri bahwa kehamilan itu tak ada hubungannya dengan William. Tapi ... Lilia sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu antara suaminya dan wanita di hadapannya ini. “Aku tidak perlu menjelaskannya, ‘kan?” tanya Gretha dengan suara yang terdengar parau. Senyumnya tampak pahit saat ia menatap Lilia dan mengusap perutnya. “Semua yang aku katakan itu jujur, Lilia
‘Tidak sia-sia aku mengikutinya,’ batin Gretha. Ini semua bukanlah ketidaksengajaan. Ia memang mencari kesempatan agar bisa bertemu dengan Lilia. Mengingat peringatan William yang memperingatkan agar tak mendekat pada Lilia membuatnya harus putar otak mencari cara. Selama beberapa hari ia terus mengikuti Lilia pada jam ia menjemput Keano pulang dari sekolah. Dari sana, kesempatan terbentuk. Melihat sedan mewah—yang seakan telah menjadi milik Lilia itu—berbelok ke minimarket, Gretha juga melakukan hal yang sama. Selagi Lilia masih belum keluar dari mobilnya, Gretha bergegas masuk ke dalam lebih dahulu. Di sanalah ia akhirnya bisa bertatap muka dengan Lilia. Dan sepertinya … air matanya ini cukup. Ia mengusap pipinya sekali lagi. “Kamu tidak akan mendapatkan William begitu saja, Lilia,” katanya seorang diri. Gretha tertawa lirih saat menyadari bahwa sepertinya William sangat mencintai Lilia. Ia pernah sekali hampir bertamu di rumah William sebelum ia menyaksikan rumah itu men
“Akan kamu bawa ke mana hubungan kita ini?” lanjut Lilia dengan suaranya yang terasa serak dan gemetar. “Bukankah jika itu terbukti benar pada akhirnya kamu harus menikahi Nona Gretha? Jika itu terjadi, hubungan seorang William Quist dan Gretha Roseane lah yang akan diberi restu.” ‘Lalu selamanya aku akan menjadi istri kedua,’ batin Lilia melanjutkan dalam hati. Yang selanjutnya terjadi adalah tekanan datang dari mereka semua yang menyebut bahwa dirinya tidak diterima di keluarga ini dan mau tak mau harus pergi. “Lalu kamu akan pergi?” tanya William seolah bisa membaca isi kepalanya. Lilia terkesiap dan terjaga dari pikiran sesaat itu. Bibirnya terbuka hampir menjawab William sebelum pria itu selangkah mendekat dan mengatakan, “Aku tidak mau membahas ini, Lilia!” ucapnya tegas dan menekan. “Aku tidak akan menikahi Gretha.” Tatapan mereka bertemu di bawah cahaya terang. Tapi meski demikian, Lilia merasa seolah ruangan di sekitarnya gelap, terserap dan tunduk oleh dinginnya cara Wi
“Ternyata bukan hanya aku yang merasa begitu,” kata William yang membuat Giff terkejut mendengarnya. “Jadi Anda juga merasa seperti itu?” tanya Giff memastikan maksud kalimatnya. “Iya,” jawabnya. “Aku ingat dulu saat Ivana hamil Keano tidak seperti itu, Giff. Maksudku—baik, kehamilan memang berbeda-beda tergantung bagaimana ibunya, tapi tidak dengan Gretha. Aku hanya merasa dia … entahlah!” William mendorong napasnya dengan kasar, jemarinya menyelinap di rambut hitamnya, ia bawa ke belakang dengan sedikit tarikan agar otot-otot di pelipisnya itu tak terus terasa tegang. “Haruskah saya mencari tahu dengan siapa Gretha bertemu sebelumnya?” tawar Giff sekali lagi. “Bukankah bisa saja dia mengaku hamil karena hasil hubungannya dengan pria lain makanya hari itu dia menjebak Anda? ini hanya sebatas dugaan, tapi melihat dari sikapnya bukankah kita boleh saja curiga?” William tak begitu saja menanggapi Giff. Ia masih mencoba memahaminya, dan sepertinya pemuda itu lebih cekatan pemikiranny
Lilia melihat Agni yang berjalan mendekat padanya, sepertinya juga sedang memeriksa keributan yang pecah dari arah ruang tamu. “Tuan sedang bersama Nyonya Donna, Nona Lilia,” ucapnya setibanya ia tiba di hadapan Lilia. “Bu Agni, boleh minta tolong untuk menemani Keano sebentar?” pintanya. “Jangan boleh keluar dulu sampai Nyonya Donna pergi.” “Baik, Nona.” Agni berlalu pergi untuk masuk ke dalam kamar Keano. Sementara Lilia hendak melanjutkan langkah untuk pergi ke dapur dan menyiapkan susu anak lelakinya. Tapi hal itu urung ia lakukan saat mendengar sekali lagi tudingan Nyonya Donna pada William yang membuat kakinya terpancang di lantai. “Semua orang membicarakan keluarga kita gara-gara kamu lepas tangan!” “Dari mana ‘semua orang’ yang Mama sebutkan itu tahu?” tanya William balik. Suaranya terdengar berat dan enggan. Meski Lilia tak berhadapan dengannya, tapi dari nada bicaranya itu Lilia bisa membayangkan sekesal apa ekspresinya. “Aku tidak pernah memberitahu orang l
Lilia mendengar suara gemericik air. Karena William tak menjawab panggilannya, ia berpikir bahwa pria itu berada di sana. Lilia mengayunkan kakinya untuk meninggalkan serpihan benda pecah belah yang berserakan di lantai itu. Ia melewati ruang ganti di kamar William yang sangat besar untuk menuju ke kamar mandi. Pintunya tak ditutup, sehingga ia dapat menjumpai William yang tengah berdiri di dalam sana, sedang membasuh tangannya di wastafel. Lilia terdiam beberapa lama di dekat pintu sebelum memberanikan diri untuk bertanya. “Apa yang terjadi?” Pria itu mengangkat wajah dan memutar kepalanya pada Lilia. Bibirnya mengatup bahkan setelah ia menegakkan punggungnya dan mengeringkan tangannya dengan tisu yang digapainya dari dispenser yang ada di dinding. “Tidak terjadi apa-apa,” jawab William akhirnya. Tapi Lilia tahu itu bohong. Noktah merah darah segar yang tadi dilihatnya berceceran di lantai menjawab lebih banyak ketimbang ‘tidak terjadi apa-apa’ yang keluar dari bibirnya. Lilia
Dengan gugup, Lilia membalas pelukan William. Beberapa saat sebelum pria itu menarik dirinya dan mengatakan akan menuruti saran Lilia “Baik, aku akan tidur di kamarnya keano,” putusnya. Lilia lebih dulu bangun dari duduknya. Mengembalikan kotak obat itu ke tempat semula dan berjalan meninggalkan William yang menyusulnya tak lama kemudian. “Kamu mendengar aku bertengkar dengan Mama tadi?” tanya William dari belakangnya saat mereka menuruni tangga. “Iya,” aku Lilia. “Mama bilang semua orang tahu jika Gretha sedang hamil. Aneh, ‘kan? “Aneh bagaimana?” tanya Lilia balik. “Aneh karena mereka menyebut bahwa itu adalah anakku,” jawabnya. “Bagaimana mereka bisa bilang begitu jika tidak ada yang memulainya? Gretha, atau mungkin Nyonya Bertha itu yang menyebarkan beritanya lebih dulu. Mereka pasti sakit hati karena aku tidak mau bertanggung jawab!” Mereka tiba di ujung anak tangga, Lilia sekilas menoleh pada William dan menyetujuinya. “Bisa jadi,” katanya. “Mulai sekarang aku akan melaku
Secara biologis, Henry lah ayah dari anak yang tengah ia kandung ini. Tapi sampai mati pun ia tak akan pernah mengakui itu.“Gretha?” panggil Reynold setelah Gretha hanya terus terdiam.Gretha kembali memandangnya dan tersenyum sinis. “Kenapa kamu sangat ingin tahu, Rey?” tanyanya. “Berapa kali harus aku katakan bahwa apa yang terjadi padaku ini bukan urusanmu, jadi berhentilah ingin tahu!”Dagunya sedikit terangkat, gigi-giginya menggertak dengan geram sebelum ia menjadikan pria yang ada di hadapannya itu sebagai akar masalah.“Satu hal yang perlu kamu ketahui, semua ini terjadi karena dirimu, Reynold Aarav!”“Kenapa aku?” balas Reynold dengan suara yang gemetar seolah ia juga sama geramnya. “Kenapa aku, Gretha? Sementara kamu lah yang memutuskan hubungan ini. Jika memang kamu bahagia dengan keluarga barumu, aku hanya ingin mengucapkan selamat dan meminta pria itu untuk menjagamu, itu saja!”Reynold seakan tak peduli setinggi apa nada bicaranya sekarang ini. Hatinya masygul mendapatk
Gretha sedang berada di salah satu kafe yang tak jauh dari Seans Holdings.Ia duduk seorang diri di dekat jendela dengan kedua tangannya yang menggenggam erat gelas minuman yang beberapa saat lalu ia pesan. Meratapi dengan penuh kebencian atas kondisi dirinya yang sedang hamil. Sebuah hal yang mencolok karena orang-orang di sekitarnya datang bersama dengan teman mereka atau bahkan pasangan—sesuatu yang Gretha tak miliki sekarang ini.Di saat orang lain menikmati hidup mereka, ia malah memiliki beban yang besar karena membawa kehidupan lain di dalam dirinya akibat kesalahan satu malam dengan pria yang tak ia harapkan sama sekali.‘Kenapa dia tidak mati saja sih?’ batin Gretha dengan kesal, sekilas menunduk memandang perutnya yang telah tak bisa disembunyikan lagi. ‘Kalau dia mati aku tidak akan membawanya ke sana ke mari seperti ini!’‘Dia’ yang dimaksudkannya adalah anak di dalam kandungannya itu. Anak yang tak pernah ia harapkan akan lahir ke dunia ini!Ia menghela dalam napasnya da
Jantungnya seakan lepas. Lilia menelan ludahnya dengan pelan saat ia berpegangan pada leher William dan melingkarkan kedua tangannya di sana.William tersenyum saat ia menarik wajahnya dan bertanya, “Apakah kamu masih meragukanku sekarang, Nona Leonora?”“T-tidak,” jawab Lilia dengan gugup, mencoba menghindari manik gelapnya yang memikat dengan menyembunyikan netranya di bawah bulu mata.Lilia merasakan kedua lengan berotot William mengendur saat ia melepas dan menurunkannya pelan-pelan sehingga ia bisa menginjak halaman berumput sekarang.“T-terima kasih,” kata Lilia dengan masih sama gugupnya.Suaranya pasti terdengar gemetar di indera pendengar William.“Sama-sama,” balas William dengan nada bicaranya yang tenang, yang berbanding terbalik dengan detak jantung Lilia yang memburu, seolah akan membuatnya pingsan.“Saya baru saja berpikir Anda akan sengaja menjatuhkan saya tadi,” kata Lilia.“Jika itu aku lakukan, bukankah aku tidak akan mendapat restu dari Papa Alaric karena aku menya
Lilia memejamkan matanya dengan frustrasi, sebuah hal yang berbanding terbalik dengan William yang terlihat sangat senang.“Kamu ingin aku melakukan apa, Lilia?” tanya pria itu dari bawah sana yang membuat Lilia kembali menatapnya.“T-tolong betulkan tangganya saja biar saya bisa turun,” jawabnya.William tak serta merta menjawab Lilia. Ia lebih dulu memandang tangga itu sebelum mengatakan, “Hm … sepertinya tangganya tidak bisa dipakai.”“Kenapa?!”“Karena aku tidak akan menegakkannya.”Lilia sangat kesal mendengar betapa mudahnya kalimat itu dikatakan oleh William.“Apa memang Anda suka menggoda orang seperti ini?” tanya Lilia.Belum sempat William menjawab, mereka memandang kedatangan orang lain dari belakangnya. Giff yang memanggil tuannya itu. “Tuan William, saya—“Giff berhenti bicara saat tiba di samping William dan melihat ke atas sebelum memalingkan wajahnya. “T-tidak jadi,” katanya. “Selesaikan dulu!”Pemuda itu pergi, bergegas meninggalkan halaman belakang rumah, memberikan
“Masuklah, Lilia!” kata William dari ambang pintu. “Kalau kamu berdiam diri di sana kamu akan tertular si Giffran Alfrond yang cerewet itu!”Lilia kemudian masuk ke dalam rumah, menyusul William yang menunggunya mendekat kemudian mereka menuju ke ruang makan.Lilia membantu Alya untuk menyiapkan makanan sebelum akhirnya mereka semua duduk di sana untuk santap sore—karena William lapar.Giff yang duduk di samping Keano terlihat memeriksa ponselnya dengan serius hingga William berdeham dan pemuda itu dengan cepat meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja—yang bagi Lilia suara William yang baru terdengar itu ia artikan sebagai sebuah teguran.Yang jika William bicara barangkali ia akan mengatakan, ‘Taruh ponselmu! Tidak sopan!’“Maaf,” kata Giff akhirnya. “Saya baru saja menerima pesan, setelah ini kita harus meeting online dengan orang dari Sada Construction dan desainer dari luar negeri yang akan mengerjakan interior ruangan di dalam sekolah itu, Tuan William,” terangnya.
Lilia berdeham, kemudian menunduk agar tak bertemu pandang dengan William.“Sepertinya sangat aneh,” kata Lilia.“Aneh kenapa?”“Karena Anda mencintai saya. Bagaimana Anda bisa jatuh cinta pada anak pelayan?”“Kamu ‘kan bukan anak pelayan?” tanya William balik.“I-itu ‘kan sekarang. Tapi dulu saat Anda mengatakan itu … bukankah Anda tahunya saya adalah anak angkat seorang pelayan?”“Memangnya ada peraturan yang mengatakan dengan siapa seseorang boleh atau tidak boleh jatuh cinta?” sanggah William. “Jika yang diatur itu adalah aku, akan aku hancurkan peraturannya, orang yang membuat aturan itu sekalian.”“T-tidak seperti itu maksud saya.” Lilia akhirnya menatap pria itu lagi, kalimatnya yang baru saja ia katakan itu terdengar tak bisa dibantah—dan sepertinya ia sungguh-sungguh saat mengatakan akan menghancurkan peraturan yang melarangnya jatuh cinta pada siapa.“Jadi?”“Saya hanya merasa aneh, itu saja,” kata Lilia.“Jika aku yang jatuh cinta padamu kamu anggap aneh, mungkin jika kamu
“Kenapa kamu bangun?” tanya William setelah Lilia menyebutkan namanya.“Bukannya saya yang harus bertanya?” tanya Lilia balik seraya bangun, duduk dan merapikan rambutnya. “Kenapa Anda tidak tidur?”“Tidak apa-apa, senang saja melihatmu dan Keano bisa bersamaku, Lilia,” jawabnya. “Hal yang sebelumnya sepertinya sudah pupus dari harapanku kita akan bisa seperti ini lagi. Terima kasih karena kamu mau menginap denganku di sini.”“Bukankah saya sudah pernah bilang, jika itu bertujuan untuk membuat Keano senang, saya pasti akan setuju.”Di bawah temaramnya lampu kamar hotel itu, Lilia bisa melihat senyum manis William saat pria itu mengangguk sebagai tanggapan atas ungkapannya.Mata Lilia berpindah dari iris kelamnya ke atas meja. Pada sekotak rokok yang ada di atas asbak keramik yang mencuri perhatiannya. “Apa Anda merokok juga?” tanya Lilia memberanikan diri.“Itu milik Giff.”“Pak Giff masih muda, kenapa dia merokok?” gumam Lilia yang jelas bisa didengar oleh William.“Hanya sesekali s
“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?”Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga.“Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming.Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….”Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya.“Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?”Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu.“Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu.Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi meninggalk
Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan—“Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana.Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya.“Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.”“Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu.Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki.“Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagaimana?”