William kenapa? 🥹 buku ini update setiap hari pukul 12.30 WIB ya akak semua 🤗 jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan, vote juga buat William Lilia Keano 🎉 thankyou so much, sampai jumpa besok lagi 🩷
Lilia mendengar suara gemericik air. Karena William tak menjawab panggilannya, ia berpikir bahwa pria itu berada di sana. Lilia mengayunkan kakinya untuk meninggalkan serpihan benda pecah belah yang berserakan di lantai itu. Ia melewati ruang ganti di kamar William yang sangat besar untuk menuju ke kamar mandi. Pintunya tak ditutup, sehingga ia dapat menjumpai William yang tengah berdiri di dalam sana, sedang membasuh tangannya di wastafel. Lilia terdiam beberapa lama di dekat pintu sebelum memberanikan diri untuk bertanya. “Apa yang terjadi?” Pria itu mengangkat wajah dan memutar kepalanya pada Lilia. Bibirnya mengatup bahkan setelah ia menegakkan punggungnya dan mengeringkan tangannya dengan tisu yang digapainya dari dispenser yang ada di dinding. “Tidak terjadi apa-apa,” jawab William akhirnya. Tapi Lilia tahu itu bohong. Noktah merah darah segar yang tadi dilihatnya berceceran di lantai menjawab lebih banyak ketimbang ‘tidak terjadi apa-apa’ yang keluar dari bibirnya. Lilia
Dengan gugup, Lilia membalas pelukan William. Beberapa saat sebelum pria itu menarik dirinya dan mengatakan akan menuruti saran Lilia “Baik, aku akan tidur di kamarnya keano,” putusnya. Lilia lebih dulu bangun dari duduknya. Mengembalikan kotak obat itu ke tempat semula dan berjalan meninggalkan William yang menyusulnya tak lama kemudian. “Kamu mendengar aku bertengkar dengan Mama tadi?” tanya William dari belakangnya saat mereka menuruni tangga. “Iya,” aku Lilia. “Mama bilang semua orang tahu jika Gretha sedang hamil. Aneh, ‘kan? “Aneh bagaimana?” tanya Lilia balik. “Aneh karena mereka menyebut bahwa itu adalah anakku,” jawabnya. “Bagaimana mereka bisa bilang begitu jika tidak ada yang memulainya? Gretha, atau mungkin Nyonya Bertha itu yang menyebarkan beritanya lebih dulu. Mereka pasti sakit hati karena aku tidak mau bertanggung jawab!” Mereka tiba di ujung anak tangga, Lilia sekilas menoleh pada William dan menyetujuinya. “Bisa jadi,” katanya. “Mulai sekarang aku akan melaku
Setelah mengantar Keano ke sekolah, untuk ke sekian kalinya tanpa lelah Lilia pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibunya. Ia sudah mengatakan pada William bahwa ia akan pergi ke sini tadi. Dengan diantar oleh Ron, akhirnya Lilia bisa melihat keadaan sang ibu yang hingga detik ini masih terbaring tak berdaya di dalam ruang ICU. Tapi pagi hari ini tampak sedikit lain karena Lilia melihat seorang dokter dan beberapa orang perawat yang ada di dalam, terlihat memeriksa ibunya. Lilia harap, saat mereka keluar nanti yang dibawa untuknya adalah sebuah kabar yang baik. Satu per satu dari mereka keluar dari dalam ruangan, menyapa Lilia hingga dokter yang menangani sang ibu itu berhenti di dekatnya dengan seulas senyum yang merekah. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dokter?” tanya Lilia setelah menundukkan kepala untuk menyapa beliau. “Sangat baik, Bu Lilia,” jawab beliau. “Bu Alya sudah memberikan respon yang baik, sudah bisa menggerakkan jari tangannya dan membuka mata. Jika beliau te
“Tanda lahir?” ulang Tuan Alaric setelah kalimat Lilia. “Iya, Tuan, tanda lahir,” jawab Lilia. “Kenapa dengan itu?” Tuan Alaric menggeleng, “Tidak apa-apa,” ucap beliau. “Hanya saja sepertinya aku luput melihat itu dari kakimu selama ini dan baru melihatnya dengan jelas sekarang.” Mereka menoleh ke arah pintu ruang rawat yang terbuka dan muncullah seorang perawat yang menghampiri mereka. “Hari ini Anda ditemani oleh anak Anda, Pak Alaric?” sapa perawat yang mendekat dan mengecek kantong infus yang tergantung di atas. “B-bukan, Suster,” jawab Lilia dengan cepat. “S-saya bukan anaknya Tuan Alaric.” Lilia takut pria paruh baya itu kesal karena dirinya yang hanya seorang anak pelayan disebut perawat sebagai anaknya, pria terhormat yang status sosialnya jauh terlampau tinggi ketimbang Lilia yang bukan siapa-siapa. “Oh, bukan?” ucap perawat tersebut, terkejut dengan kalimat Lilia. Perempuan berkalungkan name tag itu tampak memandangi Lilia dan Tuan Alaric bergantian sebelum k
Untuk lebih dari enam puluh detik berlalu William tak bisa menggerakkan bibirnya. Ia tertegun—atau lebih tepatnya bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya ini. Apalagi saat ia melihat Lilia dengan mendekat, begitu juga dengan Keano yang digendong oleh Agni. William baru tahu jika semua orang di dalam rumahnya berkumpul untuknya. Sebuah hal yang tak pernah dilihat oleh William selama ini. “Semuanya merencanakan ini tanpa aku tahu?” tanyanya, mengedarkan pandang pada Lilia, Keano, para pelayan dan semua penghuni rumah yang ada di sana. “Kalau kamu tahu, bukan kejutan ‘kan namanya?” tanya Lilia balik. “Terima kasih,” jawab William. “Ini memang mengejutkan sekali.” William menunduk untuk meniup lilin. Tepuk tangan teriring setelah ia melakukan itu. Ia lalu mengalihkan pandang pada Lilia, selangkah lebih dekat meraih dagu kecil itu, membiarkan jemarinya menjuntai menyentuh rahangnya sebelum ia menjatuhkan bibirnya pada Lilia. Beberapa detik momen manis itu terjadi kemudian Wi
Segera setelah mendapatkan kabar itu, Lilia memberi tahu William. Maka dengan diantar oleh Ron, Lilia pergi ke rumah sakit. Lengkap dengan Keano yang ikut dengannya. Sesampainya di sana, Lilia mengira ibunya ada di ruang rawat biasa. Tapi ia salah, beliau ada di ruang rawat paling bagus di rumah sakit itu. Saat pintu berdaun dua itu terbuka, Lilia bisa melihat seorang perawat yang ada di dalam. Wanita berseragam itu menyisih begitu melihat Lilia yang berlari masuk ke dalam kamar. “Ibu,” panggil Lilia dengan suara yang gemetar. Ia memeluk ibunya dengan tak bisa menahan tangis haru. Untuk beberapa lama ruangan itu hanya dipenuhi oleh isak tangis Lilia yang teramat bahagia karena perjumpaan dengan ibunya telah menjadi nyata. “Seperti tidak bertemu denganmu puluhan tahun lamanya, Lilia,” ucap sang Ibu setelah menarik dirinya yang tengah memeluk Lilia dengan erat. “Akhirnya Ibu bisa melihat kamu yang cantik ini.” Ibu jarinya mengusap pipi Lilia yang basah oleh air mata, bibirnya yang
“Ada apa, Lilia?” tanya William yang membuat Lilia terkejut. Ia yang tadinya menunduk dengan gegas mengangkat wajahnya kemudian menatap William. “Ada apa?” tanya William sekali lagi. “Kenapa kamu diam saja?” Lilia tak serta merta menjawabnya. Ia berpikir, haruskah ia katakan kekhawatiran itu pada William? Tapi jika dirasakan lebih jauh, sebenarnya ia merasa tidak nyaman. Mempertimbangkan agar tak terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya, serta tahu ia tak bisa berbohong pada William yang bisa membaca gelagatnya sekarang ini, Lilia memutuskan untuk jujur. “A-ada sesuatu yang menggangguku,” jawab Lilia akhirnya. “Katakan padaku,” sambut William. “Apa yang mengganggumu itu?” “Ibu tadi bilang sesuatu seperti ‘tidak akan bangun lagi setelah orang itu mencelakainya’,” jawab Lilia. “Orang siapa maksudnya, itu yang menggangguku. Maksudnya—baik, memang akhirnya Ibu divonis mengalami gagal hati, tapi awalnya … apa Ibu yang katanya jatuh di kamar mandi itu adalah sebuah kesengajaan?” Willi
“Apa Lilia adalah Leonora?” tanya Alaric seorang diri, menduga-duga. Ia duduk dan menatap album itu dengan matanya yang terasa perih. ‘Apa itu yang ingin dikatakan oleh Alya sebelum dia koma?’ Dadanya terasa sesak saat menjumpai kenyataan bahwa tanda lahir kemerahan di kaki Lilia yang beberapa hari dilihatnya itu terbukti sama dengan tanda lahir milik Leonora. Alaric pikir, jika diingat-ingat … memang ia tidak tahu seperti apa masa kecil Lilia, seperti apa wajahnya saat ia kecil. Yang ia tahu, Lilia bukan anak kandung Alya. Alya mengatakan padanya bahwa gadis itu diadopsi dari panti asuhan saat berumur dua tahun. Lalu Alya membawanya masuk ke rumah ini saat anak itu di akhir sekolah dasar, saat akan menginjak sekolah menengah pertama. Alaric juga tak banyak memperhatikannya karena mereka jarang bertemu. Alya dan anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah belakang, menyiapkan makanan dan bertanggung jawab pada taman. “Apa mungkin Alya berbohong saat mengatakan kalau L
"Karena aku pikir kamu melakukan sesuatu dengan Nicholas saat kamu pergi dengannya waktu itu," aku William, apa yang ia katakan sekarang sama dengan kebingungan yang tadi dilihat oleh Lilia sebelumnya saat pria itu menanyakan apakah ia masih perawan.Lilia tersenyum mendengar pengakuan itu, "Makanya saat itu kamu sangat marah padaku?" tanyanya. "Karena kamu berpikir aku dan Nicholas melakukan sesuatu di belakangmu padahal saat itu masih dalam suasana berduka?"William mengangguk sebagai jawaban, "Iya. Ternyata aku benar-benar terlalu jauh menuduhmu.""Apakah setelah ini kamu masih akan mengatakan bahwa aku dan Nich—""Tidak, Lilia ...."William menyentuh rahang kecilnya, menunduk membuat mereka menjadi lebih dekat dan mendaratkan sebuah kecupan di sana."Apa rencanamu setelah ini, William?" tanya Lilia pada William yang mendekapnya dan membuat Lilia meringkuk di dada bidangnya."Melanjutkan laporan soal Gretha yang sudah membakar vila, dan membuktikan bahwa bukan aku yang sudah membua
Api yang membakar mereka telah padam ....Lilia masih terdiam, merasakan bunga yang tumbuh di sela-sela retakannya yang kini hampir tak lagi dijumpai sakitnya.Ia melihat William menarik dirinya, pria itu beranjak turun dari tempat tidur setelah membelai lembut rambut Lilia dan membisikkan ia akan kembali sebentar lagi.Lilia bisa melihat siluet tubuhnya yang sempurna, yang menghilang selama beberapa detik dari pandangannya sebelum ia kembali dalam balutan sleep wear berwarna gelap yang telah menutup tubuhnya."Kamu bisa bangun?" tanyanya pada Lilia yang masih terbaring tak berdaya dan belum lama menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.Ia mengangguk dan menerima tangan William saat pria itu membantunya bangun."Kamu mau pakai gaun tidurmu yang tadi atau piyama yang aku ambilkan?" tawar William seraya menunjukkan pakaian tidur yang berwarna seperti miliknya, dan pada gaun tidur yang sebelumnya telah ia tanggalkan dan ia jatuhkan ke lantai."Yang manapun boleh," jawab Lilia lirih.Ia m
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan