mau lagi kah?? 1 bab lagi ya 🤗 tapi tunggu dulu 😹 Thor akan baca komentar dan teori-teori dari akak reader-nim sekalian yuhuuuuu
“Ada apa, Lilia?” tanya William yang membuat Lilia terkejut. Ia yang tadinya menunduk dengan gegas mengangkat wajahnya kemudian menatap William. “Ada apa?” tanya William sekali lagi. “Kenapa kamu diam saja?” Lilia tak serta merta menjawabnya. Ia berpikir, haruskah ia katakan kekhawatiran itu pada William? Tapi jika dirasakan lebih jauh, sebenarnya ia merasa tidak nyaman. Mempertimbangkan agar tak terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya, serta tahu ia tak bisa berbohong pada William yang bisa membaca gelagatnya sekarang ini, Lilia memutuskan untuk jujur. “A-ada sesuatu yang menggangguku,” jawab Lilia akhirnya. “Katakan padaku,” sambut William. “Apa yang mengganggumu itu?” “Ibu tadi bilang sesuatu seperti ‘tidak akan bangun lagi setelah orang itu mencelakainya’,” jawab Lilia. “Orang siapa maksudnya, itu yang menggangguku. Maksudnya—baik, memang akhirnya Ibu divonis mengalami gagal hati, tapi awalnya … apa Ibu yang katanya jatuh di kamar mandi itu adalah sebuah kesengajaan?” Willi
“Apa Lilia adalah Leonora?” tanya Alaric seorang diri, menduga-duga. Ia duduk dan menatap album itu dengan matanya yang terasa perih. ‘Apa itu yang ingin dikatakan oleh Alya sebelum dia koma?’ Dadanya terasa sesak saat menjumpai kenyataan bahwa tanda lahir kemerahan di kaki Lilia yang beberapa hari dilihatnya itu terbukti sama dengan tanda lahir milik Leonora. Alaric pikir, jika diingat-ingat … memang ia tidak tahu seperti apa masa kecil Lilia, seperti apa wajahnya saat ia kecil. Yang ia tahu, Lilia bukan anak kandung Alya. Alya mengatakan padanya bahwa gadis itu diadopsi dari panti asuhan saat berumur dua tahun. Lalu Alya membawanya masuk ke rumah ini saat anak itu di akhir sekolah dasar, saat akan menginjak sekolah menengah pertama. Alaric juga tak banyak memperhatikannya karena mereka jarang bertemu. Alya dan anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah belakang, menyiapkan makanan dan bertanggung jawab pada taman. “Apa mungkin Alya berbohong saat mengatakan kalau L
“A-apa itu artinya semua kerja sama antara Seans Holdings dan Velox Corp putus?” tanya Gretha memperjelas. Alaric menggeleng menjawabnya, “Bukan kerjasamanya yang putus, tapi William tidak mau kerja sama terjadi jika kamu ikut andil, Gretha,” tuturnya. “Kenapa dia egois begitu?” tanya Bertha. “Zain bilang padaku bahwa di luar sana kabar menyebut jika yang membuat hamil Gretha adalah William. Siapa yang mengedarkan gosip itu? Apa itu kalian?” Alaric memindai Gretha dan ibunya yang tak menjawab. Hanya gestur tubuh mereka yang terlihat aneh dan di mata Alaric itu sedikit mencurigakan. Benaknya memprovokasi bahwa dugaannya itu benar—bahwa istri dan anak perempuannya itulah yang menyebarkan kabar hingga menimbulkan berita liar bak bola api di luar sana. Alaric menghela dalam napasnya, memberikan gelengan samar, enggan bicara lebih banyak. “Tapi bukankah itu tidak benar?” tanya Bertha kembali. “Mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaan bukan sesuatu yang bisa diwajarkan, bukan?” “Se
“Benar, namanya Henry, Pak Giff,” ucap Dany memperjelas. “Lalu di mana si Henry itu sekarang?” Dany menggeleng tak yakin. “Setahu saya masih bekerja dengan Pak Reynold,” jawabnya. “Pak Reynold masih berusaha membangun kembali bisnisnya itu dari awal. Saya jamin Henry tahu banyak soal hubungan Pak Reynold dan pacarnya yang bernama Gretha itu.” Giff diam-diam membenarkan hal itu juga. Jika memang Henry sering mengantar jemput Gretha, ada kemungkinan ia bisa menjadi saksi bahwa perempuan itu pernah melakukan hubungan bersama Reynold hingga membuatnya hamil. ‘Mungkin sekarang saatnya aku mencari di mana keberadaan si Henry itu.’ Tapi sebelumnya ia harus mengatakan hal yang ia temukan ini terlebih dahulu pada William. Setelah melakukan obrolan beberapa lama bersama dengan Dany, Giff lalu pergi dari sana. Ia menuju ke rumah William setelah menghubungi tuannya itu yang memang berada di rumah. Pintu gerbang tinggi yang ada di kawasan elit itu menyambutnya. Lengkap dengan si pem
Lilia sedang ada di dalam kamar Keano, bocah kecil itu sibuk menghubungkan garis putus-putus yang ada di bukunya sebelum mereka menoleh ke arah pintu yang terbuka saat melihat William datang dari sana. “Halo,” sapa William lebih dulu. “Keano sedang membuat apa itu?” “Menghubungkan garis, Papa,” jawab Keano tanpa memindahkan pandangannya dari buku. “Apa Pak Giff sudah pulang?” tanya Lilia setelah William duduk di sofa yang ada di sampingnya. “Sudah.” “Apa ada sesuatu yang tidak baik terjadi di kantor?” “Tidak ada,” jawab William sekali lagi. “Dia hanya bilang besok agar kita tidak lupa untuk pergi fitting baju pengantin di butik.” “Iya,” jawab Lilia. “Sudah selesai, Mama,” ucap Keano seraya bangun dari duduknya di kursi dan meja kecil kemudian mendekat pada Lilia. Menyerahkan buku dan hasil pekerjaannya pada Lilia yang menerimanya dengan tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Okay … bagus sekali, besok kita menghubungkan garis lagi dan membuat bentuk ya?” Keano mengangguk dengan
Lilia tertegun untuk lebih dari enam puluh detik. ‘Cinta dalam hidupku?’ ucapnya dalam hati, membaca apa yang tertera di layar ponselnya—hasil pencariannya terhadap apa arti dari ‘L’amour de ma vie’. Padahal … Lilia baru saja berpikir William memberinya nama yang aneh. Tapi artinya justru membuat Lilia merinding sekujur badan. Tak pernah ada di dalam pikirannya bahwa pria itu akan diam-diam bersikap seperti ini di belakangnya. Lilia putuskan … mulai hari ini ‘L’amour de ma vie’ akan menjadi kalimat favoritnya. “Mama!” panggil suara manis Keano yang datang dari sebelah kanannya sehingga ia dengan cepat mematikan layar ponsel milik William. Suara itu teriring dengan derap larinya saat memasuki ruangan, serta salah satu tangan yang membawa kembang gula kapas berukuran besar yang pasti ia dapatkan dari William—mungkin hasil memaksa untuk membelinya di tepi jalan. Beberapa detik kemudian William yang berjalan di belakangnya menampakkan kedatangannya. “WOAH!” Keano berseru de
Lilia seakan membeku di tempat ia berdiri. Tubuhnya meremang saat ia mengulang dalam hati, ‘A-anaknya Henry?!’ Ia tak salah dengar, ‘kan? Kakinya seakan terpancang dengan lantai tempat ia berpijak. Sedang Gretha yang ada di sana rupanya belum selesai bicara. “Pergilah, Henry!” usir Gretha pada pria bersurai hitam itu. “Jangan mengikuti aku lagi! Aku bisa hidup tanpamu!” “Tidak, Gretha,” jawab Henry sebagai sebuah penolakan. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Aku sudah melakukan apapun agar kamu memberiku kesempatan untuk bertanggung jawab,” tuturnya. “Aku lakukan semua yang kamu mau termasuk untuk membuat anak bernama Keano itu tenggelam.” “Semua itu memiliki tujuan,” sangkal Gretha. “Aku memintamu melakukan itu untuk menyingkirkan Lilia agar perempuan itu dibenci William, bukan untuk memberimu kesempatan. Jadi berhenti mengikutiku!” ‘Jadi benar mereka saling mengenal?’ batin Lilia begitu mendengar pengakuan itu. Ia tak pernah menyangka akan mendengar kebenaran dari pe
Tujuannya menemui Lilia sudah sangat jelas sekarang. Gretha ingin menunjukkan kondisi dirinya ini pada semua orang. Bahwa apa yang ia terima itu disebabkan oleh William—dan barangkali ini adalah bentuk pembalasan atas sakit hatinya karena sebuah penolakan. Kalimat itu dikatakan dengan sangat lantang sehinga dapat didengar oleh semua orang yang ada di sana. Mengakibatkan kegaduhan tepat setelah Gretha selesai berucap. “Apa maksudnya itu?” sahut salah seorang suara ibu muda yang berdiri di dekat mereka, pertanyaan yang kemungkinan besar juga sedang dipikul oleh semua telinga yang mendengarnya. “Maksudnya suaminya menghamili Nona itu?” sambung yang lainnya. “Tunggu sebentar! Bukankah suami dari Bu Lilia adalah pria bernama Tuan William itu?” “Astaga! Jadi yang menghamili Nona itu adalah Tuan William? CEO Velox Corp?” “Apa yang sedang terjadi di depan kita ini?” Bisikan saling sahut, menyambung tanpa henti seperti pita mobius yang tak berujung. Pandangan mereka saling menghakimi
Membutuhkan waktu beberapa lama untuk Lilia pulih dan membawanya ke tempat ini.Berminggu-minggu berlalu, Alaric masih belum bisa melihat bahwa anak perempuannya itu mengingat kembali siapa sebenarnya Keano dan William.Ia tak pernah mendesak Lilia untuk mengingatnya. Asalkan ia bahagia dalam rasa aman di sini, baginya itu sudah cukup.Ia juga memperbolehkannya yang berkeinginan menjadi guru di preschool kecil yang tak jauh dari rumah yang saat itu membutuhkan guru tambahan. Setelah keadaan sedikit membaik dan Alaric melihat William yang jauh lebih tenang, ia berpikir bahwa sudah waktunya memberi William ‘hadiah’ untuk kesabarannya selama ini, yakni mempertemukannya kembali dengan Lilia dan Keano.Begitulah semuanya terjadi ….Alaric terjaga dari ingatan panjangnya itu saat ponsel yang ada di atas mejanya berdering. Sebuah kamar hotel yang ditinggalinya tanpa William atau pun Giff tahu bahwa sebenarnya ia ikut dalam kunjungan ini.“Saya keluar dulu, Tuan,” ucap Zain. “Hubungi saya ka
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel