L'AMOUR DE MA VIE 🫀 CINTA DALAM HIDUPKU ☺️😭 help manis banget Bapaknya Keano 😭😭 ini bonus ke 2 nya yah akak... Thor lunas yah ☺️
Lilia tertegun untuk lebih dari enam puluh detik. ‘Cinta dalam hidupku?’ ucapnya dalam hati, membaca apa yang tertera di layar ponselnya—hasil pencariannya terhadap apa arti dari ‘L’amour de ma vie’. Padahal … Lilia baru saja berpikir William memberinya nama yang aneh. Tapi artinya justru membuat Lilia merinding sekujur badan. Tak pernah ada di dalam pikirannya bahwa pria itu akan diam-diam bersikap seperti ini di belakangnya. Lilia putuskan … mulai hari ini ‘L’amour de ma vie’ akan menjadi kalimat favoritnya. “Mama!” panggil suara manis Keano yang datang dari sebelah kanannya sehingga ia dengan cepat mematikan layar ponsel milik William. Suara itu teriring dengan derap larinya saat memasuki ruangan, serta salah satu tangan yang membawa kembang gula kapas berukuran besar yang pasti ia dapatkan dari William—mungkin hasil memaksa untuk membelinya di tepi jalan. Beberapa detik kemudian William yang berjalan di belakangnya menampakkan kedatangannya. “WOAH!” Keano berseru de
Lilia seakan membeku di tempat ia berdiri. Tubuhnya meremang saat ia mengulang dalam hati, ‘A-anaknya Henry?!’ Ia tak salah dengar, ‘kan? Kakinya seakan terpancang dengan lantai tempat ia berpijak. Sedang Gretha yang ada di sana rupanya belum selesai bicara. “Pergilah, Henry!” usir Gretha pada pria bersurai hitam itu. “Jangan mengikuti aku lagi! Aku bisa hidup tanpamu!” “Tidak, Gretha,” jawab Henry sebagai sebuah penolakan. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Aku sudah melakukan apapun agar kamu memberiku kesempatan untuk bertanggung jawab,” tuturnya. “Aku lakukan semua yang kamu mau termasuk untuk membuat anak bernama Keano itu tenggelam.” “Semua itu memiliki tujuan,” sangkal Gretha. “Aku memintamu melakukan itu untuk menyingkirkan Lilia agar perempuan itu dibenci William, bukan untuk memberimu kesempatan. Jadi berhenti mengikutiku!” ‘Jadi benar mereka saling mengenal?’ batin Lilia begitu mendengar pengakuan itu. Ia tak pernah menyangka akan mendengar kebenaran dari pe
Tujuannya menemui Lilia sudah sangat jelas sekarang. Gretha ingin menunjukkan kondisi dirinya ini pada semua orang. Bahwa apa yang ia terima itu disebabkan oleh William—dan barangkali ini adalah bentuk pembalasan atas sakit hatinya karena sebuah penolakan. Kalimat itu dikatakan dengan sangat lantang sehinga dapat didengar oleh semua orang yang ada di sana. Mengakibatkan kegaduhan tepat setelah Gretha selesai berucap. “Apa maksudnya itu?” sahut salah seorang suara ibu muda yang berdiri di dekat mereka, pertanyaan yang kemungkinan besar juga sedang dipikul oleh semua telinga yang mendengarnya. “Maksudnya suaminya menghamili Nona itu?” sambung yang lainnya. “Tunggu sebentar! Bukankah suami dari Bu Lilia adalah pria bernama Tuan William itu?” “Astaga! Jadi yang menghamili Nona itu adalah Tuan William? CEO Velox Corp?” “Apa yang sedang terjadi di depan kita ini?” Bisikan saling sahut, menyambung tanpa henti seperti pita mobius yang tak berujung. Pandangan mereka saling menghakimi
“Dari tempat pelacuran?” ulang salah seorang ibu muda di dekat Lilia. “Oh, astaga … apakah itu benar?” “Memalukan sekali! Padahal wajahnya terlihat baik, jadi dia berasal dari—“ “Ssht!” cegah wali murid lain agar mereka berhenti berprasangka. Gunjingan kembali terjadi, lebih berisik daripada sebelumnya. Lilia menoleh pada Gretha sehingga pandangan mereka bersirobok. Wanita itu mendekat padanya dengan dagu yang sedikit terangkat, menunjukkan sebuah tanda kemenangan yang besar. “Kamu pikir aku tidak tahu bagaimana caramu kembali ke rumah William, Lilia?” tanya Gretha saat tiba lebih dekat di hadapannya. “Itu karena kamu dibawa William pergi dari tempat pelacuran, benar?” Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia tercenung lebih dari enam puluh detik berlalu. Batinnya ditumbuhi oleh kemelut saat mempertanyakan, ‘Dari mana dia tahu?’ Apa Gretha mencari tahu dengan menemui ayah angkatnya—Arya? ‘Lalu pria itu menyebut bahwa aku dibawa pergi ke tempat Madam Savannah?” Lilia mendorong
“Selamat malam,” sapa sebuah suara dari arah pintu ruang baca yang terbuka. Membuat Lilia dan Keano secara bersamaan menoleh ke sana, mereka menjumpai William yang tersenyum sepajang dua milimeter, memandang mereka bergantian. “Selamat malam,” balas Lilia dan Keano. Pria itu memperhatikan Keano yang kembali sibuk dengan puzzle baru yang tadi ia belikan. “Bagaimana mainannya, Keano? Suka?” “Suka, Pa,” jawab bocah kecil itu. “Tapi apakah besok kalau Papa membelikan Keano lagi boleh yang ukurannya lebih besar?” pintanya. “Yang ini sedikit kekecilan.” William mengangguk tak keberatan, “Bisa, Sayang. Besok Papa belikan yang ukurannya lebih besar.” “Terima kasih, Papa.” William kemudian mendekat pada Lilia, berdiri di dekat sofa tempat ia duduk. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya, memandang buku yang ada di hadapan Lilia. “Hanya membaca buku saja,” jawab Lilia. “Sambil menemani Keano menyelesaikan puzzle barunya.” Sepasang alis lebat William berkerut saat pria itu memindai wajahnya.
Zain tampak tercenung untuk beberapa lama. Pemuda itu bergeming dengan bibirnya yang terbuka tanpa suara hingga ia mengulangi apa yang baru saja disampaikan oleh Alaric. “Tes ... DNA?” “Iya, lihat apakah itu cocok denganku atau tidak,” jawab Alaric teriring kedua bahunya yang merosot. “Tapi jika boleh tahu, untuk apa Anda ingin melakukan tes kecocokan DNA antara Anda dan Nona Lilia, Tuan?” tanya pemuda itu, seperti tidak ingin memendam rasa penasarannya seorang diri. “Apa ada yang saya lewatkan di sini?” Alaric mengangguk, “Aku pikir dia adalah anakku yang hilang, Zain,” jawab Alaric. “Maksudnya Nona Leonora?” “Iya, Leonora yang hilang pada hari kecelakaan Agatha Countess, istriku terdahulu.” “Anda yakin?” Zain masih menunduk, mensejajarkan pandangannya pada sang tuan yang meremas erat setir bundar di hadapannya. “Ada beberapa kemiripan yang baru aku sadari,” ungkapnya. “Kamu harusnya juga ingat bagaimana perawat di rumah sakit mengatakan kami berdua mirip. Tanda lahir yang aku
‘Oh Tuhan—‘ Lilia dengan cepat kembali menutup pintu saat asap yang mengepul dari luar itu memaksa untuk masuk. Bara apinya yang telah menghabisi setiap benda di luar pasti akan tiba di kamar ini sebentar lagi. Lilia berlari ke arah ranjang, mengangkat Keano yang tengah terlelap ke gendongannya. Ia dekap anak lelakinya itu dengan erat. “Ada apa, Mama?” tanya Keano dengan suara yang serak, bocah kecil itu pasti terkejut karena Lilia tiba-tiba menggendongnya. Lilia tak menjawabnya. Kepanikan melandanya dalam sesaat. Ia melangkah mundur hingga punggungnya nyaris membentur dinding. Suara pintu berderak akibat dilahap api. Suara retakannya semakin lama semakin nyaring. Ruangan yang tadinya sejuk telah berubah menjadi panas. Lilia menoleh ke arah jendela, ia berpikir masih bisa melarikan lewat jendela tersebut. Tapi saat ia membawa Keano ke sana, ia menjumpai bahwa dari arah luar apinya justru lebih besar. Kobarannya menjebak Lilia dan Keano, memerangkap mereka. Lilia berteriak me
William membuka matanya saat mendengar suara klakson yang datang dari belakang mobilnya. Sebuah mobil pemadam kebakaran melintas mendahuluinya. Bahkan bukan hanya satu melainkan tiga sekaligus, berpacu sangat laju membuat Giff yang duduk di balik kemudi memilih untuk mengalah dan membiarkan mereka berlalu lebih dulu. Sirinenya memecah keheningan jalan yang mengantar William menuju ke vila yang akan ia tuju. Ia baru saja memejamkan matanya selama sepuluh menit di kursi belakang sejak mereka keluar dari Velox Corp. William mengeluh kepalanya sedikit pusing dan sekretarisnya itu memintanya agar tidur saja selama perjalanan. Tapi baru beberapa saat hal itu ia lakukan, klakson mobil pemadam kebakaran mengejutkannya. “Apa ada kebakaran?” tanya William seraya memandang jendela yang menunjukkan keadaan di luar yang mula ia gelap—tanda ia sedikit lambat menepati janjinya pada Lilia dan Keano untuk kembali ke vila setelah lewat tengah hari. “Sepertinya begitu, Tuan William,” jawab Giff da
Membutuhkan waktu beberapa lama untuk Lilia pulih dan membawanya ke tempat ini.Berminggu-minggu berlalu, Alaric masih belum bisa melihat bahwa anak perempuannya itu mengingat kembali siapa sebenarnya Keano dan William.Ia tak pernah mendesak Lilia untuk mengingatnya. Asalkan ia bahagia dalam rasa aman di sini, baginya itu sudah cukup.Ia juga memperbolehkannya yang berkeinginan menjadi guru di preschool kecil yang tak jauh dari rumah yang saat itu membutuhkan guru tambahan. Setelah keadaan sedikit membaik dan Alaric melihat William yang jauh lebih tenang, ia berpikir bahwa sudah waktunya memberi William ‘hadiah’ untuk kesabarannya selama ini, yakni mempertemukannya kembali dengan Lilia dan Keano.Begitulah semuanya terjadi ….Alaric terjaga dari ingatan panjangnya itu saat ponsel yang ada di atas mejanya berdering. Sebuah kamar hotel yang ditinggalinya tanpa William atau pun Giff tahu bahwa sebenarnya ia ikut dalam kunjungan ini.“Saya keluar dulu, Tuan,” ucap Zain. “Hubungi saya ka
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel