deg-degan tapi bukan degan 🥥🥥🥥 Thor update 2 bab yah 😬😬😬 ARE YOU READY FOR TOMORROW??? xixixi.... terima kasih sudah membaca ya 🤗
Zain tampak tercenung untuk beberapa lama. Pemuda itu bergeming dengan bibirnya yang terbuka tanpa suara hingga ia mengulangi apa yang baru saja disampaikan oleh Alaric. “Tes ... DNA?” “Iya, lihat apakah itu cocok denganku atau tidak,” jawab Alaric teriring kedua bahunya yang merosot. “Tapi jika boleh tahu, untuk apa Anda ingin melakukan tes kecocokan DNA antara Anda dan Nona Lilia, Tuan?” tanya pemuda itu, seperti tidak ingin memendam rasa penasarannya seorang diri. “Apa ada yang saya lewatkan di sini?” Alaric mengangguk, “Aku pikir dia adalah anakku yang hilang, Zain,” jawab Alaric. “Maksudnya Nona Leonora?” “Iya, Leonora yang hilang pada hari kecelakaan Agatha Countess, istriku terdahulu.” “Anda yakin?” Zain masih menunduk, mensejajarkan pandangannya pada sang tuan yang meremas erat setir bundar di hadapannya. “Ada beberapa kemiripan yang baru aku sadari,” ungkapnya. “Kamu harusnya juga ingat bagaimana perawat di rumah sakit mengatakan kami berdua mirip. Tanda lahir yang aku
‘Oh Tuhan—‘ Lilia dengan cepat kembali menutup pintu saat asap yang mengepul dari luar itu memaksa untuk masuk. Bara apinya yang telah menghabisi setiap benda di luar pasti akan tiba di kamar ini sebentar lagi. Lilia berlari ke arah ranjang, mengangkat Keano yang tengah terlelap ke gendongannya. Ia dekap anak lelakinya itu dengan erat. “Ada apa, Mama?” tanya Keano dengan suara yang serak, bocah kecil itu pasti terkejut karena Lilia tiba-tiba menggendongnya. Lilia tak menjawabnya. Kepanikan melandanya dalam sesaat. Ia melangkah mundur hingga punggungnya nyaris membentur dinding. Suara pintu berderak akibat dilahap api. Suara retakannya semakin lama semakin nyaring. Ruangan yang tadinya sejuk telah berubah menjadi panas. Lilia menoleh ke arah jendela, ia berpikir masih bisa melarikan lewat jendela tersebut. Tapi saat ia membawa Keano ke sana, ia menjumpai bahwa dari arah luar apinya justru lebih besar. Kobarannya menjebak Lilia dan Keano, memerangkap mereka. Lilia berteriak me
William membuka matanya saat mendengar suara klakson yang datang dari belakang mobilnya. Sebuah mobil pemadam kebakaran melintas mendahuluinya. Bahkan bukan hanya satu melainkan tiga sekaligus, berpacu sangat laju membuat Giff yang duduk di balik kemudi memilih untuk mengalah dan membiarkan mereka berlalu lebih dulu. Sirinenya memecah keheningan jalan yang mengantar William menuju ke vila yang akan ia tuju. Ia baru saja memejamkan matanya selama sepuluh menit di kursi belakang sejak mereka keluar dari Velox Corp. William mengeluh kepalanya sedikit pusing dan sekretarisnya itu memintanya agar tidur saja selama perjalanan. Tapi baru beberapa saat hal itu ia lakukan, klakson mobil pemadam kebakaran mengejutkannya. “Apa ada kebakaran?” tanya William seraya memandang jendela yang menunjukkan keadaan di luar yang mula ia gelap—tanda ia sedikit lambat menepati janjinya pada Lilia dan Keano untuk kembali ke vila setelah lewat tengah hari. “Sepertinya begitu, Tuan William,” jawab Giff da
Para pemadam kebakaran dan tiga unit mobil yang ada di sana bahu-membahu memadamkan api. Jerit tangis orang-orang memenuhi telinga William, mengiringi tanya lantang yang keluar dari bibirnya, mencari Lilia dan Keano. “Kenapa mereka tidak ada di sini?” tanya William sekali lagi, kedua tangan besarnya merenggut kerah kemeja yang dikenakan oleh Giff, agar pemuda itu memberinya jawaban sebagai imbal balik karena telah mencegahnya untuk tak mendekat. “Mereka pasti ada di suatu tempat,” jawab Giff. “Tolong tenanglah! Tidak ada gunanya berlari ke sana! Anda hanya akan melukai diri Anda sendiri, William Quist!” Rahang tegas Giff mengetat, tegang seperti milik William. Tuannya itu mengatur napasnya yang sesak memburu, naik turun tanpa aturan hingga kedua tangannya yang mencengkeram kerah lehernya mengendur dan pergi dari hadapannya. William berjalan melewati Giff, membiarkan lengan mereka berbenturan saat ia melangkah dan memindai satu demi satu mereka yang ada di sana. Para pelayan milik
Langit malam seakan runtuh. Mata William terpejam dengan sebulir air mata setelah petugas pemadam kebakaran mengatakan hal itu. Bibirnya mengatup rapat, terpasung bisu tak mampu bicara. “Lalu apa yang akan dilakukan setelah ini, Pak?” tanya Giff karena William seperti terus akan bergeming selamanya. “Petugas forensik akan datang untuk melihat ke lokasi kejadian, Pak,” jawabnya. “Mereka akan mengidentifikasi untuk menemukan penyebab kebakaran terjadi. Mendengar dari keterangan beberapa saksi yang mengatakan bahwa Bu Lilia dan Keano berada di dalam kamar, seharusnya tulang mereka akan ditemukan di sana nanti. Petugas yang ada di lapangan akan memberitahu Anda.” “Baik, terima kasih.” Giff menundukkan kepalanya sedang pria berbalut seragam itu kemudian undur diri. Menyisakan Giff yang masih merangkul kuat-kuat bahu William yang dirasanya perlahan menegang. Keheningan yang tadi disuguhkannya hancur saat suara paraunya terdengar. “Tulang?” tanyanya hampir tak terdengar. “Dia
“Artinya ... mereka masih memiliki peluang untuk hidup?” tanya William memperjelas. “Benar,” jawab pria dengan kemeja hitam tersebut. “Tapi kami tidak janji ya, Pak ... kami masih menelusuri setiap sisi di dalam bangunan juga, ada kemungkinan mereka ditemukan di tempat lain.” William tidak suka dengan kemungkinan yang ke dua. ‘Mereka ditemukan di tempat lain’ itu adalah sesuatu yang tidak baik. Bangunan ini telah luluh-lantak. Jika ditemukan pun ... William tak akan memeluk mereka secara utuh. Ia menghela dalam napasnya, memilih untuk tidak menjawab dan pergi dari sana. Oxford yang ia kenakan menginjak puing-puing bangunan, tumpukan debu dan material yang tak berbentuk. Vila besar miliknya itu hanya tinggal nama. William terus berjalan hingga ia berhenti di sebelah timur vila. Tempat yang saat ia pergi kemarin tengah dihias dengan berbagai macam bunga segar itu tampak lusuh dan menyedihkan. Rerumputan hijaunya menghitam, sebagian pohon di sekitarnya hampir tumbang setelah dilaha
Sejak pencarian terhadap Lilia dan Keano dihentikan, William akhirnya kembali ke kota. Ia tak lagi tinggal di vila milik temannya yang lebih dari seminggu ia tempati. Rumahnya terasa hampa, tidak ada tawa Keano atau suara manis Lilia yang biasa memanggil anak lelakinya itu dengan sangat keibuan. ‘Sayang … jangan lari-larian, coba berjalan lebih pelan.’ ‘Baik, Mama.’ Suara mereka seakan mencemari indera pendengar William, membuatnya merasakan rindu yang hebat. Ia tengah duduk di dalam kamar Keano pada petang hari ini. Entah berapa lama ia di sana, menunduk dengan keadaan dada yang sesak dan dirundung luka. Benaknya terus saja mengatakan bahwa Keano serta Lilia sedang pergi ke suatu tempat dan nanti akan pulang. Tapi … saat melihat ranjang kosong yang terasa dingin ini, William tersadar dari pengandaian panjang, bahwa semua itu hanyalah harapan semu. Ia mengangkat wajahnya pada pintu yang terbuka dan menunjukkan kedatangan Agni—Kepala Pelayan—yang menatapnya dengan khawatir. Wan
Sebuah pagi yang mendung saat William menginjakkan kakinya di sepanjang rumput hijau bak permadani yang membentang di tempat ini. Kepalanya tertunduk hingga langkahnya terhenti di depan sebuah nisan bertuliskan namanya yang cantik—Ivana Roseanne. Tadinya, William ingin pergi sendiri, tetapi Giff tak mengizinkannya sehingga pemuda itu mengantarnya dan menunggunya di depan. William mengarahkan tangannya ke depan, ia letakkan buket bunga yang dibawanya ke samping nisan mendiang istrinya itu sebelum suaranya yang parau terdengar. “Maaf, Ivana ….” ucapnya. “Maaf untuk sudah sangat lama tidak mengunjungimu.” Kedua tangannya terkepal erat, jemarinya yang saling merapat itu terasa kebas saat ia dengan berat hati harus mengakui kegagalannya. “Aku gagal,” katanya. “Aku gagal memenuhi janjiku padamu untuk menjaga Keano dan Lilia. Semuanya sudah usai, kamu sudah bertemu dengan mereka di sana, bukan?” William tertawa lirih, menertawakan dirinya yang akhirnya berdiri seorang diri setel
"Karena aku pikir kamu melakukan sesuatu dengan Nicholas saat kamu pergi dengannya waktu itu," aku William, apa yang ia katakan sekarang sama dengan kebingungan yang tadi dilihat oleh Lilia sebelumnya saat pria itu menanyakan apakah ia masih perawan.Lilia tersenyum mendengar pengakuan itu, "Makanya saat itu kamu sangat marah padaku?" tanyanya. "Karena kamu berpikir aku dan Nicholas melakukan sesuatu di belakangmu padahal saat itu masih dalam suasana berduka?"William mengangguk sebagai jawaban, "Iya. Ternyata aku benar-benar terlalu jauh menuduhmu.""Apakah setelah ini kamu masih akan mengatakan bahwa aku dan Nich—""Tidak, Lilia ...."William menyentuh rahang kecilnya, menunduk membuat mereka menjadi lebih dekat dan mendaratkan sebuah kecupan di sana."Apa rencanamu setelah ini, William?" tanya Lilia pada William yang mendekapnya dan membuat Lilia meringkuk di dada bidangnya."Melanjutkan laporan soal Gretha yang sudah membakar vila, dan membuktikan bahwa bukan aku yang sudah membua
Api yang membakar mereka telah padam ....Lilia masih terdiam, merasakan bunga yang tumbuh di sela-sela retakannya yang kini hampir tak lagi dijumpai sakitnya.Ia melihat William menarik dirinya, pria itu beranjak turun dari tempat tidur setelah membelai lembut rambut Lilia dan membisikkan ia akan kembali sebentar lagi.Lilia bisa melihat siluet tubuhnya yang sempurna, yang menghilang selama beberapa detik dari pandangannya sebelum ia kembali dalam balutan sleep wear berwarna gelap yang telah menutup tubuhnya."Kamu bisa bangun?" tanyanya pada Lilia yang masih terbaring tak berdaya dan belum lama menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.Ia mengangguk dan menerima tangan William saat pria itu membantunya bangun."Kamu mau pakai gaun tidurmu yang tadi atau piyama yang aku ambilkan?" tawar William seraya menunjukkan pakaian tidur yang berwarna seperti miliknya, dan pada gaun tidur yang sebelumnya telah ia tanggalkan dan ia jatuhkan ke lantai."Yang manapun boleh," jawab Lilia lirih.Ia m
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan