🤗🤗 bab hari ini penuh clue-clue yang menimbulkan praduga besar, pastikan akak semua membaca, jangan lupa tinggalkan komentar dan share ke teman-teman akak biar mereka ikutan baca William Lilia dan Keano 🤗
Segera setelah mendapatkan kabar itu, Lilia memberi tahu William. Maka dengan diantar oleh Ron, Lilia pergi ke rumah sakit. Lengkap dengan Keano yang ikut dengannya. Sesampainya di sana, Lilia mengira ibunya ada di ruang rawat biasa. Tapi ia salah, beliau ada di ruang rawat paling bagus di rumah sakit itu. Saat pintu berdaun dua itu terbuka, Lilia bisa melihat seorang perawat yang ada di dalam. Wanita berseragam itu menyisih begitu melihat Lilia yang berlari masuk ke dalam kamar. “Ibu,” panggil Lilia dengan suara yang gemetar. Ia memeluk ibunya dengan tak bisa menahan tangis haru. Untuk beberapa lama ruangan itu hanya dipenuhi oleh isak tangis Lilia yang teramat bahagia karena perjumpaan dengan ibunya telah menjadi nyata. “Seperti tidak bertemu denganmu puluhan tahun lamanya, Lilia,” ucap sang Ibu setelah menarik dirinya yang tengah memeluk Lilia dengan erat. “Akhirnya Ibu bisa melihat kamu yang cantik ini.” Ibu jarinya mengusap pipi Lilia yang basah oleh air mata, bibirnya yang
“Ada apa, Lilia?” tanya William yang membuat Lilia terkejut. Ia yang tadinya menunduk dengan gegas mengangkat wajahnya kemudian menatap William. “Ada apa?” tanya William sekali lagi. “Kenapa kamu diam saja?” Lilia tak serta merta menjawabnya. Ia berpikir, haruskah ia katakan kekhawatiran itu pada William? Tapi jika dirasakan lebih jauh, sebenarnya ia merasa tidak nyaman. Mempertimbangkan agar tak terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya, serta tahu ia tak bisa berbohong pada William yang bisa membaca gelagatnya sekarang ini, Lilia memutuskan untuk jujur. “A-ada sesuatu yang menggangguku,” jawab Lilia akhirnya. “Katakan padaku,” sambut William. “Apa yang mengganggumu itu?” “Ibu tadi bilang sesuatu seperti ‘tidak akan bangun lagi setelah orang itu mencelakainya’,” jawab Lilia. “Orang siapa maksudnya, itu yang menggangguku. Maksudnya—baik, memang akhirnya Ibu divonis mengalami gagal hati, tapi awalnya … apa Ibu yang katanya jatuh di kamar mandi itu adalah sebuah kesengajaan?” Willi
“Apa Lilia adalah Leonora?” tanya Alaric seorang diri, menduga-duga. Ia duduk dan menatap album itu dengan matanya yang terasa perih. ‘Apa itu yang ingin dikatakan oleh Alya sebelum dia koma?’ Dadanya terasa sesak saat menjumpai kenyataan bahwa tanda lahir kemerahan di kaki Lilia yang beberapa hari dilihatnya itu terbukti sama dengan tanda lahir milik Leonora. Alaric pikir, jika diingat-ingat … memang ia tidak tahu seperti apa masa kecil Lilia, seperti apa wajahnya saat ia kecil. Yang ia tahu, Lilia bukan anak kandung Alya. Alya mengatakan padanya bahwa gadis itu diadopsi dari panti asuhan saat berumur dua tahun. Lalu Alya membawanya masuk ke rumah ini saat anak itu di akhir sekolah dasar, saat akan menginjak sekolah menengah pertama. Alaric juga tak banyak memperhatikannya karena mereka jarang bertemu. Alya dan anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah belakang, menyiapkan makanan dan bertanggung jawab pada taman. “Apa mungkin Alya berbohong saat mengatakan kalau L
“A-apa itu artinya semua kerja sama antara Seans Holdings dan Velox Corp putus?” tanya Gretha memperjelas. Alaric menggeleng menjawabnya, “Bukan kerjasamanya yang putus, tapi William tidak mau kerja sama terjadi jika kamu ikut andil, Gretha,” tuturnya. “Kenapa dia egois begitu?” tanya Bertha. “Zain bilang padaku bahwa di luar sana kabar menyebut jika yang membuat hamil Gretha adalah William. Siapa yang mengedarkan gosip itu? Apa itu kalian?” Alaric memindai Gretha dan ibunya yang tak menjawab. Hanya gestur tubuh mereka yang terlihat aneh dan di mata Alaric itu sedikit mencurigakan. Benaknya memprovokasi bahwa dugaannya itu benar—bahwa istri dan anak perempuannya itulah yang menyebarkan kabar hingga menimbulkan berita liar bak bola api di luar sana. Alaric menghela dalam napasnya, memberikan gelengan samar, enggan bicara lebih banyak. “Tapi bukankah itu tidak benar?” tanya Bertha kembali. “Mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaan bukan sesuatu yang bisa diwajarkan, bukan?” “Se
“Benar, namanya Henry, Pak Giff,” ucap Dany memperjelas. “Lalu di mana si Henry itu sekarang?” Dany menggeleng tak yakin. “Setahu saya masih bekerja dengan Pak Reynold,” jawabnya. “Pak Reynold masih berusaha membangun kembali bisnisnya itu dari awal. Saya jamin Henry tahu banyak soal hubungan Pak Reynold dan pacarnya yang bernama Gretha itu.” Giff diam-diam membenarkan hal itu juga. Jika memang Henry sering mengantar jemput Gretha, ada kemungkinan ia bisa menjadi saksi bahwa perempuan itu pernah melakukan hubungan bersama Reynold hingga membuatnya hamil. ‘Mungkin sekarang saatnya aku mencari di mana keberadaan si Henry itu.’ Tapi sebelumnya ia harus mengatakan hal yang ia temukan ini terlebih dahulu pada William. Setelah melakukan obrolan beberapa lama bersama dengan Dany, Giff lalu pergi dari sana. Ia menuju ke rumah William setelah menghubungi tuannya itu yang memang berada di rumah. Pintu gerbang tinggi yang ada di kawasan elit itu menyambutnya. Lengkap dengan si pem
Lilia sedang ada di dalam kamar Keano, bocah kecil itu sibuk menghubungkan garis putus-putus yang ada di bukunya sebelum mereka menoleh ke arah pintu yang terbuka saat melihat William datang dari sana. “Halo,” sapa William lebih dulu. “Keano sedang membuat apa itu?” “Menghubungkan garis, Papa,” jawab Keano tanpa memindahkan pandangannya dari buku. “Apa Pak Giff sudah pulang?” tanya Lilia setelah William duduk di sofa yang ada di sampingnya. “Sudah.” “Apa ada sesuatu yang tidak baik terjadi di kantor?” “Tidak ada,” jawab William sekali lagi. “Dia hanya bilang besok agar kita tidak lupa untuk pergi fitting baju pengantin di butik.” “Iya,” jawab Lilia. “Sudah selesai, Mama,” ucap Keano seraya bangun dari duduknya di kursi dan meja kecil kemudian mendekat pada Lilia. Menyerahkan buku dan hasil pekerjaannya pada Lilia yang menerimanya dengan tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Okay … bagus sekali, besok kita menghubungkan garis lagi dan membuat bentuk ya?” Keano mengangguk dengan
Lilia tertegun untuk lebih dari enam puluh detik. ‘Cinta dalam hidupku?’ ucapnya dalam hati, membaca apa yang tertera di layar ponselnya—hasil pencariannya terhadap apa arti dari ‘L’amour de ma vie’. Padahal … Lilia baru saja berpikir William memberinya nama yang aneh. Tapi artinya justru membuat Lilia merinding sekujur badan. Tak pernah ada di dalam pikirannya bahwa pria itu akan diam-diam bersikap seperti ini di belakangnya. Lilia putuskan … mulai hari ini ‘L’amour de ma vie’ akan menjadi kalimat favoritnya. “Mama!” panggil suara manis Keano yang datang dari sebelah kanannya sehingga ia dengan cepat mematikan layar ponsel milik William. Suara itu teriring dengan derap larinya saat memasuki ruangan, serta salah satu tangan yang membawa kembang gula kapas berukuran besar yang pasti ia dapatkan dari William—mungkin hasil memaksa untuk membelinya di tepi jalan. Beberapa detik kemudian William yang berjalan di belakangnya menampakkan kedatangannya. “WOAH!” Keano berseru de
Lilia seakan membeku di tempat ia berdiri. Tubuhnya meremang saat ia mengulang dalam hati, ‘A-anaknya Henry?!’ Ia tak salah dengar, ‘kan? Kakinya seakan terpancang dengan lantai tempat ia berpijak. Sedang Gretha yang ada di sana rupanya belum selesai bicara. “Pergilah, Henry!” usir Gretha pada pria bersurai hitam itu. “Jangan mengikuti aku lagi! Aku bisa hidup tanpamu!” “Tidak, Gretha,” jawab Henry sebagai sebuah penolakan. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Aku sudah melakukan apapun agar kamu memberiku kesempatan untuk bertanggung jawab,” tuturnya. “Aku lakukan semua yang kamu mau termasuk untuk membuat anak bernama Keano itu tenggelam.” “Semua itu memiliki tujuan,” sangkal Gretha. “Aku memintamu melakukan itu untuk menyingkirkan Lilia agar perempuan itu dibenci William, bukan untuk memberimu kesempatan. Jadi berhenti mengikutiku!” ‘Jadi benar mereka saling mengenal?’ batin Lilia begitu mendengar pengakuan itu. Ia tak pernah menyangka akan mendengar kebenaran dari pe
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan