udah kelihatan?? 🤣🤣🤣 kelihatan culasnya. yang 1 bab menyusul, menunggu like dulu, like yang banyak... vote juga yah akak ... 🩷🩷
‘Tidak sia-sia aku mengikutinya,’ batin Gretha. Ini semua bukanlah ketidaksengajaan. Ia memang mencari kesempatan agar bisa bertemu dengan Lilia. Mengingat peringatan William yang memperingatkan agar tak mendekat pada Lilia membuatnya harus putar otak mencari cara. Selama beberapa hari ia terus mengikuti Lilia pada jam ia menjemput Keano pulang dari sekolah. Dari sana, kesempatan terbentuk. Melihat sedan mewah—yang seakan telah menjadi milik Lilia itu—berbelok ke minimarket, Gretha juga melakukan hal yang sama. Selagi Lilia masih belum keluar dari mobilnya, Gretha bergegas masuk ke dalam lebih dahulu. Di sanalah ia akhirnya bisa bertatap muka dengan Lilia. Dan sepertinya … air matanya ini cukup. Ia mengusap pipinya sekali lagi. “Kamu tidak akan mendapatkan William begitu saja, Lilia,” katanya seorang diri. Gretha tertawa lirih saat menyadari bahwa sepertinya William sangat mencintai Lilia. Ia pernah sekali hampir bertamu di rumah William sebelum ia menyaksikan rumah itu men
“Akan kamu bawa ke mana hubungan kita ini?” lanjut Lilia dengan suaranya yang terasa serak dan gemetar. “Bukankah jika itu terbukti benar pada akhirnya kamu harus menikahi Nona Gretha? Jika itu terjadi, hubungan seorang William Quist dan Gretha Roseane lah yang akan diberi restu.” ‘Lalu selamanya aku akan menjadi istri kedua,’ batin Lilia melanjutkan dalam hati. Yang selanjutnya terjadi adalah tekanan datang dari mereka semua yang menyebut bahwa dirinya tidak diterima di keluarga ini dan mau tak mau harus pergi. “Lalu kamu akan pergi?” tanya William seolah bisa membaca isi kepalanya. Lilia terkesiap dan terjaga dari pikiran sesaat itu. Bibirnya terbuka hampir menjawab William sebelum pria itu selangkah mendekat dan mengatakan, “Aku tidak mau membahas ini, Lilia!” ucapnya tegas dan menekan. “Aku tidak akan menikahi Gretha.” Tatapan mereka bertemu di bawah cahaya terang. Tapi meski demikian, Lilia merasa seolah ruangan di sekitarnya gelap, terserap dan tunduk oleh dinginnya cara Wi
“Ternyata bukan hanya aku yang merasa begitu,” kata William yang membuat Giff terkejut mendengarnya. “Jadi Anda juga merasa seperti itu?” tanya Giff memastikan maksud kalimatnya. “Iya,” jawabnya. “Aku ingat dulu saat Ivana hamil Keano tidak seperti itu, Giff. Maksudku—baik, kehamilan memang berbeda-beda tergantung bagaimana ibunya, tapi tidak dengan Gretha. Aku hanya merasa dia … entahlah!” William mendorong napasnya dengan kasar, jemarinya menyelinap di rambut hitamnya, ia bawa ke belakang dengan sedikit tarikan agar otot-otot di pelipisnya itu tak terus terasa tegang. “Haruskah saya mencari tahu dengan siapa Gretha bertemu sebelumnya?” tawar Giff sekali lagi. “Bukankah bisa saja dia mengaku hamil karena hasil hubungannya dengan pria lain makanya hari itu dia menjebak Anda? ini hanya sebatas dugaan, tapi melihat dari sikapnya bukankah kita boleh saja curiga?” William tak begitu saja menanggapi Giff. Ia masih mencoba memahaminya, dan sepertinya pemuda itu lebih cekatan pemikiranny
Lilia melihat Agni yang berjalan mendekat padanya, sepertinya juga sedang memeriksa keributan yang pecah dari arah ruang tamu. “Tuan sedang bersama Nyonya Donna, Nona Lilia,” ucapnya setibanya ia tiba di hadapan Lilia. “Bu Agni, boleh minta tolong untuk menemani Keano sebentar?” pintanya. “Jangan boleh keluar dulu sampai Nyonya Donna pergi.” “Baik, Nona.” Agni berlalu pergi untuk masuk ke dalam kamar Keano. Sementara Lilia hendak melanjutkan langkah untuk pergi ke dapur dan menyiapkan susu anak lelakinya. Tapi hal itu urung ia lakukan saat mendengar sekali lagi tudingan Nyonya Donna pada William yang membuat kakinya terpancang di lantai. “Semua orang membicarakan keluarga kita gara-gara kamu lepas tangan!” “Dari mana ‘semua orang’ yang Mama sebutkan itu tahu?” tanya William balik. Suaranya terdengar berat dan enggan. Meski Lilia tak berhadapan dengannya, tapi dari nada bicaranya itu Lilia bisa membayangkan sekesal apa ekspresinya. “Aku tidak pernah memberitahu orang l
Lilia mendengar suara gemericik air. Karena William tak menjawab panggilannya, ia berpikir bahwa pria itu berada di sana. Lilia mengayunkan kakinya untuk meninggalkan serpihan benda pecah belah yang berserakan di lantai itu. Ia melewati ruang ganti di kamar William yang sangat besar untuk menuju ke kamar mandi. Pintunya tak ditutup, sehingga ia dapat menjumpai William yang tengah berdiri di dalam sana, sedang membasuh tangannya di wastafel. Lilia terdiam beberapa lama di dekat pintu sebelum memberanikan diri untuk bertanya. “Apa yang terjadi?” Pria itu mengangkat wajah dan memutar kepalanya pada Lilia. Bibirnya mengatup bahkan setelah ia menegakkan punggungnya dan mengeringkan tangannya dengan tisu yang digapainya dari dispenser yang ada di dinding. “Tidak terjadi apa-apa,” jawab William akhirnya. Tapi Lilia tahu itu bohong. Noktah merah darah segar yang tadi dilihatnya berceceran di lantai menjawab lebih banyak ketimbang ‘tidak terjadi apa-apa’ yang keluar dari bibirnya. Lilia
Dengan gugup, Lilia membalas pelukan William. Beberapa saat sebelum pria itu menarik dirinya dan mengatakan akan menuruti saran Lilia “Baik, aku akan tidur di kamarnya keano,” putusnya. Lilia lebih dulu bangun dari duduknya. Mengembalikan kotak obat itu ke tempat semula dan berjalan meninggalkan William yang menyusulnya tak lama kemudian. “Kamu mendengar aku bertengkar dengan Mama tadi?” tanya William dari belakangnya saat mereka menuruni tangga. “Iya,” aku Lilia. “Mama bilang semua orang tahu jika Gretha sedang hamil. Aneh, ‘kan? “Aneh bagaimana?” tanya Lilia balik. “Aneh karena mereka menyebut bahwa itu adalah anakku,” jawabnya. “Bagaimana mereka bisa bilang begitu jika tidak ada yang memulainya? Gretha, atau mungkin Nyonya Bertha itu yang menyebarkan beritanya lebih dulu. Mereka pasti sakit hati karena aku tidak mau bertanggung jawab!” Mereka tiba di ujung anak tangga, Lilia sekilas menoleh pada William dan menyetujuinya. “Bisa jadi,” katanya. “Mulai sekarang aku akan melaku
Setelah mengantar Keano ke sekolah, untuk ke sekian kalinya tanpa lelah Lilia pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibunya. Ia sudah mengatakan pada William bahwa ia akan pergi ke sini tadi. Dengan diantar oleh Ron, akhirnya Lilia bisa melihat keadaan sang ibu yang hingga detik ini masih terbaring tak berdaya di dalam ruang ICU. Tapi pagi hari ini tampak sedikit lain karena Lilia melihat seorang dokter dan beberapa orang perawat yang ada di dalam, terlihat memeriksa ibunya. Lilia harap, saat mereka keluar nanti yang dibawa untuknya adalah sebuah kabar yang baik. Satu per satu dari mereka keluar dari dalam ruangan, menyapa Lilia hingga dokter yang menangani sang ibu itu berhenti di dekatnya dengan seulas senyum yang merekah. “Bagaimana keadaan ibu saya, Dokter?” tanya Lilia setelah menundukkan kepala untuk menyapa beliau. “Sangat baik, Bu Lilia,” jawab beliau. “Bu Alya sudah memberikan respon yang baik, sudah bisa menggerakkan jari tangannya dan membuka mata. Jika beliau te
“Tanda lahir?” ulang Tuan Alaric setelah kalimat Lilia. “Iya, Tuan, tanda lahir,” jawab Lilia. “Kenapa dengan itu?” Tuan Alaric menggeleng, “Tidak apa-apa,” ucap beliau. “Hanya saja sepertinya aku luput melihat itu dari kakimu selama ini dan baru melihatnya dengan jelas sekarang.” Mereka menoleh ke arah pintu ruang rawat yang terbuka dan muncullah seorang perawat yang menghampiri mereka. “Hari ini Anda ditemani oleh anak Anda, Pak Alaric?” sapa perawat yang mendekat dan mengecek kantong infus yang tergantung di atas. “B-bukan, Suster,” jawab Lilia dengan cepat. “S-saya bukan anaknya Tuan Alaric.” Lilia takut pria paruh baya itu kesal karena dirinya yang hanya seorang anak pelayan disebut perawat sebagai anaknya, pria terhormat yang status sosialnya jauh terlampau tinggi ketimbang Lilia yang bukan siapa-siapa. “Oh, bukan?” ucap perawat tersebut, terkejut dengan kalimat Lilia. Perempuan berkalungkan name tag itu tampak memandangi Lilia dan Tuan Alaric bergantian sebelum k
“Itu Nona Lilia dan Tuan Muda Keano, Tuan,” seru Zain sembari menepikan mobilnya. Alaric berlari keluar dan menghampiri mereka. “Lilia, Keano!” panggilnya dengan suara yang gemetar. Hatinya seakan habis menyaksikan mereka berdua yang tergugu dalam tangis, saling menguatkan. Air matanya luntur kala ia mendengar Keano memanggilnya, “Opa?” Alih-alih mempedulikan dirinya, yang ia minta justru agar Alaric menolong Lilia. “Tolong Mama, Opa ….” Zain mengangkat Keano, mengambilnya dari Lilia sementara Alaric membantu Lilia bangun dan membawanya masuk ke dalam mobil. “Lilia,” panggil Alaric yang duduk di kursi belakang, mengguncang tubuh Lilia yang penuh dengan debu hitam seraya melepas jasnya untuk menutupi tubuhnya. “Nak, apa yang terjadi, kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Vilanya kebakaran, Opa,” sahut Keano yang duduk di depan, ditempatkan di sana oleh Zain setelah pemuda itu melepas pakaiannya yang basah dan membalut bocah kecil itu dengan jas miliknya. “Kebakaran?” ulang
“Benar,” jawab Alya dengan yakin. “Setelah panggilan saya Anda matikan saat itu, Nyonya Bertha mencecar saya. Dia tanya apa yang ingin saya katakan pada Anda. Saya bersikeras memilih diam tetapi Nyonya Bertha mendorong saya dari tangga lantai dua kemudian saya tidak ingat apapun sejak hari itu.” “Jadi kamu tidak jatuh di kamar mandi seperti yang selama ini aku ketahui dan dikatakan oleh para pelayan?” Alya mengangguk, “Iya, Tuan. Tolong berhati-hatilah ... di dalam rumah itu semuanya berisi pengkhianat,” jawabnya. “Saya memang mengalami gangguan hati sejak lama, tapi yang membuat saya mengalami pendarahan di otak itu adalah Nyonya Bertha. Tapi saya sangat bersyukur sekarang karena bisa kembali sadar dan dapat mengatakan semua kebenaran ini kepada Anda.” Alaric telah mengerti situasinya sekarang. Bertha yang bertanggung jawab atas semua ini. Dilihat dari wanita itu yang masih belum melangkah lebih lanjut, sepertinya ia belum tahu jika Alya telah sadar. Keputusan William dan Lilia d
“Lalu setelah itu kamu membawanya pulang?” Alaric menatap Alya yang tertunduk tak berani menunjukkan wajahnya. “Benar,” jawabnya kemudian menggapai tisu yang ada di atas meja untuk mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. “Saya teringat pada ucapan Nyonya Agatha yang menyebut bahwa saya harus melindungi Nona Leonora kecil apapun yang terjadi. Saat itu saya tidak tahu kenapa beliau berpesan begitu, tapi kemudian saya tahu alasannya, karena Nyonya tahu ada teman yang menusuknya dari belakang dan diam-diam ingin menyingkirkannya agar bisa menjadi Nyonya Roseanne.” Alaric jatuh kedua bahunya, kebenaran yang ia dapatkan tentang Lilia yang ternyata adalah anak kandungnya membuatnya mengetahui kebenaran yang lebih besar yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa itu. Siapa sangka bahwa itu adalah kejahatan terencana yang bersembunyi di bawah tabir kelam yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. “Jadi setelah itu saya terus menyembunyikan Nona Leonora,” lanjut Alya. “Saya bilang pada suami
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel
Di rumah milik William pagi ini, Giff yang baru saja keluar dari kamar yang ia tinggali selama ‘menumpang hidup’ di rumah William sedikit terkejut saat melihat tuannya yang sudah dalam keadaan rapi. Sudah cukup lama Giff tak melihatnya dalam kemeja lengan panjang dan vest serta dasi yang tersemat di kerahnya seperti itu. “Selamat pagi,” sapa Giff lebih dulu dengan kepala yang tertunduk sopan. “Pagi.” “Apa Anda akan pergi ke suatu tempat?” tanya Giff yang dijawab lebih dulu dengan sebuah anggukan oleh William “Iya, Giff. Ke Velox Corp.” Salah satu alis Giff terangkat mendengarnya, “Sungguh? Jadi Anda akan comeback?” “Ya,” jawabnya. “Melihatmu yang pontang-panting sendirian mengurus banyak hal dan mengambil alih pekerjaan membuatku tidak tega. Kembali bekerja bukan pilihan yang buruk, ‘kan? Aku hanya takut kamu tiba-tiba menguasai Velox Cop.” Giff tertawa mendengar itu, “Tidak,” jawabnya. “Saya masih sayang dengan nyawa saya, Tuan. Tapi terima kasih untuk sudah kembali. Minggu in