🦍🦞🔪🪠🧷🧹🩴🪚🔧🔨⛏️🛠️🪝 nih pilih senjata satu-satu ya... jangan rebutan 🪨
“Tidak!” jawab William sebagai sebuah penolakan yang tegas. Mata teguhnya dapat dijumpai oleh Nyonya Donna yang duduk di samping Tuan Adam dengan punggung tegang. “Bukankah aku sudah mengatakannya dengan jelas? Aku tidak pernah merasa memperkosa Gretha!” Seperti sebuah kebetulan—atau memang ini telah direncanakan—nama yang baru saja disebutkan William itu datang memasuki ruang keluarga. Wanita itu bersama dengan sang ibu, berjalan dengan kepala yang tertunduk dan langkah yang ragu-ragu begitu menjumpai William duduk di sana. “Ayo, Sayang!” ajak Nyonya Bertha seraya meraih tangan Gretha agar ikut dengannya. “Tidak apa-apa, ayo!” “Kemarilah, Gretha ….” sambut Nyonya Donna dengan keibuan. Beliau turut berdiri dan merangkul bahu Gretha serta membawanya untuk duduk di sampingnya. “Apa dia terus muntah sepanjang pagi?” tanya Ibunya William. “Wajahnya terlihat sangat pucat.” “Iya, Donna,” jawab Nyonya Bertha. “Gretha terus muntah sejak bangun tidur. Kondisinya lemah dan disarankan dok
“Mana bisa, Liam?” tanya Nyonya Bertha, menentang William yang baru saja mengatakan bahwa mereka bisa melakukan tes DNA sejak janin masih berada di dalam kandungan. “Bisa,” jawab William tegas dan sama lantangnya. “DNA bayi sudah bisa dicek bahkan sejak mereka ada di dalam kandungan. Sebenarnya kalian semua ini hidup di goa atau bagaimana? Sampai tidak tahu ada kemajuan seperti itu?” William menoleh pada Gretha dan mengatakannya sekali lagi, “Kita pergi tes DNA, Gretha! Kita bisa lihat hasilnya nanti.” “T-tidak mau,” jawab Gretha sebagai sebuah penolakan. “A-aku takut, Kak Liam,” katanya dengan gugup. “Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada bayiku nanti semisal dia sudah diusik sejak di dalam kandungan. Meski dia hidup dari hubungan yang menyakiti hatiku, biar bagaimanapun dia adalah anakku. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Suaranya lirih dan mengiba yang membuat Nyonya Donna merangkul bahunya dengan khawatir. “Fine,” tanggap William. “Terserah kalau beg
“B-benarkah?” tanya Lilia memastikan. Bergantian memandang Keano dan William yang membenarkan itu. “Iya,” jawabnya tanpa ragu. “Bagaimana menurutmu?” Lilia mengangguk tak keberatan, “Terdengar bagus.” “Aku ingin jika kita meresmikan pernikahan nanti di tempat yang tertutup saja. Hanya ada aku, kamu dan orang-orang yang kita undang,” kata William. “Bukan karena aku tidak ingin mengumumkan pernikahan kita. Tapi aku hanya tidak suka jika ada yang mengatakan hal buruk tentangmu, atau orang lain bisa melihat cantiknya kamu saat mengenakan gaun pengantin.” ‘Cantik?’ ulang Lilia dalam hati, seakan tak percaya dengan pujian yang terlontar dari bibir William. ‘Dia bilang aku cantik?’ Tanpa sadar, ‘pujian’ itu membuat tubuhnya bereaksi dengan melukiskan rona merah di kedua pipinya yang bisa dilihat oleh Keano. “Papa, pipinya Mama merah,” sebut anak lelakinya yang membuat William tersenyum saat memindai wajahnya. “S-saya setuju,” kata Lilia setelah berdeham, agar ‘pipi merah’ itu tak dibah
Tubuh Lilia seakan membeku. Kalimat ‘Aku mencintaimu’ yang dikatakan oleh William terasa sehangat sinar matahari kala senja, tetapi juga sesejuk sapuan angin dari laut. Meski sudah melamarnya, dan jelas akan ke arah mana hubungan mereka berlabuh, tetapi Lilia hampir tidak pernah mendengar William mengatakan ia mencintainya. Sore ini, dengan disaksikan ombak yang terpecah menabrak karang, Lilia mendengarnya dengan sangat jelas, ‘Aku mencintaimu, Lilia.’ “Kamu tidak ingin menjawabnya?” tanya William yang seketika menghentikan puluhan alinea di dalam benaknya. “Aku mencintaimu lebih dulu,” jawab Lilia akhirnya. “Benarkah? Sejak kapan?” “Lama.” William hanya tersenyum saat menggumamkan, “Mungkin aku yang lebih lama.” “Ya?” Pria itu menggeleng, “Tidak,” katanya. “Kamu tahu seperti apa perasaanku sekarang? Aku sangat berterima kasih.” “Bagiku ini masih terasa tidak nyata,” kata Lilia. “Aku berulang kali memungkiri hatiku yang selalu mengatakan aku mencintai seorang William Quist d
“Nona Lilia?” sapa Giff yang membuat Lilia terjaga dari pikiran sesaat itu. Keberadaannya diketahui oleh Giff, ia yang tak mungkin berbalik arah atau berpura-pura tidak mendengar panggilan itu pun segera mendekat pada dua pria itu. William menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan oleh Lilia. Ia berdeham sebelum bertanya, “Apa kamu sudah selesai berkeliling?” “Sudah,” jawab Lilia. “Keano di mana?” “Ada di dalam kamar.” William mengangguk menanggapi itu. Keheningan canggung membuat beberapa detik berlalu tanpa ada suara hingga Lilia memutuskan untuk mengakhirinya. “A-apa yang sedang kalian bicarakan?” tanyanya. “Apa ada hal yang disembunyikan dariku?” Lilia memutuskan untuk tak memendam kemelut itu sendirian di dalam hatinya sehingga ia memilih untuk menanyakannya pada mereka. “Itu—“ William terlihat ragu untuk menjawabnya. “Itu soal biaya pengobatan Ibu Nona,” sahut Giff karena William seperti tak akan melanjutkan kalimatnya. “Pengobatan ibuku?” ulang LIlia. “Iya,
“Liam,” panggil Nicholas sembari selangkah mendekat pada William. “Aku bertanya karena khawatir.” “Pada siapa?” sahut William sebelum sempat Nicholas menjelaskan. “Khawatir pada Lilia karena kamu menyimpan perasaan padanya, ‘kan?” “Tidak bisakah kamu bersikap lebih tenang? Emosimu selalu meledak seperti—“ “Tenang di depan orang yang terlihat jelas menginginkan apa yang aku miliki?” potong William seraya mengangkat dagunya. “Dengar ini, Nic!” katanya menekan. “Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu khawatirkan! Aku bisa mengatasinya, tidak perlu bantuanmu! Jangan mendekat pada Lilia atau berpikir bisa mengambilnya dariku. Berhentilah ikut campur!” Nicholas menghela dalam napasnya, kedua bahunya yang bidang dan terbalut di dalam setelan jasnya yang rapi itu merosot penuh dengan rasa kecewa. “Dan berhenti berfantasi dengan istri orang, apalagi itu adik iparmu!” imbuh William. “Jika kamu masih terus ikut campur, dan sesuatu yang buruk terjadi pada hubunganku de
Gretha tak serta merta menjawab Lilia. Ia menunduk, terlihat ingin menyembunyikan kondisi perutnya yang memang membuncit. Untuk beberapa saat, keheningan yang menghampiri mereka itu menumbuhkan duri di dalam hati Lilia. Kebekuan di antara mereka runtuh saat Gretha akhirnya mengangguk membenarkan apa yang ia katakan. “Iya,” jawabnya. “Seperti yang kamu lihat.” Wajahnya terangkat, membalas tatapan Lilia dengan netranya yang mengembun. Seolah penderitaan dan segala beban terhimpun di sana. Bibir Lilia gemetar saat ia melepas tangannya dari Gretha, tenggorokannya terasa serak, tak mampu bersuara. Ia ingin memungkiri bahwa kehamilan itu tak ada hubungannya dengan William. Tapi ... Lilia sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu antara suaminya dan wanita di hadapannya ini. “Aku tidak perlu menjelaskannya, ‘kan?” tanya Gretha dengan suara yang terdengar parau. Senyumnya tampak pahit saat ia menatap Lilia dan mengusap perutnya. “Semua yang aku katakan itu jujur, Lilia
‘Tidak sia-sia aku mengikutinya,’ batin Gretha. Ini semua bukanlah ketidaksengajaan. Ia memang mencari kesempatan agar bisa bertemu dengan Lilia. Mengingat peringatan William yang memperingatkan agar tak mendekat pada Lilia membuatnya harus putar otak mencari cara. Selama beberapa hari ia terus mengikuti Lilia pada jam ia menjemput Keano pulang dari sekolah. Dari sana, kesempatan terbentuk. Melihat sedan mewah—yang seakan telah menjadi milik Lilia itu—berbelok ke minimarket, Gretha juga melakukan hal yang sama. Selagi Lilia masih belum keluar dari mobilnya, Gretha bergegas masuk ke dalam lebih dahulu. Di sanalah ia akhirnya bisa bertatap muka dengan Lilia. Dan sepertinya … air matanya ini cukup. Ia mengusap pipinya sekali lagi. “Kamu tidak akan mendapatkan William begitu saja, Lilia,” katanya seorang diri. Gretha tertawa lirih saat menyadari bahwa sepertinya William sangat mencintai Lilia. Ia pernah sekali hampir bertamu di rumah William sebelum ia menyaksikan rumah itu men
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan