Thor udah jadwalkan 1 bab bonus, tapi sebelum itu mau membaca komentar dari akak semuanya xixixi, terima kasih sudah membaca atau memberi vote 🥹 biar buku ini naik terus 🤗
“Tidak ada hal seperti itu, Lilia!” kata William, ia hampir meninggikan nada bicaranya sebelum ingat dengan Keano yang ada di dekat mereka. Yang barangkali menyalahpahaminya tengah meneriaki Lilia sehingga pria itu berusaha untuk tidak terpancing. “Aku tidak pernah mengajak atau bahkan memaksanya minum alkohol,” terang William sebagai sebuah sangkalan. “Dia yang datang saat aku akan pergi menyusulmu dan Keano malam itu. Dia bilang dia membawa wine dari ibunya dan memintaku untuk minum lalu aku tidak sadar sampai besok paginya.” Mendengar itu Lilia bergeming di tempatnya duduk. Ia sedang mencoba mencerna apa yang terjadi, benaknya memprovokasi agar ia berpikir buruk bahwa memang sengaja dilakukan oleh Gretha. “Apa dia sengaja melakukan itu?” tanya William seolah bisa membaca apa yang sedang ada di dalam pikirannya. “Karena jika dipikirkan pelan-pelan … semuanya aneh, bukan?” gumamnya. “Soal dia bilang dia trauma tapi malah datang ke rumah ini, lalu tidak mau diajak visum, dan sekar
‘Dekat?’ ulang Lilia dalam hati. ‘Dekat yang seperti apa maksudnya?’ Lilia hanya bisa mengatakan itu sebatas dalam batin saja, tak berani mengungkapkan melalui lisannya pada William. Sehingga yang terjadi adalah bibirnya yang terpasung bisu tanpa memberi pria itu jawaban. Ia hanya bergeming dan sepertinya itu membuat William lelah menunggu karena pria itu akhirnya mengatakan, “Jangan terbebani, kamu tidak perlu menjawabku saat ini,” ucapnya. Lilia melihatnya bangun dari sofa, selangkah mendekat pada Lilia untuk mengangkat Keano ke dalam gendongannya. “Biar aku yang bawa Keano,” katanya lalu beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga. Lilia bergegas mengikutinya, mengekori langkah kaki panjangnya hingga mereka tiba di dalam kamar. William membaringkan anak lelakinya itu ke atas ranjang dengan perlahan, menarik selimut dan membisikkan “Selamat malam” sebelum ia memandang Lilia sehingga tatap mereka bertemu di bawah cahaya lampu yang masih terang. “S-selamat malam untuk Tu
William Quist, seorang pria yang diketahui oleh Lilia tidak pernah menundukkan kepalanya pada siapapun tengah berlutut di hadapannya, mengatakan agar Lilia menikah dengannya. Tidak …. Rasanya ini terlalu indah untuk disebut sebagai sebuah kenyataan. Jantungnya berdebar kencang, gelombang kejut menghantamnya secara tiba-tiba sebelum Lilia sempat mempersiapkan diri. Ia tak tahu bahwa tujuan William memintanya dan Keano datang ke sini adalah untuk melakukan hal ini. ‘Makan malam’ yang disangka Lilia itu rupanya bukanlah sebuah makan malam biasa, gaun untuknya itu adalah bagian dari William yang sedang mengatur agar ia bisa mengatakan, ‘Menikahlah denganku, Lilia’. Lilia menggigit bibirnya, ia bingung bagaimana harus menyikapi ini. Tapi barangkali … hal pertama yang perlu ia lakukan adalah membuat pria itu berdiri dari berlututnya. “T-Tuan William,” sebut Lilia dengan suaranya yang gemetar. Ia menundukkan kepalanya, meraih kedua bahu William agar pria itu bangun. “T-tolong jangan
Ciuman ini, rasanya sangat manis. William memagut bibir Lilia dengan menyertakan hatinya. Yang rasanya sangat jauh berbeda dengan yang sebelumnya mereka lakukan. Sangat berbeda dengan saat William menariknya pada hari setelah kematian Ivana. Jauh rasa dari ciuman mereka saat ada di dalam ruang baca kala Lilia berakhir dengan menggigit bibirnya. Apa seperti ini rasanya saat perasaannya berbalas? Tatapan mereka yang bertemu setelah William menarik wajahnya bukan lagi seperti dirinya yang menunjukkan bagaimana cara ia mendominasi Lilia. Sepasang mata itu seakan dipenuhi oleh ketidakberdayaan, seolah ia tak ingin semua ini berlalu dengan cepat. “Mama,” panggil suara manis Keano yang datang dari kejauhan. “Papa,” lanjutnya. Sehingga William melepaskan tangannya dari pinggang Lilia dan mereka berdua menoleh kepada bocah kecil yang baru saja diturunkan Giff dari gendongannya itu. Keano kecil berlari dengan senyum yang merekah sempurna. Menghampiri Lilia dan William yang hampir serem
Mengikuti langkah kaki panjang William sekeluarnya dari mobil yang dikemudikan oleh Giff memasuki halaman, Lilia lah yang membawakan jas milik pria itu untuk masuk ke dalam rumah karena kedua tangannya sedang menggendong Keano. Bocah kecil itu terlelap setelah berceloteh di jalan dan tahu-tahu menjatuhkan kepalanya di bahu Lilia dengan nyaman. “Saya langsung pulang,” ucap Giff saat Lilia hampir melewati pintu. “Selamat malam, Nona Lilia, Tuan William.” “Selamat malam,” balas Lilia kemudian pemuda itu menundukkan kepalanya sebelum pergi. Lilia melanjutkan langkahnya menuju ke kamar, membalas sapaan beberapa pelayan yang menyambut kedatangannya sebelum menemukan William yang tengah membaringkan anak lelakinya itu. Lilia melihatnya menguraikan dasi kecil yang ada di kerah leher Keano sebelum ia beranjak turun dari tepi tempat tidur dan berhenti di hadapan Lilia yang menyerahkan jas miliknya. “T-terima kasih untuk malam ini, Tuan William,” ucap Lilia dengan gugup, mencuri pandang pad
William mendekatkan wajahnya pada Lilia, menarik pinggangnya sekali lagi agar mereka lebih dekat. Jika benar terjadi, maka ini adalah yang ke dua kalinya William mencium Lilia. Pria itu menggapai bibir kecil Lilia, mengecupnya dengan lembut, hangat dan tenang. Setiap sentuhannya seperti gelombang air hangat yang membuat darahnya berdesir. Sebuah perlakuan yang selama ini tak pernah didapatkan oleh Lilia karena sebagian besar yang ia terima adalah sentuhan tanpa cinta. Saat William menarik wajahnya dari Lilia, manik gelapnya mengunci Lilia yang gugup meramalkan apa yang sebentar lagi terjadi jika mereka terus seperti ini. “A-apa yang akan A-anda lakukan?” tanya Lilia terbata-bata. “Apa, Lilia?” “Meskipun … kita sudah pernah menikah sebelumnya dan sampai hari ini status kita masih suami istri, tapi ….” “Tenanglah,” bisik William lirih. Iris kelamnya membuat Lilia termangu, terhipnotis lagi padanya. “Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi aku tidak akan melakukan apapun,
“Hamil?!” ulang William dengan sepasang alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. Membutuhkan beberapa detik untuknya memproses apa yang baru saja dikatakan oleh Giff. Bahwa hal penting yang harus disampaikan oleh pemuda itu adalah sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. “Bu Agni harusnya tahu Mama datang ke sini semalam, kenapa tidak memberitahuku?” gumamnya. “Saya tadi sudah bertanya pada Bu Agni, dan memang benar jika Nyonya datang, Tuan William. Bu Agni bilang akan memberi tahu Anda pagi ini juga karena semalam dia tidak ingin merusak kebahagiaan Anda, Nona Lilia dan Baby K,” tutur Giff menjelaskan. William memijit keningnya yang terasa nyeri saat Giff melanjutkan kalimatnya. “Bu Agni bilang Nyonya Donna marah-marah, tapi karena Anda tidak ada di rumah beliau pergi begitu saja.” William menghela dalam napasnya. Hidupnya seakan jungkir balik dalam waktu singkat. Dari yang semula bahagia dan berdebar setiap mengingat ciumannya bersama dengan Lilia kini menjadi sesak ak
“Tidak!” jawab William sebagai sebuah penolakan yang tegas. Mata teguhnya dapat dijumpai oleh Nyonya Donna yang duduk di samping Tuan Adam dengan punggung tegang. “Bukankah aku sudah mengatakannya dengan jelas? Aku tidak pernah merasa memperkosa Gretha!” Seperti sebuah kebetulan—atau memang ini telah direncanakan—nama yang baru saja disebutkan William itu datang memasuki ruang keluarga. Wanita itu bersama dengan sang ibu, berjalan dengan kepala yang tertunduk dan langkah yang ragu-ragu begitu menjumpai William duduk di sana. “Ayo, Sayang!” ajak Nyonya Bertha seraya meraih tangan Gretha agar ikut dengannya. “Tidak apa-apa, ayo!” “Kemarilah, Gretha ….” sambut Nyonya Donna dengan keibuan. Beliau turut berdiri dan merangkul bahu Gretha serta membawanya untuk duduk di sampingnya. “Apa dia terus muntah sepanjang pagi?” tanya Ibunya William. “Wajahnya terlihat sangat pucat.” “Iya, Donna,” jawab Nyonya Bertha. “Gretha terus muntah sejak bangun tidur. Kondisinya lemah dan disarankan dok
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel
Di rumah milik William pagi ini, Giff yang baru saja keluar dari kamar yang ia tinggali selama ‘menumpang hidup’ di rumah William sedikit terkejut saat melihat tuannya yang sudah dalam keadaan rapi. Sudah cukup lama Giff tak melihatnya dalam kemeja lengan panjang dan vest serta dasi yang tersemat di kerahnya seperti itu. “Selamat pagi,” sapa Giff lebih dulu dengan kepala yang tertunduk sopan. “Pagi.” “Apa Anda akan pergi ke suatu tempat?” tanya Giff yang dijawab lebih dulu dengan sebuah anggukan oleh William “Iya, Giff. Ke Velox Corp.” Salah satu alis Giff terangkat mendengarnya, “Sungguh? Jadi Anda akan comeback?” “Ya,” jawabnya. “Melihatmu yang pontang-panting sendirian mengurus banyak hal dan mengambil alih pekerjaan membuatku tidak tega. Kembali bekerja bukan pilihan yang buruk, ‘kan? Aku hanya takut kamu tiba-tiba menguasai Velox Cop.” Giff tertawa mendengar itu, “Tidak,” jawabnya. “Saya masih sayang dengan nyawa saya, Tuan. Tapi terima kasih untuk sudah kembali. Minggu in
“Apa ada yang salah dengan itu?” tanya William balik. “Apa aku tidak boleh memanggilmu seperti itu? Ya sudah kalau tidak boleh, pergi saja sana!” usir William seraya memalingkan wajahnya dan itu membuat Nicholas tertawa. Senyum getir yang tadi senantiasa terukir di kedua sudut bibirnya telah sirna. Tawa itu lepas seakan beban yang mendesak dadanya itu terangkat pelan-pelan. “Boleh,” jawab Nicholas akhirnya. “Panggil saja sesukamu, Willie.” “Akan aku pikirkan kalau begitu.” Nicholas mengangguk, “Pulanglah! Sudah hampir gelap.” Ia mengayunkan kakinya lebih dulu untuk pergi dari sana. Menuruti William yang memintanya agar kembali lagi besok. William melihatnya pergi, memandang punggung bidangnya dan mengingat ucapan Giff beberapa waktu yang lalu. Pada hari di mana Giff menghampirinya yang berhenti di emperan pertokoan. ‘Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda’ yang hari itu dikatakannya adalah tentang kecelakaan yang melibatkan Nicholas dan juga Madeline. ‘Seorang saksi yang
Giff yang berjalan keluar dari pintu utama panti asuhan menghentikan langkahnya dan urung mengajak William untuk pulang saat ia menjumpai Quist bersaudara itu saling menatap dalam jarak sekian meter yang memisahkan. Ia lebih memilih untuk membiarkan mereka bicara dan tidak mengganggu keduanya. Memang sudah seharusnya mereka berdamai dan meluruskan semua kesalahpahaman yang memeluk mereka itu, bukan? Di seberang sana, Nicholas sepertinya juga tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan William di sini. Ia terdiam tanpa melakukan apapun hingga salah satu anak panti asuhan yang ada di sekitarnya berteriak, “Paman, tolong tendang bolanya ke sini!” William yang berdiri di tengah halaman melihat Nicholas yang menendang bola itu, mengembalikannya pada anak-anak yang tengah menunggunya dan mendekat pada William. “Kamu di sini ternyata, Willie?” sapanya lebih dulu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William balik. Kakak lelakinya itu sekilas mengangkat kedua bahunya sebelum menjaw
“Tuan William,” panggil Giff yang membuat William menggosok matanya sebelum ia mengangkat wajah. Menjumpai wajah pemuda itu yang berjalan menghampirinya dan berdiri berseberangan meja dengannya. “Ya?” balas William singkat. “Reynold, mantan pacarnya Gretha yang kemarin lusa pernah saya katakan pada Anda kalau kami bertemu di proyek kecil miliknya itu saya hubungi tadi sore.” “Untuk apa kamu menghubunginya?” tanya William hampir enggan. “Untuk membicarakan kemungkinan proyek yang bisa kita kerjakan dengannya,” jawab Giff dengan senyum yang tak bisa diartikan. “Kenapa aku harus bekerja sama dengannya, Giff?” “Kenapa lagi? Tentu karena kita harus menggali lebih jauh soal Henry dan keterlibatannya dengan semua peristiwa di sekitar kita, ‘kan?” tanyanya balik. “Sekalian untuk mencari kejelasan apakah benar Reynold yang menghamili Gretha.” William menggeleng samar. “Atur saja,” ucapnya. “Tapi jangan sampai kamu mempertemukan aku dengannya sekarang ini. Aku tidak ingin melihat wajah s