"Kamu milikku" gak tuh 🤣🤣 siapa yang mau ikut ke Mars? nanti jam 2 kumpul di pos ronda
William mendekatkan wajahnya pada Lilia, menarik pinggangnya sekali lagi agar mereka lebih dekat. Jika benar terjadi, maka ini adalah yang ke dua kalinya William mencium Lilia. Pria itu menggapai bibir kecil Lilia, mengecupnya dengan lembut, hangat dan tenang. Setiap sentuhannya seperti gelombang air hangat yang membuat darahnya berdesir. Sebuah perlakuan yang selama ini tak pernah didapatkan oleh Lilia karena sebagian besar yang ia terima adalah sentuhan tanpa cinta. Saat William menarik wajahnya dari Lilia, manik gelapnya mengunci Lilia yang gugup meramalkan apa yang sebentar lagi terjadi jika mereka terus seperti ini. “A-apa yang akan A-anda lakukan?” tanya Lilia terbata-bata. “Apa, Lilia?” “Meskipun … kita sudah pernah menikah sebelumnya dan sampai hari ini status kita masih suami istri, tapi ….” “Tenanglah,” bisik William lirih. Iris kelamnya membuat Lilia termangu, terhipnotis lagi padanya. “Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi aku tidak akan melakukan apapun,
“Hamil?!” ulang William dengan sepasang alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. Membutuhkan beberapa detik untuknya memproses apa yang baru saja dikatakan oleh Giff. Bahwa hal penting yang harus disampaikan oleh pemuda itu adalah sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. “Bu Agni harusnya tahu Mama datang ke sini semalam, kenapa tidak memberitahuku?” gumamnya. “Saya tadi sudah bertanya pada Bu Agni, dan memang benar jika Nyonya datang, Tuan William. Bu Agni bilang akan memberi tahu Anda pagi ini juga karena semalam dia tidak ingin merusak kebahagiaan Anda, Nona Lilia dan Baby K,” tutur Giff menjelaskan. William memijit keningnya yang terasa nyeri saat Giff melanjutkan kalimatnya. “Bu Agni bilang Nyonya Donna marah-marah, tapi karena Anda tidak ada di rumah beliau pergi begitu saja.” William menghela dalam napasnya. Hidupnya seakan jungkir balik dalam waktu singkat. Dari yang semula bahagia dan berdebar setiap mengingat ciumannya bersama dengan Lilia kini menjadi sesak ak
“Tidak!” jawab William sebagai sebuah penolakan yang tegas. Mata teguhnya dapat dijumpai oleh Nyonya Donna yang duduk di samping Tuan Adam dengan punggung tegang. “Bukankah aku sudah mengatakannya dengan jelas? Aku tidak pernah merasa memperkosa Gretha!” Seperti sebuah kebetulan—atau memang ini telah direncanakan—nama yang baru saja disebutkan William itu datang memasuki ruang keluarga. Wanita itu bersama dengan sang ibu, berjalan dengan kepala yang tertunduk dan langkah yang ragu-ragu begitu menjumpai William duduk di sana. “Ayo, Sayang!” ajak Nyonya Bertha seraya meraih tangan Gretha agar ikut dengannya. “Tidak apa-apa, ayo!” “Kemarilah, Gretha ….” sambut Nyonya Donna dengan keibuan. Beliau turut berdiri dan merangkul bahu Gretha serta membawanya untuk duduk di sampingnya. “Apa dia terus muntah sepanjang pagi?” tanya Ibunya William. “Wajahnya terlihat sangat pucat.” “Iya, Donna,” jawab Nyonya Bertha. “Gretha terus muntah sejak bangun tidur. Kondisinya lemah dan disarankan dok
“Mana bisa, Liam?” tanya Nyonya Bertha, menentang William yang baru saja mengatakan bahwa mereka bisa melakukan tes DNA sejak janin masih berada di dalam kandungan. “Bisa,” jawab William tegas dan sama lantangnya. “DNA bayi sudah bisa dicek bahkan sejak mereka ada di dalam kandungan. Sebenarnya kalian semua ini hidup di goa atau bagaimana? Sampai tidak tahu ada kemajuan seperti itu?” William menoleh pada Gretha dan mengatakannya sekali lagi, “Kita pergi tes DNA, Gretha! Kita bisa lihat hasilnya nanti.” “T-tidak mau,” jawab Gretha sebagai sebuah penolakan. “A-aku takut, Kak Liam,” katanya dengan gugup. “Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada bayiku nanti semisal dia sudah diusik sejak di dalam kandungan. Meski dia hidup dari hubungan yang menyakiti hatiku, biar bagaimanapun dia adalah anakku. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Suaranya lirih dan mengiba yang membuat Nyonya Donna merangkul bahunya dengan khawatir. “Fine,” tanggap William. “Terserah kalau beg
“B-benarkah?” tanya Lilia memastikan. Bergantian memandang Keano dan William yang membenarkan itu. “Iya,” jawabnya tanpa ragu. “Bagaimana menurutmu?” Lilia mengangguk tak keberatan, “Terdengar bagus.” “Aku ingin jika kita meresmikan pernikahan nanti di tempat yang tertutup saja. Hanya ada aku, kamu dan orang-orang yang kita undang,” kata William. “Bukan karena aku tidak ingin mengumumkan pernikahan kita. Tapi aku hanya tidak suka jika ada yang mengatakan hal buruk tentangmu, atau orang lain bisa melihat cantiknya kamu saat mengenakan gaun pengantin.” ‘Cantik?’ ulang Lilia dalam hati, seakan tak percaya dengan pujian yang terlontar dari bibir William. ‘Dia bilang aku cantik?’ Tanpa sadar, ‘pujian’ itu membuat tubuhnya bereaksi dengan melukiskan rona merah di kedua pipinya yang bisa dilihat oleh Keano. “Papa, pipinya Mama merah,” sebut anak lelakinya yang membuat William tersenyum saat memindai wajahnya. “S-saya setuju,” kata Lilia setelah berdeham, agar ‘pipi merah’ itu tak dibah
Tubuh Lilia seakan membeku. Kalimat ‘Aku mencintaimu’ yang dikatakan oleh William terasa sehangat sinar matahari kala senja, tetapi juga sesejuk sapuan angin dari laut. Meski sudah melamarnya, dan jelas akan ke arah mana hubungan mereka berlabuh, tetapi Lilia hampir tidak pernah mendengar William mengatakan ia mencintainya. Sore ini, dengan disaksikan ombak yang terpecah menabrak karang, Lilia mendengarnya dengan sangat jelas, ‘Aku mencintaimu, Lilia.’ “Kamu tidak ingin menjawabnya?” tanya William yang seketika menghentikan puluhan alinea di dalam benaknya. “Aku mencintaimu lebih dulu,” jawab Lilia akhirnya. “Benarkah? Sejak kapan?” “Lama.” William hanya tersenyum saat menggumamkan, “Mungkin aku yang lebih lama.” “Ya?” Pria itu menggeleng, “Tidak,” katanya. “Kamu tahu seperti apa perasaanku sekarang? Aku sangat berterima kasih.” “Bagiku ini masih terasa tidak nyata,” kata Lilia. “Aku berulang kali memungkiri hatiku yang selalu mengatakan aku mencintai seorang William Quist d
“Nona Lilia?” sapa Giff yang membuat Lilia terjaga dari pikiran sesaat itu. Keberadaannya diketahui oleh Giff, ia yang tak mungkin berbalik arah atau berpura-pura tidak mendengar panggilan itu pun segera mendekat pada dua pria itu. William menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan oleh Lilia. Ia berdeham sebelum bertanya, “Apa kamu sudah selesai berkeliling?” “Sudah,” jawab Lilia. “Keano di mana?” “Ada di dalam kamar.” William mengangguk menanggapi itu. Keheningan canggung membuat beberapa detik berlalu tanpa ada suara hingga Lilia memutuskan untuk mengakhirinya. “A-apa yang sedang kalian bicarakan?” tanyanya. “Apa ada hal yang disembunyikan dariku?” Lilia memutuskan untuk tak memendam kemelut itu sendirian di dalam hatinya sehingga ia memilih untuk menanyakannya pada mereka. “Itu—“ William terlihat ragu untuk menjawabnya. “Itu soal biaya pengobatan Ibu Nona,” sahut Giff karena William seperti tak akan melanjutkan kalimatnya. “Pengobatan ibuku?” ulang LIlia. “Iya,
“Liam,” panggil Nicholas sembari selangkah mendekat pada William. “Aku bertanya karena khawatir.” “Pada siapa?” sahut William sebelum sempat Nicholas menjelaskan. “Khawatir pada Lilia karena kamu menyimpan perasaan padanya, ‘kan?” “Tidak bisakah kamu bersikap lebih tenang? Emosimu selalu meledak seperti—“ “Tenang di depan orang yang terlihat jelas menginginkan apa yang aku miliki?” potong William seraya mengangkat dagunya. “Dengar ini, Nic!” katanya menekan. “Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu khawatirkan! Aku bisa mengatasinya, tidak perlu bantuanmu! Jangan mendekat pada Lilia atau berpikir bisa mengambilnya dariku. Berhentilah ikut campur!” Nicholas menghela dalam napasnya, kedua bahunya yang bidang dan terbalut di dalam setelan jasnya yang rapi itu merosot penuh dengan rasa kecewa. “Dan berhenti berfantasi dengan istri orang, apalagi itu adik iparmu!” imbuh William. “Jika kamu masih terus ikut campur, dan sesuatu yang buruk terjadi pada hubunganku de
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel
Di rumah milik William pagi ini, Giff yang baru saja keluar dari kamar yang ia tinggali selama ‘menumpang hidup’ di rumah William sedikit terkejut saat melihat tuannya yang sudah dalam keadaan rapi. Sudah cukup lama Giff tak melihatnya dalam kemeja lengan panjang dan vest serta dasi yang tersemat di kerahnya seperti itu. “Selamat pagi,” sapa Giff lebih dulu dengan kepala yang tertunduk sopan. “Pagi.” “Apa Anda akan pergi ke suatu tempat?” tanya Giff yang dijawab lebih dulu dengan sebuah anggukan oleh William “Iya, Giff. Ke Velox Corp.” Salah satu alis Giff terangkat mendengarnya, “Sungguh? Jadi Anda akan comeback?” “Ya,” jawabnya. “Melihatmu yang pontang-panting sendirian mengurus banyak hal dan mengambil alih pekerjaan membuatku tidak tega. Kembali bekerja bukan pilihan yang buruk, ‘kan? Aku hanya takut kamu tiba-tiba menguasai Velox Cop.” Giff tertawa mendengar itu, “Tidak,” jawabnya. “Saya masih sayang dengan nyawa saya, Tuan. Tapi terima kasih untuk sudah kembali. Minggu in
“Apa ada yang salah dengan itu?” tanya William balik. “Apa aku tidak boleh memanggilmu seperti itu? Ya sudah kalau tidak boleh, pergi saja sana!” usir William seraya memalingkan wajahnya dan itu membuat Nicholas tertawa. Senyum getir yang tadi senantiasa terukir di kedua sudut bibirnya telah sirna. Tawa itu lepas seakan beban yang mendesak dadanya itu terangkat pelan-pelan. “Boleh,” jawab Nicholas akhirnya. “Panggil saja sesukamu, Willie.” “Akan aku pikirkan kalau begitu.” Nicholas mengangguk, “Pulanglah! Sudah hampir gelap.” Ia mengayunkan kakinya lebih dulu untuk pergi dari sana. Menuruti William yang memintanya agar kembali lagi besok. William melihatnya pergi, memandang punggung bidangnya dan mengingat ucapan Giff beberapa waktu yang lalu. Pada hari di mana Giff menghampirinya yang berhenti di emperan pertokoan. ‘Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda’ yang hari itu dikatakannya adalah tentang kecelakaan yang melibatkan Nicholas dan juga Madeline. ‘Seorang saksi yang
Giff yang berjalan keluar dari pintu utama panti asuhan menghentikan langkahnya dan urung mengajak William untuk pulang saat ia menjumpai Quist bersaudara itu saling menatap dalam jarak sekian meter yang memisahkan. Ia lebih memilih untuk membiarkan mereka bicara dan tidak mengganggu keduanya. Memang sudah seharusnya mereka berdamai dan meluruskan semua kesalahpahaman yang memeluk mereka itu, bukan? Di seberang sana, Nicholas sepertinya juga tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan William di sini. Ia terdiam tanpa melakukan apapun hingga salah satu anak panti asuhan yang ada di sekitarnya berteriak, “Paman, tolong tendang bolanya ke sini!” William yang berdiri di tengah halaman melihat Nicholas yang menendang bola itu, mengembalikannya pada anak-anak yang tengah menunggunya dan mendekat pada William. “Kamu di sini ternyata, Willie?” sapanya lebih dulu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William balik. Kakak lelakinya itu sekilas mengangkat kedua bahunya sebelum menjaw
“Tuan William,” panggil Giff yang membuat William menggosok matanya sebelum ia mengangkat wajah. Menjumpai wajah pemuda itu yang berjalan menghampirinya dan berdiri berseberangan meja dengannya. “Ya?” balas William singkat. “Reynold, mantan pacarnya Gretha yang kemarin lusa pernah saya katakan pada Anda kalau kami bertemu di proyek kecil miliknya itu saya hubungi tadi sore.” “Untuk apa kamu menghubunginya?” tanya William hampir enggan. “Untuk membicarakan kemungkinan proyek yang bisa kita kerjakan dengannya,” jawab Giff dengan senyum yang tak bisa diartikan. “Kenapa aku harus bekerja sama dengannya, Giff?” “Kenapa lagi? Tentu karena kita harus menggali lebih jauh soal Henry dan keterlibatannya dengan semua peristiwa di sekitar kita, ‘kan?” tanyanya balik. “Sekalian untuk mencari kejelasan apakah benar Reynold yang menghamili Gretha.” William menggeleng samar. “Atur saja,” ucapnya. “Tapi jangan sampai kamu mempertemukan aku dengannya sekarang ini. Aku tidak ingin melihat wajah s