siaaaangg 🤗🤗🤗 akak semua yang 1 lagi agak sore yah mohon maaf masih dalam review ☺️😹
Lilia tak bisa membendung rasa bahagianya mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh William. Jadi guru ia bilang? Lilia menunduk, meraih kertas yang ada di atas meja sebelum kembali memandang William seraya bertanya, “Sungguh saya boleh menjadi guru?” William mengangguk menjawabnya, sedang Keano yang tadinya sibuk dengan serangga di dalam toples itu mendekat pada Lilia, menatapnya dengan sepasang mata yang berbinar. “Apa yang terjadi, Mama?” tanyanya polos. “Kenapa Mama sangat senang?” “Papa bilang kalau ada kesempatan untuk bisa menjadi guru di sekolah tempat Keano belajar,” jawab Lilia dengan mengusap rambut hitamnya yang tebal. “Artinya, kalau Mama jadi guru di sana, Keano akan bisa bertemu dengan Mama setiap hari?” celotehnya dengan antusias. “Mau saja, Mama ….” Lilia juga sangat ingin melakukan itu. Menjadi guru adalah hal yang sedari dulu ia inginkan. Ia kembali menatap William yang anehnya … untuk pertama kalinya ia melihat William tersenyum lepas. “Terima kasih,” ka
Keberadaannya di sini … bukankah Lilia tak perlu mempertanyakannya? Gretha adalah seorang pebisnis. Bisa dikatakan ia adalah perpanjangan tangan dari ayahnya—Alaric Roseanne—dalam menjalankan bisnis keluarga. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanya Gretha masih dengan suara yang sama manisnya. Lilia membuka bibirnya, ia hampir menjawab gadis itu sebelum merasakam tarikan di tangan Keano yang mengatakan, “Ayo masuk, Mama! Liftnya sudah terbuka. Nanti Papa menunggu kita,” tunjuknya pada pintu lift yang ada di hadapan mereka. “Iya, Sayang,” jawab Lilia dengan tersenyum pada Keano kemudian mereka masuk ke dalam lift. Staf yang tadi menemani mereka tertahan di luar saat Gretha mengatakan bahwa ia yang akan menemani Lilia menuju ke lantai lima belas, ruang kerja William berada. “Aku juga akan bertemu dengan Kak Liam,” ujar Gretha saat ia ikut masuk, menyusul Lilia dan berdiri di sampingnya. Pintu lift tertutup, Gretha memandang Lilia saat mereka melewati lantai tiga sembari meng
Namun, alih-alih menjawab Gretha, yang dilakukan William justru memandang kedatangan Lilia. “Sebentar,” katanya pada Gretha seraya menguraikan tangan kecil gadis itu yang melilit lengannya. William mendekat pada Lilia dan mengarahkan kedua tangannya pada Keano, mengangkat anak lelakinya itu ke gendongannya. Setelah hal itu ia lakukan, Lilia terkejut karena William menarik pergelangan tangannya agar mendekat. Menghentikan gerakan Nicholas yang akan menghampiri Lilia. Nicholas yang sepertinya menyadari tatapan tak nyaman William segera mencari topik pembicaraan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanyanya. “Aku yang memintanya ke sini,” jawab William lebih dulu. “Kalau kamu mau meeting dengan Gretha, biar Keano dan Lilia bersamaku, Liam. Aku bisa membawa mereka berkeliling sampai kamu selesai.” William menyeringai, “Tidak perlu,” jawabnya. Sedetik kemudian ia menoleh pada Gretha yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu bisa memberikan file-nya pada Giff, Gretha,” pint
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari
Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?”Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.“Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’”“Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!”Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.“Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?”“Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membu
“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Namun, alih-alih menjawab Gretha, yang dilakukan William justru memandang kedatangan Lilia. “Sebentar,” katanya pada Gretha seraya menguraikan tangan kecil gadis itu yang melilit lengannya. William mendekat pada Lilia dan mengarahkan kedua tangannya pada Keano, mengangkat anak lelakinya itu ke gendongannya. Setelah hal itu ia lakukan, Lilia terkejut karena William menarik pergelangan tangannya agar mendekat. Menghentikan gerakan Nicholas yang akan menghampiri Lilia. Nicholas yang sepertinya menyadari tatapan tak nyaman William segera mencari topik pembicaraan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanyanya. “Aku yang memintanya ke sini,” jawab William lebih dulu. “Kalau kamu mau meeting dengan Gretha, biar Keano dan Lilia bersamaku, Liam. Aku bisa membawa mereka berkeliling sampai kamu selesai.” William menyeringai, “Tidak perlu,” jawabnya. Sedetik kemudian ia menoleh pada Gretha yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu bisa memberikan file-nya pada Giff, Gretha,” pint
Keberadaannya di sini … bukankah Lilia tak perlu mempertanyakannya? Gretha adalah seorang pebisnis. Bisa dikatakan ia adalah perpanjangan tangan dari ayahnya—Alaric Roseanne—dalam menjalankan bisnis keluarga. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanya Gretha masih dengan suara yang sama manisnya. Lilia membuka bibirnya, ia hampir menjawab gadis itu sebelum merasakam tarikan di tangan Keano yang mengatakan, “Ayo masuk, Mama! Liftnya sudah terbuka. Nanti Papa menunggu kita,” tunjuknya pada pintu lift yang ada di hadapan mereka. “Iya, Sayang,” jawab Lilia dengan tersenyum pada Keano kemudian mereka masuk ke dalam lift. Staf yang tadi menemani mereka tertahan di luar saat Gretha mengatakan bahwa ia yang akan menemani Lilia menuju ke lantai lima belas, ruang kerja William berada. “Aku juga akan bertemu dengan Kak Liam,” ujar Gretha saat ia ikut masuk, menyusul Lilia dan berdiri di sampingnya. Pintu lift tertutup, Gretha memandang Lilia saat mereka melewati lantai tiga sembari meng
Lilia tak bisa membendung rasa bahagianya mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh William. Jadi guru ia bilang? Lilia menunduk, meraih kertas yang ada di atas meja sebelum kembali memandang William seraya bertanya, “Sungguh saya boleh menjadi guru?” William mengangguk menjawabnya, sedang Keano yang tadinya sibuk dengan serangga di dalam toples itu mendekat pada Lilia, menatapnya dengan sepasang mata yang berbinar. “Apa yang terjadi, Mama?” tanyanya polos. “Kenapa Mama sangat senang?” “Papa bilang kalau ada kesempatan untuk bisa menjadi guru di sekolah tempat Keano belajar,” jawab Lilia dengan mengusap rambut hitamnya yang tebal. “Artinya, kalau Mama jadi guru di sana, Keano akan bisa bertemu dengan Mama setiap hari?” celotehnya dengan antusias. “Mau saja, Mama ….” Lilia juga sangat ingin melakukan itu. Menjadi guru adalah hal yang sedari dulu ia inginkan. Ia kembali menatap William yang anehnya … untuk pertama kalinya ia melihat William tersenyum lepas. “Terima kasih,” ka
“Sayang?” ulang beberapa orang yang ada di sekitar Lilia. “Siapa pria itu?” “Dia tadi sepertinya keluar dari mobil mewah yang ada di sana?” tunjuk lainnya pada sedan milik William yang berada beberapa jarak di dekat gerbang sekolah Keano. Selagi bisikan terus bergulir, semakin lama semakin keras, Lilia masih memandang William. Ingin rasanya menguraikan tangannya yang ada di pinggangnya ini tetapi yang terjadi justru William merengkuhnya semakin erat. “Ayo pulang,” kata William dengan menundukkan kepalanya di samping Lilia. Mereka hampir beranjak sebelum salah seorang ibu muda menghentikan keduanya. “Maaf—” katanya pertama-tama. “Tapi sepertinya saya pernah melihat Anda. Apa … Anda William Quist dari Velox Corp?” tanyanya. “Velox Corp?” ulang beberapa orang lain, semakin banyak yang ingin tahu. “Anda CEO di Velox Corp, benar?” tanya si Ibu muda kembali. William hanya tersenyum, tipis sepanjang beberapa milimeter sebagai sebuah tanggapan. “Suami saya bekerja di Velox Corp, s
“Tidak,” jawab Lilia dengan cepat. “Tapi ada film yang memang tidak boleh ditonton oleh anak-anak.” “Itu memang film yang khusus ditonton oleh keluarga, Lilia,” tegas William. “Kamu ikut atau tidak?” Lilia memandang Keano yang sepasang matanya tampak berbinar. Memangnya siapa yang sanggup menolak permintaan bocah kecil itu jika sudah menunjukkan sisinya yang manja pada seperti ini? “Iya, ikut,” putus Lilia akhirnya. Maka setelah itu, pergilah mereka ke salah satu mall yang cukup ramai saat hari menjelang sore. Di bioskop, William benar saat mengatakan bahwa film yang mereka tonton itu adalah film khusus keluarga. Sebuah film yang hangat dengan karakter superhero lemah yang kemudian berubah menjadi kuat. Film usai dengan mendapat banyak tepuk tangan dari para penonton begitu juga dengan Keano yang terbawa suasana. “Tapi, apa itu film dewasa yang tadi dikatakan oleh Papa?” tanya Keano sekeluarnya mereka dari sana. Bocah kecil itu berjalan di tengah, menggandeng tangan Lilia dan
Daripada berubah panjang, dan mempertimbangkan seandainya Keano bangun karena ‘perdebatan’ mereka, Lilia akhirnya menghadapkan tubuhnya pada William. Mata mereka bertemu di bawah minimnya pencahayaan di dalam ruangan itu. Untuk beberapa saat keheningan menghampiri hingga William kembali membuka suaranya. “Apakah kamu masih takut saat kita sudah berada sedekat ini?” tanyanya. “Yang saya takuti itu lebih pada saat Anda marah pada saya,” jawab Lilia apa adanya. Karena memang seperti itulah yang ia rasakan. “Apalagi sebagian besar dari marah itu saya tidak tahu apa penyebab jelasnya. Saya takut melihat mata Tuan William yang gelap. Itu mengingatkan saya pada ayah saya yang—” Lilia berhenti bicara, pupil hitamnya bergoyang gugup mendapati William yang masih tak berpaling. “Maaf,” kata Lilia. “Saya tidak bermaksud menjual cerita sedih.” “Apa hidupmu memang semenyedihkan itu?” “Menurut Anda?” tanya Lilia balik. “Aneh.” William menatapnya kian lekat, seolah berusaha menyelami isi piki
‘Mencium?’ ulang Lilia dalam hati. Ia terkejut dengan permintaan Keano, dan sebelum itu terjadi, ia lebih dulu mengidekan hal lainnya. “Keano dan Papa saja yang berfoto,” katanya memberi saran. “Nanti biar fotonya Keano dan Papa yang Mama pasang di ponsel barunya Mama, bagaimana?” Lilia harap ia setuju. Tapi, Keano tak serta-merta menjawabnya. Ia menatap Lilia dengan alis yang sedikit berkerut dan bibirnya yang kecil itu bergerak, pasti akan melayangkan protes, Lilia tahu itu. Namun, sebelum suara manisnya terdengar, bariton William lebih dulu singgah di indera pendengar Lilia saat pria itu mengatakan, “Sure,” dengan tanpa bebannya. “Ayo kita berfoto.” Lilia menoleh ke belakang dan melihat William yang bangun dari balik mejanya. Langkah kakinya yang panjang itu dalam sekejap menghabisi jarak sehingga ia tiba di dekat Keano. “Apa yang kamu lakukan?” tanya William seraya memandang Lilia yang masih duduk di tempatnya. “Kamu tidak ingin berfoto denganku dan Keano?” Itu bukan sebat
William cukup lama memandangnya, sepasang matanya yang gelap itu memindai Lilia, seolah membaca gerak tubuhnya, seperti sedang memastikan sesuatu.Lilia meremas jari-jarinya, napas tertahan selama beberapa detik saat jaraknya dan William begitu dekat.Pria itu kemudian menunduk di sampingnya.Tangannya menggapai sesuatu dari atas meja, yang saat Lilia melihatnya itu adalah ponsel miliknya yang pasti ia tinggalkan di sana sebelum mengajak Keano mandi."Temui aku nanti kalau kamu sudah selesai dengan Keano," kata William, sekilas memandang Lilia sebelum ia membawa kakinya untuk pergi dari sana."Papa keluar dulu, Sayang," katanya pada Keano yang membalas lambaian tangannya hingga ia menghilang di balik pintu.Kedua bahu Lilia jatuh penuh kelegaan saat langkah kaki William tak lagi terdengar.Setiap kali dekat dengannya, atau menjumpai tatapan William yang gelap, rasanya ia mendapat ketakutan yang besar.Pria itu seakan-akan bersiap merenggut hidupnya. Menimbulkan ingatan tentang ayah an
Mendengar Lilia mengulangi apa yang ia katakan membuat William berdeham. Pria itu memalingkan wajahnya sebelum membawa kakinya pergi lebih dulu. “Cepatlah!” katanya saat Lilia masih tertegun sehingga mereka dipisahkan sekian meter jarak. “Aku akan meninggalkanmu kalau lama.” “Papa,” rengek Keano saat melihat Lilia masih ada di belakang. “Tidak boleh meninggalkan Mama!” Menuai protes dari anak lelakinya, Lilia melihat William memelankan langkahnya. Lilia lalu menyusul mereka, berjalan di samping William. Ia hendak merapikan kerah baju Keano tetapi yang terjadi justru tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan Willia sehingga Lilia urung melakukan itu dan lebih memilih untuk selangkah menjauh, memberi jarak yang lebih lebar. Di parkiran, Lilia melihat Giff yang tampak terhubung dengan panggilan telepon dengan seseorang. Pemuda itu berdiri tak jauh dari sedan mewah milik William sebelum mengetahui kedatangan mereka sehingga ia harus menyelesaikan panggilan itu. “Selamat d