Reynold selamat dari wanita jahat ☺️ terima kasih sudah membaca, 1 bab lagi dalam 2 menit
Secara biologis, Henry lah ayah dari anak yang tengah ia kandung ini. Tapi sampai mati pun ia tak akan pernah mengakui itu. “Gretha?” panggil Reynold setelah Gretha hanya terus terdiam. Gretha kembali memandangnya dan tersenyum sinis. “Kenapa kamu sangat ingin tahu, Rey?” tanyanya. “Berapa kali harus aku katakan bahwa apa yang terjadi padaku ini bukan urusanmu, jadi berhentilah ingin tahu!” Dagunya sedikit terangkat, gigi-giginya menggertak dengan geram sebelum ia menjadikan pria yang ada di hadapannya itu sebagai akar masalah. “Satu hal yang perlu kamu ketahui, semua ini terjadi karena dirimu, Reynold Aarav!” “Kenapa aku?” balas Reynold dengan suara yang gemetar seolah ia juga sama geramnya. “Kenapa aku, Gretha? Sementara kamu lah yang memutuskan hubungan ini. Jika memang kamu bahagia dengan keluarga barumu, aku hanya ingin mengucapkan selamat dan meminta pria itu untuk menjagamu, itu saja!” Reynold seakan tak peduli setinggi apa nada bicaranya sekarang ini. Hatinya masygul mend
“Yang Anda katakan itu adalah sebuah kesalahan, Bu,” jawab Dokter tersebut begitu Gretha selesai bicara. “Anda tidak boleh melakukan hal seperti itu. Anak harus jelas asal-usulnya, keturunan siapa dan—“ “Aku tidak peduli dengan itu, Dokter,” potong Gretha tak mau tahu. “Aku hanya ingin anakku memiliki ayah seorang William Quist! Aku akan berikan berapapun yang Anda mau asalkan Dokter melakukan permintaanku!” Tapi, Dokter menggeleng, sebuah tanda penolakan yang sangat kentara. “Tes DNA janin itu bukan SpOG atau dokter kandungan yang melakukannya,” kata beliau. “Melainkan dilakukan oleh dokter kehakiman, dokter forensik. Itu pun harus memenuhi syarat-syarat yang ketat, alasan yang jelas dan bisa diterima mengapa janin di tes DNA-nya.” Pupus sudah harapan Gretha saat mendengar semua itu. Tapi rupanya ia masih belum mau menyerah dan berusaha membujuk Dokter, sekali lagi. “Anda menolak karena Anda masih belum melihat uangnya, ‘kan?” tanya Gretha. “Akan aku bawakan tunai ke sini, berap
Lilia hendak membuka bibirnya sebelum William lebih dulu mengatakan, “Aku cemburu.” Ia menatap Lilia dengan sepasang iris gelapnya yang tak berpaling, sedang Keano suka-suka saja melihat interaksi mereka berdua dengan berdiri menjadi penonton. “Aku cemburu pada siapapun pria yang dekat denganmu.” Lilia tersenyum saat membalas, “Jangan suka cemburu … nanti cepat tua.” “Apa hubungannya? Aku rasa tidak ada hubungannya.” “Begitu juga dengan saya dan Pak Zavian, sesuatu yang tidak sepatutnya Anda cemburui karena kami tidak memiliki hubungan,” kata Lilia. William memandang Lilia, sorot matanya menelisik. “Benarkah?” sangsinya. “Tentu saja.” Lilia menjumpai kedua sudut bibir pria itu terangkat selama sepersekian detik sebelum sirna saat ia berdeham. Ia sekali lagi memandang Keano dan mengatakan, “Sekolah yang baik, Keano ... dengar apa kata Mama dan Oma ya?” “Siap, Papa.” Mereka melakukan tos sebelum William memeluk bocah kecil itu dan sekali lagi mengarahkan pandangannya pada Lil
“Tidak mungkin,” jawab Gretha dengan cepat. “Itu adalah kartu dari Seans Holdings, kamu tahu Seans Holdings, ‘kan? Aku putri tunggal pemiliknya. Tidak mungkin kartunya ditolak! Coba sekali lagi.” Staf tersebut pun melakukan sebagaimana permintaan Gretha kemudian menunjukkan kepadanya bahwa memang kartu tersebut ditolak. “Maaf, Nona,” kata staf wanita berseragam itu. Gretha mendengus, moodnya seketika hancur dan ketimbang ia mengalami pengusiran seperti yang terjadi di rumah sakit karena ia melakukan keributan, ia segera mengambil kartu miliknya yang lain, yang bukan dari Seans Holdings. Setelah itu, ia bergegas keluar dari sana seraya berpikir, ‘Aneh sekali ….’ katanya dalam hati. Padahal setengah jam yang lalu ia baru saja menggunakan kartu itu untuk membeli perhiasan. ‘Tapi kenapa sekarang tiba-tiba tidak bisa?’ Ia tadinya ingin menghabiskan waktu yang lebih banyak di sana. Tetapi karena peristiwa barusan, Gretha akhirnya lebih memilih untuk pulang. Sopir yang mengemudikan
“Baik,” jawab Zain dengan patuh. Kepala pemuda itu menunduk dengan sopan di depan Alaric yang tersenyum mengiringi mundur langkahnya sebelum ia tak terlihat lagi. Alaric menghela dalam napasnya sebelum ia duduk di tepi ranjang hotel dan bergumam sendirian dalam hati, ‘Sepertinya aku jeda dulu alasan ke luar kota beberapa hari ke depan,’ batinnya. ‘Aku ingin melihat seperti apa Zain membuat Bertha kalang kabut karena kejahatannya pelan-pelan diangkat ke permukaan.’ Matanya sejenak terpejam, rasanya berubah dari panas hingga perih menyadari bahwa selama ini ia hidup bersama dengan wanita yang membuat keluarganya porak-poranda. Bayangan wajah Agatha berkelebat di matanya dan itu membuatnya sesak. ‘Maaf, Agatha,’ ucapnya dalam diam. ‘Aku sedang menebus kegagalanku di masa lalu yang tak bisa melindungimu serta Ivana dengan mencurahkan semua hidupku untuk putri kita Leonora.’ Mata Alaric terbuka saat ia mendengar ponselnya yang ada di atas meja bergetar. Ia menggapainya dan memerik
Bertha bergegas bangun dari duduknya setelah membaca itu. Ia menyisih pergi dari meja tempat ia duduk bersama dengan teman-teman sosialitanya, menyingkir untuk menghubungi si pengirim itu. Tetapi saat hal itu ia lakukan, ia tidak mendapat jawaban. Panggilannya ditolak. Dadanya sesak oleh rasa berdebar kala si pengirim pesan itu kembali menyusulkan pesan lainnya. [Tak perlu menghubungiku. Cukup satu hal saja yang perlu kau tahu, akan aku katakan pada semua orang apa yang telah kau lakukan.] Dengan jemari yang gemetar dan seolah mati rasa, ia memberanikan diri untuk membalas. [Dari mana kamu tahu semua itu?] [Seseorang memberi tahuku.] ‘Seseorang?!’ ulang Bertha dalam hati. Jantungnya berdebar-debar diburu rasa takut saat sekali lagi ia menghubungi si pengirim itu. Ia ingin bicara secara langsung, sehingga semuanya akan menjadi jelas. Tetapi tak peduli berapa kali pun ia lakukan itu, ia akan ditolak. ‘Siapa yang tahu tentang apa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu?’ bat
Bertha dengan tangan yang mati rasa menutup kembali kotak tersebut. Tubuhnya meremang, ketakutan yang tak bisa dijelaskan timbul dari dalam lubuk hatinya. Membayangkan kalimat itu benar dikatakan oleh Agatha membuatnya seperti akan kehilangan akal sehat. Bagaimana jika benar Agatha yang menulis ini? Bagaimana jika ia belum mati? ‘Tidak!’ tepis Bertha dalam hati. ‘Aku melihatnya dimasukkan pusara hari itu. Dia tidak mungkin masih hidup!’ “Apa isinya?” tanya Alaric yang membuatnya tersadar dari ketegangan mencekam yang memeluknya seorang diri ini. Bertha menggeleng, “Bukan apa-apa,” jawabnya. “Hanya dari orang yang tidak suka padaku dan melakukan teror. Akan aku buang nanti, jangan khawatir!” Bertha kemudian membawa paket itu menjauh dari Alaric yang wajahnya dilanda rasa penasaran. Ia berjalan melewati Gretha yang dengan bingung bertanya ‘Ada apa?’ tetapi Bertha lebih memilih untuk membisu. Ia masuk ke dalam kamar, duduk di tepi ranjang dan membuka sekali lagi kotak itu. Rupan
“Jangan membual!” jawab Bertha kemudian mendenguskan napasnya dengan kasar. “Aku tidak membual, kamu memang benar istriku, ‘kan?” jawab pria itu. “Kita tidak pernah menikah jadi kamu tidak bisa menyebutku sebagai istrimu.” “Ya, ya ….” balas pria itu, mengalah. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku? Di mana anak kita yang cantik itu? Apa dia baik-baik saja?” Bertha tampak tak senang dengan banyaknya tanya dari pria berkaos hitam di hadapannya itu tetapi tetap menjawabnya meski wajahnya berpaling. “Dia baik,” jawabnya. “Tapi aku tidak datang untuk membicarakan itu, Gana!” “Jadi kenapa? Aku terkejut karena semalam mendapatkan pesan darimu,” tanggapnya. “Sudah berapa lama kita tidak bertemu, Bertha? Terakhir kali saat aku meminta uang padamu, ‘kan?” Bertha terlihat mengibaskan tangan kanannya, isyarat bahwa ia tak ingin mempedulikan celotehannya itu. “Apa kamu mengatakan apa yang kita lakukan lebih dari dua puluh tahun yang lalu pada seseorang?” tanyanya. “Apa it
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan