ini bonus ke 2 ya hehehe ☺️ selamat malam selamat beristirahat 🎉🎉 tinggalkan komentar biar Thor semangat update, vote gems juga buat William Lilia Keano ya 🤗 kalian siap sama bab-bab yang akan datang dan menguak misteri yang belum terungkap?
Bertha bergegas bangun dari duduknya setelah membaca itu. Ia menyisih pergi dari meja tempat ia duduk bersama dengan teman-teman sosialitanya, menyingkir untuk menghubungi si pengirim itu. Tetapi saat hal itu ia lakukan, ia tidak mendapat jawaban. Panggilannya ditolak. Dadanya sesak oleh rasa berdebar kala si pengirim pesan itu kembali menyusulkan pesan lainnya. [Tak perlu menghubungiku. Cukup satu hal saja yang perlu kau tahu, akan aku katakan pada semua orang apa yang telah kau lakukan.] Dengan jemari yang gemetar dan seolah mati rasa, ia memberanikan diri untuk membalas. [Dari mana kamu tahu semua itu?] [Seseorang memberi tahuku.] ‘Seseorang?!’ ulang Bertha dalam hati. Jantungnya berdebar-debar diburu rasa takut saat sekali lagi ia menghubungi si pengirim itu. Ia ingin bicara secara langsung, sehingga semuanya akan menjadi jelas. Tetapi tak peduli berapa kali pun ia lakukan itu, ia akan ditolak. ‘Siapa yang tahu tentang apa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu?’ bat
Bertha dengan tangan yang mati rasa menutup kembali kotak tersebut. Tubuhnya meremang, ketakutan yang tak bisa dijelaskan timbul dari dalam lubuk hatinya. Membayangkan kalimat itu benar dikatakan oleh Agatha membuatnya seperti akan kehilangan akal sehat. Bagaimana jika benar Agatha yang menulis ini? Bagaimana jika ia belum mati? ‘Tidak!’ tepis Bertha dalam hati. ‘Aku melihatnya dimasukkan pusara hari itu. Dia tidak mungkin masih hidup!’ “Apa isinya?” tanya Alaric yang membuatnya tersadar dari ketegangan mencekam yang memeluknya seorang diri ini. Bertha menggeleng, “Bukan apa-apa,” jawabnya. “Hanya dari orang yang tidak suka padaku dan melakukan teror. Akan aku buang nanti, jangan khawatir!” Bertha kemudian membawa paket itu menjauh dari Alaric yang wajahnya dilanda rasa penasaran. Ia berjalan melewati Gretha yang dengan bingung bertanya ‘Ada apa?’ tetapi Bertha lebih memilih untuk membisu. Ia masuk ke dalam kamar, duduk di tepi ranjang dan membuka sekali lagi kotak itu. Rupan
“Jangan membual!” jawab Bertha kemudian mendenguskan napasnya dengan kasar. “Aku tidak membual, kamu memang benar istriku, ‘kan?” jawab pria itu. “Kita tidak pernah menikah jadi kamu tidak bisa menyebutku sebagai istrimu.” “Ya, ya ….” balas pria itu, mengalah. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku? Di mana anak kita yang cantik itu? Apa dia baik-baik saja?” Bertha tampak tak senang dengan banyaknya tanya dari pria berkaos hitam di hadapannya itu tetapi tetap menjawabnya meski wajahnya berpaling. “Dia baik,” jawabnya. “Tapi aku tidak datang untuk membicarakan itu, Gana!” “Jadi kenapa? Aku terkejut karena semalam mendapatkan pesan darimu,” tanggapnya. “Sudah berapa lama kita tidak bertemu, Bertha? Terakhir kali saat aku meminta uang padamu, ‘kan?” Bertha terlihat mengibaskan tangan kanannya, isyarat bahwa ia tak ingin mempedulikan celotehannya itu. “Apa kamu mengatakan apa yang kita lakukan lebih dari dua puluh tahun yang lalu pada seseorang?” tanyanya. “Apa it
Pemuda yang baru masuk itu adalah anak buah Tuan Alaric juga. Namanya Niel. Ia sudah bekerja cukup lama menjadi bagian dari Seans Holdings dan pagi hari ini diminta oleh Zain diam-diam mengikuti ke mana Nyonya Bertha pergi. Pesan yang kemarin diterima oleh Nyonya Bertha itu Zain lah yang mengirimnya beserta dengan paket berisi teror untuknya. Tadi, Zain menerima pesan dari Tuan Alaric yang mengatakan bahwa Nyonya Bertha keluar seorang diri dan meminta Zain untuk mengikutinya. Tidak mungkin bagi Zain berkeliaran dan mencegah Nyonya Bertha tahu bahwa ia diikuti olehnya, maka Zain—atas izin Tuan Alaric—membawa serta Niel. Rupanya, pancingan Zain lewat pesan dan paket itu membawa mereka ke sini untuk mendapatkan bukti siapa aktor dari tewasnya Nyonya Agatha. Umpannya telah dimakan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pria yang ditemui oleh wanita itu adalah ayahnya Gretha yang kini ia ketahui bernama Ganata Flad. Yang jika didengar dari video yang didapatkan oleh Niel, artinya
William pun menemukan keberadaan Lilia yang berdiri di antara hingar-bingar itu. Memangnya siapa yang tak bisa melihat betapa cantik gadis itu bahkan dengan hanya berdiam diri di bawah pohon dan mengamati Keano serta ibunya yang melihat lampion-lampion milik orang sekitar? Seharusnya William sudah tiba di sini sejak tadi pagi atau bahkan semalam. Hanya saja … ada meeting mendadak dengan partner bisnisnya yang baru datang dari luar negeri sehingga ia harus bekerja pada akhir pekan. Hal itulah yang membuatnya terlambat tiba di sini dengan meminta Giff bergegas. Saat mereka tiba, ia disambut oleh lampion-lampion itu. Tapi yang mencuri perhatian William bukanlah pada langit yang penuh dengan warna, tetapi seorang gadis yang keberadaannya membuat semua hal yang berdiri di sekitarnya menjadi abu-abu. Hanya dirinya seorang yang penuh rona, apalagi matanya yang terlihat berbinar seperti permata amethyst. Tempat ini benar-benar tak bisa menyembunyikan pesona Lilia. William yang tadinya
Keadaan di sekitar menjadi hening saat suara Zavian membumbung tinggi di udara. Ungkapan itu didengar oleh semua orang yang ada di sana. Tua, muda, anak-anak hingga orang dewasa yang Sabtu malam itu ada di halaman kantor kelurahan. Yang satu demi satu dari mereka mulai ikut bersuara agar Lilia memberikan jawabannya untuk Zavian, pegawai kelurahan yang masih muda yang—Lilia dengar—banyak disukai oleh gadis-gadis di sana tetapi ia malah menjatuhkan pilihannya pada Lilia. Ungkapan tersebut juga sampai di telinga Giff. Pemuda itu tadinya mengikuti William yang memintanya pergi ke kantor kelurahan setelah memarkirkan mobilnya di rumah Lilia. Ia senang melihat lampion-lampion yang beterbangan di udara dan membiarkan William mencari Lilia serta Keano. Senyumnya yang tadi terukir kala melihat cahaya yang berpendar di langit itu sirna begitu ia mendengar ada yang menyatakan perasaannya pada Lilia. ‘Sial! Siapa itu yang beraninya mengatakan dia menyukai Nona Lilia?!’ gerutu Giff dalam ha
“Astaga itu papanya Keano?!” celetuk salah seorang warga. “Kenapa dia tampan sekali?” Bibir orang-orang yang ada di sana dibuat terbuka begitu menjumpai William yang seolah lepas dari pengawasan mereka sebelumnya. Sedangkan Zavian yang mendengar Keano sesaat terlihat bingung. Pupilnya bergerak ke kiri dan ke kanan sebelum bertanya, “B-benarkah?” Lilia melihatnya menoleh, kedua alisnya terangkat meminta persetujuan sehingga ia mengangguk sebagai sebuah jawaban. Lilia menunduk, mengintip pada Keano yang menatap sengit pada Zavian. Pemuda itu tampak memejamkan matanya—barangkali menahan malu. Karena sebelum Lilia menolak—dan ia memang akan menolak—Keano malah lebih dulu memberi jawaban. Lilia melihat William yang tadinya berhenti kembali berjalan kepadanya. Pria itu meraih Keano dan menggendongnya dengan sebelah tangan kekarnya sementara tangannya yang lain meraih tangan Lilia dan menariknya untuk pergi dari sana. “Ayo,” ajaknya kemudian mereka pergi diikuti oleh Gi
“T-tidak perlu,” jawab Lilia dengan cepat seraya menggelengkan kepalanya. “Kenapa Anda menanyakan hal seperti itu?” “Aku hanya bertanya,” jawab William. “Tidak bolehkah?” Lilia tak menjawab, debar jantungnya yang baru saja berangsur reda kembali kencang saat sekali lagi William menunduk. Hanya beberapa milimeter sebelum bibir mereka bersentuhan. Tetapi …. Drrrt! Getar ponsel William yang ada di atas meja telah mengakhiri ketegangan akibat debaran itu. William menarik wajahnya dan menoleh ke arah meja, tempat di mana ia meletakkan ponselnya dengan sepasang matanya yang terpejam kesal. “Giffran Alfrond ….” desisnya seolah sudah tahu siapa si pemanggil tanpa harus melihatnya. “Si cerewet itu akan aku bunuh sebentar lagi!” William mengayunkan kakinya dengan sedikit menghentak menjauh dari Lilia, meraih ponselnya dan kembali padanya seraya berujar, “Istirahatlah. Aku akan bertemu dengan Giff sebentar.” Lilia mengangguk, mengiringi kepergian pria itu yang punggung bidang
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan