bonus 2. Dar der dor gebyaaarr 🤣 terima kasih sudah membaca 🤗 sampai jumpa besok lagi ya, jangan lupa tinggalkan komentar ulasan like vote buat keluarga kesayangan kita semua ❤️❤️ bai-baiii....
William pun menemukan keberadaan Lilia yang berdiri di antara hingar-bingar itu. Memangnya siapa yang tak bisa melihat betapa cantik gadis itu bahkan dengan hanya berdiam diri di bawah pohon dan mengamati Keano serta ibunya yang melihat lampion-lampion milik orang sekitar? Seharusnya William sudah tiba di sini sejak tadi pagi atau bahkan semalam. Hanya saja … ada meeting mendadak dengan partner bisnisnya yang baru datang dari luar negeri sehingga ia harus bekerja pada akhir pekan. Hal itulah yang membuatnya terlambat tiba di sini dengan meminta Giff bergegas. Saat mereka tiba, ia disambut oleh lampion-lampion itu. Tapi yang mencuri perhatian William bukanlah pada langit yang penuh dengan warna, tetapi seorang gadis yang keberadaannya membuat semua hal yang berdiri di sekitarnya menjadi abu-abu. Hanya dirinya seorang yang penuh rona, apalagi matanya yang terlihat berbinar seperti permata amethyst. Tempat ini benar-benar tak bisa menyembunyikan pesona Lilia. William yang tadinya
Keadaan di sekitar menjadi hening saat suara Zavian membumbung tinggi di udara. Ungkapan itu didengar oleh semua orang yang ada di sana. Tua, muda, anak-anak hingga orang dewasa yang Sabtu malam itu ada di halaman kantor kelurahan. Yang satu demi satu dari mereka mulai ikut bersuara agar Lilia memberikan jawabannya untuk Zavian, pegawai kelurahan yang masih muda yang—Lilia dengar—banyak disukai oleh gadis-gadis di sana tetapi ia malah menjatuhkan pilihannya pada Lilia. Ungkapan tersebut juga sampai di telinga Giff. Pemuda itu tadinya mengikuti William yang memintanya pergi ke kantor kelurahan setelah memarkirkan mobilnya di rumah Lilia. Ia senang melihat lampion-lampion yang beterbangan di udara dan membiarkan William mencari Lilia serta Keano. Senyumnya yang tadi terukir kala melihat cahaya yang berpendar di langit itu sirna begitu ia mendengar ada yang menyatakan perasaannya pada Lilia. ‘Sial! Siapa itu yang beraninya mengatakan dia menyukai Nona Lilia?!’ gerutu Giff dalam ha
“Astaga itu papanya Keano?!” celetuk salah seorang warga. “Kenapa dia tampan sekali?” Bibir orang-orang yang ada di sana dibuat terbuka begitu menjumpai William yang seolah lepas dari pengawasan mereka sebelumnya. Sedangkan Zavian yang mendengar Keano sesaat terlihat bingung. Pupilnya bergerak ke kiri dan ke kanan sebelum bertanya, “B-benarkah?” Lilia melihatnya menoleh, kedua alisnya terangkat meminta persetujuan sehingga ia mengangguk sebagai sebuah jawaban. Lilia menunduk, mengintip pada Keano yang menatap sengit pada Zavian. Pemuda itu tampak memejamkan matanya—barangkali menahan malu. Karena sebelum Lilia menolak—dan ia memang akan menolak—Keano malah lebih dulu memberi jawaban. Lilia melihat William yang tadinya berhenti kembali berjalan kepadanya. Pria itu meraih Keano dan menggendongnya dengan sebelah tangan kekarnya sementara tangannya yang lain meraih tangan Lilia dan menariknya untuk pergi dari sana. “Ayo,” ajaknya kemudian mereka pergi diikuti oleh Gi
“T-tidak perlu,” jawab Lilia dengan cepat seraya menggelengkan kepalanya. “Kenapa Anda menanyakan hal seperti itu?” “Aku hanya bertanya,” jawab William. “Tidak bolehkah?” Lilia tak menjawab, debar jantungnya yang baru saja berangsur reda kembali kencang saat sekali lagi William menunduk. Hanya beberapa milimeter sebelum bibir mereka bersentuhan. Tetapi …. Drrrt! Getar ponsel William yang ada di atas meja telah mengakhiri ketegangan akibat debaran itu. William menarik wajahnya dan menoleh ke arah meja, tempat di mana ia meletakkan ponselnya dengan sepasang matanya yang terpejam kesal. “Giffran Alfrond ….” desisnya seolah sudah tahu siapa si pemanggil tanpa harus melihatnya. “Si cerewet itu akan aku bunuh sebentar lagi!” William mengayunkan kakinya dengan sedikit menghentak menjauh dari Lilia, meraih ponselnya dan kembali padanya seraya berujar, “Istirahatlah. Aku akan bertemu dengan Giff sebentar.” Lilia mengangguk, mengiringi kepergian pria itu yang punggung bidang
Mata Giff terpejam tak berdaya mendengar hal itu. ‘Double trouble,’ pikirnya dalam hati. ‘Mengatasi Papanya saja kesulitan setengah mati, ini ditambah dengan anaknya pula ….’ Lilia yang berada di belakang William dan Keano terkejut dengan kompaknya mereka bicara. Tapi lupakan itu, ia meminta ayah dan anak itu untuk menyisih agar ia bisa membawa masuk belanjaan. Tapi alih-alih didengar, mereka malah mematung di sana tak mengizinkan Lilia lewat. “Anda ada perlu apa ke sini?” tanya Giff yang lebih dulu menghampiri Zavian. “Saya hanya ingin bicara sedikit dengan Pak William dan Lilia,” jawabnya. Giff tampak menoleh pada William yang sepertinya enggan memberi tanggapan. Tapi, Alya yang berjalan melewati Giff meminta agar Zavian masuk. “Masuk dulu, Pak Zavian,” katanya mempersilakan. “Masalah orang dewasa, apalagi kesalahpahaman tidak bisa diselesaikan dengan berdiri. Harus duduk dan dibicarakan dengan kepala yang dingin.” Alya tampak mengamati mereka semua bergantian. Pandangannya
Lilia merasa … ada dendam tersendiri dari cara William bertutur saat ia menekankan pada Zavian bahwa ia bukanlah seorang mandor. Sepertinya sebutan itu membekas di hati William saat pemuda itu mengatakan, ‘Aah … jadi Anda mandor’ yang dikatakannya pada hari pertemuan pertama mereka di preschool. “Maaf,” jawab Zavian. “Aku tidak tahu soal itu. Karena saat itu Pak William bilang Anda sedang meninjau proyek, jadi aku pikir Anda adalah mandor,” terangnya sebagai sebuah pembelaan. “Memangnya ada mandor proyek yang tampilannya sepertiku?” “Maaf saya benar-benar tidak tahu.” Lilia tersenyum mendengar perdebatan itu sebelum meminta mereka berhenti. “Karena semuanya sudah jelas sekarang, Anda berdua bisa meminum tehnya,” katanya mempersilakan. William dan Zavian sama-sama meraih cangkir teh dari atas meja, dua pria itu menyesapnya saat Lilia memperingatkan mereka bahwa tehnya kemungkinan masih sangat panas. “Masih panas, tolong ditiup dulu!” Lilia melihat William yang membeku begitu ju
“Apa sedalam itu lukanya?” gumam Lilia yang dapat didengar oleh Giff. Pemuda itu mengangguk menanggapinya, “Anda dan Tuan William sama-sama terluka, hanya caranya saja yang membedakan. Tuan William dengan kehilangan Anda dan Keano, sementara di sini Anda dengan kehilangan ingatan. Bukan hanya sama-sama terluka, Anda berdua juga sama-sama kehilangan.” Lilia menghela dalam napasnya, mau tak mau ia harus menyetujui Giff bahwa pemuda itu benar. Ia dan William sama-sama menanggung luka dan sama-sama kehilangan. “Aku ingin mengingat semuanya kembali,” tanggapnya. “Aku harap semua ingatanku kembali aku dapatkan, baik buruknya, sedih bahagianya.” “Saya yakin sebentar lagi Anda akan ingat semuanya, Nona Lilia ….” Mereka menoleh ke belakang saat mendengar suara Keano yang memanggil Lilia. “Mama ….” Suaranya serak, matanya belum sepenuhnya terbuka tetapi sepertinya bocah kecil itu harus segera memastikan bahwa Lilia masih ada di rumah ini bersamanya sehingga ia bergegas ke luar. “Sayang
Lilia bisa melihat kedua telinga William yang memerah saat pria itu menundukkan kepalanya selama beberapa detik sebelum tersenyum saat menatap Lilia kembali. “Kalau begitu aku akan melamar mu lagi, Lilia,” kata William yang membuat Lilia terkejut. “Y-ya?!” “Melamarmu,” ulang William. “Bukankah aku harus melamarmu sekali lagi? Tapi aku akan bilang dulu pada Papa Alaric untuk meminta restu pada beliau.” Lilia terdiam, dadanya berdebar-debar mendengar William bersungguh-sungguh untuk memperjelas hubungan mereka ke depannya. Pria itu bahkan mengatakan akan meminta izin pada ayahnya terlebih dahulu. Perutnya penuh dengan kupu-kupu, kata seolah habis di tenggorokannya. “Kenapa?” tanya William karena Lilia terus terdiam tanpa memberinya tanggapan. “Apakah kamu keberatan?” Lilia menggeleng, “Tidak,” jawabnya. “Saya hanya sedang mengendalikan detak jantung saya saja.” “Kenapa dengan jantungmu memangnya?” “Berdebar-debar,” jawabnya singkat kemudian kembali menunduk untuk mela
Tidak lagi!Lilia tidak akan mengenakan gaun tidur seperti semalam karena pada pagi harinya saat terbangun rasanya tubuhnya ini remuk!Ia sudah bangun dari tadi, tetapi masih belum ingin turun dari ranjang lagi dan berbaring di sana, membungkus dirinya degan selimut hangat.Matanya memandang langit-langit kamar yang juga masih gelap, sebelas-dua belas dengan keadaan di luar yang belum menunjukkan semburat fajar.Bisa dibilang, ini masih terlalu pagi.Lilia memang terbangun karena ia kedinginan sehingga ia berjalan menuju ke ruang ganti, memutuskan untuk mandi dengan air hangat dan mengenakan piyama lengan panjang kemudian kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang.William? Jangan ditanya sedang ke mana sebab prianya itu sudah pasti menjalani hidup sehatnya dengan berada di dalam ruang gym.Lilia pernah melihatnya tinju atau sekadar berlari di ats treadmill. “Tubuhku rasanya sakit semua,” ucap Lilia seraya mengalihkan dirinya menjadi miring ke kiri.Yang semalam kembali menyeruak di
Gretha memukuli Nyonya Bertha yang hanya bergeming di tempat ia duduk.Tangisan Gretha terdengar nyaring, dirundung oleh keputusasaan hingga kerapuhan yang besar kala ia memahami sepenuhnya bahwa ini adalah akhir dari segalanya.“Tolong tenang!” pinta seorang petugas polisi yang duduk di depan.Pria berseragam itu menoleh ke belakang dan memandang Gretha dengan raut wajah yang mengeras seolah itu adalah peringatan pertama dan terakhirnya.Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk tiba di halaman kantor kepolisian. Gretha dan ibunya dibawa keluar dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa masuk segera ke ruang pemeriksaan.Langkah kakinya berubah gamang kala ia dipisahkan oleh sang Ibu dan ditempatkan di ruangan yang berbeda. Dan mungkin ke depannya mereka tak akan bisa bertemu satu sama lain.Hingga waktu yang tak bisa ditentukan.Ini akan menjadi waktu yang panjang, dan dingin ....Ada banyak orang yang menyebutkan bahwa lantai tahanan itu jauh lebih dingin ketimbang bongkahan
"Anda ditahan atas pasal pembunuhan berencana, pemusnahan barang bukti, pemerasan, penggelapan dan perbuatan tidak menyenangkan." Petugas tersebut memandang Gretha dan Nyonya Bertha bergantian. Surat penangkapan yang ditunjukkan di hadapan Nyonya Bertha yang memang berdiri paling dekat dengan mereka lalu diturunkan. "Bawa mereka!" titahnya pada petugas lain yang ada di belakangnya. "Tidak!" seru Gretha seraya berjalan mundur. Ia tidak mau ditangkap! Ia berlari pergi dari sana, air matanya berlinangan penuh ketakutan. "GRETHA!" panggil Nyonya Bertha, seruannya mengatakan lebih banyak agar sebaiknya mereka menyerah saja. Jalan mereka sudah buntu, mereka tidak bisa lari ke manapun sebab rumah ini pasti telah dikepung. "Jangan bawa saya sekarang!" Gretha berseru keras-keras, larinya terhalang oleh polisi yang lebih dulu bergerak dan tiba di hadapannya. "Lepas!" Ia memberontak saat tangannya diraih. Suara borgol yang dikeluarkan membuat bulu kuduknya berdiri. Dinginnya benda itu
Lilia juga hampir tersedak mendengar tanya polos Keano. Mereka bertiga orang dewasa harus menggapai gelas berisi air minum dan membasahi leher mereka yang mendadak dilanda kekeringan. "Tidak semudah itu, Keano," ucap William akhirnya. Memandang pada anak lelakinya yang mengerjap dan kembali mengunyah makanannya. "Lalu bagaimana, Papa?" "Adik tidak akan muncul semudah itu. Kalaupun nanti ada kabar baiknya, kita masih harus menunggu sampai sembilan bulan sampai adik lahir," tuturnya menerangkan. "Hm ... baiklah." Keano mengangguk, sepertinya bisa memahami apa yang dikatakan oleh William. Mereka kembali melanjutkan makan dan selesai beberapa saat kemudian. Keano mengajak Giff untuk berenang sebelum ia masuk ke kamar atas dan menyusul Lilia yang sibuk dengan tablet yang ia pinjam dari William untuk mencari informasi sekolah Keano. Tadi ia sudah mendapatkan jawaban dari William soal di mana Jayce dan Jasenna bersekolah. Ia memeriksa kapan pendaftarannya dibuka dan biayanya. Sedang W
Memasuki rumah, Lilia harus menghela dalam napasnya untuk menguraikan sesak yang baru saja menjeratnya ini. “Kamu baik-baik aja?” tanya William seraya memindah tangannya dari pinggang Lilia ke bahunya, ia rangkul dan ia beri usapan lembut. “Iya, William. Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Hanya ... sedikit terkejut saja mendengar Gretha berbicara seperti itu tadi.” “Sama. Aku juga terkejut.” “Aku harap dia mendapatkan poinnya bahwa setiap dari yang kita lakukan itu memiliki akibatnya. Yang baik atau yang buruk.” William mengusap bagian belakang kepalanya, pada rambut panjangnya yang hitam legam. Terpesona pada cara Lilia berucap tentang akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Itu lembut dan sangat keibuan. “Seperti yang kamu katakan tadi, Lilia,” ucap William. “Kamu memiliki hak untuk menolak. Jadi keputusan kamu untuk menolak permintaannya tadi itu adalah pilihan yang benar.” “Aku sepertinya terlalu banyak menonton drama,” ujar Lilia saat mereka terus berjalan menuju k
‘A-apa dia bilang?’ batin Lilia, tubuhnya berdiri membeku di belakang William yang tak bisa menahan diri untuk tetap menjaga ketenangannya. “Apa kamu bilang?!” tanya William dengan lantang. Ia selangkah maju tetapi Lilia meraih tangannya sehingga pria itu tetap tertahan di tempatnya. “Kamu bilang agar Lilia merawat anakmu?” Gretha tampak memberikan anggukannya, ia kembali menatap Lilia dan dari jarak yang memisahkan mereka ini, Lilia melihat netra wanita itu berair. Ekspresinya penuh dengan harap, seolah memang Lilia adalah satu-satunya harapannya yang tersisa. Seakan ia tak memiliki lagi tempat ke mana ia harus mengadu. “Iya,” katanya. “Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku tapi bisakah Lilia dan Kak Liam merawat anakku? Dia tidak bersalah, tapi harus menanggung dosa yang aku lakukan dan—“ “Artinya kamu sadar,” sela William sebelum Gretha berceloteh lebih panjang. “Artinya kamu sadar apa yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Kenapa baru sekarang? Ke mana saja kamu s
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya. Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.” “Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja. Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.” “Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!” Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha. “Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bers
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me