DENDAM KESUMAT BANGET YAH PAK WILLLLL SAMA SEBUTAN MANDOR PROYEK 🤣🤣
Lilia merasa … ada dendam tersendiri dari cara William bertutur saat ia menekankan pada Zavian bahwa ia bukanlah seorang mandor. Sepertinya sebutan itu membekas di hati William saat pemuda itu mengatakan, ‘Aah … jadi Anda mandor’ yang dikatakannya pada hari pertemuan pertama mereka di preschool. “Maaf,” jawab Zavian. “Aku tidak tahu soal itu. Karena saat itu Pak William bilang Anda sedang meninjau proyek, jadi aku pikir Anda adalah mandor,” terangnya sebagai sebuah pembelaan. “Memangnya ada mandor proyek yang tampilannya sepertiku?” “Maaf saya benar-benar tidak tahu.” Lilia tersenyum mendengar perdebatan itu sebelum meminta mereka berhenti. “Karena semuanya sudah jelas sekarang, Anda berdua bisa meminum tehnya,” katanya mempersilakan. William dan Zavian sama-sama meraih cangkir teh dari atas meja, dua pria itu menyesapnya saat Lilia memperingatkan mereka bahwa tehnya kemungkinan masih sangat panas. “Masih panas, tolong ditiup dulu!” Lilia melihat William yang membeku begitu ju
“Apa sedalam itu lukanya?” gumam Lilia yang dapat didengar oleh Giff. Pemuda itu mengangguk menanggapinya, “Anda dan Tuan William sama-sama terluka, hanya caranya saja yang membedakan. Tuan William dengan kehilangan Anda dan Keano, sementara di sini Anda dengan kehilangan ingatan. Bukan hanya sama-sama terluka, Anda berdua juga sama-sama kehilangan.” Lilia menghela dalam napasnya, mau tak mau ia harus menyetujui Giff bahwa pemuda itu benar. Ia dan William sama-sama menanggung luka dan sama-sama kehilangan. “Aku ingin mengingat semuanya kembali,” tanggapnya. “Aku harap semua ingatanku kembali aku dapatkan, baik buruknya, sedih bahagianya.” “Saya yakin sebentar lagi Anda akan ingat semuanya, Nona Lilia ….” Mereka menoleh ke belakang saat mendengar suara Keano yang memanggil Lilia. “Mama ….” Suaranya serak, matanya belum sepenuhnya terbuka tetapi sepertinya bocah kecil itu harus segera memastikan bahwa Lilia masih ada di rumah ini bersamanya sehingga ia bergegas ke luar. “Sayang
Lilia bisa melihat kedua telinga William yang memerah saat pria itu menundukkan kepalanya selama beberapa detik sebelum tersenyum saat menatap Lilia kembali. “Kalau begitu aku akan melamar mu lagi, Lilia,” kata William yang membuat Lilia terkejut. “Y-ya?!” “Melamarmu,” ulang William. “Bukankah aku harus melamarmu sekali lagi? Tapi aku akan bilang dulu pada Papa Alaric untuk meminta restu pada beliau.” Lilia terdiam, dadanya berdebar-debar mendengar William bersungguh-sungguh untuk memperjelas hubungan mereka ke depannya. Pria itu bahkan mengatakan akan meminta izin pada ayahnya terlebih dahulu. Perutnya penuh dengan kupu-kupu, kata seolah habis di tenggorokannya. “Kenapa?” tanya William karena Lilia terus terdiam tanpa memberinya tanggapan. “Apakah kamu keberatan?” Lilia menggeleng, “Tidak,” jawabnya. “Saya hanya sedang mengendalikan detak jantung saya saja.” “Kenapa dengan jantungmu memangnya?” “Berdebar-debar,” jawabnya singkat kemudian kembali menunduk untuk mela
Suara Bertha membumbung tinggi, seolah akan meruntuhkan langit-langit kamar.Tetapi seolah tak peduli dirinya yang menggebu-gebu, Alaric justru duduk dengan tenang dan mengulum senyumnya sekali lagi.“Semakin tua sepertinya aku mulai kehilangan hasrat,” jawab Alaric. “Anggap saja begitu, Bertha.”“Kenapa bisa begitu? Kamu semakin menjadi-jadi sejak membongkar album lama milik Agatha. Apa dua puluh empat tahun berada di sisimu tidak berarti sama sekali?”“Tentu saja berarti, Bertha,” jawab Alaric masih sama tenangnya. “Jika tak berarti, kenapa selama dua puluh empat tahun ini aku bertahan dalam pernikahan kita?”“Tapi tiga bulan ini aku hampir gila karena sikapmu, Alaric!” sanggahnya.“Apa dua puluh empat tahun menjadi suamimu kamu pandang sebelah mata hanya karena tiga bulan ini kita tidak seperti dulu?” tanya Alaric. Pria itu menatap Bertha yang berdiri gusar di hadapannya. “Berhentilah memprotes! Kamu tetap hidup dengan nyaman sampai hari ini, ‘kan? Kamu bahkan jauh lebih lama menja
“P-pria s-siapa m-maksud kamu, Alaric?!” tanya Bertha dengan terbata-bata. Pupil matanya bergoyang gugup mendengar balasan yang tak ia antisipasi dari Alaric.Suaranya gemetar kala mengembalikan tanya dari pria itu.“Aku tidak pernah menemui pria!” imbuhnya sebagai sanggahan. “Apa yang kamu bicarakan sebenarnya?”“Kamu tidak nyaman ‘kan dituduh?” Alaric memperdengarkan tawa lirihnya, selangkah maju dan suara benturan antara telapak slipper yang dikenakannya dengan lantai marmer tempat mereka berpijak membuat Bertha gemetar kala selangkah mundur ke belakang.“Karena kamu tahu rasanya dituduh itu tidak nyaman, jadi jaga bicaramu mulai sekarang, Bertha!”“Alaric—““Keluarlah!” potong Alaric kemudian mendorong napasnya yang seolah dibebani oleh banyak rasa sesak. “Keluarlah, tolong! Aku ingin sendiri.”Napas Bertha naik turun tak beraturan. Matanya berair menatap Alaric yang sepasang iris gelapnya menerpanya tanpa hati.Pengusiran yang dilakukannya itu seakan tak mempedulikan Bertha akan
“Tolong jaga bicara Anda, Nona Gretha!” sahut Giff lebih dulu. Tak habis pikir dengan kalimatnya yang menyakiti telinga. “Apa Anda tidak bisa bicara yang baik? Ini bukan hutan yang tidak memiliki aturan. Di tempat ini bukan hanya ada Anda saja.”“Jangan menyela dan jangan ikut campur, Giff!” balas Gretha tak mau kalah. “Kenapa kamu selalu ikut campur dan—““Sayangnya saya memang dibayar mahal oleh Tuan William untuk ikut campur,” potong pemuda itu, alis lebatnya nyaris bersinggungan menghadapi Gretha—yang tiba-tiba muncul tanpa mereka tahu.Napas Gretha naik turun mendengar hal itu, sementara William yang duduk di sofa ruang tunggu VIP itu terlihat mendorong napasnya dengan kasar.Sepasang matanya yang tak menatap Gretha itu menyiratkan keengganan yang sangat kentara bahwa ia tak suka dengan pertemuan ini.Sebuah kebetulan yang tak diinginkan!William menggertakkan rahangnya, padahal … suasana hatinya sangat baik sejak ia kembali dari tempat Lilia dan Keano. Tapi sepertinya hingga per
Gretha memandang William yang malah seolah sedang meremehkannya. Ia yang semula terdiam mendadak kehilangan kendali dalam dirinya sebelum ia berseru dan memukul William dengan tas yang ia bawa.“William!” serunya tak terkontrol.Tapi sebelum ada satu inchi bagian tubuh William yang terkena pukulan itu, Giff menahan tangan wanita itu di udara. Memintanya agar mundur.“Tolong hentikan kegilaan Anda ini, Nona Gretha!” katanya dengan tegas.“Kegilaan?!” ulang Gretha dengan suara yang masih sama berserunya. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘kegilaan’, Giff? Kamu menganggap aku gila?!”Gretha menjerit kesetanan saat William yang berdiri di belakang Giff justru menunjukkan senyuman tipisnya seraya menggelengkan kepala.“WILLIAM!” seru Gretha sekali lagi saat Giff meraih kedua bahunya dan memintanya untuk segera pergi dari ruang VIP tersebut.Karena Gretha seperti tak bisa dikendalikan, Giff harus dibantu oleh dua orang security agar ia pergi dari sana.Giff kembali pada William yang duduk di
"Apa yang kamu lakukan ini, Gretha?!" ulang Tuan Alaric sekali lagi.Gretha menurunkannya tangannya dan memandang beliau seraya menjawab, "Aku direndahkan oleh pelayan rendahan itu, Pa!" tunjuknya pada seorang gadis berseragam yang berdiri tak jauh dari Gretha dan tengah menunduk dengan salah satu tangan yang berada di pipinya yang merah akibat mendapat tamparan keras darinya."Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu ...." kata Tuan Alaric dengan mengusap bahu Gretha. "Berhati-hatilah dalam berucap, kamu sedang hamil. Anakmu yang ada di dalam kandungan sudah bisa mendengar apa yang kamu katakan. Sudah, jangan memukuli siapapun lagi ...."Gretha tampak menggertakkan rahang kecilnya. Pupilnya bergoyang tanda ia tak setuju saat Tuan Alaric melarangnya agar tak memukuli pelayan-pelayan di rumah mereka lagi.Napasnya terlihat naik turun menahan amarah sebelum akhirnya ia memberi anggukan samar.Tak mungkin baginya marah di depan Tuan Alaric, bukan?Ia harus senantiasa menjadi anak gadisny
"Apa yang kamu lakukan ini, Gretha?!" ulang Tuan Alaric sekali lagi.Gretha menurunkannya tangannya dan memandang beliau seraya menjawab, "Aku direndahkan oleh pelayan rendahan itu, Pa!" tunjuknya pada seorang gadis berseragam yang berdiri tak jauh dari Gretha dan tengah menunduk dengan salah satu tangan yang berada di pipinya yang merah akibat mendapat tamparan keras darinya."Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu ...." kata Tuan Alaric dengan mengusap bahu Gretha. "Berhati-hatilah dalam berucap, kamu sedang hamil. Anakmu yang ada di dalam kandungan sudah bisa mendengar apa yang kamu katakan. Sudah, jangan memukuli siapapun lagi ...."Gretha tampak menggertakkan rahang kecilnya. Pupilnya bergoyang tanda ia tak setuju saat Tuan Alaric melarangnya agar tak memukuli pelayan-pelayan di rumah mereka lagi.Napasnya terlihat naik turun menahan amarah sebelum akhirnya ia memberi anggukan samar.Tak mungkin baginya marah di depan Tuan Alaric, bukan?Ia harus senantiasa menjadi anak gadisny
Gretha memandang William yang malah seolah sedang meremehkannya. Ia yang semula terdiam mendadak kehilangan kendali dalam dirinya sebelum ia berseru dan memukul William dengan tas yang ia bawa.“William!” serunya tak terkontrol.Tapi sebelum ada satu inchi bagian tubuh William yang terkena pukulan itu, Giff menahan tangan wanita itu di udara. Memintanya agar mundur.“Tolong hentikan kegilaan Anda ini, Nona Gretha!” katanya dengan tegas.“Kegilaan?!” ulang Gretha dengan suara yang masih sama berserunya. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘kegilaan’, Giff? Kamu menganggap aku gila?!”Gretha menjerit kesetanan saat William yang berdiri di belakang Giff justru menunjukkan senyuman tipisnya seraya menggelengkan kepala.“WILLIAM!” seru Gretha sekali lagi saat Giff meraih kedua bahunya dan memintanya untuk segera pergi dari ruang VIP tersebut.Karena Gretha seperti tak bisa dikendalikan, Giff harus dibantu oleh dua orang security agar ia pergi dari sana.Giff kembali pada William yang duduk di
“Tolong jaga bicara Anda, Nona Gretha!” sahut Giff lebih dulu. Tak habis pikir dengan kalimatnya yang menyakiti telinga. “Apa Anda tidak bisa bicara yang baik? Ini bukan hutan yang tidak memiliki aturan. Di tempat ini bukan hanya ada Anda saja.”“Jangan menyela dan jangan ikut campur, Giff!” balas Gretha tak mau kalah. “Kenapa kamu selalu ikut campur dan—““Sayangnya saya memang dibayar mahal oleh Tuan William untuk ikut campur,” potong pemuda itu, alis lebatnya nyaris bersinggungan menghadapi Gretha—yang tiba-tiba muncul tanpa mereka tahu.Napas Gretha naik turun mendengar hal itu, sementara William yang duduk di sofa ruang tunggu VIP itu terlihat mendorong napasnya dengan kasar.Sepasang matanya yang tak menatap Gretha itu menyiratkan keengganan yang sangat kentara bahwa ia tak suka dengan pertemuan ini.Sebuah kebetulan yang tak diinginkan!William menggertakkan rahangnya, padahal … suasana hatinya sangat baik sejak ia kembali dari tempat Lilia dan Keano. Tapi sepertinya hingga per
“P-pria s-siapa m-maksud kamu, Alaric?!” tanya Bertha dengan terbata-bata. Pupil matanya bergoyang gugup mendengar balasan yang tak ia antisipasi dari Alaric.Suaranya gemetar kala mengembalikan tanya dari pria itu.“Aku tidak pernah menemui pria!” imbuhnya sebagai sanggahan. “Apa yang kamu bicarakan sebenarnya?”“Kamu tidak nyaman ‘kan dituduh?” Alaric memperdengarkan tawa lirihnya, selangkah maju dan suara benturan antara telapak slipper yang dikenakannya dengan lantai marmer tempat mereka berpijak membuat Bertha gemetar kala selangkah mundur ke belakang.“Karena kamu tahu rasanya dituduh itu tidak nyaman, jadi jaga bicaramu mulai sekarang, Bertha!”“Alaric—““Keluarlah!” potong Alaric kemudian mendorong napasnya yang seolah dibebani oleh banyak rasa sesak. “Keluarlah, tolong! Aku ingin sendiri.”Napas Bertha naik turun tak beraturan. Matanya berair menatap Alaric yang sepasang iris gelapnya menerpanya tanpa hati.Pengusiran yang dilakukannya itu seakan tak mempedulikan Bertha akan
Suara Bertha membumbung tinggi, seolah akan meruntuhkan langit-langit kamar.Tetapi seolah tak peduli dirinya yang menggebu-gebu, Alaric justru duduk dengan tenang dan mengulum senyumnya sekali lagi.“Semakin tua sepertinya aku mulai kehilangan hasrat,” jawab Alaric. “Anggap saja begitu, Bertha.”“Kenapa bisa begitu? Kamu semakin menjadi-jadi sejak membongkar album lama milik Agatha. Apa dua puluh empat tahun berada di sisimu tidak berarti sama sekali?”“Tentu saja berarti, Bertha,” jawab Alaric masih sama tenangnya. “Jika tak berarti, kenapa selama dua puluh empat tahun ini aku bertahan dalam pernikahan kita?”“Tapi tiga bulan ini aku hampir gila karena sikapmu, Alaric!” sanggahnya.“Apa dua puluh empat tahun menjadi suamimu kamu pandang sebelah mata hanya karena tiga bulan ini kita tidak seperti dulu?” tanya Alaric. Pria itu menatap Bertha yang berdiri gusar di hadapannya. “Berhentilah memprotes! Kamu tetap hidup dengan nyaman sampai hari ini, ‘kan? Kamu bahkan jauh lebih lama menja
Lilia bisa melihat kedua telinga William yang memerah saat pria itu menundukkan kepalanya selama beberapa detik sebelum tersenyum saat menatap Lilia kembali. “Kalau begitu aku akan melamar mu lagi, Lilia,” kata William yang membuat Lilia terkejut. “Y-ya?!” “Melamarmu,” ulang William. “Bukankah aku harus melamarmu sekali lagi? Tapi aku akan bilang dulu pada Papa Alaric untuk meminta restu pada beliau.” Lilia terdiam, dadanya berdebar-debar mendengar William bersungguh-sungguh untuk memperjelas hubungan mereka ke depannya. Pria itu bahkan mengatakan akan meminta izin pada ayahnya terlebih dahulu. Perutnya penuh dengan kupu-kupu, kata seolah habis di tenggorokannya. “Kenapa?” tanya William karena Lilia terus terdiam tanpa memberinya tanggapan. “Apakah kamu keberatan?” Lilia menggeleng, “Tidak,” jawabnya. “Saya hanya sedang mengendalikan detak jantung saya saja.” “Kenapa dengan jantungmu memangnya?” “Berdebar-debar,” jawabnya singkat kemudian kembali menunduk untuk mela
“Apa sedalam itu lukanya?” gumam Lilia yang dapat didengar oleh Giff. Pemuda itu mengangguk menanggapinya, “Anda dan Tuan William sama-sama terluka, hanya caranya saja yang membedakan. Tuan William dengan kehilangan Anda dan Keano, sementara di sini Anda dengan kehilangan ingatan. Bukan hanya sama-sama terluka, Anda berdua juga sama-sama kehilangan.” Lilia menghela dalam napasnya, mau tak mau ia harus menyetujui Giff bahwa pemuda itu benar. Ia dan William sama-sama menanggung luka dan sama-sama kehilangan. “Aku ingin mengingat semuanya kembali,” tanggapnya. “Aku harap semua ingatanku kembali aku dapatkan, baik buruknya, sedih bahagianya.” “Saya yakin sebentar lagi Anda akan ingat semuanya, Nona Lilia ….” Mereka menoleh ke belakang saat mendengar suara Keano yang memanggil Lilia. “Mama ….” Suaranya serak, matanya belum sepenuhnya terbuka tetapi sepertinya bocah kecil itu harus segera memastikan bahwa Lilia masih ada di rumah ini bersamanya sehingga ia bergegas ke luar. “Sayang
Lilia merasa … ada dendam tersendiri dari cara William bertutur saat ia menekankan pada Zavian bahwa ia bukanlah seorang mandor. Sepertinya sebutan itu membekas di hati William saat pemuda itu mengatakan, ‘Aah … jadi Anda mandor’ yang dikatakannya pada hari pertemuan pertama mereka di preschool. “Maaf,” jawab Zavian. “Aku tidak tahu soal itu. Karena saat itu Pak William bilang Anda sedang meninjau proyek, jadi aku pikir Anda adalah mandor,” terangnya sebagai sebuah pembelaan. “Memangnya ada mandor proyek yang tampilannya sepertiku?” “Maaf saya benar-benar tidak tahu.” Lilia tersenyum mendengar perdebatan itu sebelum meminta mereka berhenti. “Karena semuanya sudah jelas sekarang, Anda berdua bisa meminum tehnya,” katanya mempersilakan. William dan Zavian sama-sama meraih cangkir teh dari atas meja, dua pria itu menyesapnya saat Lilia memperingatkan mereka bahwa tehnya kemungkinan masih sangat panas. “Masih panas, tolong ditiup dulu!” Lilia melihat William yang membeku begitu ju
Mata Giff terpejam tak berdaya mendengar hal itu. ‘Double trouble,’ pikirnya dalam hati. ‘Mengatasi Papanya saja kesulitan setengah mati, ini ditambah dengan anaknya pula ….’ Lilia yang berada di belakang William dan Keano terkejut dengan kompaknya mereka bicara. Tapi lupakan itu, ia meminta ayah dan anak itu untuk menyisih agar ia bisa membawa masuk belanjaan. Tapi alih-alih didengar, mereka malah mematung di sana tak mengizinkan Lilia lewat. “Anda ada perlu apa ke sini?” tanya Giff yang lebih dulu menghampiri Zavian. “Saya hanya ingin bicara sedikit dengan Pak William dan Lilia,” jawabnya. Giff tampak menoleh pada William yang sepertinya enggan memberi tanggapan. Tapi, Alya yang berjalan melewati Giff meminta agar Zavian masuk. “Masuk dulu, Pak Zavian,” katanya mempersilakan. “Masalah orang dewasa, apalagi kesalahpahaman tidak bisa diselesaikan dengan berdiri. Harus duduk dan dibicarakan dengan kepala yang dingin.” Alya tampak mengamati mereka semua bergantian. Pandangannya