GRETHA ya Allah tobat gak luuuuu!!!! 👊🏻👊🏻 bonus menyusul yah heheheheh....
“Tolong jaga bicara Anda, Nona Gretha!” sahut Giff lebih dulu. Tak habis pikir dengan kalimatnya yang menyakiti telinga. “Apa Anda tidak bisa bicara yang baik? Ini bukan hutan yang tidak memiliki aturan. Di tempat ini bukan hanya ada Anda saja.” “Jangan menyela dan jangan ikut campur, Giff!” balas Gretha tak mau kalah. “Kenapa kamu selalu ikut campur dan—“ “Sayangnya saya memang dibayar mahal oleh Tuan William untuk ikut campur,” potong pemuda itu, alis lebatnya nyaris bersinggungan menghadapi Gretha—yang tiba-tiba muncul tanpa mereka tahu. Napas Gretha naik turun mendengar hal itu, sementara William yang duduk di sofa ruang tunggu VIP itu terlihat mendorong napasnya dengan kasar. Sepasang matanya yang tak menatap Gretha itu menyiratkan keengganan yang sangat kentara bahwa ia tak suka dengan pertemuan ini. Sebuah kebetulan yang tak diinginkan! William menggertakkan rahangnya, padahal … suasana hatinya sangat baik sejak ia kembali dari tempat Lilia dan Keano. Tapi sepertinya hingg
Gretha memandang William yang malah seolah sedang meremehkannya. Ia yang semula terdiam mendadak kehilangan kendali dalam dirinya sebelum ia berseru dan memukul William dengan tas yang ia bawa. “William!” serunya tak terkontrol. Tapi sebelum ada satu inchi bagian tubuh William yang terkena pukulan itu, Giff menahan tangan wanita itu di udara. Memintanya agar mundur. “Tolong hentikan kegilaan Anda ini, Nona Gretha!” katanya dengan tegas. “Kegilaan?!” ulang Gretha dengan suara yang masih sama berserunya. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘kegilaan’, Giff? Kamu menganggap aku gila?!” Gretha menjerit kesetanan saat William yang berdiri di belakang Giff justru menunjukkan senyuman tipisnya seraya menggelengkan kepala. “WILLIAM!” seru Gretha sekali lagi saat Giff meraih kedua bahunya dan memintanya untuk segera pergi dari ruang VIP tersebut. Karena Gretha seperti tak bisa dikendalikan, Giff harus dibantu oleh dua orang security agar ia pergi dari sana. Giff kembali pada William yang du
"Apa yang kamu lakukan ini, Gretha?!" ulang Tuan Alaric sekali lagi. Gretha menurunkannya tangannya dan memandang beliau seraya menjawab, "Aku direndahkan oleh pelayan rendahan itu, Pa!" tunjuknya pada seorang gadis berseragam yang berdiri tak jauh dari Gretha dan tengah menunduk dengan salah satu tangan yang berada di pipinya yang merah akibat mendapat tamparan keras darinya. "Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu ...." kata Tuan Alaric dengan mengusap bahu Gretha. "Berhati-hatilah dalam berucap, kamu sedang hamil. Anakmu yang ada di dalam kandungan sudah bisa mendengar apa yang kamu katakan. Sudah, jangan memukuli siapapun lagi ...." Gretha tampak menggertakkan rahang kecilnya. Pupilnya bergoyang tanda ia tak setuju saat Tuan Alaric melarangnya agar tak memukuli pelayan-pelayan di rumah mereka lagi. Napasnya terlihat naik turun menahan amarah sebelum akhirnya ia memberi anggukan samar. Tak mungkin baginya marah di depan Tuan Alaric, bukan? Ia harus senantiasa menjadi anak g
‘Tinggal sedikit lagi,’ gumam Alaric setelah ia mematikan air di wastafel. Ia menghela dalam napasnya dan mengangkat wajahnya. Rahangnya menggertak, ia seperti sudah muak dengan semua sandiwara yang ia lakukan di hadapan Bertha dan juga Gretha. Tapi ia tak punya pilihan lain selain terus berada di sini dan bertahan sementara waktu. Masih ada dua tempat miliknya yang dikelola oleh Bertha dan ia harus mengurus itu untuk sepenuhnya kembali menjadi miliknya tanpa perlu melibatkan wanita itu! ‘Jadi tetaplah menjadi bodoh tanpa pernah tahu apa yang aku lakukan, Bertha dan Gretha!’ Nanti saat ia telah selesai, pembalasan atas penderitaan yang disebabkan oleh pasangan ibu dan anak itu baru akan dimulai .... *** Di sebuah tempat yang selalu didatangi oleh Gretha setiap kali ia ingin bertemu dengan Henry, kegelapan malam hanya diterangi oleh beberapa cahaya lampu yang bergantung di kejauhan, sebatas sebagai penanda bahwa tempat ini dulunya pernah hidup. Gretha membuka pintu mobilnya da
Tetapi Giff jauh lebih cepat ketimbang Gretha. Pemuda itu menepis Gretha saat kedua tangan wanita itu masih merenggut kerah jas yang dikenakan oleh William. Dan begitu mereka memiliki jarak, Giff memasang badan dan berdiri di hadapan William, tak mengizinkan tangan Gretha menyentuh seinchi pun dari tuannya itu. “Saya hanya akan mengatakannya sekali,” ucap Giff dengan sepasang alisnya yang berkerut hampir bersinggungan. Di belakangnya, William tampak memejamkan matanya dengan kesal. Terlihat berusaha keras menjaga diri agar mulutnya itu tak melakukan sumpah serapah. “Aku hanya ingin memeluk Kak Liam sekali saja,” pintanya mengiba. “Kenapa kamu sangat tega mengabaikan anak kita?!” “Keluar, Gretha Roseanne!” Giff tak lagi menyebutnya sebagai Nona dan itu membuat Gretha terpaku selama beberapa detik. Ia lengah sehingga Giff telah meraih lengannya dan menggiringnya keluar. “Lepas!” jerit Gretha menggebu-gebu. Peristiwa yang rasanya seperti déjà vu karena ini bukan hanya sekali Gi
Lilia membeku hingga tanpa sadar payung yang ada di tangannya jatuh ke tepi jalan. Dinginnya gerimis yang menerpa kepalanya itu seperti tak dirasanya. "Apa maksudnya ini?" tanya Lilia seorang diri. "Gretha hamil? Dan mereka bilang ... itu adalah tanggung jawab William?" Di hari seharusnya ia bertemu dengan William ia malah mendapat berita seperti ini? Tubuhnya meremang saat Lilia membaca isi berita tersebut yang mengatakan sesuatu seperti … William mengusir Gretha yang tengah hamil agar pergi meninggalkan lobi miliknya. [Dalam keadaan hamil besar, ia diusir pergi dan tak diizinkan masuk. Saksi di lokasi mengatakan bahwa William menyebut bahwa anak yang dikandungnya itu bukanlah anaknya. Sampai berita ini meluas, rekan media masih melakukan penelusuran kebenaran terhadap skandal tersebut.] Hatinya terasa sangat sakit … Lilia menghela napasnya yang terasa sangat sesak. “Kenapa aku tidak pernah diberi tahu soal ini?” tanya Lilia seorang diri. Bibirnya gemetar saat ia menunduk untu
“Keano ….” Lilia memanggilnya dengan suara yang terasa serak. “Keano sudah membuat Mama terharu, terima kasih sudah peduli.” Lilia memeluk Keano saat itu juga. “Terima kasih,” bisiknya. “Terima kasih Keano sudah menghibur Mama dengan kalimat yang hangat, Sayang ….” “Sama-sama, Mama,” jawab bocah kecil itu. Saat Lilia menarik dirinya dari Keano, jari kecil Keano kembali menghapus air mata yang meleleh di pipi Lilia. “Jadi kenapa Mama bersedih?” tanyanya, kembali memperdengarkan suara manisnya. “Tadi Keano dengar Oma telepon Opa dan bilang kalau Mama ada di dalam kamar terus, makanya Keano ke sini.” “Ada sedikit masalah,” aku Lilia. “Tapi Keano tidak perlu khawatir karena nanti semuanya pasti akan membaik.” “Sungguh?” Lilia menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan, “Iya, sungguh, Sayang ….” “Keano tidak mau kalau Mama bersedih. Keano sudah melihat Mama Iva sering bersedih dulu, jadi Keano tidak mau melihat Mama bersedih juga.” “Baik, Mama tidak akan bersedih,” tanggap Lili
“Papa menduga Gretha mendengar percakapan Papa dengan Zain,” imbuh Tuan Alaric saat Lilia menegang di tempat ia duduk. “Papa berfirasat buruk sehingga pergi ke vila itu dan menemukan kamu serta Keano ada di pinggir jalan dalam keadaan yang menyedihkan. Papa dan Zain menduga bahwa Gretha meminta seseorang untuk membakar vila itu.” Lilia tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya. Satu-satunya hal yang ia ingat dengan jelas itu adalah saat ia terbangun di rumah sakit dan bertanya pada Tuan Alaric tentang apa yang terjadi padanya sehingga ia berada di sana tetapi ayahnya itu mengatakan bahwa—untuk saat itu—Lilia tidak perlu tahu. Sepertinya Lilia akan menemui kebenarannya sekarang …. “Karena Dokter mengatakan kehilangan ingatanmu akibat cedera serta bisa juga dipicu trauma akibat peristiwa kebakaran itu, maka Papa memutuskan untuk tidak mengatakannya. Apalagi soal kehamilan Gretha itu.” Tuan Alaric mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia tersenyum pada Lilia yang kedua tangannya meraih can
Tidak lagi!Lilia tidak akan mengenakan gaun tidur seperti semalam karena pada pagi harinya saat terbangun rasanya tubuhnya ini remuk!Ia sudah bangun dari tadi, tetapi masih belum ingin turun dari ranjang lagi dan berbaring di sana, membungkus dirinya degan selimut hangat.Matanya memandang langit-langit kamar yang juga masih gelap, sebelas-dua belas dengan keadaan di luar yang belum menunjukkan semburat fajar.Bisa dibilang, ini masih terlalu pagi.Lilia memang terbangun karena ia kedinginan sehingga ia berjalan menuju ke ruang ganti, memutuskan untuk mandi dengan air hangat dan mengenakan piyama lengan panjang kemudian kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang.William? Jangan ditanya sedang ke mana sebab prianya itu sudah pasti menjalani hidup sehatnya dengan berada di dalam ruang gym.Lilia pernah melihatnya tinju atau sekadar berlari di ats treadmill. “Tubuhku rasanya sakit semua,” ucap Lilia seraya mengalihkan dirinya menjadi miring ke kiri.Yang semalam kembali menyeruak di
Gretha memukuli Nyonya Bertha yang hanya bergeming di tempat ia duduk.Tangisan Gretha terdengar nyaring, dirundung oleh keputusasaan hingga kerapuhan yang besar kala ia memahami sepenuhnya bahwa ini adalah akhir dari segalanya.“Tolong tenang!” pinta seorang petugas polisi yang duduk di depan.Pria berseragam itu menoleh ke belakang dan memandang Gretha dengan raut wajah yang mengeras seolah itu adalah peringatan pertama dan terakhirnya.Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk tiba di halaman kantor kepolisian. Gretha dan ibunya dibawa keluar dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa masuk segera ke ruang pemeriksaan.Langkah kakinya berubah gamang kala ia dipisahkan oleh sang Ibu dan ditempatkan di ruangan yang berbeda. Dan mungkin ke depannya mereka tak akan bisa bertemu satu sama lain.Hingga waktu yang tak bisa ditentukan.Ini akan menjadi waktu yang panjang, dan dingin ....Ada banyak orang yang menyebutkan bahwa lantai tahanan itu jauh lebih dingin ketimbang bongkahan
"Anda ditahan atas pasal pembunuhan berencana, pemusnahan barang bukti, pemerasan, penggelapan dan perbuatan tidak menyenangkan." Petugas tersebut memandang Gretha dan Nyonya Bertha bergantian. Surat penangkapan yang ditunjukkan di hadapan Nyonya Bertha yang memang berdiri paling dekat dengan mereka lalu diturunkan. "Bawa mereka!" titahnya pada petugas lain yang ada di belakangnya. "Tidak!" seru Gretha seraya berjalan mundur. Ia tidak mau ditangkap! Ia berlari pergi dari sana, air matanya berlinangan penuh ketakutan. "GRETHA!" panggil Nyonya Bertha, seruannya mengatakan lebih banyak agar sebaiknya mereka menyerah saja. Jalan mereka sudah buntu, mereka tidak bisa lari ke manapun sebab rumah ini pasti telah dikepung. "Jangan bawa saya sekarang!" Gretha berseru keras-keras, larinya terhalang oleh polisi yang lebih dulu bergerak dan tiba di hadapannya. "Lepas!" Ia memberontak saat tangannya diraih. Suara borgol yang dikeluarkan membuat bulu kuduknya berdiri. Dinginnya benda itu
Lilia juga hampir tersedak mendengar tanya polos Keano. Mereka bertiga orang dewasa harus menggapai gelas berisi air minum dan membasahi leher mereka yang mendadak dilanda kekeringan. "Tidak semudah itu, Keano," ucap William akhirnya. Memandang pada anak lelakinya yang mengerjap dan kembali mengunyah makanannya. "Lalu bagaimana, Papa?" "Adik tidak akan muncul semudah itu. Kalaupun nanti ada kabar baiknya, kita masih harus menunggu sampai sembilan bulan sampai adik lahir," tuturnya menerangkan. "Hm ... baiklah." Keano mengangguk, sepertinya bisa memahami apa yang dikatakan oleh William. Mereka kembali melanjutkan makan dan selesai beberapa saat kemudian. Keano mengajak Giff untuk berenang sebelum ia masuk ke kamar atas dan menyusul Lilia yang sibuk dengan tablet yang ia pinjam dari William untuk mencari informasi sekolah Keano. Tadi ia sudah mendapatkan jawaban dari William soal di mana Jayce dan Jasenna bersekolah. Ia memeriksa kapan pendaftarannya dibuka dan biayanya. Sedang W
Memasuki rumah, Lilia harus menghela dalam napasnya untuk menguraikan sesak yang baru saja menjeratnya ini. “Kamu baik-baik aja?” tanya William seraya memindah tangannya dari pinggang Lilia ke bahunya, ia rangkul dan ia beri usapan lembut. “Iya, William. Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Hanya ... sedikit terkejut saja mendengar Gretha berbicara seperti itu tadi.” “Sama. Aku juga terkejut.” “Aku harap dia mendapatkan poinnya bahwa setiap dari yang kita lakukan itu memiliki akibatnya. Yang baik atau yang buruk.” William mengusap bagian belakang kepalanya, pada rambut panjangnya yang hitam legam. Terpesona pada cara Lilia berucap tentang akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Itu lembut dan sangat keibuan. “Seperti yang kamu katakan tadi, Lilia,” ucap William. “Kamu memiliki hak untuk menolak. Jadi keputusan kamu untuk menolak permintaannya tadi itu adalah pilihan yang benar.” “Aku sepertinya terlalu banyak menonton drama,” ujar Lilia saat mereka terus berjalan menuju k
‘A-apa dia bilang?’ batin Lilia, tubuhnya berdiri membeku di belakang William yang tak bisa menahan diri untuk tetap menjaga ketenangannya. “Apa kamu bilang?!” tanya William dengan lantang. Ia selangkah maju tetapi Lilia meraih tangannya sehingga pria itu tetap tertahan di tempatnya. “Kamu bilang agar Lilia merawat anakmu?” Gretha tampak memberikan anggukannya, ia kembali menatap Lilia dan dari jarak yang memisahkan mereka ini, Lilia melihat netra wanita itu berair. Ekspresinya penuh dengan harap, seolah memang Lilia adalah satu-satunya harapannya yang tersisa. Seakan ia tak memiliki lagi tempat ke mana ia harus mengadu. “Iya,” katanya. “Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku tapi bisakah Lilia dan Kak Liam merawat anakku? Dia tidak bersalah, tapi harus menanggung dosa yang aku lakukan dan—“ “Artinya kamu sadar,” sela William sebelum Gretha berceloteh lebih panjang. “Artinya kamu sadar apa yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Kenapa baru sekarang? Ke mana saja kamu s
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya. Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.” “Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja. Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.” “Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!” Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha. “Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bers
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me