DAR DER DORRRR GEBYAR 🤣🤣🤣 Thor akan kasih 4 bab hari ini. (+1) kalau mood 😬 siap untuk bab selanjutnya 😚😚 like komen vote ya akak semuanya 🌝 terima kasih
Gretha tertawa mendengar ucapan tersebut. Kedua tangannya bersedekap saat menjawab, “Jangan harap!” ucapnya penuh penekanan. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika bukan William maka tidak!” “Lalu apa kamu akan membiarkan anak itu lahir tanpa ayah?” “Dia punya ayah, ayahnya adalah William,” jawab Gretha. “Jangan merasa kamu berhak menuntutku ini dan itu hanya karena kamu memasukkan benihmu kedalam tubuhku, Henry!” Henry sejenak terlihat seperti orang linglung. Ia tak bisa meraba apa yang sebenarnya diinginkan oleh Gretha. “Kenapa pemikiranmu aneh sekali, Gretha?” tanya Henry. “Kita berhubungan, anak itu adalah anakku. Kamu juga sudah berjanji memberi kesempatan padaku jika aku melakukan apapun yang kamu mau. Tapi kenapa begini sekarang?” cecar Henry balik, suaranya sarat akan ketidakpuasan dan rasa kecewa yang besar. Seakan apa yang ia lakukan selama ini hanyalah sebuah kesia-siaan yang tak ada artinya di mata Gretha. “Kenapa kamu keras kepala, Gretha?” imbuhnya. “Aku mau bertan
Tuan Alaric pergi melewati mereka setelah mengatakan hal itu. Suara langkah kakinya lambat laun tak terdengar di kejauhan, kepergiannya jelas bersama dengan Zain sebab samar dari tempat Gretha berdiri ia mendengar suara pria itu yang menyapa, ‘Selamat malam’ kepada ayahnya. Gretha mendorong napasnya seraya memandang sang Ibu. “Apa maksudnya itu, Ma?” tanyanya. “Memangnya bagaimana cara Mama dan Papa menikah dulu?” “Kamu tidak perlu tahu,” jawab Nyonya Bertha. “Yang penting kamu hidup enak ‘kan sampai hari ini?” Nyonya Bertha hampir pergi sebelum Gretha mencegahnya. “Aku penasaran dengan Papa kandungku,” ucapnya yang seketika membuat sang Ibu terhenti langkahnya, membeku di tempatnya berdiri dan menatap Gretha dengan leher yang bergerak kaku. “Selama ini aku tidak pernah melihat Papa kandungku. Mama bilang kalau Papa sudah mati, apa memang benar begitu, atau ada hal lain yang Mama sembunyikan dariku?” Nyonya Bertha tak menjawab. Ia menghindari tatapan penuh rasa penasaran anak per
“T-tapi, benar ini sama dengan punya Papa?” ulang Lilia atas kalimat Keano. “Iya, Mama,” jawab Keano seraya menganggukkan kepalanya dengan yakin. “Cincin itu Mama dapat saat Mama dan Papa ada di rooftop,” terangnya. Meski Lilia mendengar anak lelakinya itu dengan saksama, tapi ia tak bisa mendapatkan kenangan akan hari itu. Satu hal yang jelas, saat ia menunduk dan mengamati cincin itu … cincinnya sangat cantik. Cincin bunga lili. Jika benar itu berasal dari William, ‘Apa itu agar mirip dengan namaku? Bunga lili untuk Lilia?’ Berhenti membatin, Lilia menggeleng menyangkal pendapatnya sendiri. ‘Tidak mungkin begitu, aku hanya mencocokkannya saja.’ Lilia hampir meminta agar Keano menceritakan tentang hal itu lagi sebelum ia mendengar suara Tuan Alaric yang memasuki ruang tengah seraya berujar, “Keano benar, Nak,” katanya. “Papa pernah melihat kamu memakai cincin itu yang memang serasi dengan cincin milik William yang masih dipakainya sampai hari ini. Kalungnya juga sangat cantik.”
“H-harusnya seperti itu, Pa,” tanggap Lilia dengan gugup. “Ada banyak kenangan yang bertumpang tindih. Ada William yang terlihat membenciku, ada kalanya juga aku menemukan dia terlihat tersenyum dengan manis, aku bingung harus mempercayai ingatanku yang mana. Aku ingin ingat semuanya.” Tuan Alaric yang mendengar Lilia hanya terus tersenyum. Pria paruh baya itu seperti tak keberatan mendengarnya siang hari ini atau bahkan hingga nanti matahari tak terlihat lagi. Salah satu tangan beliau mengarah ke depan, menyinggahi lengan Lilia dan memberinya usapan lembut. “Bukankah Papa sudah bilang agar kamu pelan-pelan saja mengingat semuanya?” kata beliau. “Jika kamu paksakan, bisa-bisa semua ingatan itu rusak dan selamanya kamu tidak akan bisa mengingat William atau Keano, Nak ….” Lilia tak menjawab selain hanya terus menunduk, sedang Tuan Alaric menarik tangannya saat suaranya yang hangat kembali terdengar. “Jika ingatanmu rusak, kamu bisa tak lagi menderita hilang ingatan sementara, te
“Tuan William,” panggil Giff kala tuannya itu hanya membeku, terpancang di lantai. “Kita pergi saja!” pintanya mencegah keributan terjadi. Tapi William tak mengindahkannya, ia berbalik dan pergi ke ruangan Nicholas, hendak masuk untuk menjawab ibunya, membiarkan bibirnya ini mengatakan apapun. Namun, niatan itu ia urungkan saat ia mendengar Nicholas akhirnya menjawab. Tadinya William berpikir kakak lelakinya itu akan setuju-setuju saja dengan permintaan sang Ibu, tetapi ia salah! “Apa Mama akan terus bersikap seperti ini?” tanya Nicholas, suaranya terdengar serak, sarat akan amarah yang tengah coba diredamnya. “Dulu Mama menganggap Madeline tidak berguna karena dia tidak bisa berjalan, lalu sekarang Mama bilang William yang tidak berguna? Apa semua anak-anak yang tidak memenuhi standar Mama adalah anak-anak yang tidak berguna?” “Nic—“ “Apa kami ini produk gagal? Kami ini bukan barang!” sela Nicholas karena sepertinya memang ia belum usai bicara. Tubuh William terasa kebas saat
“Bukankah jika didengar dari geramnya Tuan Nicholas memang sepertinya Nyonya Donna sering melakukan hal seperti itu?” sahut Giff dari samping kiri William. “Maaf saya tidak bermaksud lancang, Tuan William.” “Dan sepertinya itu memang benar,” tanggap William tak keberatan. “Artinya memang selama ini diam-diam Nicholas selalu melindungiku tanpa aku tahu. Melindungi Madeline juga … tapi aku hanya terus menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak baik.” William menghela napasnya, dalam, penuh sesak—dan sesal. “Tidak apa-apa, Tuan William,” kata Giff mencoba menenangkannya. “Anda bisa bicara dengan Tuan Nicholas nanti. Bukankah Anda juga belum mengatakan bahwa Anda tahu penyebab sebenarnya kematian Nona Madeline?” “Belum, Giff,” jawabnya. Giff benar … ia memang harus benar-benar duduk dan bicara dengan kakak lelakinya itu untuk banyak hal. Termasuk berterima kasih padanya, yang diam-diam selalu memasang badan untuknya dan mendiang Madeline di depan sang Ibu yang terlalu banyak menuntut da
“Aah, kalau begitu artinya Anda menyerah untuk mengejar cinta Nona Lilia?” tanggap Giff setelah ungkapan panjang William. “Jika begitu … haruskah saya memberikan dukungan saja pada pegawai kelurahan yang muda dan tampan itu untuk mendekati Nona Lilia?” William tak menjawab Giff, sepasang matanya menggelap menatap pada si tangan kanannya yang tertawa—yang sebenarnya terdengar lebih seperti sebuah ejekan. “Apa maksudnya itu?” tanya William akhirnya. “Kamu mau mengkhianatiku? Kenapa kamu mau mendukung si pegawai kelurahan itu?” “Kenapa lagi memangnya? Bukankah karena Anda sudah tidak ingin mengejar cinta Nona Lilia lagi?” tanya Giff balik. “Bukan—“ “Terserahlah,” potong Giff tak mau tahu. “Semoga Nona Lilia berjodoh dengan Zavian yang tampan dan muda itu.” “Anak ini—“ William mendesis saat Giff memalingkan wajahnya dan mengayunkan kakinya untuk pergi dari sana. “GIFF!” serunya, tetapi pemuda itu tak menoleh sama sekali. “Dia memang muda, tapi aku lebih tampan darinya!” William me
‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya. Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.” “Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja. Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.” “Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!” Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha. “Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bers
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatus—yang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya saja—hari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana. Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah. Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana. Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia. 'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai. Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu. Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang m
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa. Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu. "Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias. "T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara. "Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini." Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya. Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik. Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa. Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdir
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga. Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir. Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya. Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat. 'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati. Gigil menyergapnya dari ujung kaki. Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya. Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkan—dan hampir hilang dari benaknya—muncul tanpa persetujuan. Tatapan mata kakak tirinya itu—ataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiri—mendadak datang. Wajah cantik Ivana yang meski puca
Ini seperti deja vu dengan yang terjadi di rumah Henry sebelumnya. Dari jendela Gretha bisa melihat sebuah mobil polisi yang berhenti di depan rumah. Beberapa orang petugas dalam balutan seragam pun juga terlihat keluar dari sana. Meski di luar keadaannya gelap sebab petang mulai merayap, tapi Gretha bisa memastikan bahwa mereka berjumlah lebih dari empat orang. Cukup pas untuk menangkap satu atau dua orang, semisal itu adalah dirinya dan ibunya. Gretha berdiri di sana dalam ketegangan. Ia meneguk ludah dengan dada yang berdebar, menggila hingga seolah akan meledak. Tapi, polisi itu hanya berhenti untuk mengambil sesuatu yang ada di tengah jalan. Sepertinya bongkahan balok yang menghalangi jalan dan menepikannya. Memungut beberapa keping paku dengan alat yang mereka bawa lalu mereka masuk kembali ke dalam mobil dan mengemudikannya menjauh. Dari balik jendela, Gretha duduk merosot dengan air mata yang menggantung di kedua sudutnya. "Tidak apa-apa, tidak akan secepat itu," ucap N
“Maaf,” ucap Lilia sekali lagi. “Aku pikir tidak apa-apa tadi untuk meninggalkanmu dan Keano sebentar. Maaf karena sudah membuat kalian berpikiran buruk.” William menghela dalam napasnya kemudian berlutut di hadapannya. “Tidak apa-apa, yang penting jangan begitu lagi. Kamu tahu seburuk apa kondisiku dan Keano saat kamu meninggalkan kami, ‘kan? Aku sungguh tidak ingin mengulanginya lagi, Lilia.” Lilia mengangguk, ia menunduk untuk menyentuh wajah William, memastikan prianya itu bahwa ia ada di sini dengannya. Tidak untuk pergi atau sengaja meninggalkannya. "Kita tidak jadi masuk ke dalam kafe," ucap Lilia, memandang Keano dengan mengerutkan hidungnya. "Maaf, Sayang." Alih-alih marah, anak lelakinya itu justru memberi jawaban yang menghangatkan hati Lilia. "Tidak apa-apa, Mama," jawabnya. Senyumnya merekah dan pipinya yang putih itu bersemu merah. "Yang penting Keano masih bisa bertemu dengan Mama. Terima kasih sudah kembali." Lilia memeluk Keano yang membalasnya dengan kedua tan
William menurunkan ponsel dari samping telinganya, ia mendorong napasnya yang berkabut akibat suhu yang menurun secara drastis pada malam hari. Ia mendekap Keano semakin erat saat anak lelakinya itu sepertinya memiliki kekhawatiran yang sama dengannya. Keano memang terdiam, tetapi gerakan tubuhnya yang beberapa kali merasa tidak nyaman membuat William tahu ia tengah cemas. “Apakah kita tidak akan bertemu Mama, Papa?” tanya Keano, suaranya serak, menunggu jawaban William sehingga ia harus menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu tak semakin khawatir. “Kita akan bertemu Mama, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya, kita cari Mama dulu?” William menepis jauh-jauh pikiran yang sedari tadi bergulir liar di dalam kepalanya. Bahwa ada orang jahat yang membawa pergi Lilia sehingga istrinya itu tak bisa ia temukan. Ia memutuskan untuk mendekat ke salah seorang yang juga mengantri di sana, barangkali ia tahu ke mana Lilia pergi. “Permisi, apakah kamu melihat seorang wanita dengan sya berwarna