wkwkwwk, selamat menikmati ya Giffran Alfrond 🤣🤣 pak bos puber vol 2 🤭 THANKYOU, NEXT >>>
Sabtu pagi yang sedikit mendung saat Lilia berada di halaman rumahnya. Ia tengah menyiram tanaman dan bunga-bunga yang tumbuh di sana dan salah satu mawar yang kapan hari dibeli oleh ibunya dari toko bunga di depan komplek itu telah berbunga meski masih kuncup “Cantik sekali,” gumamnya seorang diri. Ia menyentuhnya dengan hati-hati, menunduk dan menciumnya yang harum. Lilia mengangkat wajah saat mendengar suara langkah kaki seseorang yang berdiri di dekatnya dan menoleh pada kedatangan pria yang pakaiannya segelap langit yang menaungi mereka di atas sana. “William?” sapanya seraya menegakkan tubuhnya sedang pria itu mendekat padanya. “Apa yang kamu lakukan, Lilia?” tanyanya. “Hanya ... menyiram bunga saja.” jawab Lilia. “Anda ingin bertemu dengan Keano?” William mengangguk, “Iya, apa dia sudah bangun? Atau aku yang kepagian?” “Keano sudah bangun Tapi dia ikut Ibu pergi berbelanja sebentar.” “Setiap hari Keano ikut berbelanja?” “T-tidak setiap hari juga,” jawabnya. “Karena kal
Tangan Lilia terasa kaku saat menerima kotak susu dari William. Manik mereka bertemu, iris gelapnya membuat Lilia dengan cepat menghindarinya karena ingatan itu membuat air matanya hampir luruh karena takut. “T-terima kasih,” ucapnya dengan gugup. Lilia tak memandang pria itu lagi saat ia menyiapkan susu hangat untuk Keano. Kebekuan menyergap untuk lebih dari beberapa menit dengan Lilia yang terus meraba, ‘Kenapa dulu dia menatapku dengan penuh benci seperti itu?’ gumamnya dalam hati. “Papa?!” panggil suara manis Keano yang melunturkan ketegangan di tempat itu. “Sayang,” balas William pada Keano kemudian pria itu pergi dari sisi Lilia. Lilia menunduk, meremas cangkir di tangannya kuat-kuat. Inilah yang ia maksudkan, sanggupkah ia dengan segala resikonya termasuk kenangan yang kelam dan tak menyenangkan jika ia benar-benar bisa mengingat William? ‘Bagaimana sekarang?’ *** Sehari setelah pertemuan yang membuat Lilia menemukan seberkas ingatan tak menyenangkan itu, William akhi
Karena sekolah masih libur, Lilia dengan diantar oleh Zain pergi ke suatu tempat—tak jauh dari kediaman mereka—untuk melakukan belanja keperluan bulanan saja. Zain bilang padanya bahwa Tuan Alaric tak bisa ikut karena sedang bertemu dengan orang dari Sada Construction, penanggung jawab pembangunan sekolah—projek bersama antara Velox Corp dan Seans Holdings. “Nanti malam Tuan Alaric akan datang ke rumah lagi, Nona Lilia,” ucap pria itu saat mengemudikan mobilnya memasuki sebuah mini mall yang melihatnya dari luar saja sudah membuat Keano senang. “Iya, Pak Zain,” tanggap Lilia. Suaranya membuat sang Ibu yang duduk di depan menoleh ke belakang dan bertanya, “Kenapa serak, Nak? Kamu flu?” “Tidak, Bu. Hanya ... semalam kurang bisa tidur saja.” “Mama, nanti apakah mau main di dalan bersama Keano?” pinta anak lelakinya. “Tapi kita harus berbelanja dulu menemani Oma, ‘kan?” “Tidak apa-apa,” sahut Alya dari depan. “Kamu pergilah saja dengan Keano, Ibu bisa sendiri nanti minta bantu Pak
Sehari setelah kembali dari luar kota—tempat di mana Lilia, Keano dan Alya berada—pagi ini William kembali menjalani aktivitas rutinnya. Di lobi Velox Corp, ia berjalan dengan Giff yang ada di belakangnya, sepasang matanya menjumpai sosok tak asing yang duduk di sana. Gretha. Wanita itu terbalut dalam pakaian hamilnya, berdiri dengan gegas saat melihat William yang berjalan melewatinya tanpa peduli. “Kak Liam,” panggil Gretha seraya menghalangi langkah kakinya. William mau tak mau berhenti karena Gretha benar-benar ada di hadapannya. Ia terlihat tak tertarik sesaat sebelum suaranya akhirnya terdengar, “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William dengan enggan. “Aku mendapat undangan untuk datang ke seminar yang diselenggarakan di hall milikmu. Sebagai perwakilan,” terang Gretha. “Aku membawa undangannya jika Kak Liam tidak percaya padaku.” William yang mendengar itu menoleh ke sebelah kanannya, pada Giff. “Apa kamu mengundangnya juga, Giff?” “Maaf saya tidak ingat karena un
William melihat Henry yang kedua telinganya memerah. Tubuhnya bergerak menunjukkan gestur bahwa ia tidak nyaman, seolah ia tengah tertangkap basah padahal tak ada yang menyebut namanya sama sekali. Ada kepanikan yang ia sembunyikan dan dari sanalah sepertinya William telah tahu anak siapa di dalam perut Gretha itu. Ia memandang Giff melalui sudut matanya, sekretarisnya itu seolah tahu apa yang ia pikirkan sehingga memberi anggukan samar. “Kamu tidak perlu tahu, Rey!” jawab Gretha akhirnya. Ia memandang Reynold dengan tatapan sengit sebelum mengayunkan kakinya pergi dari sana, hampir bisa dikatakan berlari kala meninggalkan lobi Velox Corp padahal sebelumnya bersikeras mengatakan ingin ikut seminar. Reynold memandang kepergian Gretha dengan alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. “Apakah kamu mengenalnya, Reynold?” tanya William. “Iya. Mantan pacar saya, Tuan,” akunya. “Apakah Anda juga mengenalnya?” “Dia adik tiri dari mendiang istriku.” Reynold terlihat memiringkan kepalany
Gretha tertawa mendengar ucapan tersebut. Kedua tangannya bersedekap saat menjawab, “Jangan harap!” ucapnya penuh penekanan. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika bukan William maka tidak!” “Lalu apa kamu akan membiarkan anak itu lahir tanpa ayah?” “Dia punya ayah, ayahnya adalah William,” jawab Gretha. “Jangan merasa kamu berhak menuntutku ini dan itu hanya karena kamu memasukkan benihmu kedalam tubuhku, Henry!” Henry sejenak terlihat seperti orang linglung. Ia tak bisa meraba apa yang sebenarnya diinginkan oleh Gretha. “Kenapa pemikiranmu aneh sekali, Gretha?” tanya Henry. “Kita berhubungan, anak itu adalah anakku. Kamu juga sudah berjanji memberi kesempatan padaku jika aku melakukan apapun yang kamu mau. Tapi kenapa begini sekarang?” cecar Henry balik, suaranya sarat akan ketidakpuasan dan rasa kecewa yang besar. Seakan apa yang ia lakukan selama ini hanyalah sebuah kesia-siaan yang tak ada artinya di mata Gretha. “Kenapa kamu keras kepala, Gretha?” imbuhnya. “Aku mau bertan
Tuan Alaric pergi melewati mereka setelah mengatakan hal itu. Suara langkah kakinya lambat laun tak terdengar di kejauhan, kepergiannya jelas bersama dengan Zain sebab samar dari tempat Gretha berdiri ia mendengar suara pria itu yang menyapa, ‘Selamat malam’ kepada ayahnya. Gretha mendorong napasnya seraya memandang sang Ibu. “Apa maksudnya itu, Ma?” tanyanya. “Memangnya bagaimana cara Mama dan Papa menikah dulu?” “Kamu tidak perlu tahu,” jawab Nyonya Bertha. “Yang penting kamu hidup enak ‘kan sampai hari ini?” Nyonya Bertha hampir pergi sebelum Gretha mencegahnya. “Aku penasaran dengan Papa kandungku,” ucapnya yang seketika membuat sang Ibu terhenti langkahnya, membeku di tempatnya berdiri dan menatap Gretha dengan leher yang bergerak kaku. “Selama ini aku tidak pernah melihat Papa kandungku. Mama bilang kalau Papa sudah mati, apa memang benar begitu, atau ada hal lain yang Mama sembunyikan dariku?” Nyonya Bertha tak menjawab. Ia menghindari tatapan penuh rasa penasaran anak per
“T-tapi, benar ini sama dengan punya Papa?” ulang Lilia atas kalimat Keano. “Iya, Mama,” jawab Keano seraya menganggukkan kepalanya dengan yakin. “Cincin itu Mama dapat saat Mama dan Papa ada di rooftop,” terangnya. Meski Lilia mendengar anak lelakinya itu dengan saksama, tapi ia tak bisa mendapatkan kenangan akan hari itu. Satu hal yang jelas, saat ia menunduk dan mengamati cincin itu … cincinnya sangat cantik. Cincin bunga lili. Jika benar itu berasal dari William, ‘Apa itu agar mirip dengan namaku? Bunga lili untuk Lilia?’ Berhenti membatin, Lilia menggeleng menyangkal pendapatnya sendiri. ‘Tidak mungkin begitu, aku hanya mencocokkannya saja.’ Lilia hampir meminta agar Keano menceritakan tentang hal itu lagi sebelum ia mendengar suara Tuan Alaric yang memasuki ruang tengah seraya berujar, “Keano benar, Nak,” katanya. “Papa pernah melihat kamu memakai cincin itu yang memang serasi dengan cincin milik William yang masih dipakainya sampai hari ini. Kalungnya juga sangat cantik.”
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan