done 4 bab ya 🤗 jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan, vote juga yah akak semuanya 🌝 terima kasih sudah membaca kita jumpa besok lagi ....
Jika tak merasakan cairan hangat memenuhi dan membingkai matanya, mungkin Lilia akan terus membiarkan Wiliam menjabat tangannya sepanjang sisa hari. Ia perlahan menarik tangannya saat membalas, “A-Anda sudah mengenal dan menyebut nama saya dengan benar kemarin,” katanya. “Lilia Zamora, seperti yang Anda ketahui.” Ia lalu menunduk untuk menghindari sepasang iris gelap William yang sejak tadi terus menatapnya tanpa henti. “Ekhem!” Suara Giff berdeham dari samping kanan William. Pemuda itu pasti sedang berusaha mencairkan kecanggungan dengan menghampiri Keano. “Halo,” sapanya seraya berlutut di hadapan Keano dan mengisyaratkan agar mereka melakukan tos. “Halo Uncle Giff,” balas bocah kecil itu. “Uncle kangen juga dnegan kamu, Keano.” Tepat setelah ia selesai bicara, Keano pun memeluknya. “Keano juga kangen.” “Apa kabar, Jagoan?” “Baik,” balasnya saat Giff melepas pelukannya. “Apakah Uncle menjaga Papa dengan baik?” Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja ….” Ia lalu berdiri saat W
“O-Opa Alaric?” ulang William setelah ketegangan dari rangkaian kisah yang dikatakan oleh Keano itu perlahan surut. “Iya, Pa. Opa yang menyelamatkan kami,” jawabnya. “Opa datang dengan Paman Zain dan membawa kami masuk ke mobilnya untuk pergi dari sana.” Lilia tak tahu apa yang membuat pria itu menjatuhkan kedua bahunya penuh dengan kelegaan. Sepertinya apa yang disampaikan oleh Keano telah memenuhi keingin tahuannya terhadap satu hal. William lalu menoleh padanya, merasa bodoh karena harus Keano yang mengatakan semua itu, bukan bibirnya sendiri. “M-maaf,” katanya. “Sekali lagi saya minta maaf karena tidak ingat dengan kejadian itu, siapa Keano atau siapa Anda. Tuan Alaric mengatakan bahwa ingatan saya sepertinya berhenti pada lima tahun yang lalu karena saya tidak tahu jika Nona Ivana sudah menikah dan memiliki anak.” William memberikan anggukan samar yang sama dengan senyumnya. “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Aku juga tidak memaksamu untuk mengingat, Lilia. Aku sudah sangat b
“Bagaimana bisa Tuan Alaric dan Pak Zain sudah di sini lebih dulu?” tanya Giff dari belakang William saat Lilia lebih dulu masuk melewati gerbang bersama dengan Keano. William pikir, Giff pasti penasaran karena ia masih belum tahu duduk perkaranya Pemuda itu masih belum tahu bahwa orang yang menyelamatkan Lilia dan Keano pada hari kebakaran vila adalah Tuan Alaric dan Zain. “Seperti yang pernah kita sebelumnya, Giff,” jawab William dengan berbisik, menoleh pada Giff yang berdiri di sebelah kanannya. “Bahwa ada orang yang membantu Lilia dan Keano saat kebakaran itu. Orang itu adalah Papa Alaric. Tadi Keano cerita kalau mereka berhasil pergi dari sana dan bertemu dengannya. Dia maestro-nya.” Giff tercenung mendengar penjelasan singkat itu. “Artinya selama ini Tuan Alaric tahu di mana Nona dan diam saja sekalipun melihat Anda seperti mayat hidup?” tanggap pemuda itu. “Pasti ada tujuannya, kendalikan dirimu.” William berjalan lebih dulu meninggalkan Giff untuk menyusul Lilia
Mendadak William kebas, untuk sesaat bibirnya terpasung bisu hingga ia mengucap, “S-sungguh?” tanyanya. “Sungguh Lilia adalah Leonora?” Jika benar begitu ... secara tak sengaja artinya Ivana telah mewariskan pernikahan turun ranjang? Sebuah kebetulan luar biasa yang tak pernah ia sangka sebelumnya. “Iya,” jawab Tuan Alaric dibersamai dengan anggukannya. “Alasan aku menyembunyikan Alya adalah karena dia saksi kunci peristiwa kenapa Lilia menjadi anak angkatnya.” “Kenapa, Pa?” “Jika kemarin Gretha berniat mencelakai Lilia, lebih dari dua puluh tahun yang lalu Bertha mencelakai istriku dan meminta orang suruhannya untuk mencari Leonora kecil sampai ketemu,” jawabnya. “Alya yang menjadi saksi bagaimana Bertha menghalalkan segala cara untuk bisa menjadi Nyonya keluarga Roseanne.” Satu demi satu jawaban berhasil didapatkan oleh William. Rupanya semuanya tak sesederhana yang ia bayangkan bahwa menghilangnya Lilia dan Keano itu hanya sebatas tak bisa ditemukan, tetapi ada peristiwa pel
Sakit sekali … Sesak di dadanya mendesak hingga ia seperti lupa bagaimana caranya bernapas. Seberkas ingatan itu membuat tubuhnya seperti terombang-ambing di tengah laut yang tak bertepi. Ia menunduk dan tanpa sadar air matanya menetes. Ia meremas dadanya erat-erat, berharap rantai yang melilitnya itu teruraikan. Ia ingin ingat semuanya, melihat William dan matanya yang dihancurkan badai membuat Lilia ingin mengakhiri semua itu. Tapi jika itu terjadi, siapkah ia dengan segala sesuatunya? *** William duduk di kursi dan menunduk menatap layar ponselnya yang menyala. Ia tersenyum saat melihat fotonya bersama dengan Keano dan Lilia yang kini tak perlu lagi ia tangisi. Ia menyentuh layar ponsel itu dan menuju ke sebuah kontak yang ia tambahkan ke pintasan layar paling depannya. Kontak milik Lilia yang ia beri nama [L’amour de ma vie] yang berarti cinta dalam hidupku. Yang senantiasa ia kirim pesan sekalipun saat itu William tahu tak akan pernah mendapat balasan. William masih ser
“Baik, Tuan,” jawab Giff dengan patuh. Ia menerima ponselnya kembali dari William dan bertanya, “Apakah percakapan dengan Tuan Alaric tadi berakhir dengan baik?” William mengangguk, ia katakan apa-apa saja yang tadi didengarnya dari Tuan Alaric, bagaimana pria paruh baya itu berusaha melindungi Lilia, Keano dan Alya. Atau tentang siapa Lilia sebenarnya yang tak lain adalah seorang Nona muda keluarga Roseanne. Hingga siapa yang memiliki motif paling besar untuk menyulut api di vila miliknya satu hari sebelum pernikahannya digelar. “Anda benar bahwa Tuan Alaric memiliki alasan yang kuat,” katanya. “Artinya, kita memiliki penyokong yang juga memiliki tujuan yang sama untuk membuat kejahatan Gretha serta ibunya itu terungkap, bukan?” “Iya,” jawab William. “Ada banyak aset yang dikelola oleh Gretha dan ibunya yang pasti sekarang pelan-pelan diambil kembali oleh Papa,” ucapnya menuturkan praduga. “Tuan Alaric akan berjibaku mengamankan hak-hak milik Nona Lilia di sana sementara kita
William menatap kesal ke seberang sana dan tertawa lirih. Lelaki yang bersama dengan Lilia itu sepertinya masih seusia Giff, tampak muda dan dilihat dari manapun jelas ia suka pada Lilia. “Beraninya anak sekecil itu mendekati Lilia,” gumamnya seorang diri. William menepis Giff, mendorong bahunya agar menjauh sehingga ia bisa berjalan maju untuk menemui Lilia yang ada di teras. Sepasang mata Lilia yang berbinar memandang kedatangannya saat William berdiri di sampingnya dan sibuk memindai pria berseragam cokelat itu yang di dadanya tersemat nama Zavian Altair. “A-Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Lilia lebih dulu pada William. “Apa kamu mengenalnya, Lia?” tanya Zavian, tampak bingung menatap bergantian Lilia dan pria yang berdiri menjulang di sebelahnya itu. Lilia lebih dulu mengangguk untuk menjawabnya, “Kenal,” ucapnya. “Papanya Keano.” “Aah, begitu,” tanggapnya. “Senang melihat Anda, saya pegawai kelurahan di sini, apakah Anda warga baru?” “Bukan,” jawab William hampir te
William berulang kali mendengus kesal setiap mengingat senyum Lilia yang merekah untuk pemuda bernama Zavian itu. Bukan salah si Zavian itu memang jika ia terpesona pada Lilia karena William pun tahu rasanya jatuh cinta pada gadis itu—dan sekarang pun ia juga masih begitu. Siapa yang tak akan menyukai Lilia karena gadis itu memang cantik. Dagunya yang kecil, matanya yang berbinar seperti permata amethyst atau rambutnya yang hitam legam itu adalah kesempurnaan yang bisa membuat para pria menjadi ‘gila.’ “Tapi aku harap Keano selalu menegur lelaki itu,” gumam William seorang diri saat ia berdiri di depan sebuah etalase besar berisikan mainan karena memang ia tengah berada di dalam sebuah toko mainan untuk membelikan puzzle seperti yang diminta oleh anak lelakinya kemarin. “Mengingat dia selalu membela Lilia saat Gretha atau ibunya dan bahkan mamaku sendiri mengatakan sesuatu yang tidak baik pada Lilia, aku harap anak lelakiku yang cerdas itu juga akan mengusir si Zavian itu.” Astag
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan