satu lagi meluncur 🫠 vote komen like kasih ulasan di depan juga ya 🤗
Mendadak William kebas, untuk sesaat bibirnya terpasung bisu hingga ia mengucap, “S-sungguh?” tanyanya. “Sungguh Lilia adalah Leonora?” Jika benar begitu ... secara tak sengaja artinya Ivana telah mewariskan pernikahan turun ranjang? Sebuah kebetulan luar biasa yang tak pernah ia sangka sebelumnya. “Iya,” jawab Tuan Alaric dibersamai dengan anggukannya. “Alasan aku menyembunyikan Alya adalah karena dia saksi kunci peristiwa kenapa Lilia menjadi anak angkatnya.” “Kenapa, Pa?” “Jika kemarin Gretha berniat mencelakai Lilia, lebih dari dua puluh tahun yang lalu Bertha mencelakai istriku dan meminta orang suruhannya untuk mencari Leonora kecil sampai ketemu,” jawabnya. “Alya yang menjadi saksi bagaimana Bertha menghalalkan segala cara untuk bisa menjadi Nyonya keluarga Roseanne.” Satu demi satu jawaban berhasil didapatkan oleh William. Rupanya semuanya tak sesederhana yang ia bayangkan bahwa menghilangnya Lilia dan Keano itu hanya sebatas tak bisa ditemukan, tetapi ada peristiwa pel
Sakit sekali … Sesak di dadanya mendesak hingga ia seperti lupa bagaimana caranya bernapas. Seberkas ingatan itu membuat tubuhnya seperti terombang-ambing di tengah laut yang tak bertepi. Ia menunduk dan tanpa sadar air matanya menetes. Ia meremas dadanya erat-erat, berharap rantai yang melilitnya itu teruraikan. Ia ingin ingat semuanya, melihat William dan matanya yang dihancurkan badai membuat Lilia ingin mengakhiri semua itu. Tapi jika itu terjadi, siapkah ia dengan segala sesuatunya? *** William duduk di kursi dan menunduk menatap layar ponselnya yang menyala. Ia tersenyum saat melihat fotonya bersama dengan Keano dan Lilia yang kini tak perlu lagi ia tangisi. Ia menyentuh layar ponsel itu dan menuju ke sebuah kontak yang ia tambahkan ke pintasan layar paling depannya. Kontak milik Lilia yang ia beri nama [L’amour de ma vie] yang berarti cinta dalam hidupku. Yang senantiasa ia kirim pesan sekalipun saat itu William tahu tak akan pernah mendapat balasan. William masih ser
“Baik, Tuan,” jawab Giff dengan patuh. Ia menerima ponselnya kembali dari William dan bertanya, “Apakah percakapan dengan Tuan Alaric tadi berakhir dengan baik?” William mengangguk, ia katakan apa-apa saja yang tadi didengarnya dari Tuan Alaric, bagaimana pria paruh baya itu berusaha melindungi Lilia, Keano dan Alya. Atau tentang siapa Lilia sebenarnya yang tak lain adalah seorang Nona muda keluarga Roseanne. Hingga siapa yang memiliki motif paling besar untuk menyulut api di vila miliknya satu hari sebelum pernikahannya digelar. “Anda benar bahwa Tuan Alaric memiliki alasan yang kuat,” katanya. “Artinya, kita memiliki penyokong yang juga memiliki tujuan yang sama untuk membuat kejahatan Gretha serta ibunya itu terungkap, bukan?” “Iya,” jawab William. “Ada banyak aset yang dikelola oleh Gretha dan ibunya yang pasti sekarang pelan-pelan diambil kembali oleh Papa,” ucapnya menuturkan praduga. “Tuan Alaric akan berjibaku mengamankan hak-hak milik Nona Lilia di sana sementara kita
William menatap kesal ke seberang sana dan tertawa lirih. Lelaki yang bersama dengan Lilia itu sepertinya masih seusia Giff, tampak muda dan dilihat dari manapun jelas ia suka pada Lilia. “Beraninya anak sekecil itu mendekati Lilia,” gumamnya seorang diri. William menepis Giff, mendorong bahunya agar menjauh sehingga ia bisa berjalan maju untuk menemui Lilia yang ada di teras. Sepasang mata Lilia yang berbinar memandang kedatangannya saat William berdiri di sampingnya dan sibuk memindai pria berseragam cokelat itu yang di dadanya tersemat nama Zavian Altair. “A-Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Lilia lebih dulu pada William. “Apa kamu mengenalnya, Lia?” tanya Zavian, tampak bingung menatap bergantian Lilia dan pria yang berdiri menjulang di sebelahnya itu. Lilia lebih dulu mengangguk untuk menjawabnya, “Kenal,” ucapnya. “Papanya Keano.” “Aah, begitu,” tanggapnya. “Senang melihat Anda, saya pegawai kelurahan di sini, apakah Anda warga baru?” “Bukan,” jawab William hampir te
William berulang kali mendengus kesal setiap mengingat senyum Lilia yang merekah untuk pemuda bernama Zavian itu. Bukan salah si Zavian itu memang jika ia terpesona pada Lilia karena William pun tahu rasanya jatuh cinta pada gadis itu—dan sekarang pun ia juga masih begitu. Siapa yang tak akan menyukai Lilia karena gadis itu memang cantik. Dagunya yang kecil, matanya yang berbinar seperti permata amethyst atau rambutnya yang hitam legam itu adalah kesempurnaan yang bisa membuat para pria menjadi ‘gila.’ “Tapi aku harap Keano selalu menegur lelaki itu,” gumam William seorang diri saat ia berdiri di depan sebuah etalase besar berisikan mainan karena memang ia tengah berada di dalam sebuah toko mainan untuk membelikan puzzle seperti yang diminta oleh anak lelakinya kemarin. “Mengingat dia selalu membela Lilia saat Gretha atau ibunya dan bahkan mamaku sendiri mengatakan sesuatu yang tidak baik pada Lilia, aku harap anak lelakiku yang cerdas itu juga akan mengusir si Zavian itu.” Astag
Sabtu pagi yang sedikit mendung saat Lilia berada di halaman rumahnya. Ia tengah menyiram tanaman dan bunga-bunga yang tumbuh di sana dan salah satu mawar yang kapan hari dibeli oleh ibunya dari toko bunga di depan komplek itu telah berbunga meski masih kuncup “Cantik sekali,” gumamnya seorang diri. Ia menyentuhnya dengan hati-hati, menunduk dan menciumnya yang harum. Lilia mengangkat wajah saat mendengar suara langkah kaki seseorang yang berdiri di dekatnya dan menoleh pada kedatangan pria yang pakaiannya segelap langit yang menaungi mereka di atas sana. “William?” sapanya seraya menegakkan tubuhnya sedang pria itu mendekat padanya. “Apa yang kamu lakukan, Lilia?” tanyanya. “Hanya ... menyiram bunga saja.” jawab Lilia. “Anda ingin bertemu dengan Keano?” William mengangguk, “Iya, apa dia sudah bangun? Atau aku yang kepagian?” “Keano sudah bangun Tapi dia ikut Ibu pergi berbelanja sebentar.” “Setiap hari Keano ikut berbelanja?” “T-tidak setiap hari juga,” jawabnya. “Karena kal
Tangan Lilia terasa kaku saat menerima kotak susu dari William. Manik mereka bertemu, iris gelapnya membuat Lilia dengan cepat menghindarinya karena ingatan itu membuat air matanya hampir luruh karena takut. “T-terima kasih,” ucapnya dengan gugup. Lilia tak memandang pria itu lagi saat ia menyiapkan susu hangat untuk Keano. Kebekuan menyergap untuk lebih dari beberapa menit dengan Lilia yang terus meraba, ‘Kenapa dulu dia menatapku dengan penuh benci seperti itu?’ gumamnya dalam hati. “Papa?!” panggil suara manis Keano yang melunturkan ketegangan di tempat itu. “Sayang,” balas William pada Keano kemudian pria itu pergi dari sisi Lilia. Lilia menunduk, meremas cangkir di tangannya kuat-kuat. Inilah yang ia maksudkan, sanggupkah ia dengan segala resikonya termasuk kenangan yang kelam dan tak menyenangkan jika ia benar-benar bisa mengingat William? ‘Bagaimana sekarang?’ *** Sehari setelah pertemuan yang membuat Lilia menemukan seberkas ingatan tak menyenangkan itu, William akhi
Karena sekolah masih libur, Lilia dengan diantar oleh Zain pergi ke suatu tempat—tak jauh dari kediaman mereka—untuk melakukan belanja keperluan bulanan saja. Zain bilang padanya bahwa Tuan Alaric tak bisa ikut karena sedang bertemu dengan orang dari Sada Construction, penanggung jawab pembangunan sekolah—projek bersama antara Velox Corp dan Seans Holdings. “Nanti malam Tuan Alaric akan datang ke rumah lagi, Nona Lilia,” ucap pria itu saat mengemudikan mobilnya memasuki sebuah mini mall yang melihatnya dari luar saja sudah membuat Keano senang. “Iya, Pak Zain,” tanggap Lilia. Suaranya membuat sang Ibu yang duduk di depan menoleh ke belakang dan bertanya, “Kenapa serak, Nak? Kamu flu?” “Tidak, Bu. Hanya ... semalam kurang bisa tidur saja.” “Mama, nanti apakah mau main di dalan bersama Keano?” pinta anak lelakinya. “Tapi kita harus berbelanja dulu menemani Oma, ‘kan?” “Tidak apa-apa,” sahut Alya dari depan. “Kamu pergilah saja dengan Keano, Ibu bisa sendiri nanti minta bantu Pak
Petugas polisi yang datang mengepung tempat itu membuat Alaric mundur semakin jauh, menarik lengan William yang memang berdiri di sampingnya. Mengantisipasi agar Ganata yang sedang ada di posisi tersudut ini tidak melakukan sesuatu yang buruk semisal menyerang mereka berdua.Maka mereka segera melangkah untuk mundur.Giff, Jovan dan Niel—yang sudah keluar dari truk—berdiri seraya mengangkat tangan mereka. Begitu juga Zain yang berdiri di samping Nicholas.Saat Alaric mendorong napasnya penuh kebencian, William adalah orang yang tidak peduli dengan peringatan itu. Ia tak mengangkat tangannya. Matanya yang kelam menerpa Ganata, dagunya terangkat menantang. Seandainya sekarang tidak ada polisi, pasti ia pasti akan menendang pria itu sekali lagi.“Jangan bergerak!” peringat petugas polisi yang mendekat pada Ganata yang tengah berlutut dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.Tangan itu lalu diraih. Ia ditempatkan membelakangi petugas dan kedua tangannya diborgol.Ia diseret pergi dari had
Ganata tertatih bangkit, tapi sebelum ia sempat benar-benar menegakkan tubuhnya, ia kembali terpelanting sebab William telah lebih dulu menggunakan kakinya untuk membuat pria itu sekali lagi merasakan kesakitan di perutnya."AAKKH!" Ia merintih seraya menekuk tubuhnya, memegangi perutnya dan meringis menahan sakit."Bicara lagi!" tantang William masih belum puas. "Coba bicara kalau kamu menyesal hari itu tidak sekalian membunuh Leonora! Akan aku buat mulutmu itu tidak bisa bicara lagi, Ganata!"BUGH!Kepalan tangan William menghantam rahang sebelah kanannya dengan ringan, tapi bagi pria itu sangat mematikan.Seolah lidahnya hampir bergeser kala rahang dan giginya bertabrakan sehingga darah tersembur saat ia jatuh ke jalan."Yang kamu lakukan pada Nyonya Agatha hari itu telah membuat keluarga Roseanne memelihara pengkhianat lebih dari dua puluh empat tahun," ucap William seraya melangkah pada Ganata yang ada di jalan dan menyeret tubuhnya ke belakang."Dengan apa yang telah dijanjikan
Ganata ketakutan, ia mencoba membuka pintu berulang kali tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa ke mana-mana. Bagaimanapun ia berusaha, hasilnya ia hanya tetap terjebak di dalam mobil tersebut. Situasi genting ini memerangkapnya. Bagaimana bisa ia melarikan diri sebab truk besar yang berhadapan dengannya itu melaju ke arahnya. BRAKK! Bagian samping mobilnya diterjang hingga berbalik arah. Entah ini memang meleset atau si pengemudinya memang sengaja membuat dirinya ketakutan. Jika memang demikian, maka itu berhasil! Ganata melihat beberapa orang yang berada di tepi jalan sunyi itu sedang berdiri dan salah satunya tertawa penuh kepuasan. 'Itu William,' batin Ganata. 'Dia yang pasti sudah merencanakan semua ini.' Tapi ia tak sempat memperpanjang pikiran soal William, atau pria lain yang ia ketahui sebagai kakak lelakinya itu. Sebab saat ia menoleh ke belakang, truk yang tadi menerjang sisi samping mobilnya kembali. Kali ini dengan kencang melaju ke arahnya dan menerjang bagian
*** Beberapa saat sebelum Ganata datang ke rumah terbengkalai malam itu. *** William telah merencanakannya bersama dengan Nicholas. Mereka akan mencari Ganata, di mana pria itu bersembunyi dan apa yang sekiranya bisa mereka lakukan untuk membuat pria itu terjebak. Akal William dan Nicholas bermain dengan sangat baik. Pertama-tama setelah ajakan Nicholas di dalam ruang CEO hari itu, William menanyakan pada Zain di mana si Ganata itu tinggal. Zain yang memang sudah mengetahui di mana rumah pria itu pun memberikan alamatnya. Nantinya ... William tidak meminta Giff untuk turun ke lapangan. Ia sendirilah yang pergi bersama dengan Nicholas. “Dia tidak mungkin kembali ke rumah setelah Gretha dan Bertha tertangkap, Willie,” ucap Nicholas saat mereka telah mendapatkan alamat dari Zain. “Benar.” William pun menyetujuinya. “Dia pasti sudah mengungsi ke suatu tempat. Karena dia itu residivis, dia pasti sudah hafal cara mainnya. Pergi ke tempat lain dan mengasingkan diri agar tidak seorang pu
Seusainya makan malam, saat Lilia duduk di dalam kamar bersama dengan Keano yang sibuk dengan pensil dan mewarnai gambar-gambar hewan laut, ia melihat kedatangan William yang masuk ke dalam kamar dengan tampilan yang sedikit ... tidak biasa. Prianya itu mengenakan jaket hitam, jaket kulit yang melihatnya sekilas saja Lilia tahu itu harganya mahal. Pertanyaannya, ‘Untuk apa dia memakai jaket kulit malam-malam begini?’ “Sedang apa?” tanya William lebih dulu sebab sedari tadi Lilia hanya diam saja. “Hanya membaca buku,” jawab Lilia. William mendekat dan berdiri di samping Lilia yang duduk di sofa. Sedang Keano mengangkat wajahnya dan alisnya seketika berkerut melihat William. Kepalanya tertarik ke belakang dengan imbuhan ekstra kejut yang membuat William bertanya, “Kenapa, Keano?” “Papa tumben memakai baju seperti itu di dalam rumah?” tanya anak lelakinya balik. “Papa mau pergi, Sayang. Sebentar nanti Papa akan kembali. Mau Papa bawakan sesuatu?” “Roti bakar,” jawab Keano. “Okay
“Wah ... keponakannya Uncle Nic ini memang sangat pintar,” ucap seseorang yang datang dari belakang Giff, yang namanya baru saja disebutkan oleh Keano, Nicholas. Ia melangkah mendekat ke arah meja William bersama dengan Jovan—sekretarisnya—yang menyerahkan beberapa map pada Giff. “Uncle Nic!” sapa Keano seraya melambaikan tangannya. “Halo! Uncle baru tahu kamu di sini. Papa tidak memberi tahu tadi. Di mana Mama, Keano?” “Apa itu?” sahut William seraya bersedekap di kursinya setelah ia menurunkan Keano dan membiarkan anak lelakinya itu berlari menghampiri Nicholas. “Kenapa kamu menanyakan di mana istriku?” “Apa ada yang salah dengan itu?” tanya Nicholas balik, nada bicaranya memang ia sengaja untuk menggoda William. “Aku menanyakan Lilia Zamora adikku, Mamanya Keano. Sepertinya kamu yang berpikiran terlalu jauh, William.” Nicholas membungkukkan badannya saat Keano tiba di dekatnya. Kedua tangannya mengarah ke depan sehingga ia bisa menggendong bocah kecil itu. “Aku tidak akan ber
Tidak lagi! Lilia tidak akan mengenakan gaun tidur seperti semalam karena pada pagi harinya saat terbangun rasanya tubuhnya ini remuk! Ia sudah bangun dari tadi, tetapi masih belum ingin turun dari ranjang lagi dan berbaring di sana, membungkus dirinya degan selimut hangat. Matanya memandang langit-langit kamar yang juga masih gelap, sebelas-dua belas dengan keadaan di luar yang belum menunjukkan semburat fajar. Bisa dibilang, ini masih terlalu pagi. Lilia memang terbangun karena ia kedinginan sehingga ia berjalan menuju ke ruang ganti, memutuskan untuk mandi dengan air hangat dan mengenakan piyama lengan panjang kemudian kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang. William? Jangan ditanya sedang ke mana sebab prianya itu sudah pasti menjalani hidup sehatnya dengan berada di dalam ruang gym. Lilia pernah melihatnya tinju atau sekadar berlari di ats treadmill. “Tubuhku rasanya sakit semua,” ucap Lilia seraya mengalihkan dirinya menjadi miring ke kiri. Yang semalam kembali menye
Gretha memukuli Nyonya Bertha yang hanya bergeming di tempat ia duduk. Tangisan Gretha terdengar nyaring, dirundung oleh keputusasaan hingga kerapuhan yang besar kala ia memahami sepenuhnya bahwa ini adalah akhir dari segalanya. “Tolong tenang!” pinta seorang petugas polisi yang duduk di depan. Pria berseragam itu menoleh ke belakang dan memandang Gretha dengan raut wajah yang mengeras seolah itu adalah peringatan pertama dan terakhirnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk tiba di halaman kantor kepolisian. Gretha dan ibunya dibawa keluar dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa masuk segera ke ruang pemeriksaan. Langkah kakinya berubah gamang kala ia dipisahkan oleh sang Ibu dan ditempatkan di ruangan yang berbeda. Dan mungkin ke depannya mereka tak akan bisa bertemu satu sama lain. Hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Ini akan menjadi waktu yang panjang, dan dingin .... Ada banyak orang yang menyebutkan bahwa lantai tahanan itu jauh lebih dingin ketimbang b
"Anda ditahan atas pasal pembunuhan berencana, pemusnahan barang bukti, pemerasan, penggelapan dan perbuatan tidak menyenangkan." Petugas tersebut memandang Gretha dan Nyonya Bertha bergantian. Surat penangkapan yang ditunjukkan di hadapan Nyonya Bertha yang memang berdiri paling dekat dengan mereka lalu diturunkan. "Bawa mereka!" titahnya pada petugas lain yang ada di belakangnya. "Tidak!" seru Gretha seraya berjalan mundur. Ia tidak mau ditangkap! Ia berlari pergi dari sana, air matanya berlinangan penuh ketakutan. "GRETHA!" panggil Nyonya Bertha, seruannya mengatakan lebih banyak agar sebaiknya mereka menyerah saja. Jalan mereka sudah buntu, mereka tidak bisa lari ke manapun sebab rumah ini pasti telah dikepung. "Jangan bawa saya sekarang!" Gretha berseru keras-keras, larinya terhalang oleh polisi yang lebih dulu bergerak dan tiba di hadapannya. "Lepas!" Ia memberontak saat tangannya diraih. Suara borgol yang dikeluarkan membuat bulu kuduknya berdiri. Dinginnya benda itu