Thor harus up berapa hari ini? coba komen xixixi 😚😚
“Baik, Tuan,” jawab Giff dengan patuh. Ia menerima ponselnya kembali dari William dan bertanya, “Apakah percakapan dengan Tuan Alaric tadi berakhir dengan baik?” William mengangguk, ia katakan apa-apa saja yang tadi didengarnya dari Tuan Alaric, bagaimana pria paruh baya itu berusaha melindungi Lilia, Keano dan Alya. Atau tentang siapa Lilia sebenarnya yang tak lain adalah seorang Nona muda keluarga Roseanne. Hingga siapa yang memiliki motif paling besar untuk menyulut api di vila miliknya satu hari sebelum pernikahannya digelar. “Anda benar bahwa Tuan Alaric memiliki alasan yang kuat,” katanya. “Artinya, kita memiliki penyokong yang juga memiliki tujuan yang sama untuk membuat kejahatan Gretha serta ibunya itu terungkap, bukan?” “Iya,” jawab William. “Ada banyak aset yang dikelola oleh Gretha dan ibunya yang pasti sekarang pelan-pelan diambil kembali oleh Papa,” ucapnya menuturkan praduga. “Tuan Alaric akan berjibaku mengamankan hak-hak milik Nona Lilia di sana sementara kita
William menatap kesal ke seberang sana dan tertawa lirih. Lelaki yang bersama dengan Lilia itu sepertinya masih seusia Giff, tampak muda dan dilihat dari manapun jelas ia suka pada Lilia. “Beraninya anak sekecil itu mendekati Lilia,” gumamnya seorang diri. William menepis Giff, mendorong bahunya agar menjauh sehingga ia bisa berjalan maju untuk menemui Lilia yang ada di teras. Sepasang mata Lilia yang berbinar memandang kedatangannya saat William berdiri di sampingnya dan sibuk memindai pria berseragam cokelat itu yang di dadanya tersemat nama Zavian Altair. “A-Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Lilia lebih dulu pada William. “Apa kamu mengenalnya, Lia?” tanya Zavian, tampak bingung menatap bergantian Lilia dan pria yang berdiri menjulang di sebelahnya itu. Lilia lebih dulu mengangguk untuk menjawabnya, “Kenal,” ucapnya. “Papanya Keano.” “Aah, begitu,” tanggapnya. “Senang melihat Anda, saya pegawai kelurahan di sini, apakah Anda warga baru?” “Bukan,” jawab William hampir te
William berulang kali mendengus kesal setiap mengingat senyum Lilia yang merekah untuk pemuda bernama Zavian itu. Bukan salah si Zavian itu memang jika ia terpesona pada Lilia karena William pun tahu rasanya jatuh cinta pada gadis itu—dan sekarang pun ia juga masih begitu. Siapa yang tak akan menyukai Lilia karena gadis itu memang cantik. Dagunya yang kecil, matanya yang berbinar seperti permata amethyst atau rambutnya yang hitam legam itu adalah kesempurnaan yang bisa membuat para pria menjadi ‘gila.’ “Tapi aku harap Keano selalu menegur lelaki itu,” gumam William seorang diri saat ia berdiri di depan sebuah etalase besar berisikan mainan karena memang ia tengah berada di dalam sebuah toko mainan untuk membelikan puzzle seperti yang diminta oleh anak lelakinya kemarin. “Mengingat dia selalu membela Lilia saat Gretha atau ibunya dan bahkan mamaku sendiri mengatakan sesuatu yang tidak baik pada Lilia, aku harap anak lelakiku yang cerdas itu juga akan mengusir si Zavian itu.” Astag
Sabtu pagi yang sedikit mendung saat Lilia berada di halaman rumahnya. Ia tengah menyiram tanaman dan bunga-bunga yang tumbuh di sana dan salah satu mawar yang kapan hari dibeli oleh ibunya dari toko bunga di depan komplek itu telah berbunga meski masih kuncup “Cantik sekali,” gumamnya seorang diri. Ia menyentuhnya dengan hati-hati, menunduk dan menciumnya yang harum. Lilia mengangkat wajah saat mendengar suara langkah kaki seseorang yang berdiri di dekatnya dan menoleh pada kedatangan pria yang pakaiannya segelap langit yang menaungi mereka di atas sana. “William?” sapanya seraya menegakkan tubuhnya sedang pria itu mendekat padanya. “Apa yang kamu lakukan, Lilia?” tanyanya. “Hanya ... menyiram bunga saja.” jawab Lilia. “Anda ingin bertemu dengan Keano?” William mengangguk, “Iya, apa dia sudah bangun? Atau aku yang kepagian?” “Keano sudah bangun Tapi dia ikut Ibu pergi berbelanja sebentar.” “Setiap hari Keano ikut berbelanja?” “T-tidak setiap hari juga,” jawabnya. “Karena kal
Tangan Lilia terasa kaku saat menerima kotak susu dari William. Manik mereka bertemu, iris gelapnya membuat Lilia dengan cepat menghindarinya karena ingatan itu membuat air matanya hampir luruh karena takut. “T-terima kasih,” ucapnya dengan gugup. Lilia tak memandang pria itu lagi saat ia menyiapkan susu hangat untuk Keano. Kebekuan menyergap untuk lebih dari beberapa menit dengan Lilia yang terus meraba, ‘Kenapa dulu dia menatapku dengan penuh benci seperti itu?’ gumamnya dalam hati. “Papa?!” panggil suara manis Keano yang melunturkan ketegangan di tempat itu. “Sayang,” balas William pada Keano kemudian pria itu pergi dari sisi Lilia. Lilia menunduk, meremas cangkir di tangannya kuat-kuat. Inilah yang ia maksudkan, sanggupkah ia dengan segala resikonya termasuk kenangan yang kelam dan tak menyenangkan jika ia benar-benar bisa mengingat William? ‘Bagaimana sekarang?’ *** Sehari setelah pertemuan yang membuat Lilia menemukan seberkas ingatan tak menyenangkan itu, William akhi
Karena sekolah masih libur, Lilia dengan diantar oleh Zain pergi ke suatu tempat—tak jauh dari kediaman mereka—untuk melakukan belanja keperluan bulanan saja. Zain bilang padanya bahwa Tuan Alaric tak bisa ikut karena sedang bertemu dengan orang dari Sada Construction, penanggung jawab pembangunan sekolah—projek bersama antara Velox Corp dan Seans Holdings. “Nanti malam Tuan Alaric akan datang ke rumah lagi, Nona Lilia,” ucap pria itu saat mengemudikan mobilnya memasuki sebuah mini mall yang melihatnya dari luar saja sudah membuat Keano senang. “Iya, Pak Zain,” tanggap Lilia. Suaranya membuat sang Ibu yang duduk di depan menoleh ke belakang dan bertanya, “Kenapa serak, Nak? Kamu flu?” “Tidak, Bu. Hanya ... semalam kurang bisa tidur saja.” “Mama, nanti apakah mau main di dalan bersama Keano?” pinta anak lelakinya. “Tapi kita harus berbelanja dulu menemani Oma, ‘kan?” “Tidak apa-apa,” sahut Alya dari depan. “Kamu pergilah saja dengan Keano, Ibu bisa sendiri nanti minta bantu Pak
Sehari setelah kembali dari luar kota—tempat di mana Lilia, Keano dan Alya berada—pagi ini William kembali menjalani aktivitas rutinnya. Di lobi Velox Corp, ia berjalan dengan Giff yang ada di belakangnya, sepasang matanya menjumpai sosok tak asing yang duduk di sana. Gretha. Wanita itu terbalut dalam pakaian hamilnya, berdiri dengan gegas saat melihat William yang berjalan melewatinya tanpa peduli. “Kak Liam,” panggil Gretha seraya menghalangi langkah kakinya. William mau tak mau berhenti karena Gretha benar-benar ada di hadapannya. Ia terlihat tak tertarik sesaat sebelum suaranya akhirnya terdengar, “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William dengan enggan. “Aku mendapat undangan untuk datang ke seminar yang diselenggarakan di hall milikmu. Sebagai perwakilan,” terang Gretha. “Aku membawa undangannya jika Kak Liam tidak percaya padaku.” William yang mendengar itu menoleh ke sebelah kanannya, pada Giff. “Apa kamu mengundangnya juga, Giff?” “Maaf saya tidak ingat karena un
William melihat Henry yang kedua telinganya memerah. Tubuhnya bergerak menunjukkan gestur bahwa ia tidak nyaman, seolah ia tengah tertangkap basah padahal tak ada yang menyebut namanya sama sekali. Ada kepanikan yang ia sembunyikan dan dari sanalah sepertinya William telah tahu anak siapa di dalam perut Gretha itu. Ia memandang Giff melalui sudut matanya, sekretarisnya itu seolah tahu apa yang ia pikirkan sehingga memberi anggukan samar. “Kamu tidak perlu tahu, Rey!” jawab Gretha akhirnya. Ia memandang Reynold dengan tatapan sengit sebelum mengayunkan kakinya pergi dari sana, hampir bisa dikatakan berlari kala meninggalkan lobi Velox Corp padahal sebelumnya bersikeras mengatakan ingin ikut seminar. Reynold memandang kepergian Gretha dengan alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. “Apakah kamu mengenalnya, Reynold?” tanya William. “Iya. Mantan pacar saya, Tuan,” akunya. “Apakah Anda juga mengenalnya?” “Dia adik tiri dari mendiang istriku.” Reynold terlihat memiringkan kepalany
"Apa yang kamu lakukan ini, Gretha?!" ulang Tuan Alaric sekali lagi.Gretha menurunkannya tangannya dan memandang beliau seraya menjawab, "Aku direndahkan oleh pelayan rendahan itu, Pa!" tunjuknya pada seorang gadis berseragam yang berdiri tak jauh dari Gretha dan tengah menunduk dengan salah satu tangan yang berada di pipinya yang merah akibat mendapat tamparan keras darinya."Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu ...." kata Tuan Alaric dengan mengusap bahu Gretha. "Berhati-hatilah dalam berucap, kamu sedang hamil. Anakmu yang ada di dalam kandungan sudah bisa mendengar apa yang kamu katakan. Sudah, jangan memukuli siapapun lagi ...."Gretha tampak menggertakkan rahang kecilnya. Pupilnya bergoyang tanda ia tak setuju saat Tuan Alaric melarangnya agar tak memukuli pelayan-pelayan di rumah mereka lagi.Napasnya terlihat naik turun menahan amarah sebelum akhirnya ia memberi anggukan samar.Tak mungkin baginya marah di depan Tuan Alaric, bukan?Ia harus senantiasa menjadi anak gadisny
Gretha memandang William yang malah seolah sedang meremehkannya. Ia yang semula terdiam mendadak kehilangan kendali dalam dirinya sebelum ia berseru dan memukul William dengan tas yang ia bawa.“William!” serunya tak terkontrol.Tapi sebelum ada satu inchi bagian tubuh William yang terkena pukulan itu, Giff menahan tangan wanita itu di udara. Memintanya agar mundur.“Tolong hentikan kegilaan Anda ini, Nona Gretha!” katanya dengan tegas.“Kegilaan?!” ulang Gretha dengan suara yang masih sama berserunya. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘kegilaan’, Giff? Kamu menganggap aku gila?!”Gretha menjerit kesetanan saat William yang berdiri di belakang Giff justru menunjukkan senyuman tipisnya seraya menggelengkan kepala.“WILLIAM!” seru Gretha sekali lagi saat Giff meraih kedua bahunya dan memintanya untuk segera pergi dari ruang VIP tersebut.Karena Gretha seperti tak bisa dikendalikan, Giff harus dibantu oleh dua orang security agar ia pergi dari sana.Giff kembali pada William yang duduk di
“Tolong jaga bicara Anda, Nona Gretha!” sahut Giff lebih dulu. Tak habis pikir dengan kalimatnya yang menyakiti telinga. “Apa Anda tidak bisa bicara yang baik? Ini bukan hutan yang tidak memiliki aturan. Di tempat ini bukan hanya ada Anda saja.”“Jangan menyela dan jangan ikut campur, Giff!” balas Gretha tak mau kalah. “Kenapa kamu selalu ikut campur dan—““Sayangnya saya memang dibayar mahal oleh Tuan William untuk ikut campur,” potong pemuda itu, alis lebatnya nyaris bersinggungan menghadapi Gretha—yang tiba-tiba muncul tanpa mereka tahu.Napas Gretha naik turun mendengar hal itu, sementara William yang duduk di sofa ruang tunggu VIP itu terlihat mendorong napasnya dengan kasar.Sepasang matanya yang tak menatap Gretha itu menyiratkan keengganan yang sangat kentara bahwa ia tak suka dengan pertemuan ini.Sebuah kebetulan yang tak diinginkan!William menggertakkan rahangnya, padahal … suasana hatinya sangat baik sejak ia kembali dari tempat Lilia dan Keano. Tapi sepertinya hingga per
“P-pria s-siapa m-maksud kamu, Alaric?!” tanya Bertha dengan terbata-bata. Pupil matanya bergoyang gugup mendengar balasan yang tak ia antisipasi dari Alaric.Suaranya gemetar kala mengembalikan tanya dari pria itu.“Aku tidak pernah menemui pria!” imbuhnya sebagai sanggahan. “Apa yang kamu bicarakan sebenarnya?”“Kamu tidak nyaman ‘kan dituduh?” Alaric memperdengarkan tawa lirihnya, selangkah maju dan suara benturan antara telapak slipper yang dikenakannya dengan lantai marmer tempat mereka berpijak membuat Bertha gemetar kala selangkah mundur ke belakang.“Karena kamu tahu rasanya dituduh itu tidak nyaman, jadi jaga bicaramu mulai sekarang, Bertha!”“Alaric—““Keluarlah!” potong Alaric kemudian mendorong napasnya yang seolah dibebani oleh banyak rasa sesak. “Keluarlah, tolong! Aku ingin sendiri.”Napas Bertha naik turun tak beraturan. Matanya berair menatap Alaric yang sepasang iris gelapnya menerpanya tanpa hati.Pengusiran yang dilakukannya itu seakan tak mempedulikan Bertha akan
Suara Bertha membumbung tinggi, seolah akan meruntuhkan langit-langit kamar.Tetapi seolah tak peduli dirinya yang menggebu-gebu, Alaric justru duduk dengan tenang dan mengulum senyumnya sekali lagi.“Semakin tua sepertinya aku mulai kehilangan hasrat,” jawab Alaric. “Anggap saja begitu, Bertha.”“Kenapa bisa begitu? Kamu semakin menjadi-jadi sejak membongkar album lama milik Agatha. Apa dua puluh empat tahun berada di sisimu tidak berarti sama sekali?”“Tentu saja berarti, Bertha,” jawab Alaric masih sama tenangnya. “Jika tak berarti, kenapa selama dua puluh empat tahun ini aku bertahan dalam pernikahan kita?”“Tapi tiga bulan ini aku hampir gila karena sikapmu, Alaric!” sanggahnya.“Apa dua puluh empat tahun menjadi suamimu kamu pandang sebelah mata hanya karena tiga bulan ini kita tidak seperti dulu?” tanya Alaric. Pria itu menatap Bertha yang berdiri gusar di hadapannya. “Berhentilah memprotes! Kamu tetap hidup dengan nyaman sampai hari ini, ‘kan? Kamu bahkan jauh lebih lama menja
Lilia bisa melihat kedua telinga William yang memerah saat pria itu menundukkan kepalanya selama beberapa detik sebelum tersenyum saat menatap Lilia kembali. “Kalau begitu aku akan melamar mu lagi, Lilia,” kata William yang membuat Lilia terkejut. “Y-ya?!” “Melamarmu,” ulang William. “Bukankah aku harus melamarmu sekali lagi? Tapi aku akan bilang dulu pada Papa Alaric untuk meminta restu pada beliau.” Lilia terdiam, dadanya berdebar-debar mendengar William bersungguh-sungguh untuk memperjelas hubungan mereka ke depannya. Pria itu bahkan mengatakan akan meminta izin pada ayahnya terlebih dahulu. Perutnya penuh dengan kupu-kupu, kata seolah habis di tenggorokannya. “Kenapa?” tanya William karena Lilia terus terdiam tanpa memberinya tanggapan. “Apakah kamu keberatan?” Lilia menggeleng, “Tidak,” jawabnya. “Saya hanya sedang mengendalikan detak jantung saya saja.” “Kenapa dengan jantungmu memangnya?” “Berdebar-debar,” jawabnya singkat kemudian kembali menunduk untuk mela
“Apa sedalam itu lukanya?” gumam Lilia yang dapat didengar oleh Giff. Pemuda itu mengangguk menanggapinya, “Anda dan Tuan William sama-sama terluka, hanya caranya saja yang membedakan. Tuan William dengan kehilangan Anda dan Keano, sementara di sini Anda dengan kehilangan ingatan. Bukan hanya sama-sama terluka, Anda berdua juga sama-sama kehilangan.” Lilia menghela dalam napasnya, mau tak mau ia harus menyetujui Giff bahwa pemuda itu benar. Ia dan William sama-sama menanggung luka dan sama-sama kehilangan. “Aku ingin mengingat semuanya kembali,” tanggapnya. “Aku harap semua ingatanku kembali aku dapatkan, baik buruknya, sedih bahagianya.” “Saya yakin sebentar lagi Anda akan ingat semuanya, Nona Lilia ….” Mereka menoleh ke belakang saat mendengar suara Keano yang memanggil Lilia. “Mama ….” Suaranya serak, matanya belum sepenuhnya terbuka tetapi sepertinya bocah kecil itu harus segera memastikan bahwa Lilia masih ada di rumah ini bersamanya sehingga ia bergegas ke luar. “Sayang
Lilia merasa … ada dendam tersendiri dari cara William bertutur saat ia menekankan pada Zavian bahwa ia bukanlah seorang mandor. Sepertinya sebutan itu membekas di hati William saat pemuda itu mengatakan, ‘Aah … jadi Anda mandor’ yang dikatakannya pada hari pertemuan pertama mereka di preschool. “Maaf,” jawab Zavian. “Aku tidak tahu soal itu. Karena saat itu Pak William bilang Anda sedang meninjau proyek, jadi aku pikir Anda adalah mandor,” terangnya sebagai sebuah pembelaan. “Memangnya ada mandor proyek yang tampilannya sepertiku?” “Maaf saya benar-benar tidak tahu.” Lilia tersenyum mendengar perdebatan itu sebelum meminta mereka berhenti. “Karena semuanya sudah jelas sekarang, Anda berdua bisa meminum tehnya,” katanya mempersilakan. William dan Zavian sama-sama meraih cangkir teh dari atas meja, dua pria itu menyesapnya saat Lilia memperingatkan mereka bahwa tehnya kemungkinan masih sangat panas. “Masih panas, tolong ditiup dulu!” Lilia melihat William yang membeku begitu ju
Mata Giff terpejam tak berdaya mendengar hal itu. ‘Double trouble,’ pikirnya dalam hati. ‘Mengatasi Papanya saja kesulitan setengah mati, ini ditambah dengan anaknya pula ….’ Lilia yang berada di belakang William dan Keano terkejut dengan kompaknya mereka bicara. Tapi lupakan itu, ia meminta ayah dan anak itu untuk menyisih agar ia bisa membawa masuk belanjaan. Tapi alih-alih didengar, mereka malah mematung di sana tak mengizinkan Lilia lewat. “Anda ada perlu apa ke sini?” tanya Giff yang lebih dulu menghampiri Zavian. “Saya hanya ingin bicara sedikit dengan Pak William dan Lilia,” jawabnya. Giff tampak menoleh pada William yang sepertinya enggan memberi tanggapan. Tapi, Alya yang berjalan melewati Giff meminta agar Zavian masuk. “Masuk dulu, Pak Zavian,” katanya mempersilakan. “Masalah orang dewasa, apalagi kesalahpahaman tidak bisa diselesaikan dengan berdiri. Harus duduk dan dibicarakan dengan kepala yang dingin.” Alya tampak mengamati mereka semua bergantian. Pandangannya