Dengan ragu ia menyebutkan pendidikan terakhirnya sambil menunduk.
"Ijazah terakhir SMA, tapi gue pernah kuliah jurusan manajemen bisnis empat semester."
Pria itu tersenyum.
"Tidak apa-apa, jangan malu. Apa saja keahlian lo?"
"Gue punya sertifikat beberapa jenis seni beladiri dan sertifikat kursus teknologi informasi dan digital marketing. Kalo dibutuhkan, sekarang juga bisa gue ambil," ucap Mazaya saking semangatnya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan.
"Oke, sebentar lo ambil, dengerin gue dulu. Gue akan menyekolahkan lo sampe lulus sarjana, tapi syaratnya maksimal 3,5 tahun lo harus lulus dengan predikat minimal cumlaude. Memiliki kemampuan bahasa asing minimal Inggris, Jepang, dan Cina. Lo bisa daftar ke berbagai universitas di luar negeri untuk mendukung pendidikan lo."
Mazaya curiga kenapa pria itu begitu baik, padahal mereka baru saja kenal. Ia hanya tahu nama pria itu Zeta dari nama akunnya ketika memberinya pekerjaan sebulan yang lalu.
"Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya lo siapa, dan kerjasama apa? kenapa lo baik banget?"
"Lo nggak perlu tahu siapa gue. Setelah lo menyelesaikan pendidikan, lo akan menjadi agen kami. Pekerjaan banyak, tergantung dari clien yang memberikan job. Yang kami butuhkan adalah multi-skill, orang yang siap dengan pekerjaan apa pun, baik yang berbahaya atau pun yang biasa."
"Maksud lo?" Mazaya mengernyitkan keningnya tanda tidak memahami maksud pria itu.
"Sebagai seorang agen, lo harus siap bekerja dalam target. Misalkan ada clien yang meminta lo nganter sebuah dokumen rahasia di sebuah hotel dalam waktu kurang dari satu jam, lo harus siap. Lo pasti bisa bayangin seberapa besar bahaya yang bakal lo dapet dari tugas itu."
Mazaya termenung mencerna setiap ucapan pria itu. Ia penggemar novel dan film thriller, action, dan misteri, bukan hal asing baginya ucapan pria itu. Tapi ia menyadari pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan gelap dan jauh dari moralitas sebagai manusia. Bahkan menurut novel dan film yang ia lihat, seorang agen harus berani membunuh dan dibunuh.
"Nggak harus sekarang lo jawab. Gue tunggu tiga hari, ini kontak gue, chat atau hubungi gue apa pun jawaban lo. Kalo lo nolak nggak apa-apa, artinya ini pertemuan terakhir kita, dan kita nggak akan ketemu lagi selamanya. Kalo lo nerima, berarti ini pertemuan pertama kita. Gue balik dulu." Pria itu berdiri dan meninggalkan uang 500 ribu Rupiah di atas meja untuk membayar makanan yang mereka pesan meskipun jumlah menu yang mereka pesan tidaklah sebanyak itu nilainya.
Mazaya berpikir cepat, ia membayangkan penderitaan hidupnya dan ibunya. Toh pekerjaannya selama ini hanya cukup untuk membayar hutang, bahkan terkadang masih kurang dengan besarnya bunga yang para rentenir itu terapkan. Mazaya dengan bulat mengambil keputusan.
"Tunggu! Gue menerima penawaran lo!" seru Mazaya dengan mantap.
Pria itu berhenti, lalu berbalik dengan wajah tidak percaya.
"Lo yakin?" dia bertanya sambil berjalan mendekati Mazaya. Mazaya hanya mengangguk.
Pria itu kembali duduk di tempatnya semula.
"Setelah teken kontrak, lo nggak bisa keluar lagi. Begitu ingin lo keluar, nyawa lo dan seluruh keluarga lo akan dipertaruhkan. Pikirkan baik-baik," pria itu berusaha memberikan pertimbangan.
"Gue mengerti, gue siap."
Kali itu juga Mazaya langsung menandatangani surat kontrak yang berlangsung seumur hidup itu. Ketiak ia menandatangani kontrak itu, artinya ia sudah menyerahkan seluruh hidupnya pada mereka. Surat dilengkapi dengan tanda tangan, cap jempol, dan setetes darah pada kertas dan sebuah alat semacam botol kecil.
Mazaya menggigit jari telunjuknya hingga mengeluarkan darah, lalu meneteskannya pada tempat yang disediakan.
Selanjutnya Mazaya mulai mengikuti kursus bahasa Inggris cepat dan mendaftar di berbagai Universitas di luar negeri.
"Mak, gue dapet beasiswa di luar negeri nih, lumayan duit bulanannya bisa buat nutupin utang kita. Nggak apa-apa kan Emak gue tinggal sekitar 3 tahun? gue janji akan belajar dengan giat sehingga bisa cepet pulang," Mazaya mengutarakan keinginannya pada Ibunya.
"Kalau itu yang terbaik, Emak nggak bisa larang lo. Emak juga pengin lo sukses, nggak terus-terusan hidup susah begini."
Dengan berbekal izin ibunya, Mazaya berangkat ke Amerika untuk menempuh pendidikannya. Seluruh biaya ditanggung pria yang ternyata bernama Ariel itu, begitu juga dengan permasalahan hutang dia yang menangani.
Tepat 3 tahun 2 bulan ia berhasil menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia sebagai seorang Agen dari kelompok mafia Gen-X.
Tugas pertamanya adalah memindahkan uang tunai hasil korupsi sebanyak 5 Milyar Rupiah ke sebuah bank.
Setelah itu, ia mulai banyak mendapatkan job belakang layar, seperti meretas website dan membuat berbagai software terobosan baru yang menunjang kelancaran pekerjaan kelompok mereka.
PT Adidaya Komputindo adalah sebuah perusahaan yang telah lama mengincar software buatan Garuda Mediatama sejak masih baru direncanakan. Mereka juga pengembang berbagai software terkemuka, namun produk-produknya tidak sepopuler Garuda Mediatama. Itulah sebabnya mereka berusaha mencari celah untuk menjatuhkannya.
Pada awalnya mereka bekerjasama untuk membangun software tersebut, namun kemudian pihak Garuda Mediatama membatalkan kerjasama karena mereka mengetahui rencana licik rekan bisnisnya itu. Lalu, perusahaan Adidaya Komputindo menggandeng Gen-X untuk menyalin data rival bisnis mereka itu.
Dalam masa pembuatan software aplikasi New World, Gen-X sudah mengirimkan beberapa orang agen, namun semuanya gagal. Hingga setelah Mazaya kembali, sepasang kekasih yang dikenal dengan sebutan Couple Gen-X merekomendasikan dirinya dengan cara menyamar sebagai pria. Ternyata cara itu berhasil, Mazaya resmi menjadi anggota tim pembuat software itu.
"Makan jangan ngelamun," tegur sang ibu melihat putri kesayangannya melamun di depan meja makan.
Mazaya terbatuk-batuk karena terkejut. Ibunya segera mengambilkan segelas air. Dengan sekali teguk air itu habis tak bersisa.
"Lo sekolah dari luar negeri tetep nggak berubah cara lo minum, apa bagitu juga cara minum lo di sana?" seloroh ibunya.
"Ya nggaklah, Mak. Itu cuman di rumah doang begitu. Kalo di tempat kerja ya gue menjaga integritas gue," Mazaya membela diri. Ibunya tertawa mendengar ucapan Mazaya.
"Gue duluan tidur, Mak, capek, nih," pamit Mazaya. Ibunya hanya mengangguk sambil membereskan sisa-sisa makanan di atas meja.
Mazaya berlalu dari hadapan ibunya. Ia masuk ke dalam kamar lalu membersihkan diri. Bekas-bekas luka akibat seringnya berlatih masih meninggalkan luka-luka memar di sebagai anggota badannya. Ia mengoleskan obat pada area-area yang masih menunjukkan bekas luka.
Ia tidak pernah mengeluhkan setiap lukanya itu pada ibunya. Ia siap menanggung seluruh beban kehidupan ini demi memberikan ketenangan di hati ibunya.
Sudah satu tahun ia resmi bekerja bersama Gen-X, dan satu bulan di Garuda Mediatama. Entah apalagi yang akan terjadi di hari esok, yang bisa dilakukannya hanyalah mengikuti garis kehidupan yang sepertinya selalu berat untuknya.
Pukul 05.30 pagi.Mazaya memasuki sebuah gedung yang sudah agak tua dan terletak di pinggiran kota Jakarta. Gedung itu adalah markas besar mafia Gen-X yang memiliki anggota lebih dari 300 orang. Mafia Gen-X sendiri berbeda dengan mafia kebanyakan, mereka lebih mengedepankan kualitas personal anggotanya sehingga tidak banyak yang berhasil masuk dalam kelompok mereka. Setiap anggota yang baru bergabung atau calon anggota baru harus memiliki kualifikasi khusus, misal bidang teknologi informasi, bahasa asing, manajemen bisnis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kelompok Gen-X selalu diperhitungkan oleh para pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri.Selain itu, jika kelompok mafia lainnya memiliki bisnis utama mengarah pada hal negatif seperti narkotika, tapi tidak untuk Gen-X. Usaha utama mereka adalah pengembangan software dan jasa digital marketing. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin bekerja sama dengan mafia Gen-X harus rela 'merogoh kocek' yang tidak sedikit.
Mazaya masih lurus menatap monitor. Bola matanya yang kecokelatan menari-nari seiring ketikan program yang terus memanjang memenuhi screen komputer. Tugasnya hari ini membuat efek yang dinamis pada software New World. Ia semakin berhati-hati dalam bekerja, sebab semua perangkat sudah dipasang alat pengintai.Ia melirik jam tangan merk Expedition yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00, waktunya untuk pulang. Ia teringat sore ini rapat di markas, meskipun dia tidak diundang, tetapi dia sangat penasaran untuk mengetahui hasilnya."Yog, Ger, gue duluan, ya. See you tomorrow (sampai ketemu besok)," pamit Mazaya alias Hexel."Bye, be careful (hati-hati di jalan)," ucap Yoga dan Gery hampir bersamaan."Udah mau pulang, Hex?" Meta memperhatikannya dari tempat duduknya."Iya, duluan, ya." Hexel melambai sambil berlalu. Meta mengerucutkan bibirnya tidak mendapat perhatian dari Hexel.Mazaya mengendarai motornya menyusuri jalan
Pintu mobil terbuka, keluarlah seorang wanita paruh baya. Pemuda yang membawa motor Mazaya tadi membukakan pintu mobil yang sebelah, lalu turunlah Mazaya dipapah oleh pemuda itu."Zaya! apa yang terjadi sama lo, Nak?" Bu Maimunah langsung menghampiri putrinya yang berjalan tertatih."Maaf, Bu. Tadi ada kecelakaan di jalan, saya me....""Cuma kecelakaan kecil kok, Mak, udah biasa. Nggak apa-apa, paling juga besok udah sembuh," sela Mazaya memotong ucapan Rafa.Rafa tertegun sejenak, bingung mau mengatakan apa lagi."Boleh tuliskan nomor ponsel lo di sini?" Rafa mengulurkan ponselnya. Mazaya menatap pria itu sejenak, lalu mengambil ponsel itu dan menuliskan nomornya."Nama?" tanya Rafa lagi."Zaya," jawabnya singkat, ia sudah sangat ingin masuk ke dalam memeriksa lukanya, namun pria itu tidak juga pergi."Kalau anak ibu butuh bantuan atau pengobatan,
Sepanjang perjalanan Mazaya hanya diam sambil memperhatikan pemandangan di jalanan. Bu Maimunah yang banyak berbicara mencairkan suasana yang terasa kaku."Nak Rafa kerja di mana?" Bu Maimunah membuka percakapan."Di kantor pengembangan software, Bu." Rafa tidak menyebutkan identitas yang sesungguhnya. Ia memang memegang komitmennya untuk menyembunyikan identitasnya kepada siapa pun. Ia benar-benar tidak ingin dikenal, padahal selalu membicarakan perusahaannya."Oh, sama dengan Zaya kalo begitu. Dia juga kerja di tempat begitu, apa ya nama kantornya? apa, Zay?" Bu Maimunah berpaling pada putrinya yang acuh pada percakapan mereka."Emak, kenapa sih cerita pekerjaan segala," ketus Mazaya merengut."Ih, lo itu ya. Ah, namanya ada Garuda-Garudanya gitu, cuma gue nggak tahu pasti juga." Bu Maimunah mencolek lengan Mazaya yang tidak mau bekerjasama dengannya."Oh, Garuda Mediatama bukan?
Tiga hari berlalu.Mazaya sudah kembali masuk kerja, hanya tinggal sedikit bekas luka di jidatnya yang masih membekas, dia menempelnya dengan hansaplas agar tidak menimbulkan pertanyaan."Halo, Hexel, akhirnya lo udah sehat. Kenapa lo bisa sakit sih?" Yoga dan Gery langsung menyambut kedatangannya."Nggak tau juga, mungkin lagi musim kali, banyak yang demam di kompleks gue. Maaf ya, udah ngerepotin lo berdua." Hexel meletakkan tas punggungnya di sandaran kursi."Iya, nih, pekerjaan lo berat banget, gue nggak terlalu memahami bagian itu. Jadi belum kelar deh." Yoga memasang wajah bersalah karena tidak mampu menyelesaikan tugasnya."What? gawat! kalo gitu mulai sekarang jangan ganggu gue, oke? gue mau selesaikan hari ini juga. Tapi lo berdua mesti ambilin gue makan siang, minuman capuccino dingin, plus kentang goreng. Oya satu lagi, sama es krim." Hexel menahan tawanya sebisa mungkin agar terlihat serius.
"Emang napa lo?" Rafa keheranan melihat ekspresi tidak biasa sepupunya yang terkenal cool sama dengannya."Lo punya cewek, nggak?""Hah?" Rafa terkejut mendengar pertanyaan sepupunya yang tiba-tiba dan aneh itu."Kenapa lo tanya begitu?" tanya Rafa heran."Udah deh jawab apa susah amat," gerutu Jonathan."Nggak! napa lo? lo dapet cewek?" gurau Rafa sambil tersenyum.Jonathan mendekat ke arah Rafa, lalu dipeluknya sepupunya itu. Sontak Rafa berontak."Lo napa sih, aneh banget, tau?" Rafa duduk menjauh dari Jonathan."Apa lo merasakan sesuatu yang aneh?" Jonathan bertanya dengan wajah polos yang lucu."Merasakan apa?" Rafa tergelak. "Jangan-jangan lo nggak normal, ya kan? Oh Tuhan, ada dari keluarga gue yang nggak normal?"Jonathan meninju lengan Rafa."Makanya cariin gue cewek, gue mau ngetes apa gue
Mazaya dan Zeta terlibat perkelahian sengit dengan para pria itu. Mereka adalah para penjaga elit di acara pertemuan tersebut. Entah mereka berada di pihak yang mana. Mereka memiliki keahlian beladiri khusus, cukup sulit menyingkirkan mereka.Mazaya terdesak ke sisi balkon yang mengarah ke bawah, dengan sekali gerakan ia menaiki pagar balkon itu dan melompat sekaligus melakukan tendangan telak kepada tiga orang musuh yang mengepungnya. Sementara Zeta berupaya menyingkirkan empat orang lainnya di dalam kamar hotel.Mazaya kembali melompat dengan bersalto dan berdiri di atas pundak dua orang musuh, lalu membenturkan kepala keduanya hingga mengucurkan darah. Dua orang itu ambruk dan tak bisa bergerak lagi. Satu orang lainnya tertegun sejenak melihat nasib dua orang temannya, ia mengeluarkan sebilah pisau belati kecil yang berkilat di bawah sinar lampu balkon. Ia maju penuh percaya diri dengan belati di tangannya, mengayunkan belati ke arah perut Mazaya
Mazaya dan Zeta tiba di markas menjelang subuh. Mereka langsung menuju ke ruangan Bigboss yang pasti sedang menunggu mereka.Sesampainya di ruangan Bigboss, mereka duduk di sofa di sudut ruangan. Mereka mulai melepas sarung tangan, topi, dan penutup wajah. Bigboss memperhatikan mereka tanpa berkedip."Zaya, harus berapa kali gue ingetin ke elo supaya menahan sedikiiit saja --amarahmu. Oke, semua tau lo hebat, tapi... apakah semua membaik kalo diselesaikan begini?" Bigboss mengusap rambutnya, lalu membuang muka. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal.Mazaya hanya tertunduk menggigit bibirnya yang tipis. Digenggamnya jemarinya erat-erat."Gue harap ini terakhir kali lo begini. Ke depan pekerjaan semakin banyak, profesionalisme harus ditingkatkan.""Ma-maafkan gue, Bigboss." Terbata ia mengeluarkan suaranya."Setiap pelanggaran hukuman tetap berlaku. Lo di-skors satu minggu. Gaji dipoto
Rafa akhirnya pergi mencari air minum untuk Mazaya yang tengahmegap-megapsambil mengipasi lidahnya yang terjulur, air matanya mengalir. Ia benar-benar tidak menyangka gadis itu tidak bisa makan makanan pedas. Setelah mendapatkan air minum, ia segera menyerahkan pada Mazaya dan membukakan penutupnya."Sorry, gue nggak tau kalo lo nggak makan pedes, gue pikir tadi sama pentolnya." Rafa memasak wajah iba. Rafa mengusap air mata di pipi Mazaya yang terus mengalir karena kepedasan."Udah, nggak apa-apa kok, ntar juga ilang.Thanksnyariin gue air," ucapnya sambil tersenyum -berusaha tersenyum lebih tepatnya-."Beneran lo nggak apa-apa? Kalo mau bales ke gue nggak apa-apa kok, asal lo jangan marah." Rafa memegang kedua pipi Mazaya dan menghadapkannya ke wajahnya agar mata mereka saling tatap."Apaan sih, nggak apa-apa, Raf.Swear!" Mazaya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sambil ters
Lewat tengah hari, Hexel kembali meminta izin untuk pulang lebih awal sekaligus meminta keringanan untuk ke depannya bisa selalu pulang lebih awal.Jonathan mengabulkan permintaan Hexel. Sebagai gantinya, ia harus membantu anggota tim lain yang belum selesai. Hexel menerima penawaran Jonathan, artinya dia harus lebih bekerja keras lagi ke depannya. Tetapi itu tidak masalah, yang penting ia bisa menyelesaikan kedua tugas besarnya tanpa masalah.Hexel memacu motor besarnya menuju ke markas untuk berganti pakaian, lalu melanjutkan perjalanannya ke kantor Adidaya Komputindo. Kini ia telah kembali menjadi sosok Mazaya Vienita yang cantik.Di sana, Mazaya di arahkan menuju sebuah ruang rahasia khusus untuk mengerjakan proyek-proyek tertentu, salah satunya New World. Sebenarnya, hati kecil Mazaya menolak melakukan semua itu, apalagi ia mengerjakan satu software untuk dua dua perusahaan yang berbeda dan tujuan yang berbeda.Mazaya mulai melakukan tugasnya. Di rua
Sore itu, di aula markas yang luasnya hanya 4 x 5 meter telah berkumpul beberapa orang. Mereka adalah para utusan dari Adidaya Komputindo yang dipimpin oleh Mr. Mark Louis, seorang pria berdarah Amerika, namun sudah menjadi warga negara Indonesia.Mr. Mark datang bersama seorang wanita dan dua orang pria. Mazaya menduga mereka pastilah asisten kepercayaannya.Mazaya diam tanpa bergerak di tempat duduknya, pandangan matanya lurus ke meja di hadapannya. Masih terngiang di telinganya persyaratan untuk terbebas dari masa skorsing adalah menyelesaikan proyek New World hingga 100% sesuai dengan model yang diinginkan pihak Adidaya Komputindo. Sebab dialah satu-satunya anggota terbaik yang paling membidangi pengembangan software."Well, let's start the meeting now. Bagaimana kelanjutan proyek?" Mr. Mark membuka topik pembicaraan dengan gaya bicara yang masih kental aksen Inggrisnya."Semua sudah siap, anak kami, Mazaya yang akan menyelesaikannya
Mazaya muncul dari balik bunga-bunga yang rimbun sambil mengebaskan lengan bajunya yang tampak basah. Rafa memandanginya dengan perasaan khawatir."Lo dari mana aja? gue panik pas kembali lo nggak ada." Rafa tidak sabar menyusul Mazaya yang masih agak jauh."Oh iya, sorry, Raf, tadi habis dari toilet. Jadi gimana copetnya, ketemu?" Mazaya berbicara sambil terus berjalan tanpa memperhatikan Rafa yang sangat khawatir."Iya udah, tasnya ibu tadi juga sudah dibalikin, copetnya dibawa ke kantor polisi." Rafa menjelaskan dengan penuh semangat berharap Mazaya tentang aksi heroiknya tadi. Namun harapannya pupus karena gadis itu tetap terus berjalan tanpa berkata apa pun."Syukurlah kalo gitu. Yuk, cari tempat lain yang lebih sejuk." Mazaya berjalan cepat lebih dulu meninggalkan Rafa.Memperhatikan punggung Mazaya, Rafa merasa pernah melihat sebelumnya, namun ia lupa di mana. Ia berjalan mengikuti di belakan
Pagi-pagi sekali Rafa sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Mazaya. Ia sangat bersemangat menjemput Mazaya sepagi itu.Bu Maimunah yang sedang menyapu halaman menyambut kedatangannya dengan senyum ramah."Rafa datang lagi," sapa Bu Maimunah."Iya, Bu, mau ngajak Zaya jalan-jalan biar dia semangat. Semalem kusut banget mukanya." Rafa menjawab dengan sopan.Bu Maimunah masuk ke dalam memanggil putrinya. Rafa menunggu di halaman, lalu bersandar di depan mobilnya. Telepon berdering, ia segera mengambil ponselnya."Jonathan, ngapain dia nelpon hari libur begini." Rafa membatin, ia menggeser layar ponselnya."Halo, Bro," Rafa menjawab panggilan."Lo di mana? gue di rumah lo, katanya lo keluar." Suara lantang Jonathan terdengar dari seberang."Ganggu aja sih lo. Udah ya, ntar gue telpon kalo mau balik." Rafa menutup teleponnya. Lalu membuka-buka pesan
Mazaya dan Zeta tiba di markas menjelang subuh. Mereka langsung menuju ke ruangan Bigboss yang pasti sedang menunggu mereka.Sesampainya di ruangan Bigboss, mereka duduk di sofa di sudut ruangan. Mereka mulai melepas sarung tangan, topi, dan penutup wajah. Bigboss memperhatikan mereka tanpa berkedip."Zaya, harus berapa kali gue ingetin ke elo supaya menahan sedikiiit saja --amarahmu. Oke, semua tau lo hebat, tapi... apakah semua membaik kalo diselesaikan begini?" Bigboss mengusap rambutnya, lalu membuang muka. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal.Mazaya hanya tertunduk menggigit bibirnya yang tipis. Digenggamnya jemarinya erat-erat."Gue harap ini terakhir kali lo begini. Ke depan pekerjaan semakin banyak, profesionalisme harus ditingkatkan.""Ma-maafkan gue, Bigboss." Terbata ia mengeluarkan suaranya."Setiap pelanggaran hukuman tetap berlaku. Lo di-skors satu minggu. Gaji dipoto
Mazaya dan Zeta terlibat perkelahian sengit dengan para pria itu. Mereka adalah para penjaga elit di acara pertemuan tersebut. Entah mereka berada di pihak yang mana. Mereka memiliki keahlian beladiri khusus, cukup sulit menyingkirkan mereka.Mazaya terdesak ke sisi balkon yang mengarah ke bawah, dengan sekali gerakan ia menaiki pagar balkon itu dan melompat sekaligus melakukan tendangan telak kepada tiga orang musuh yang mengepungnya. Sementara Zeta berupaya menyingkirkan empat orang lainnya di dalam kamar hotel.Mazaya kembali melompat dengan bersalto dan berdiri di atas pundak dua orang musuh, lalu membenturkan kepala keduanya hingga mengucurkan darah. Dua orang itu ambruk dan tak bisa bergerak lagi. Satu orang lainnya tertegun sejenak melihat nasib dua orang temannya, ia mengeluarkan sebilah pisau belati kecil yang berkilat di bawah sinar lampu balkon. Ia maju penuh percaya diri dengan belati di tangannya, mengayunkan belati ke arah perut Mazaya
"Emang napa lo?" Rafa keheranan melihat ekspresi tidak biasa sepupunya yang terkenal cool sama dengannya."Lo punya cewek, nggak?""Hah?" Rafa terkejut mendengar pertanyaan sepupunya yang tiba-tiba dan aneh itu."Kenapa lo tanya begitu?" tanya Rafa heran."Udah deh jawab apa susah amat," gerutu Jonathan."Nggak! napa lo? lo dapet cewek?" gurau Rafa sambil tersenyum.Jonathan mendekat ke arah Rafa, lalu dipeluknya sepupunya itu. Sontak Rafa berontak."Lo napa sih, aneh banget, tau?" Rafa duduk menjauh dari Jonathan."Apa lo merasakan sesuatu yang aneh?" Jonathan bertanya dengan wajah polos yang lucu."Merasakan apa?" Rafa tergelak. "Jangan-jangan lo nggak normal, ya kan? Oh Tuhan, ada dari keluarga gue yang nggak normal?"Jonathan meninju lengan Rafa."Makanya cariin gue cewek, gue mau ngetes apa gue
Tiga hari berlalu.Mazaya sudah kembali masuk kerja, hanya tinggal sedikit bekas luka di jidatnya yang masih membekas, dia menempelnya dengan hansaplas agar tidak menimbulkan pertanyaan."Halo, Hexel, akhirnya lo udah sehat. Kenapa lo bisa sakit sih?" Yoga dan Gery langsung menyambut kedatangannya."Nggak tau juga, mungkin lagi musim kali, banyak yang demam di kompleks gue. Maaf ya, udah ngerepotin lo berdua." Hexel meletakkan tas punggungnya di sandaran kursi."Iya, nih, pekerjaan lo berat banget, gue nggak terlalu memahami bagian itu. Jadi belum kelar deh." Yoga memasang wajah bersalah karena tidak mampu menyelesaikan tugasnya."What? gawat! kalo gitu mulai sekarang jangan ganggu gue, oke? gue mau selesaikan hari ini juga. Tapi lo berdua mesti ambilin gue makan siang, minuman capuccino dingin, plus kentang goreng. Oya satu lagi, sama es krim." Hexel menahan tawanya sebisa mungkin agar terlihat serius.