Mazaya masih lurus menatap monitor. Bola matanya yang kecokelatan menari-nari seiring ketikan program yang terus memanjang memenuhi screen komputer. Tugasnya hari ini membuat efek yang dinamis pada software New World. Ia semakin berhati-hati dalam bekerja, sebab semua perangkat sudah dipasang alat pengintai.
Ia melirik jam tangan merk Expedition yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00, waktunya untuk pulang. Ia teringat sore ini rapat di markas, meskipun dia tidak diundang, tetapi dia sangat penasaran untuk mengetahui hasilnya.
"Yog, Ger, gue duluan, ya. See you tomorrow (sampai ketemu besok)," pamit Mazaya alias Hexel.
"Bye, be careful (hati-hati di jalan)," ucap Yoga dan Gery hampir bersamaan.
"Udah mau pulang, Hex?" Meta memperhatikannya dari tempat duduknya.
"Iya, duluan, ya." Hexel melambai sambil berlalu. Meta mengerucutkan bibirnya tidak mendapat perhatian dari Hexel.
Mazaya mengendarai motornya menyusuri jalan raya yang ramai dan padat. Waktu ini adalah waktu macet. Ia perkirakan bakalan satu jam sampai di markas. Sebelum pulang, ia sering singgah membeli gorengan atau es buah pada penjual pinggir jalan. Ia tidak tega melihat mereka mengais rezeki dengan berpanas-panasan seharian menjajakan produk makanan itu yang hasilnya tidak seberapa.
"Satu porsi, Mas!" teriak Mazaya pada penjual pisang goreng dan es buah yang bersebelahan.
"Baik, Neng!" seru penjual dengan senyuman.
Mazaya turun dari motornya dan meletakkan helm d atas spion motor. Ia ingin makan es buahnya di tempat itu, sepertinya segar sekali.
"Esnya nggak usah dibungkus, Mas, gue makan di sini aja." Mazaya mengambil tempat duduk di sebelah penjual es buah.
Tidak menunggu waktu lama es buah pesanannya sudah tersedia di hadapannya. Dengan penuh intensi, Mazaya melahap es buah pinggir jalan dalam sekejap. Ia melihat seorang anak berusia sekitar 6 tahun melintas di depannya dan mulai melambaikan tangan hendak menyeberang jalan. Di seberang seorang ibu tengah berdiri menunggu, mungkin dia ibunya anak itu.
Mazaya membayar es buah dan pisang goreng pesanannya, lalu menghampiri kuda besinya untuk segera bergegas menuju markas. Sebelum ia naik ke atas motor, sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang mendekati anak yang menyeberang tadi. Orang-orang sepertinya tidak menyadari jarak antara anak itu dan mobil semakin dekat, namun mobil itu tidak berhenti. Mazaya sudah memperkirakan, jika anak itu tidak segera sampai di seberang, mobil itu akan menabraknya.
Dengan tergesa Mazaya berlari sekencang-kencangnya dan mendorong anak itu ke arah ibunya, sementara ia sendiri terpelanting di atas aspal hingga wig di kepalanya terlepas dan kakinya terkena pelat mobil itu.
Rambutnya yang panjang kini terurai. Rasa nyeri di kepala, telapak tangan, dan kaki mulai menjalar.
Mobil itu berhenti secara mendadak. Lalu dari dalam mobil keluar seorang pria yang ternyata adalah Rafa dan ibunya, dengan tergesa menghampiri Mazaya yang masih terbaring di atas aspal.
Orang-orang mulai berkerumun.
Rafa membantu Mazaya duduk. Pandangan terasa berputar, berkali-kali Mazaya mengerjapkan matanya agar pandangan segera normal kembali.
"Dahi lo berdarah, biar gue angkat ke pinggir, ya." Tanpa menunggu persetujuan Mazaya, Rafa mengangkat tubuh gadis itu ke atas trotoar.
"Kamu tidak apa-apa?" Ibunya anak yang menyeberang tadi menghampiri Mazaya dengan wajah khawatir.
"Iya, tidak apa-apa." Mazaya tersenyum kecut, rasa perih makin menjadi.
"Terima kasih sudah menolong anak saya," ucap ibu itu lagi.
"Maafkan saya, Bu. Ini semua kesalahan saya, biar saya yang bertanggung jawab. Ibu silahkan melanjutkan perjalanan Ibu." Rafa berkata dengan penuh sopan santun.
Ibu itu mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Mazaya, dia juga menyerahkan kartu namanya jika sewaktu-waktu Mazaya membutuhkan bantuannya.
"Ucapkan terima kasih sama Kakak yang sudah menyelamatkan Riri, Nak." Ibu itu menempatkan putrinya di depannya agar bisa lebih dekat pada Mazaya.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku, Kak," ucap gadis kecil itu, Mazaya mengangguk sambil tersenyum.
Gadis kecil itu melangkah pergi bersama ibunya, ia melambaikan tangan perpisahan. Mazaya membalas lambaian tangannya.
Bu Indri ---ibunya Rafa--- ikut duduk di hadapan Mazaya. Ia memeriksa dahi dan telapak tangan Mazaya yang terluka.
"Raf, ini harus dibawa ke rumah sakit, banyak darahnya." Bu Indri panik melihat darah masih mengalir dari dahi Mazaya. Sedangkan luka di telapak tangannya membentuk baret dan mengeluarkan darah.
"Tidak usah, Bu, ini tidak apa-apa. Saya juga masih bisa kok pulang sendiri." Mazaya berusaha bersikap kuat. Baginya, hal-hal seperti ini sudah biasa dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
"Biar kami antar, ya? di mana rumahmu?" tanya Bu Indri menawarkan lagi.
"Nggak, nggak usah, Bu, nggak usah. Saya tidak apa-apa, kok." Mazaya berusaha bangkit meskipun terasa sangat sakit dan bersusah payah. Rafa berusaha untuk membantunya.
Mazaya berjalan tertatih, masih jauh jangkauan motornya yang ada di seberang jalan. Kalau saja bisa terbang, ingin rasanya ia terbang agar cepat sampai. Rafa segera menyusul dan memapah Mazaya.
Rafa melirik ke arah gadis yang ada di sampingnya, penampilannya seperti bukan seorang gadis. Ia berpikir mungkin pekerjaannya yang mengharuskan dia berpenampilan demikian. Dan dia lebih kaget lagi tatkala melihat kendaraannya adalah motor besar Kawasaki Ninja.
"Lo yakin bisa pulang sendiri?" Rafa menatap gadis itu dengan ragu. Mazaya hanya mengangguk perlahan.
Mazaya naik ke atas motornya. Baru saja ia menegakkan motornya, kakinya tidak bisa menahan beban motor yang sangat berat itu sehingga oleng. Beruntung Rafa segera menahan motor itu sehingga tidak jatuh.
"Udah, deh, gue antar ya, hari juga udah mulai malam. Ntar lo sama ibu di mobil, motor biar gue yang bawa." Akhirnya Mazaya menurut. Ia berjalan tertatih dan dipapah Rafa hingga ke mobilnya.
"Mama bawa mobil, ya? Rafa bawa motornya," ucap Rafa, ibunya mengangguk.
Rafa membukakan pintu mobil untuk Mazaya, lalu membantunya hingga duduk dengan nyaman di dalam. Ia juga memasangkan safety belt yang membuat secara tidak sengaja wajahnya dan wajah gadis itu saling berdekatan. Mazaya menahan napas sesaat, pandangan mata mereka beradu.
Bu Indri pura-pura terbatuk-batuk agar Rafa segera beranjak dari tempatnya. Dengan wajah tersipu Rafa segera beranjak dari hadapan Mazaya dan menutup pintu mobil.
Ketika berjalan menuju motor, Rafa melihat wig milik Mazaya yang terlepas, ia memungut dan membawanya.Mobil melaju ke alamat yang disebutkan Mazaya. Rafa mengikuti mereka dari belakang mengendarai motor milik Mazaya. Perjalanan yang macet itu memakan waktu hingga 1 jam untuk sampai ke rumah Mazaya.
Sesampainya di rumah, Bu Maimunah menatap mobil yang berhenti di depan rumahnya dengan pandangan heran. Ia lebih heran lagi melihat motor besar anaknya dikendarai oleh seorang pria.
Pintu mobil terbuka, keluarlah seorang wanita paruh baya. Pemuda yang membawa motor Mazaya tadi membukakan pintu mobil yang sebelah, lalu turunlah Mazaya dipapah oleh pemuda itu."Zaya! apa yang terjadi sama lo, Nak?" Bu Maimunah langsung menghampiri putrinya yang berjalan tertatih."Maaf, Bu. Tadi ada kecelakaan di jalan, saya me....""Cuma kecelakaan kecil kok, Mak, udah biasa. Nggak apa-apa, paling juga besok udah sembuh," sela Mazaya memotong ucapan Rafa.Rafa tertegun sejenak, bingung mau mengatakan apa lagi."Boleh tuliskan nomor ponsel lo di sini?" Rafa mengulurkan ponselnya. Mazaya menatap pria itu sejenak, lalu mengambil ponsel itu dan menuliskan nomornya."Nama?" tanya Rafa lagi."Zaya," jawabnya singkat, ia sudah sangat ingin masuk ke dalam memeriksa lukanya, namun pria itu tidak juga pergi."Kalau anak ibu butuh bantuan atau pengobatan,
Sepanjang perjalanan Mazaya hanya diam sambil memperhatikan pemandangan di jalanan. Bu Maimunah yang banyak berbicara mencairkan suasana yang terasa kaku."Nak Rafa kerja di mana?" Bu Maimunah membuka percakapan."Di kantor pengembangan software, Bu." Rafa tidak menyebutkan identitas yang sesungguhnya. Ia memang memegang komitmennya untuk menyembunyikan identitasnya kepada siapa pun. Ia benar-benar tidak ingin dikenal, padahal selalu membicarakan perusahaannya."Oh, sama dengan Zaya kalo begitu. Dia juga kerja di tempat begitu, apa ya nama kantornya? apa, Zay?" Bu Maimunah berpaling pada putrinya yang acuh pada percakapan mereka."Emak, kenapa sih cerita pekerjaan segala," ketus Mazaya merengut."Ih, lo itu ya. Ah, namanya ada Garuda-Garudanya gitu, cuma gue nggak tahu pasti juga." Bu Maimunah mencolek lengan Mazaya yang tidak mau bekerjasama dengannya."Oh, Garuda Mediatama bukan?
Tiga hari berlalu.Mazaya sudah kembali masuk kerja, hanya tinggal sedikit bekas luka di jidatnya yang masih membekas, dia menempelnya dengan hansaplas agar tidak menimbulkan pertanyaan."Halo, Hexel, akhirnya lo udah sehat. Kenapa lo bisa sakit sih?" Yoga dan Gery langsung menyambut kedatangannya."Nggak tau juga, mungkin lagi musim kali, banyak yang demam di kompleks gue. Maaf ya, udah ngerepotin lo berdua." Hexel meletakkan tas punggungnya di sandaran kursi."Iya, nih, pekerjaan lo berat banget, gue nggak terlalu memahami bagian itu. Jadi belum kelar deh." Yoga memasang wajah bersalah karena tidak mampu menyelesaikan tugasnya."What? gawat! kalo gitu mulai sekarang jangan ganggu gue, oke? gue mau selesaikan hari ini juga. Tapi lo berdua mesti ambilin gue makan siang, minuman capuccino dingin, plus kentang goreng. Oya satu lagi, sama es krim." Hexel menahan tawanya sebisa mungkin agar terlihat serius.
"Emang napa lo?" Rafa keheranan melihat ekspresi tidak biasa sepupunya yang terkenal cool sama dengannya."Lo punya cewek, nggak?""Hah?" Rafa terkejut mendengar pertanyaan sepupunya yang tiba-tiba dan aneh itu."Kenapa lo tanya begitu?" tanya Rafa heran."Udah deh jawab apa susah amat," gerutu Jonathan."Nggak! napa lo? lo dapet cewek?" gurau Rafa sambil tersenyum.Jonathan mendekat ke arah Rafa, lalu dipeluknya sepupunya itu. Sontak Rafa berontak."Lo napa sih, aneh banget, tau?" Rafa duduk menjauh dari Jonathan."Apa lo merasakan sesuatu yang aneh?" Jonathan bertanya dengan wajah polos yang lucu."Merasakan apa?" Rafa tergelak. "Jangan-jangan lo nggak normal, ya kan? Oh Tuhan, ada dari keluarga gue yang nggak normal?"Jonathan meninju lengan Rafa."Makanya cariin gue cewek, gue mau ngetes apa gue
Mazaya dan Zeta terlibat perkelahian sengit dengan para pria itu. Mereka adalah para penjaga elit di acara pertemuan tersebut. Entah mereka berada di pihak yang mana. Mereka memiliki keahlian beladiri khusus, cukup sulit menyingkirkan mereka.Mazaya terdesak ke sisi balkon yang mengarah ke bawah, dengan sekali gerakan ia menaiki pagar balkon itu dan melompat sekaligus melakukan tendangan telak kepada tiga orang musuh yang mengepungnya. Sementara Zeta berupaya menyingkirkan empat orang lainnya di dalam kamar hotel.Mazaya kembali melompat dengan bersalto dan berdiri di atas pundak dua orang musuh, lalu membenturkan kepala keduanya hingga mengucurkan darah. Dua orang itu ambruk dan tak bisa bergerak lagi. Satu orang lainnya tertegun sejenak melihat nasib dua orang temannya, ia mengeluarkan sebilah pisau belati kecil yang berkilat di bawah sinar lampu balkon. Ia maju penuh percaya diri dengan belati di tangannya, mengayunkan belati ke arah perut Mazaya
Mazaya dan Zeta tiba di markas menjelang subuh. Mereka langsung menuju ke ruangan Bigboss yang pasti sedang menunggu mereka.Sesampainya di ruangan Bigboss, mereka duduk di sofa di sudut ruangan. Mereka mulai melepas sarung tangan, topi, dan penutup wajah. Bigboss memperhatikan mereka tanpa berkedip."Zaya, harus berapa kali gue ingetin ke elo supaya menahan sedikiiit saja --amarahmu. Oke, semua tau lo hebat, tapi... apakah semua membaik kalo diselesaikan begini?" Bigboss mengusap rambutnya, lalu membuang muka. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal.Mazaya hanya tertunduk menggigit bibirnya yang tipis. Digenggamnya jemarinya erat-erat."Gue harap ini terakhir kali lo begini. Ke depan pekerjaan semakin banyak, profesionalisme harus ditingkatkan.""Ma-maafkan gue, Bigboss." Terbata ia mengeluarkan suaranya."Setiap pelanggaran hukuman tetap berlaku. Lo di-skors satu minggu. Gaji dipoto
Pagi-pagi sekali Rafa sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Mazaya. Ia sangat bersemangat menjemput Mazaya sepagi itu.Bu Maimunah yang sedang menyapu halaman menyambut kedatangannya dengan senyum ramah."Rafa datang lagi," sapa Bu Maimunah."Iya, Bu, mau ngajak Zaya jalan-jalan biar dia semangat. Semalem kusut banget mukanya." Rafa menjawab dengan sopan.Bu Maimunah masuk ke dalam memanggil putrinya. Rafa menunggu di halaman, lalu bersandar di depan mobilnya. Telepon berdering, ia segera mengambil ponselnya."Jonathan, ngapain dia nelpon hari libur begini." Rafa membatin, ia menggeser layar ponselnya."Halo, Bro," Rafa menjawab panggilan."Lo di mana? gue di rumah lo, katanya lo keluar." Suara lantang Jonathan terdengar dari seberang."Ganggu aja sih lo. Udah ya, ntar gue telpon kalo mau balik." Rafa menutup teleponnya. Lalu membuka-buka pesan
Mazaya muncul dari balik bunga-bunga yang rimbun sambil mengebaskan lengan bajunya yang tampak basah. Rafa memandanginya dengan perasaan khawatir."Lo dari mana aja? gue panik pas kembali lo nggak ada." Rafa tidak sabar menyusul Mazaya yang masih agak jauh."Oh iya, sorry, Raf, tadi habis dari toilet. Jadi gimana copetnya, ketemu?" Mazaya berbicara sambil terus berjalan tanpa memperhatikan Rafa yang sangat khawatir."Iya udah, tasnya ibu tadi juga sudah dibalikin, copetnya dibawa ke kantor polisi." Rafa menjelaskan dengan penuh semangat berharap Mazaya tentang aksi heroiknya tadi. Namun harapannya pupus karena gadis itu tetap terus berjalan tanpa berkata apa pun."Syukurlah kalo gitu. Yuk, cari tempat lain yang lebih sejuk." Mazaya berjalan cepat lebih dulu meninggalkan Rafa.Memperhatikan punggung Mazaya, Rafa merasa pernah melihat sebelumnya, namun ia lupa di mana. Ia berjalan mengikuti di belakan
Rafa akhirnya pergi mencari air minum untuk Mazaya yang tengahmegap-megapsambil mengipasi lidahnya yang terjulur, air matanya mengalir. Ia benar-benar tidak menyangka gadis itu tidak bisa makan makanan pedas. Setelah mendapatkan air minum, ia segera menyerahkan pada Mazaya dan membukakan penutupnya."Sorry, gue nggak tau kalo lo nggak makan pedes, gue pikir tadi sama pentolnya." Rafa memasak wajah iba. Rafa mengusap air mata di pipi Mazaya yang terus mengalir karena kepedasan."Udah, nggak apa-apa kok, ntar juga ilang.Thanksnyariin gue air," ucapnya sambil tersenyum -berusaha tersenyum lebih tepatnya-."Beneran lo nggak apa-apa? Kalo mau bales ke gue nggak apa-apa kok, asal lo jangan marah." Rafa memegang kedua pipi Mazaya dan menghadapkannya ke wajahnya agar mata mereka saling tatap."Apaan sih, nggak apa-apa, Raf.Swear!" Mazaya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sambil ters
Lewat tengah hari, Hexel kembali meminta izin untuk pulang lebih awal sekaligus meminta keringanan untuk ke depannya bisa selalu pulang lebih awal.Jonathan mengabulkan permintaan Hexel. Sebagai gantinya, ia harus membantu anggota tim lain yang belum selesai. Hexel menerima penawaran Jonathan, artinya dia harus lebih bekerja keras lagi ke depannya. Tetapi itu tidak masalah, yang penting ia bisa menyelesaikan kedua tugas besarnya tanpa masalah.Hexel memacu motor besarnya menuju ke markas untuk berganti pakaian, lalu melanjutkan perjalanannya ke kantor Adidaya Komputindo. Kini ia telah kembali menjadi sosok Mazaya Vienita yang cantik.Di sana, Mazaya di arahkan menuju sebuah ruang rahasia khusus untuk mengerjakan proyek-proyek tertentu, salah satunya New World. Sebenarnya, hati kecil Mazaya menolak melakukan semua itu, apalagi ia mengerjakan satu software untuk dua dua perusahaan yang berbeda dan tujuan yang berbeda.Mazaya mulai melakukan tugasnya. Di rua
Sore itu, di aula markas yang luasnya hanya 4 x 5 meter telah berkumpul beberapa orang. Mereka adalah para utusan dari Adidaya Komputindo yang dipimpin oleh Mr. Mark Louis, seorang pria berdarah Amerika, namun sudah menjadi warga negara Indonesia.Mr. Mark datang bersama seorang wanita dan dua orang pria. Mazaya menduga mereka pastilah asisten kepercayaannya.Mazaya diam tanpa bergerak di tempat duduknya, pandangan matanya lurus ke meja di hadapannya. Masih terngiang di telinganya persyaratan untuk terbebas dari masa skorsing adalah menyelesaikan proyek New World hingga 100% sesuai dengan model yang diinginkan pihak Adidaya Komputindo. Sebab dialah satu-satunya anggota terbaik yang paling membidangi pengembangan software."Well, let's start the meeting now. Bagaimana kelanjutan proyek?" Mr. Mark membuka topik pembicaraan dengan gaya bicara yang masih kental aksen Inggrisnya."Semua sudah siap, anak kami, Mazaya yang akan menyelesaikannya
Mazaya muncul dari balik bunga-bunga yang rimbun sambil mengebaskan lengan bajunya yang tampak basah. Rafa memandanginya dengan perasaan khawatir."Lo dari mana aja? gue panik pas kembali lo nggak ada." Rafa tidak sabar menyusul Mazaya yang masih agak jauh."Oh iya, sorry, Raf, tadi habis dari toilet. Jadi gimana copetnya, ketemu?" Mazaya berbicara sambil terus berjalan tanpa memperhatikan Rafa yang sangat khawatir."Iya udah, tasnya ibu tadi juga sudah dibalikin, copetnya dibawa ke kantor polisi." Rafa menjelaskan dengan penuh semangat berharap Mazaya tentang aksi heroiknya tadi. Namun harapannya pupus karena gadis itu tetap terus berjalan tanpa berkata apa pun."Syukurlah kalo gitu. Yuk, cari tempat lain yang lebih sejuk." Mazaya berjalan cepat lebih dulu meninggalkan Rafa.Memperhatikan punggung Mazaya, Rafa merasa pernah melihat sebelumnya, namun ia lupa di mana. Ia berjalan mengikuti di belakan
Pagi-pagi sekali Rafa sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Mazaya. Ia sangat bersemangat menjemput Mazaya sepagi itu.Bu Maimunah yang sedang menyapu halaman menyambut kedatangannya dengan senyum ramah."Rafa datang lagi," sapa Bu Maimunah."Iya, Bu, mau ngajak Zaya jalan-jalan biar dia semangat. Semalem kusut banget mukanya." Rafa menjawab dengan sopan.Bu Maimunah masuk ke dalam memanggil putrinya. Rafa menunggu di halaman, lalu bersandar di depan mobilnya. Telepon berdering, ia segera mengambil ponselnya."Jonathan, ngapain dia nelpon hari libur begini." Rafa membatin, ia menggeser layar ponselnya."Halo, Bro," Rafa menjawab panggilan."Lo di mana? gue di rumah lo, katanya lo keluar." Suara lantang Jonathan terdengar dari seberang."Ganggu aja sih lo. Udah ya, ntar gue telpon kalo mau balik." Rafa menutup teleponnya. Lalu membuka-buka pesan
Mazaya dan Zeta tiba di markas menjelang subuh. Mereka langsung menuju ke ruangan Bigboss yang pasti sedang menunggu mereka.Sesampainya di ruangan Bigboss, mereka duduk di sofa di sudut ruangan. Mereka mulai melepas sarung tangan, topi, dan penutup wajah. Bigboss memperhatikan mereka tanpa berkedip."Zaya, harus berapa kali gue ingetin ke elo supaya menahan sedikiiit saja --amarahmu. Oke, semua tau lo hebat, tapi... apakah semua membaik kalo diselesaikan begini?" Bigboss mengusap rambutnya, lalu membuang muka. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal.Mazaya hanya tertunduk menggigit bibirnya yang tipis. Digenggamnya jemarinya erat-erat."Gue harap ini terakhir kali lo begini. Ke depan pekerjaan semakin banyak, profesionalisme harus ditingkatkan.""Ma-maafkan gue, Bigboss." Terbata ia mengeluarkan suaranya."Setiap pelanggaran hukuman tetap berlaku. Lo di-skors satu minggu. Gaji dipoto
Mazaya dan Zeta terlibat perkelahian sengit dengan para pria itu. Mereka adalah para penjaga elit di acara pertemuan tersebut. Entah mereka berada di pihak yang mana. Mereka memiliki keahlian beladiri khusus, cukup sulit menyingkirkan mereka.Mazaya terdesak ke sisi balkon yang mengarah ke bawah, dengan sekali gerakan ia menaiki pagar balkon itu dan melompat sekaligus melakukan tendangan telak kepada tiga orang musuh yang mengepungnya. Sementara Zeta berupaya menyingkirkan empat orang lainnya di dalam kamar hotel.Mazaya kembali melompat dengan bersalto dan berdiri di atas pundak dua orang musuh, lalu membenturkan kepala keduanya hingga mengucurkan darah. Dua orang itu ambruk dan tak bisa bergerak lagi. Satu orang lainnya tertegun sejenak melihat nasib dua orang temannya, ia mengeluarkan sebilah pisau belati kecil yang berkilat di bawah sinar lampu balkon. Ia maju penuh percaya diri dengan belati di tangannya, mengayunkan belati ke arah perut Mazaya
"Emang napa lo?" Rafa keheranan melihat ekspresi tidak biasa sepupunya yang terkenal cool sama dengannya."Lo punya cewek, nggak?""Hah?" Rafa terkejut mendengar pertanyaan sepupunya yang tiba-tiba dan aneh itu."Kenapa lo tanya begitu?" tanya Rafa heran."Udah deh jawab apa susah amat," gerutu Jonathan."Nggak! napa lo? lo dapet cewek?" gurau Rafa sambil tersenyum.Jonathan mendekat ke arah Rafa, lalu dipeluknya sepupunya itu. Sontak Rafa berontak."Lo napa sih, aneh banget, tau?" Rafa duduk menjauh dari Jonathan."Apa lo merasakan sesuatu yang aneh?" Jonathan bertanya dengan wajah polos yang lucu."Merasakan apa?" Rafa tergelak. "Jangan-jangan lo nggak normal, ya kan? Oh Tuhan, ada dari keluarga gue yang nggak normal?"Jonathan meninju lengan Rafa."Makanya cariin gue cewek, gue mau ngetes apa gue
Tiga hari berlalu.Mazaya sudah kembali masuk kerja, hanya tinggal sedikit bekas luka di jidatnya yang masih membekas, dia menempelnya dengan hansaplas agar tidak menimbulkan pertanyaan."Halo, Hexel, akhirnya lo udah sehat. Kenapa lo bisa sakit sih?" Yoga dan Gery langsung menyambut kedatangannya."Nggak tau juga, mungkin lagi musim kali, banyak yang demam di kompleks gue. Maaf ya, udah ngerepotin lo berdua." Hexel meletakkan tas punggungnya di sandaran kursi."Iya, nih, pekerjaan lo berat banget, gue nggak terlalu memahami bagian itu. Jadi belum kelar deh." Yoga memasang wajah bersalah karena tidak mampu menyelesaikan tugasnya."What? gawat! kalo gitu mulai sekarang jangan ganggu gue, oke? gue mau selesaikan hari ini juga. Tapi lo berdua mesti ambilin gue makan siang, minuman capuccino dingin, plus kentang goreng. Oya satu lagi, sama es krim." Hexel menahan tawanya sebisa mungkin agar terlihat serius.