Pagi menjelang, dan sinar matahari menembus tirai jendela kamar hotel Viya. Suasana di luar terasa cerah, memberi semangat baru bagi Viya. Setelah menyiapkan sarapan untuk Gio, dia memutuskan untuk menjelajahi kota sekali lagi. Kenangan yang menyakitkan perlahan mulai pudar, dan harapan baru mulai tumbuh di hatinya.
Setelah menikmati sarapan, mereka bersiap untuk pergi. Viya berencana mengajak Gio ke taman bermain yang pernah menjadi tempat mereka berdua bermain saat kecil. Gio, dengan semangatnya yang ceria, tampak sangat antusias. “Ma, kita akan bermain ayunan, kan?” tanya Gio sambil melompat-lompat kecil. “Tentu saja, nak! Kita akan bermain sepuasnya!” jawab Viya dengan senyum lebar. Setelah beberapa waktu di taman, mereka memutuskan untuk mampir ke kafe kecil yang terkenal dengan kue-kue lezatnya. Saat mereka menikmati kue, tiba-tiba ponsel Viya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. "Hai, Viya. Ini Saka. Aku ingin mengundangmu dan Gio untuk makan malam bersama keluarga kami. Bagaimana?" Viya terkejut. Pertemuan kemarin dengan Saka ternyata membawa dampak lebih dari yang dia bayangkan. Dia merasa ragu. Di satu sisi, kesempatan ini bisa menjadi cara yang baik untuk mengenal Saka lebih dekat. Namun, di sisi lain, dia tidak ingin terjebak dalam drama keluarga Faraday lagi. “Mau ikut ke rumah paman Saka, Ma?” tanya Gio dengan penuh semangat, tanpa mengetahui keraguan ibunya. Viya tersenyum padanya. “Iya, mungkin kita bisa pergi.” Setelah mengonfirmasi undangan itu, Viya dan Gio bersiap-siap untuk pergi. Viya mengenakan gaun sederhana yang nyaman, tetapi tetap terlihat anggun. Dia ingin memberi kesan baik, terutama kepada Saka. Ketika mereka tiba di kediaman keluarga Faraday, Viya merasa sedikit cemas. Rumah itu megah, dengan arsitektur yang menakjubkan dan taman yang terawat rapi. Suasana di sekitar rumah tampak hidup, dengan suara tawa dan pembicaraan yang penuh kehangatan. Saka menyambut mereka di pintu dengan senyum lebar. “Senang sekali kalian bisa datang!” ucapnya. “Terima kasih atas undangannya, Saka,” jawab Viya, berusaha tampil tenang. Di dalam rumah, Viya melihat Nyonya Lisa dan Tuan Leon, orang tua Saka dan Aleandro, yang tampak sedikit gugup saat menyambut mereka. Meskipun mereka berusaha tampil ramah, Viya bisa merasakan ketidaknyamanan di antara mereka. Nyonya Lisa mengulas senyum dan menyambut mereka dengan hangat. “Selamat datang, kamu Viya dan Gio kan. Kami sangat senang bisa bertemu dengan kalian.” “Terima kasih, Nyonya,” jawab Viya, berusaha mengendalikan rasa cemasnya. Saat makan malam dimulai, suasana mulai membaik. Saka berinisiatif untuk memperkenalkan Viya kepada orang tuanya. “Ini Viya, teman lama yang baru saja kembali ke kota,” katanya, berusaha menciptakan suasana yang lebih akrab. Viya tersenyum kepada Nyonya Lisa dan Tuan Leon, tetapi dia bisa merasakan ketegangan yang ada. Terutama ketika dia melihat ekspresi wajah mereka saat menyadari bahwa dia adalah seorang ibu. Mereka tampak sedikit kecewa, seolah mengharapkan Saka memilih pasangan yang belum memiliki anak. Selama makan malam, mereka berbincang-bincang ringan. Nyonya Lisa dan Tuan Leon berusaha keras untuk menjaga suasana tetap nyaman, meskipun Viya merasakan tatapan mereka yang penuh pertanyaan. Dia berusaha menjelaskan kehidupannya dengan singkat, menyentuh tentang perjalanannya kembali ke kota dan bagaimana dia ingin memberikan yang terbaik untuk Gio. Di tengah percakapan, Saka tampak semakin tertarik pada Viya. “Jadi, Viya, apa yang kamu lakukan di kota baru?” tanyanya. “Saya membuka usaha kecil di sana. Sekarang saya kembali untuk memberikan yang terbaik untuk Gio,” jawab Viya, berusaha terlihat percaya diri. Obrolan berlanjut, tetapi di dalam hatinya, Viya merasa campur aduk. Meski mereka berusaha bersikap baik, dia bisa merasakan ada harapan yang tidak terucapkan di antara keluarga Faraday. Saka jelas tertarik padanya, tetapi dia tidak ingin memberikan harapan palsu. Setelah makan malam selesai, Saka menawarkan untuk mengantar Viya dan Gio pulang. “Biarkan aku mengantar kalian,” katanya, berusaha terlihat tulus. Dalam perjalanan, suasana mulai lebih santai. Saka tampak penasaran tentang kehidupan Viya. “Kamu tahu, aku sangat senang bisa bertemu denganmu ” ungkapnya. Viya tersenyum, berusaha mengabaikan rasa cemasnya. “Terima kasih, Saka. Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat.” Saka melanjutkan, “Apakah kamu memiliki rencana untuk tinggal lama di sini?” “Iya, aku berencana tinggal lebih lama, tetapi semuanya tergantung pada situasi,” jawab Viya, berusaha menjaga jawabannya tetap netral. “Jadi, apakah kamu sudah memiliki kekasih?” tanya Saka, penasaran. Viya terkejut dengan pertanyaan itu. “Tidak, aku tidak memiliki kekasih,” jawabnya dengan jujur. Dia merasakan ada sedikit kebebasan di sana, seolah dia bisa menjauh dari masa lalunya yang menyakitkan. Mendengar jawaban itu, Saka tampak senang. “Bagus! Aku berharap bisa bertemu lagi besok,” katanya, penuh harapan. Ketika mereka tiba di hotel, Viya dan Gio berpamitan dengan Saka. “Terima kasih telah mengantar kami, Saka. Ini adalah malam yang menyenangkan,” kata Viya sambil tersenyum. “Semoga kita bisa bertemu lagi segera,” jawab Saka, sebelum pergi. Viya menutup pintu hotel dan menarik napas dalam-dalam. Meskipun suasana malam itu penuh tawa, bayangan Aleandro masih menghantuinya. Dia tahu pertemuannya dengan Saka adalah langkah menuju sesuatu yang baru, tetapi bayang-bayang masa lalu masih sulit untuk diabaikan. Saat Gio mulai bersiap untuk tidur, Viya duduk di tepi tempat tidurnya. “Kau senang, nak?” tanyanya. Gio mengangguk dengan semangat. “Iya, Ma! Tuan Saka baik sekali!” Viya tersenyum. “Semoga kita bisa mendapatkan lebih banyak teman di sini,” gumamnya, berusaha untuk tetap positif. Namun, di dalam hatinya, Viya tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan banyak tantangan yang harus dihadapi. Dia harus siap menghadapi apa pun yang datang, termasuk kemungkinan bertemu kembali dengan Aleandro Faraday."Kenapa rasanya sakit sekali." Setelah Gio terlelap, Viya duduk sendirian di balkon hotel. Suara riuh dari jalanan yang sibuk menjadi latar belakang untuk pikirannya yang melayang kembali ke masa lalu. Kenangan-kenangan itu datang kembali, tak terhindarkan, seperti arus yang mengalir deras.Viya teringat saat pertama kali bertemu Aleandro. Waktu itu, dia masih seorang siswi baru yang penuh semangat. Suatu sore di kafe depan sekolah, dia melihat seorang pemuda tampan duduk sendirian, tenggelam dalam buku tebal.“Buku apa yang kamu baca?” tanya Viya, mendekat dengan rasa penasaran.Aleandro mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Ini tentang manajemen perusahaan. Aku ingin belajar lebih banyak tentang dunia bisnis.”Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Viya merasa terhubung dengan Aleandro dalam cara yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Hari-hari berlalu, dan ikatan di antara mereka semakin kuat.“Kalau begitu, bagaimana kalau kita belajar bareng?” Viya mengusulkan, merasa bersem
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk ke dalam kamar hotel, membangunkan Viya dari tidurnya. Setelah beberapa tahun hidup jauh dari rumah, kembali ke kota asal membawa perasaan campur aduk. Dia mengingat kembali kenangan indah dan pahit yang mengikutinya. Dengan perasaan sedikit cemas, Viya memutuskan untuk memulai hari dengan positif. Setelah menyiapkan sarapan sederhana untuk Gio, Viya melihat anaknya berlari ke arah meja. “Ma, aku lapar!” serunya dengan suara ceria. “Sabarlah, sayang. Sarapan hampir siap!” Viya menjawab sambil tersenyum. Melihat senyuman Gio membuat hatinya terasa hangat. Gio adalah segalanya baginya, satu-satunya alasan untuk terus maju meskipun masa lalu menghantui. Setelah sarapan, Viya memandikan Gio dan mereka bersiap-siap untuk menjelajahi kota. Dalam perjalanan ke taman, Gio bertanya dengan antusias, “Ma, apa kita akan melihat tempat-tempat yang kamu suka waktu kecil?” “Ya, kita akan melihat beberapa tempat. Kalian akan suka!” Viya menjawab, beru
Minggu berikutnya, Viya merasa semakin nyaman dengan kehadiran Saka dalam hidupnya. Mereka semakin sering bertemu, dan setiap pertemuan membawa kebahagiaan baru bagi Gio. Namun, di balik senyuman dan tawa, Viya masih menyimpan rahasia besar—hubungan masa lalunya dengan Aleandro.Pagi itu, Viya memutuskan untuk membawa Gio ke taman lagi. Setelah sarapan, mereka bersiap-siap dan berangkat. Gio, yang terlihat sangat bersemangat, terus berbicara tentang semua hal yang ingin dilakukannya di taman.“Ma, kita harus naik ayunan lagi! Dan kemudian, aku ingin mencoba seluncuran yang besar!” seru Gio dengan penuh semangat.“Baiklah, sayang. Kita akan melakukannya semua,” jawab Viya, sambil tersenyum melihat keceriaan anaknya.Sesampainya di taman, mereka segera menemukan Saka yang sudah menunggu. “Hai, kalian sudah datang! Siap untuk bersenang-senang hari ini?” tanya Saka sambil melambai.“Siap sekali!” jawab Gio, melompat-lompat penuh semangat.Mereka menghabiskan waktu bermain, dan Viya merasa
"Viya, aku tak akan biarkan kamu bersama Aleandro!" Gadis bernama Kia Sekar Abraham itu adalah seorang model, dia tampak cantik dan elegan. Sejak kecil dia bermain bersama dengan Aleandro Faraday maka dari itu dia begitu menyukai Ale. Namun, Aleandro sudah menjalani hubungan sejak SMA bersama dengan Viya. Meski Viya gadis sederhana bekerja di tokoh minuman teh dan terlihat biasa, namun Ale tidak memperdulikan hal itu. Aleandro dari Keluarga yang cukup terkenal. Keluarga Faraday pemilik perusahaan terbesar di kota."Ale, setelah ini kamu akan melanjutkan sekolah di luar negeri, ya?" Viya tampak tersenyum kecut. "Aku tidak ingin, namun keluarga ku begitu memaksa." Aleandro memeluk Viya hangat, dia berjanji setelah menyelesaikan sekolah nya dia akan kembali dan akan menikahi Viya. Sekar yang melihat itu mengepal kan tangan nya kuat, kenapa kenapa harus Viya? Sejak kecil dia menyukai Ale hingga timbul rasa obsesi pada dirinya. Menurut nya Aleandro hanya pantas untuk nya. Keluarga A
Wanita itu berdiri di depan gerbang kota kecil yang pernah ia tinggalkan enam tahun lalu. Angin sepoi-sepoi membawa aroma familiar, mengingatkannya pada kenangan yang pahit dan manis. Dia menarik napas dalam-dalam, bertekad untuk menghadapi masa lalu yang masih menghantuinya. Setiap sudut jalan, setiap bangunan, seolah-olah berbisik kepadanya, mengingatkan pada masa-masa yang telah berlalu. Dengan langkah pasti, dia melangkah masuk ke dalam kehidupan yang dulu sempat ditinggalkannya."Ternyata aku sudah berjalan sejauh ini." batin Viya.Satu per satu, gambaran tentang masa lalu mulai bermunculan. Senyuman, tawa, dan air mata. Di sinilah semuanya dimulai—di kota kecil ini, di mana cinta dan pengkhianatan menyatu dalam takdirnya. Viya tidak bisa mengabaikan betapa beratnya perasaannya ketika ia teringat pada Aleandro Faraday, pria yang pernah mengisi hidupnya dengan harapan dan impian.Dia berjalan menyusuri jalan utama yang dipenuhi kenangan. Di kafe kecil yang dahulu menjadi tempat f