"Paman, apa ini semua untukku?" tanya Alana sambil memilih-milih bingkisan hadiah yang begitu banyak. Namun Pandu hanya diam saja. Alana menggoyang-goyangkan lengan Pandu. "Paman, kenapa diam saja? Ayo, temani aku bermain!" seru Alana, mengulurkan kedua tangannya ke depan. Lamunan Pandu sontak buyar karena suara Alana. Lalu Pandu menuruti kemauan Alana. "Semua ini untukmu, Alana." "Aku boleh membuka hadiahnya?" Alana mengambil satu set boneka Barbie yang diletakkan di antara mainan lainnya. Sedari tadi Alana tidak sabar ingin membukanya. "Tentu, Alana. Karena hadiah itu memang untuk kamu." Pandu mengusap kepala anak perempuan itu. Pandu dan Alana duduk di atas karpet—masih berada di ruang bermain, pasangan anak dan Ayah itu dengan kompak membuka hadiah yang sudah disediakan Pandu. Alana terlihat sangat antuasias ketika Pandu mengeluarkan satu set boneka dari kardusnya. "Bagaimana, Alana? Kamu suka dengan bonekanya?" tanya Pandu. Satu tangan lelaki itu mengusap rambut Alana y
"Apa Paman baik boleh tahu?" tanya Alana dengan sangat pelan.Pandu menggelengkan kepalanya. "Ini rahasia kita berdua." Pandu menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Alana. "Janji!""Baik, Paman," ucapnya, lalu Alana menarik tangannya saat melihat Tama datang.Tama menghampiri Pandu dan Alana di depan teras. "Kita pulang sekarang, Lana?""Iya, Paman."Tama menggerakkan kepalanya memberi anggukan hormat kepada Pandu. "Saya mengantar Alana dulu, Bos." "Iya, hati-hati!" Pandu melambaikan tangannya pada Alana. "Sampai jumpa lagi anak manis."Alana juga melambaikan tangannya sambil tersenyum sebelum masuk ke dalam mobil.Dalam perjalanan, Alana terlihat gelisah. Sesekali ia menatap Tama yang sedang fokus mengemudi. Ia teringat dengan janjinya kepada Pandu. Selama ini tidak pernah ada yang disembunyikan dari laki-laki yang sangat ia sayangi itu.Tama melihat kegelisahan gadis kecil itu. Lalu, menghentikan mobilnya di bahu jalan. "Ada apa, Lana? Apa kamu baik-baik saja?"Alana m
Tama menghampiri sahabat yang menjadi pengawal Amanda dan anak-anaknya. "Baron, sadarlah!"Tama merasa lega setelah tahu Baron masih bernapas. Ia segera mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya dan menekan kening Baron untuk menghentikan pendarahan.Dengan tangan kirinya, ia mengambil ponsel dari saku celana dan segera menelpon seseorang sambil menatap Baron yang sedang tergeletak dengan bersimbah darah.Tama berbicara panjang lebar. Ia menceritakan kejadian yang baru ia alami, hingga Baron mengalami kecelakaan kepada orang dari balik telepon. "Saya ingin kamu menyelidikinya dan laporkan segera!" perintah Tama sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.Tama tidak berani mengubah posisi Baron. Ia khawatir ada luka serius pada tubuh sahabatnya itu.Tidak lama kemudian, polisi dan petugas medis tiba di tempat kecelakaan. Mereka memulai penyelidikan dan memberikan pertolongan kepada Baron. "Paman baik, apa Paman Baron akan baik-baik saja?" tanya Alan sambil memegangi tangan Tama.Tama be
Bella. Istri Baron yang sedang hamil, datang ke rumah sakit untuk menjenguk suaminya.'Siapa Tante ini?' gumam Alan dalam hatinya sambil terus menatap Bella.Tama mengangkat kepalanya, lalu menghampiri wanita hamil itu. "Bella, kamu sudah datang. Baron pasti senang melihatmu di sini."Bella tersenyum pada Tama, merasa sedikit lega bahwa dia tidak sendirian. Ada sahabat sang suami yang selalu baik padanya. "Bagaimana kondisi Baron?"Tama menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Dia masih dalam keadaan kritis. Dokter mengatakan kalau dia akan butuh waktu untuk pulih. Kami semua sangat khawatir, tetapi kita harus tetap berharap yang terbaik."Bella mengangguk dengan sedih. Dia kemudian melihat seorang perempuan muda yang tidak dikenal duduk di sudut ruangan. Perempuan itu, yang Bella duga sebagai Amanda, tampak tegang dan khawatir.Amanda tersenyum kepada Bella, lalu bangun dari duduknya."Tama, apa dia ...." Bella tersenyum pada Amanda, lalu beralih menatap Tama. Baron selalu bercerita
Tama menatap Bella dengan tulus, memahami betapa dalamnya cinta dan kekhawatiran Bella terhadap Baron."Saya akan mencoba mengatur pertemuanmu dengan dokter yang menangani Baron," kata Tama sambil menggenggam tangan Bella. "Mungkin Dokter bisa memberikan sedikit pengecualian untukmu. Tetapi kita harus menghormati kebijakan rumah sakit yang ada dan mempertimbangkan kesehatan Baron yang terpenting."Bella mengangguk dengan cepat. "Terima kasih, Tama."Tama segera bangun dari duduknya ketika melihat seorang dokter keluar dari ruang ICU dan berjalan menuju lorong tempat ia menunggu. Tama segera melangkah mendekatinya, wajahnya penuh dengan harap dan ketegangan."Dokter, bisa saya bicara dengan Anda sebentar?" Tama berkata dengan sopan.Dokter itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Tama. "Tentu. Apa yang bisa saya bantu?" jawab dokter dengan ramah."Teman saya, Baron, ada di ruang ICU, dan istrinya ingin menemuinya. Bisakah Dokter memberi waktu sedikit untuk bertemu dengan suami
Di samping tempat tidurnya, ada Bella, istrinya. Dia memegang tangan Baron dengan lembut, menatapnya dengan cemas. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa khawatirnya Bella tentang nasib Baron. "Kamu harus pulih, Baron," bisik Bella dengan suara parau, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. "Kamu harus bangun, untukku, untuk teman-temanmu, dan untuk keluargamu." Meskipun dalam keadaan tidak sadar, suara Bella merasuki alam bawah sadar Baron. Dalam dunia mimpi, dia seperti di kelilingi kabut tebal. Suaranya seolah-olah menjadi filter di antara kenyataan dan dunia maya. Perlahan-lahan, kesadaran Baron mulai muncul. Malam itu, di dalam mimpinya, Baron berjalan melintasi hutan yang gelap dan suram. Daun-daun gugur berjatuhan di sekelilingnya, menciptakan suara yang hampir menghantui. Tiba-tiba, di kejauhan, dia melihat cahaya yang lembut memancar dari balik pepohonan. Baron melangkah menuju cahaya itu dengan hati-hati. Semakin dekat dia melihat dengan jelas seorang wan
"Iya, aku juga hanya mau Paman baik yang menjadi ayah kita," kata Alana, "ayo Alan kita pergi makan es krim. Mungkin Paman baik sangat sibuk. Jadi, Paman Pandu yang menjemput kita.""Baiklah karena Paman Pandu Bos Paman baik kita, aku mau ikut dengannya," kata Alan."Paman, ayo!" Alana menarik tangan Pandu, hingga Pandu tersentak dari lamunannya."Baiklah, kita pamit dulu kepada penjaga keamanan sekolah ini." Pandu menghampiri penjaga keamanan sekolah sambil memegangi tangan kedua anak itu. "Pak, kami pulang dulu."Penjaga keamanan itu terdiam sejenak menatap Pandu dan Alan bergantian. Kemudian tersenyum, lalu berkata, "Hati-hati, Pak.""Iya, Pak. Terima kasih." Pandu tersenyum ramah, lalu melangkah pergi.'Ternyata Alan begitu mirip dengan ayahnya,' gumam penjaga keamanan itu sambil melambaikan tangannya kepada Alan dan Alana yang sudah masuk ke dalam mobil.Di sepanjang jalan, Pandu terus berbicara dan tertawa, menikmati momen kebersamaan bersama kedua anak itu. Pandu memarkirkan mo
"Paman!" Alana menepuk bahu Pandu yang terlihat sedang melamun. "Ayo kita makan es krim lagi!"Alan dan Alana sedang bersenang-senang, sedangkan Amanda sedang kalang kabut mencari mereka.Di kantor BARA Corporation, Tama sedang fokus pada pekerjaannya. Ketika ponselnya berdering terus-menerus, Tama tetap mengabaikannya."Saya harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Di rumah hanya ada Amanda dan Paman Nato, saya khawatir Nyonya Vena mengetahui tempat tinggal mereka," gumam Tama sambil meregangkan otot lehernya."Amanda ...jangan-jangan yang menelpon saya adalah dia?" Tama bergegas merogoh benda pipih yang ada di saku celananya. Dan benar saja, panggilan telepon itu dari Amanda."Halo, Amanda," sapa Tama dengan perasaan bersalah karena sejak tadi mengabaikan panggilan teleponnya."Apa Alan dan Alana bersamamu?" tanya Amanda tanpa basa-basi."Saya sedang di kantor, memangnya ada apa?" Tama menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya."Ya Tuhan ... kamu tidak membaca pesanku?""S