Tama menatap Bella dengan tulus, memahami betapa dalamnya cinta dan kekhawatiran Bella terhadap Baron."Saya akan mencoba mengatur pertemuanmu dengan dokter yang menangani Baron," kata Tama sambil menggenggam tangan Bella. "Mungkin Dokter bisa memberikan sedikit pengecualian untukmu. Tetapi kita harus menghormati kebijakan rumah sakit yang ada dan mempertimbangkan kesehatan Baron yang terpenting."Bella mengangguk dengan cepat. "Terima kasih, Tama."Tama segera bangun dari duduknya ketika melihat seorang dokter keluar dari ruang ICU dan berjalan menuju lorong tempat ia menunggu. Tama segera melangkah mendekatinya, wajahnya penuh dengan harap dan ketegangan."Dokter, bisa saya bicara dengan Anda sebentar?" Tama berkata dengan sopan.Dokter itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Tama. "Tentu. Apa yang bisa saya bantu?" jawab dokter dengan ramah."Teman saya, Baron, ada di ruang ICU, dan istrinya ingin menemuinya. Bisakah Dokter memberi waktu sedikit untuk bertemu dengan suami
Di samping tempat tidurnya, ada Bella, istrinya. Dia memegang tangan Baron dengan lembut, menatapnya dengan cemas. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa khawatirnya Bella tentang nasib Baron. "Kamu harus pulih, Baron," bisik Bella dengan suara parau, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. "Kamu harus bangun, untukku, untuk teman-temanmu, dan untuk keluargamu." Meskipun dalam keadaan tidak sadar, suara Bella merasuki alam bawah sadar Baron. Dalam dunia mimpi, dia seperti di kelilingi kabut tebal. Suaranya seolah-olah menjadi filter di antara kenyataan dan dunia maya. Perlahan-lahan, kesadaran Baron mulai muncul. Malam itu, di dalam mimpinya, Baron berjalan melintasi hutan yang gelap dan suram. Daun-daun gugur berjatuhan di sekelilingnya, menciptakan suara yang hampir menghantui. Tiba-tiba, di kejauhan, dia melihat cahaya yang lembut memancar dari balik pepohonan. Baron melangkah menuju cahaya itu dengan hati-hati. Semakin dekat dia melihat dengan jelas seorang wan
"Iya, aku juga hanya mau Paman baik yang menjadi ayah kita," kata Alana, "ayo Alan kita pergi makan es krim. Mungkin Paman baik sangat sibuk. Jadi, Paman Pandu yang menjemput kita.""Baiklah karena Paman Pandu Bos Paman baik kita, aku mau ikut dengannya," kata Alan."Paman, ayo!" Alana menarik tangan Pandu, hingga Pandu tersentak dari lamunannya."Baiklah, kita pamit dulu kepada penjaga keamanan sekolah ini." Pandu menghampiri penjaga keamanan sekolah sambil memegangi tangan kedua anak itu. "Pak, kami pulang dulu."Penjaga keamanan itu terdiam sejenak menatap Pandu dan Alan bergantian. Kemudian tersenyum, lalu berkata, "Hati-hati, Pak.""Iya, Pak. Terima kasih." Pandu tersenyum ramah, lalu melangkah pergi.'Ternyata Alan begitu mirip dengan ayahnya,' gumam penjaga keamanan itu sambil melambaikan tangannya kepada Alan dan Alana yang sudah masuk ke dalam mobil.Di sepanjang jalan, Pandu terus berbicara dan tertawa, menikmati momen kebersamaan bersama kedua anak itu. Pandu memarkirkan mo
"Paman!" Alana menepuk bahu Pandu yang terlihat sedang melamun. "Ayo kita makan es krim lagi!"Alan dan Alana sedang bersenang-senang, sedangkan Amanda sedang kalang kabut mencari mereka.Di kantor BARA Corporation, Tama sedang fokus pada pekerjaannya. Ketika ponselnya berdering terus-menerus, Tama tetap mengabaikannya."Saya harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Di rumah hanya ada Amanda dan Paman Nato, saya khawatir Nyonya Vena mengetahui tempat tinggal mereka," gumam Tama sambil meregangkan otot lehernya."Amanda ...jangan-jangan yang menelpon saya adalah dia?" Tama bergegas merogoh benda pipih yang ada di saku celananya. Dan benar saja, panggilan telepon itu dari Amanda."Halo, Amanda," sapa Tama dengan perasaan bersalah karena sejak tadi mengabaikan panggilan teleponnya."Apa Alan dan Alana bersamamu?" tanya Amanda tanpa basa-basi."Saya sedang di kantor, memangnya ada apa?" Tama menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya."Ya Tuhan ... kamu tidak membaca pesanku?""S
Setelah ditenangkan oleh Tama, Amanda terdiam. Ia masih memeluk erat tubuh kekar Tama. Pandu menatap Tama yang tengah memeluk mantan istrinya, Amanda. Napasnya terasa terhenti, hatinya dipenuhi dengan amarah dan kecemburuan. Dalam hati, ia berusaha menenangkan diri agar tidak membiarkan emosi menguasai sepenuhnya.Tama merasakan hadirnya Pandu dan segera melepaskan pelukannya dari Amanda. Ia melihat wajah Pandu yang terlihat sedang marah. "Maafkan saya, Bos. Saya hanya menenangkan Amanda."Pandu mencoba mengontrol emosinya dan dengan suara bergetar, ia berkata, "Aku butuh penjelasan, tolong jelaskan padaku apa yang sedang terjadi di antara kalian?"Tama tampak sedikit terkejut oleh pertanyaan Pandu. Ia berusaha menjaga ketenangannya, lalu tersenyum pahit sambil menatap mata Pandu. "Bos, saya hanya menenangkan Amanda supaya anak-anak tidak penasaran dengan apa yang terjadi di sini."Amarah Pandu sedikit mereda setelah mendengar penjelasan dari Tama, tetapi rasa kebingungannya masih be
Tama hanya diam saja saat Pandu memukulnya. Ia sadar kalau dirinya bersalah. Namun, tidak dengan Amanda. Ia berteriak histeris saat Tama dipukul oleh mantan suaminya.Namun, ketika Amanda ingin memisahkan mereka, Pandu memeluk Tama sambil mengucapkan terima kasih karena sudah menjaga anak-anaknya. Amanda mengurungkan niatnya untuk melerai kedua pria itu. Kemudian ia pergi untuk mengambil kotak obat.Di waktu yang sama, Alan dan Alana berlari keluar saat mendengar teriakan ibunya. Beruntung mereka tidak melihat saat Pandu memukul Tama. Kedua anak itu sangat mengkhawatirkan ibunya.Paman Nato mencegah mereka untuk menghampiri orang tuanya. Lalu, membawa mereka ke kamarnya yang berada di belakang rumah itu. Tempat yang biasa dipakai oleh Baron supaya mereka tidak mendengar pertengkaran orang tuanya."Paman, kenapa Ibu menangis? Apa karena Paman Pandu membawa kami tanpa izin?" tanya Alana sambil terisak.Lelaki tua yang dipanggil Paman Nato, berjongkok di hadapan kedua anak itu. Lalu, ber
Amanda duduk di samping Tama dan berhadapan dengan Pandu. Ia menatap laki-laki yang dulu sangat ia cintai dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat wajah mantan suaminya membuat lukanya basah lagi. Amanda tidak bisa menyembunyikan kebenciannya pada Pandu."Sebaiknya kalian bicarakan masalah ini dengan baik-baik. Ingat! Di rumah ini ada Alan dan Alana. Jangan sampai mereka melihat kalian bertengkar." Tama bangun dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Amanda dan Pandu. Ia berharap masalah mereka bisa diselesaikan dengan baik-baik.Pandu duduk gelisah di depan Amanda. Sudah enam tahun sejak mereka bercerai, dan setiap kali memikirkan anak mereka yang terus tumbuh tanpa kehadirannya, hatinya terasa hancur. Dia sadar telah membuat banyak kesalahan dalam pernikahan mereka, tetapi kali ini dia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik.Jantungnya terasa berdetak lebih cepat ketika melihat tatapan tak bersahabat dari mantan istrinya. Pandu menarik napas panjang untuk menenangkan dirin
Amanda merasa hatinya terasa berat saat dia berada di ruang tamu bersama laki-laki yang dulu sangat ia cintai. Suasana yang biasanya dipenuhi tawa dan canda mereka berdua kini berubah menjadi hening dan tegang. Pandu duduk di sofa dengan pandangan yang penuh harap, sedangkan Amanda berdiri di depannya dengan tatapan serius."Amanda, tolong maafkan aku," pintanya dengan suara lembut. "Aku sadar telah membuat kesalahan besar dan sekarang menyesalinya. Aku berjanji akan berubah dan memperbaiki segalanya."Pandu sangat menyesali perbuatannya, dan tanpa henti meminta kesempatan kedua kepada mantan istrinya. Namun, pintu hati Amanda sudah ditutup rapat oleh luka yang ditorehkan Pandu. Semanis apa pun ucapan mantan suaminya, ia tetap tidak mau kembali ke masa lalu.Amanda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia tahu bahwa keputusan yang akan dia ambil akan berdampak besar pada kedua belah pihak, terutama anak-anak mereka. Namun, dia merasa bahwa ini adalah pilihan