ini adalah kisahku seorang gadis yang tinggal di sebuah kampung bernama Jati asih. Kampung ini terletak di perbatasan jakarta dan bekasi. Karena rumahku dekat dengan tukang sayuran dan juga da bale-bale yang biasa dipakai berkumpul ibu-ibu perkampungan aku jadi banyak mendengar gosip demi gosip dari mulut tetangga walau tidak keluar rumah.
Kedua orang tuaku sendiri adalah pedagang. Mereka berdagang di pasar sebelum dibawa kepasar barang dari tengkulak dikirim kerumah. Biasanya ada tetangga yang datang ke rumah untuk membeli dagangan keluargaku. Nah kebetulan sekali ada seorang biang gosip yang mulutnya sangat beracun datang ke rumahku. Tetangga itu sudah memanggil dari tadi lalu ibuku yang sibuk baru sempat keluar menemuinya. Tahu sendiri lah bagaimana mulut beracunnya berbicara pagi ini.
“Ibu siti, kok lama amat sih keluarnya saya panggil dari tadi juga,” celetuk ibu Endang.
“Maaf bu saya sedang menyiapkan ikan yang nanti akan di bawa kepasar, mau beli ikan apa bu?” tanya ibuku.
Bu Endang membeli ikan tongkol kesukaann suminya untuk dimasak. Selain membeli ikan tak lupa pula ia bergosip ria membanggakan anaknya yang lulus bidik misi di universitas negeri bergensi di kota sebelah. Aku sebenarnya mual kalau mendengar ia membanggakan kedua putrinya.
"Bu Siti tahu nggak kalau anakku lolos ujian bidik misi di universitas negeri, masuk rangking sepuluh besar jurusan fisika, hebat toh anakku bu,” ucap Bu Endang yang membanggakan anaknya.
“Syukur kalau Ratna masuk bidik misi di universitas negeri bu,” jawab ibuku sambil menimbang ikan tongkol yang di pesan ibu Endang.
Aku masih mendengar ibu Endang terus mengoceh sepanjang waktu, membicarakan apa yang baik dari keluarganya. Ia juga kepo aku akan sekolah dimana setelah ini karena seumuran dengan Ratna, Bu Endang menganggap jika dagangan ibuku laris di pasar dan juga di rumah pasti akan menyekolahkan aku sampai perguruan tinggi seperti anak-anak yang lain.
"Kalau Dara anak bu Siti mau kuliah apa kerja Bu, jaman sekarang kalau ndak sekolah tinggi itu rugi loh bu, susah cari kerja," kata Bu Endang.
“Anak saya si Dara kerja dulu bu,” jawab ibuku singkat padat dan jelas.
"Oalah bu, jangan pelit pelit to sama anak, jualan ikan juga laris manis, masa buat anak kuliah nggak ada biaya sih," kata bu Endang meremehkan ibuku.
Ibuku menjelaskan jika memang tidak sanggup menyekolahkan aku putri sulungnya sampai perguruan tinggi. Karena aku masih mempunyai tiga orang adik yang harus sekolah. Jika uang dipakai untuk membiayai kuliahku bagaimana nasip ke tiga adikku nanti. Tapi bu Endang masih saja julid dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
“Bu Siti tak bilangin yo, kalau sama anak itu tidak boleh pelit, sekolah itu demi masa depan anak yang cemerlang,” ucap ibu Endang.
“Saya juga tahu bu Endang, tapi saya ini hanya pedangan ikan, tidak pegawai negeri,” sahut ibukku yang mulai sewot.
Ibuku masuk kedalam rumah karena sudah selesai melayani biang gosip di kampung ini, semoga Bu Endang sadar dan segera pergi dari rumahnya karena semakin di ladeni semakin banyak kata yang terlontar tidak mengenakkan.
Sebagai anak pertama yang masih mempunyai banyak adik tentu saja aku tidak bisa memaksakan kedua orang tuaku untuk menyekolahkan tinggi aku bukan? Sudahlah lebih baik membantu ibu membereskan dagangan untuk berjualan di pasar. Taku yang menggerutu sampai tidak sadat ada ayahku yang sudah pulang dari pasar.
“Dara, kenapa kamu menggerutu seperti itu?” tanya ayahku yang bernama pak Harun.
“Tidak kok yah, biasa habis ada bu Endang membeli ikan dan membanggakan putrinya yang berprestasi itu loh,” jawabku yang sedikit terkejut melihat ayah pulang.
Ayah memang di pasar dari subuh sampai jam delapan pagi saja. Menunggu ibu selesai mengurus anak-anaknya samapi berangkat sekolah semua baru bertukar posisi ayah di rumah dan ibu berjualan di pasar. Ayah memang paling mengerti aku. Beliau menanyakan kenapa aku sampai menggerutu saat tadi kedatangan bu Endang. Apakah dari mulut racun tetangga bernama bu Endang itu terdengar hal yang membuatku tidak suka?
“Apakah bu Endang ada menyinggungmu sehingga kamu menggerutu kesal?" tanya Ayahku.
"Ya secara tidak langsung dia menyinggungku yah. Dia menceritakan kalau anaknya keterima bisik misi di salah satu universitas. Sedangkan aku kan tidak bersekolah. Mana dia berkata jaman sekarang kalau tidak sekolah tinggi susah cari kerja," jawabku.
"Kalau begitu kamu harus buktikan pada mulut bu Endang yang semabarangan bicara itu. Kalau tidak sekolah tinggi juga bisa sukses," balas Ayahku bersemangat.
Ayah sekilas tadi mendengar omongan bu Endang yang membanggakan anaknya terpilih masuk universitas negeri, ayah memikirkan mungkin putrinya ini juga ingin melanjutkan sekolah tinggi seperti anak seusia mereka. Tapi mau bagaimana lagi ayah tidak memiliki banyak biaya untuk menyekolahkanku sampai tinggi karena masih mempunyai tiga adik yang bersekolah.
“Dara, ayah tahu kamu menginginkan sekolah tinggi, untuk sementara kamu kerja dulu ya, kumpulin uangnya dan kamu tahun depan bisa daftar kuliah,” ucap ayah.
“Terima kasih telah menyemangati Dara yah, Dara semakin semangat untuk mencari kerja!” ucap ku bersemangat.
Ayah tersenyum melihatku sudah ceria dan semangat lagi. Karena hari sudah mulai siang ayah segera berangkat ke pasar mengangkut ikan menggunakan becak tetangga. Memboncenng ibuku ke pasar menggunakan motor bututnya.
Hari ini aku dapat panggilan kerja di sebuah perusahan Kosmetik terkemuka di kota ini. Tak butuh waktu lama karena perusahaan membutuhkan karyawan yang sangat cepat, jika aku bisa masuk kerja mulai besok akan segera di terima.
"Karena kamu sudah bersedia mulai kerja besok, jadi saya harap kamu dapat datang tepat waktu, masa training kamu tiga bulan ya,” ucap seorang HRd yang mewawancaraiku.
“Baik bu, besok saya akan datang tepat waktu,” aku menjawab dengan semangat.
Keesokan harinya Aku sudah mulai kerja. Karena ini pertama kalinya aku bekerja maka aku datang lebih pagi. Hrd mengajakku berkeliling memperkenalkan diri sebelum mulai bekerja. Sekarang saatnya aku masuk ke ruangan Adminitrasi, ruangan yang akan menjadi ruanganku bekerja mulai hari ini.
"Pagi semuanya, ini adalah Dara yang akan menjadi teman kerja baru kalian mulai hari ini," jelas HRD kepada staff yang ada di ruang Adminitrasi dan memintaku untuk memperkenalkan diri.
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Dara saya baru saya lulus SMK tahun ini, mohon bimbingannya karena saya belum berpengalaman,” ucapku.
Usai perkenalan aku diminta duduk di bangku yang telah disiapkan sebelumnya. Manajer Adminitrasi bernama Ibu Sari yang mengajari dan memberi tugas apa saja yang harus dikerjakan olehku sebagai staff Adminitrasi. Seorang Senior bernama Irma terlihat sinis memandangku yang baru saja bekerja.
“Ibu Sari, kok dia lulusan SMK doang bisa kerja sebagai admin sih, harusnya dia bekerja di bagian gudang saja sana, emang bisa kerja admin apa?” sindir Irma.
“Irma kamu tidak boleh berkata seperti itu, dia baru saja masuk sehari kita lihat saja kinerjanya seperti apa setelah tiga bulan,” jawab Bu Sari selaku Manajer.
Bu Sari menasehatiku supaya tidak memasukkan kata-kata Irma kedalam Hati karena memang orangnya suka usil dan gemar bergosip ria. Tapi nanti kalau sudah kenal tidak akan jutek seperti itu. Aku sebagai anak baru harus beradaptasi di tempat kerja.
Tak terasa waktu cepat berlalu aku sudah hampir satu bulan bekerja. Pagi ini seperti biasa bu Endang berbelanja ikan di rumahku. Kali ini mengajak anaknya yang baru saja pulang dari pendidikannya karena ada hari libur alias minta uang saku.
“Pagi bu Siti, biasa saya beli ikan tongkol satu kilo, tahu nggak bu Siti kalau anak saya si Ratna ini udah pinter masuk universitas negeri punya pacar alias calon suami anggota TNI loh bu,” ucap bu Endang.
“Walah alhmadulilah ya bu Endang, masa depan cerah dong!” seru ibuku sambil menimbang ikan tongkol pesanan bu Endang.
Bu Endang semakin membangga-banggakan Ratna putrinya. Sudah cakep, pinter, punya masa depan cerah dan juga pasti nanti akan gampang mencari kerja. Sekilas Endang melihatku yang sudah rapi akan berangkat kerja. Mulutnya tak tahan ingin berkepo ria.
“Bu Siti, Itu si Dara mau berangkat kerja ya, kok bisa ya bu Dara anak ibu cuma lulusan SMK doang bisa jadi admin kantoran, emangnya siapa yang masukin ke sana bu?” tanya bu Endang.
“Nglamar sendiri kok bu Endang cari di internet,” jawab ibuku singkat.
Dari penjual ikan Bu Endang melanjutkan berbelanja di tukang sayuran milik bu Sri. Tak lupa pula ia menjual kaleng alias bergosip ria di tempat tukang sayuran bersama ibu-ibu yang lain. Tanpa ada gosip mungkin bagi Bu Endang akan hampa hidupnya. Bagaikan masak sayur tanpa garam hambar rasanya.
"Eh jeng, tahu ngga katanya anak Bu Siti kerja kantoran jadi admin, percaya nggak jeng?” ucap bu Endang kerika baru saja sampai tukang sayuran yang sudah penuh ibu-ibu ketika pagi hari.
"Kalau saya sih percaya, pakaiannya saja rapi menandakan ia kerja kantoran,” jawab bu Sri.
"Alah kalian itu jangan percaya begitu saja dong, masa cuma lulusan SMK doang bisa jadi admin katoran, modal baju rapi dari rumah saja juga bisa nanti sampai tengah jalan ganti pakaian,” sahut bu Endang lagi.
Akibat lambe lamis tetangga bernama bu Endang, semua ibu-ibu yang ada dipenjual sayuran sibuk menerka pekerjaan apa sebenarnya yang dilakukan olehku seorang anak dari bu Siti penjual ikan di desa Sukma Jaya ini.
“Bu Endang, jangan asal bicara sembarangan!”
“Emang kamu tahu Dara itu kerja dimana?”
Bu Endang masih berdebat dengan ibu-ibu yang akan berbelanja sayuran di warung bu sri entah apa yang ia ingin sampaikan. Entah kenapa ia sungguh tidak suka melihat aku yang setiap pagi berangkat kerja menggunakan pakaian rapi, rok sepan selutut berwana gelap, blouse dengan renda di bagian dada juga tas seperti orang kantoran membuatku terlihat anggun kata orang. “Dara kerja di salah satu perusahaan kosmetik yang terkenal itu loh yang ada di televisi iklannya,” ucap bu Lastri. "Ibu Lastri tahu darimana, masa sih cuma lulusan SMK bisa kerja kantoran apalagi di perusahaan kosmetik besar, duh aku nggak percaya!” balas bu Endang. Aku melewati ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung bu Sri, Ku ucapkan permisi karena mengedepankan sopan santun yang diajarkan oleh orang tuaku. Senyuman ramah serta basa-basi di balas oleh para ibu-ibu. Aku sangat lega akhirnya bisa melewati mereka semua. “Tuh bu, si Dara baru kerja jadi admin saja bajunya sudah sok formal banget,” cetus bu Endang. “Kalau
Bu Lastri menggaruk kepalanya saat bu Sri memberinya sebuah pertanyaan apa lagi yang bisa di gosipkan oleh bu Endang di kampung ini. aduh mereka sudah tidak bisa menebaknya lagi karena hampir semua orang digosipkan oleh bu Endang. “Bukan gosip kali bu, tapi bu Endang juga akan membeli kulkas juga,” sahut bu Lastri. “Benar juga, selain jago gosip bu Endang ini suka ngiri ama tetangganya,” balas bu Sri. *** Tepat satu bulan aku bekerja menjadi admin, saatnya gajian untuk yang pertama kali bagiku. Aku teringat kalau dirumahku televisi masih televisi tabung jaman dulu dan itu juga sering rusak. Aku berniat sore ini pergi ke toko elektronik membeli televisi. Dalam perjalanan pulang aku bertemu bu Endang. Bukan bu Endang namanya jika tidak kepo dengan apa yang aku bawa. Bu Endang kepo dengan kotak kardus tipis panjang bergambar televisi yang aku bawa. “Eh Dara baru pulang kerja ya, emm itu bawa apa?” tanya bu Endang basa-basi. “iya bu baru pulang kerja, ini saya sengaja beli televisi
Aku tidak menggubris pertanyaan bu Endang. Karena sudah ada angkot yang datang aku segera naik ke angkot. Aku bisa gila jika meladeni bu Endang yang gemar bergosip ria itu. Aku menggerutu kesal di dalam angkot. “Sepertinya sudah aman, walau dia teriak-teriak seperti orang gila begitu aku tidak peduli,” gumam ku setelah angkot melaju. “Dasar tidak sopan ditanya orang tua tidak menjawab, awas saja berita heboh Dara mau kuliah akan segera aku sebar di desa ini. Semalam ia pulang di antar mobil sekarang mau kuliah, pasti dia sekarang menjadi simpanan om-om,” gerutu bu Endang sambil jalan. Bu Endang kembali ke warung sayuran milik bu Sri dan kembali bergosip di sana. Masih banayk ibu-bu yang silih berganti ke tukang sayuran itu. Dengan nada tinggi biar semua ibu-ibu mendengarkan bu Endang memulai gosipnya. "Dara itu kerja apa to, sebenarnya?" tanya bu Endang yang pura-pura memilih sayuran. "Admin kan bu, di kantoran," Jawab bu Sri. "Aku kok mulai curiga lo sama anaknya bu Siti itu, b
Jadi certianya bu Lastri menghubungi ponsel ibuku. Tapi berhubung ibuku itu sedang ke kamar mandi aku yang angkat telepon itu. Beliau juga minta ijin karena ingin menjenguk aku yang sedang di rawat di rumah sakit. Kebiasan di desa Sukma Jaya ini memang masih memiliki rasa tenggang rasa walupun banyak tukang gosipnya. Mereka akan datang membesuk tetangganya yang sakit atau menolong tetangga yang kesusahan itulah sisi baiknya hidup di desa ini."Bu siti, apa benar anak ibu di rawat di rumah sakit, boleh kan kami menjenguk?” tanya bu Lastri lewat sambungan telepon.“Betul bu Lastri saya memang di rawat di rumah sakit, maaf ya saya yang angkat telepon ibu sedang berada di toilet,” jawabku.“Eh nak Dara, kata Doktter kamu sakit apa?” tanya bu Latri lagi.“Oh hanya kecapekan saja bu, saya ada telat makan, jadi lambung saya kena,” jawabku atas pertanyaan bu Lastri.Aku juga menegaskan kepada bu Lasti
Aku yang menjawab pertanyaan bu Endang itu. Tentu saja bu Endang belum pernah melihat teman-teman kerjaku sebelumnya karena semuanya bukan penduduk asli desa Sukma Jaya tempat tinggalku.“Mereka adalah teman-teman kerjaku bu Endang,” jawabku singkat.“Ayo-ayo silahkan masuk,” ajak Bu Endang.Aku memperhatikan gerak-gerik bu Endang yang mungkin mulutnya sudah gatal ingin bertanya banyak kepada teman-temanku. Beruntung bu Lastri berinisiatif mengajaknya pulang sebelum mengorek informasi lebih kepada teman kerjaku.“Bu Endang ayo kita pulang, gantian yang berkunjung. Kita kan sudah lama mengobrolnya,” ajak bu Lastri.“Loh kok buru-buru ngapain sih bu Lastri, saya belum selesai mengobrol dengan anak-anak uda ini. dandanan necis mirip sales panci ini pada kerja dimana. Bener to bu mereka ini berpakaian mirip sales panci yang suka keliling desa?!” ucap bu Endang asal saja.Aku ingin marah mendengar u
Menurut informasi yang aku dengar dari tetangga Bu Endang membawa anaknya untuk periksa ke Dokter. Keluhan yang dia rasakan adalah mual muntah, kepala pusing seperti penyakit lambung yang aku alami beberapa hari lalu karena kecapekan kerja dan telat makan.“Dokter kok antrenya ngalahin antre sembako ya ma,” ucap Fitri sambil menahan mual.“Namanya juga Dokternya terkenal bukan Dokter abal-abal ya ngantri lah Fit, kamu ini gimana,” balas bu Endang.Fitri ke toilet karena tidak tahan dengan mualnya. Dia lemas di dalam toilet dan mengingat apa yang ia lakukan. Ia sampai ketakukan sendiri tidak berani segera keluar toilet. Sampai bu Endang menggedor pintunya karena sebentar lagi gilirannya periksa.“Fitri kamu tidak pingsan di toilet ‘kan, jangan buat mama khawatir sebentar lagi giliranmu periksa loh,” ucap bu Endang dari luar toilet.“Enggak kok ma Fitri baik-baik saja, tunggu sebentar ya,” jawab F
Aku sudah sampai rumah segera mandi dan ganti baju. Dari balik kamarku terdengar gosip kalau bu Endang sedang bertengkar dengan suaminya. Ia protes karena tak tega mendengar Fitri menangis dan tidak betah berada di pondok pesantren. Waktu telepon dengan keluarga juga terbatas. Bu Endang dan pak Nurdin beradu debat masalah ini.“Ibu nggak mau tahu pak, pindahkan Fitri ke sekolah agama dekat sini saja, nggak perlu di pesantren segala. Bapak nggak kasihan sama anak?!” seru bu Endang.“Ibu sendiri toh yang bilang ke tetangga kalau anak kita sedang memperdalam ilmu agama, kenapa sekarang berubah pikiran,” jawab pak Nurdin.“Memperdalam ilmu agama nggak harus ke pesantren ‘kan pak, sekarang banyak berdiri sekolah agama terpadu kok,” balas bu Endang.“Ibu kalau terus-terusan membela Fitri yang berbuat salah. Bapak masukkan ibu ke pesantren saja sekalian biar enggak ngegosip saja kerjaannnya sama tetangga, kalau sud
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa ditambah atau dikurangai. Aku memang menunggu Rendi anaknya bu Lastri di depan gang. Kenapa tidak di rumah karena Rendi dari arah tempat kerjanya jika harus pulang masuk gang menjemputku masuk gang itu akan sangat merepotkan bukan?“Begitu ceritanya pak RT dan warga sekalian, lagipula kami sudah menjelaskan kepada bu Endang kenapa bertemu di depan gang,” ucapku.“Dara betul pak kami memang janjian berangkat ke kampus bersama. Hari ini kami pertama masuk itu juga bu Endang sudah tahu. Beliau kan suka kepo sama urusan orang. Kenapa jadi malah bertengkar dengan ibu saya?” tanya Rendi.Warga yang mendengar klarifikasiku dan Rendi langsung langsung menyoraki bu Endang yang emang pembawa malapetaka alias tukang fitnah yang tidak jelas sehingga menyebabkan keributan di rukun tetangga sini. Untung pak RT di sini bisa menjadi penengah dan tidak membela salah satu pihak.“Tenang bapak-b
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal