Aku yang menjawab pertanyaan bu Endang itu. Tentu saja bu Endang belum pernah melihat teman-teman kerjaku sebelumnya karena semuanya bukan penduduk asli desa Sukma Jaya tempat tinggalku.
“Mereka adalah teman-teman kerjaku bu Endang,” jawabku singkat.
“Ayo-ayo silahkan masuk,” ajak Bu Endang.
Aku memperhatikan gerak-gerik bu Endang yang mungkin mulutnya sudah gatal ingin bertanya banyak kepada teman-temanku. Beruntung bu Lastri berinisiatif mengajaknya pulang sebelum mengorek informasi lebih kepada teman kerjaku.
“Bu Endang ayo kita pulang, gantian yang berkunjung. Kita kan sudah lama mengobrolnya,” ajak bu Lastri.
“Loh kok buru-buru ngapain sih bu Lastri, saya belum selesai mengobrol dengan anak-anak uda ini. dandanan necis mirip sales panci ini pada kerja dimana. Bener to bu mereka ini berpakaian mirip sales panci yang suka keliling desa?!” ucap bu Endang asal saja.
Aku ingin marah mendengar ucapan tetanggaku yang satu itu. Mendingan aku diam saja karena jika bersuara dan terjadi debat akan membuat malu orang tuaku. Biarkan ibu-ibu yang lain saja yang menegur bu Endang.
“Mau ngobrol apa ngorek informasi bu dari mereka. Pasti ibu Endang ini sedang mengumpulkan bahan gosip ‘kan untuk di gosipkan saat belanja sayuran?” ucap ibu Arum.
“Sudah ayo pulang, emang ibu Endang mau ngobrol apaan anak-anak muda ini pada berpendidikan tinggi pegawai kantoran beda dengan bu Endang yang tahunya ngulek sambel di dapur sama gosip deh di warung saya,” celetuk ibu Sri.
Aku puas mendengar mereka saling menghujat dan berdebat. Memang sesekali bu Endang ini harus di ceplosin agar sadar diri sedikit. Mau tertawa lepas takut bu Endang tersinggung ya udah deh aku tertawa dalam hati saja. Masih dilanjut dong berdebatnya karena bu Endang tidak terima diejak sesama rekannya.
“Kalian ini berani menghina saya ya, siapa yang kerjaannya Cuma ngulek sambel dan menggosip saja. Pendidikan tinggi apanya, si Dara itu kan pendidikannya hanya tamat SMK. Saya kok nggak yakin kalau kerja admin di perusahaan kosmetik. Jangan-jangan hanya sales panci keliling,” tegas bu Endang lagi.
“Bu ayo pulang bu, jangan malu-maluin bapak. Janagn suka seenaknya ngomongin orang begitu nanti banyak yang membenci ibu, ibu nggak mau kan ketulah sama omongan sendiri?” tanya pak Nurdin suami bu Endang yang menysul ke rumahku.
Aku mengucap syukur karena pak Nurdin datang menjemput istrinya untuk segera pulang. Terdengar lagi ledekan dari bu Arum. Aku tertawa kecil mendengar cibiran itu. Memang pantas bu Endang mendapatkannya.
“So sweet banget pak Nurdin menjemput istrinya. Sudah bu Endang pulang tuh, sebagai istri yang sholehah ya harus nurut suami dong masa enggak,” cibir bu Arum disertai sorakan kecil ibu-ibu yang lainnya.
“Bapak ini yang malu-maluin ibu sedang menjenguk tetangga yang sakit loh. Sebagai wujud tenggang rasa hidup bermasyarakat. Dicariin ada apa? Sudah kaya bocah yang main nggak pulang-pulang malu tahu!” seru bu Endang sewot.
Aku sangat puas melihat adegan ini, akhirnya ada saatnya ibu Endang merasa malu juga. Ibu-ibu tetangga yang menjengukku berpamitan pulang dan meminta maaf jika bu Endang lancang memanfaatkan keadaan untuk mencari indormasi kepada rekan kerjaku yang datang. Apalagi dengan seenaknya mengatakan mereka semua adalah sales panci keliling. Aku katakan kepada mereka juga jika sudah memaafkan. Aku sudah tahu watak dari bu Endang jadi tidak kaget lagi.
“Kami juga pamit pulang ya Dar, sampai ketemu besok di kantor,” ucap bu Dewi.
“Terima kasih ya bu sudah luangkan waktu menjenguk saya,” balas ku. Sambil mengantar rombongan teman kerjaku pulang sampai depan pintu. Akhirnya waktunya untuk istirahat aku kembali ke kamar dan tidur sampai pagi. Ibuku sudah mulai beraktivitas seperti biasa jualan ikan lagi. Terdengar pagi-pagi sudah ada pelanggan yang datang ke rumah.
"Bu Siti sudah jualan lagi, katanya anaknya di rawat Bu?" kata salah satu pelanggan ibuku.
"Anak saya sudah pulang Bu, iya kemarin di rawat kena asam lambung, kemarin kerjaanya banyak lembur terus, ada telat makan jadinya asam lambungnya naik, dan harus di infus sehari sudah pulang kok Bu," jawab ibuku.
Pelanggan ibu juga mengatakan bahwa anaknya saat pertama kali kerja juga terkena asal lambung karena sering telat makan. Pelanggan ibu mendoakan kesehatan untukku. Ibuku memberikan diskon untuk pelanggannya karena ikan yang dijual bukan ikan fresh seperti biasa kemarin waktu aku di rawat ibu jadi tidak berjualan dan ikan yang sudah di beli di masukkan ke dalam frezzer semua.
“Bu Aku mau jalan pagi dulu ya menghirup udara segar sebelum berangkat kerja,” ijinku pada ibu.
“Iya hati-hati masih belum sembuh total kalau tidak kuat kamu pulang dan ijin lagi sama atasanmu ya,” pinta ibu sambil menghitung ikan-ikan jualannya.
Aku mengiyakan ucapan ibu. Setelah dekat dengan tempat jualan sayur ibu Sri. Seperti biasa aku melihat ibu Endang dan ibu-ibu yang lain sedang berbelanja. Suaranya terdengar nyaring mirip suara penyiar radio yang beritanya mengudara di mana-mana. Bagai sayur tanpa garam mungkin kalau bu Endang ini tidak bergosip sehari saja. Sengaja aku mendengarkan gosip mereka.
“Bu- ibu semalam waktu aku lihat Dara. Badannya sudah seger. Tapi wajahnya itu loh pucet kaya orang ngidam bu,” celetuk ibu Endang ngasal.
“Bu Endang punya mulut itu dijaga. Kamu kan punya dua anak perempuan sendiri ‘kan kalau ketulah sama anakmu sendiri yang hamil di luar nikah gimana?!” hardik bu Sri yang sewot mendengar ucapan dari bu Endang.
Bu Endang mulai membanggakan anaknya si Ratna yang berpendidikan tinggi dan pacarnya seorang aparat. Nggak akan mungkin melakukan hal senonoh, Si Fitri adeknya lemah lembut tidak pernah membuat masalah. Bu Endang mengklaim kalau kedua anaknya perilakunya bagus. Aku sampai ingin muntah mendengarnya.
“Bu Endang ini banyak omong. Bisanya ngomongin anak orang tapi kealkuan anaknya sendiri tidak diperhatikan.” Cetus bu Arum.
“Ya emang begitu bu, namanya juga bu Endang emang sih anak kedua bu Endang itu di lingkungan sini terkenal alim tapi saya dengar gosip dia itu diluaran terkenal nakal dan binal loh bu!” celetuk bu Sri.
Masalah seperti ini aku tidak ingin melewatkannya. Aku masih saja ingin mendengarkan celoteh ibu-ibu itu. Suatu hari jika kebenaran terungkap bobroknya anka bu Endang aku akan senang sekali mendengarnya.
“Loh-loh binal bagaimana bu, apa yang ibu dengar bu tentang si Fitri?” tanya bu Arum penasaran.
“Katanya di Rt sebelah si Fitri pacaran di bawha pohon jambu dekat jalan tol itu loh bu. Perempuan sama laki-laki ngapain malam gelap di tempat itu kalau tidak sedang in the hoy iyaa nggak?” tanya bu Sri.
Semakin seru saja ini gosip ibu-ibu di tukang sayur aku sampai betah mendengarkannya. Sepertinya aku harus mendengarkannya lagi sebelum berangkat kerja seru banget gosipnya aku tidak ingin melewatkan gosip tentang anak bu Endang.
"Masa sih bu si Fitri itu kan jarang keluar rumah. Paling ya sekolah sama khursus saja?” tanya bu Arum lagi.
“Ya kali aja dari rumah berangkat sekolah atau les tapi kita ‘kan nggak tahu toh di jalanan itu dia ketemu sama siapa terus kemana perginya. Tahu deh itu nyampe sekolahan atau tempat les atau tidak,” jawab ibu Sri.
Aku tertawa cekikikan sendiri mendengar gosip di warung sayur ini. mata dan racun dari mulut tetangga itu melebihi cctv. Informasi apa saja cepat banget di dapat. Ada saja pembawa beritanya. Dari mulut tetangga satu ke tetangga yang lain hingga menjadi racun. Saatnya berangkat kerja. Aku sengaja melewati rumah bu Endang.
"Mah, perutku sakit, terasa begah, rasanya mual terus, kenapa ya mah?" tanya Fitri.
"Masuk angin kali, atau ada penyakit mah, kamu ada telat makan nggak, terlalu semangat untuk pelajaran tambahan kamu jadi lupa untuk makan nak," jawab bu Endang.
"Iya kali mah, aku kena maag,” ucap Fitri.
"Ya sudah kalau begitu nanti sore mama antar kamu ke dokter langganan kita berobat ya," balas bu Endang.
Aku mengutuk anak bu Endang saat mendengar percakapan mereka. Karena ibunya tadi menggosipkan aku hamil. Semoga saja terkabul ke anak gadisnya sendiri. Mudah-mudahan anak bu Endang yang hamil. Aku berjalan menuju tempat kerja. Aku masih menunggu gosip ibu-ibu nanti sore.
“Kira-kira apa ya gosip yang beredar di desa ini nanti sore?” gumamku sambil berjalan ke jalan raya untuk mencari angkot ke tempat kerja.
Menurut informasi yang aku dengar dari tetangga Bu Endang membawa anaknya untuk periksa ke Dokter. Keluhan yang dia rasakan adalah mual muntah, kepala pusing seperti penyakit lambung yang aku alami beberapa hari lalu karena kecapekan kerja dan telat makan.“Dokter kok antrenya ngalahin antre sembako ya ma,” ucap Fitri sambil menahan mual.“Namanya juga Dokternya terkenal bukan Dokter abal-abal ya ngantri lah Fit, kamu ini gimana,” balas bu Endang.Fitri ke toilet karena tidak tahan dengan mualnya. Dia lemas di dalam toilet dan mengingat apa yang ia lakukan. Ia sampai ketakukan sendiri tidak berani segera keluar toilet. Sampai bu Endang menggedor pintunya karena sebentar lagi gilirannya periksa.“Fitri kamu tidak pingsan di toilet ‘kan, jangan buat mama khawatir sebentar lagi giliranmu periksa loh,” ucap bu Endang dari luar toilet.“Enggak kok ma Fitri baik-baik saja, tunggu sebentar ya,” jawab F
Aku sudah sampai rumah segera mandi dan ganti baju. Dari balik kamarku terdengar gosip kalau bu Endang sedang bertengkar dengan suaminya. Ia protes karena tak tega mendengar Fitri menangis dan tidak betah berada di pondok pesantren. Waktu telepon dengan keluarga juga terbatas. Bu Endang dan pak Nurdin beradu debat masalah ini.“Ibu nggak mau tahu pak, pindahkan Fitri ke sekolah agama dekat sini saja, nggak perlu di pesantren segala. Bapak nggak kasihan sama anak?!” seru bu Endang.“Ibu sendiri toh yang bilang ke tetangga kalau anak kita sedang memperdalam ilmu agama, kenapa sekarang berubah pikiran,” jawab pak Nurdin.“Memperdalam ilmu agama nggak harus ke pesantren ‘kan pak, sekarang banyak berdiri sekolah agama terpadu kok,” balas bu Endang.“Ibu kalau terus-terusan membela Fitri yang berbuat salah. Bapak masukkan ibu ke pesantren saja sekalian biar enggak ngegosip saja kerjaannnya sama tetangga, kalau sud
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa ditambah atau dikurangai. Aku memang menunggu Rendi anaknya bu Lastri di depan gang. Kenapa tidak di rumah karena Rendi dari arah tempat kerjanya jika harus pulang masuk gang menjemputku masuk gang itu akan sangat merepotkan bukan?“Begitu ceritanya pak RT dan warga sekalian, lagipula kami sudah menjelaskan kepada bu Endang kenapa bertemu di depan gang,” ucapku.“Dara betul pak kami memang janjian berangkat ke kampus bersama. Hari ini kami pertama masuk itu juga bu Endang sudah tahu. Beliau kan suka kepo sama urusan orang. Kenapa jadi malah bertengkar dengan ibu saya?” tanya Rendi.Warga yang mendengar klarifikasiku dan Rendi langsung langsung menyoraki bu Endang yang emang pembawa malapetaka alias tukang fitnah yang tidak jelas sehingga menyebabkan keributan di rukun tetangga sini. Untung pak RT di sini bisa menjadi penengah dan tidak membela salah satu pihak.“Tenang bapak-b
Aku tertawa mendengar pertanyaan pak Nurdin ke istrinya. Ya sudah pastilah pak istrinya kepanasan kalau enggak kenapa julid terus minta pasang dirumah. Eit tunggu biasanya kalau sedang bertengkar dengan suami atau permintaanya tidak keturutan bu Endang tetanggaku itu akan membuat ulah. Kira-kira akan membuat ulah apa ya?“Dara ini mangga dari kampung, saya bagi sedikit ya daripada nggak kemakan,” ucap bu Sri.“Wah terima kasih ya bu Sri, semoga rejekinya semakin berkah,” jawabku.“Amin sama-sama Dara, saya kan sering ngerepotin ibumu, jadi ya ada sedikit rejeki saya bagi,” balas bu Sri lagi.Bu Sri sudah berjalan meninggalkan rumahku. Aku lihat bu Sri berjalan ke rumah bu Arum dan bu Lastri. Namanya bertetangga kan emang rumahnya berdekatan. Waduh sepertinya mangga yang bu Sri tadi bawa sudah habis.“Loh bu Sri kok nggak ke rumah bu Endang?” gumamku.“Kenapa toh Dar?” tanya ibuku ya
Ibuku menghela nafas panjang lalu mengucapkan kata yang membuatku tidak habis pikir. Ibuku berkata jika sampai bu Endang menggosipkanku akan mendoakan balik supaya terjadi pada anaknya sendiri. Ibuku ingin lihat bagaimana bu Endang mengatasi masalah jika anaknya sendiri yang hamil di luar nikah.“Sudah biarkan saja Dara, nanti juga kena karma sendiri. Kalau misal omongannya balik ke anaknya sendiri apakah juga akan bu Endang akan menggosipkannya juga,” jawab ibuku yang terlihat kesal.“Yah tapi ‘kan ya tidak enak bu menjadi bahan gosip sedangkan kita sendiri tidak dalam posisi itu gitu loh bu,” balas ku.Yah ibuku memang benar tidak perlu menanggapi bu Endang yang suka menggosip itu. Cukup doakan saja supaya lekas tobat dan tidak lagi menggosipkan tetangga yang belum tentu benar adanya. Takutnya suatu hari mendapatkan karma akan gila sendiri. Aku pamit ke rumah bu Lastri karena ada yang akan aku diskusikan dengan Rendi.&ldqu
Aku malas meladeni pertanyaan dari bu Endang ini. jam sepuluh malam seperti ini kenapa masih berada di luar rumah. Aku merasa bu Endang cocok menjadi hansip karena dua malam seperti ini masih ngurusin urusan tetangganya.“Saya baru pulang kuliah bu, ibu sendiri jam segini diluar rumah sedang apa?” jawabku.“Kuliah apa jam segini baru pulang kerja, kamu jangan bohong Dara sama saya bilang saja kalau habis kencan sama pacar kamu pulang sampai larut malam. Kalau saya keluar karena sedang lapar beli nasi goreng,” celetuk bu Endang.Ku hembuskan nafas panjang agar tidak tersulut emosi mendengar perkataan bu Endang ini. ku ucapkan permisi agar terkesan masih sopan terhadap beliau yang lebih tua. Terserah deh mau berkata apa lagi itu bu Endang yang maha tahu segalanya. Percuma juga di jelasin nggak bakal percaya juga.Kunikmati kerja dipagi hari dan kuliah disore hari selama empat hari ini. Rasanya memang lelah dibadan tapi ini kan sudah
“Ibu Arum lihat sendiri ‘kan Dara menghindari kami. Ibu saya baru negur dikit langsung sewot,” jawab Ratna dengan gaya angkuh.Aku tidak mempedulikan lagi apa yang akan dikatakan bu Endang ataupun Ratna anaknya. Mereka berdua sama-sama sombong dan suka merendahkan orang. Aku yakin penampilan Ratna yang berbeda dengan dulu itu akibat dia salah pergaulan di kota orang. Sampai dirumah aku merebahkan badan di kasur empuk dikamarku. Tiba-tiba ponselku berdering tanda ada telepon masuk. Aku segera mengangkatnya.“Dara aku punya gosip nih, mau dengerin nggak?” tanya temanku semasa smk teman Ratna juga.“Malas ah aku mendengarnya. Di desa ini sudah banyak gosip untuk apa aku harus mengotori telingaku demi gosip yang lainnya,” jawabku.“Ini gosip heboh tentang teman kita sekaligus tetanggamu loh, yakin nggak mau dengar?” tanya temanku lagi.Apakah yang dimaksud adalah si Ratna. Aku mendengarkan cerita da
Aku tertegun dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh bu Endang. Aku memang iri kalau Ratna bersekolah di universitas negeri juga mendapat beasiswa. Tapi ah sudahlah rejeki setiap manusia itu berbeda aku tidak berhak iri dan harus mensyukuri apa yang aku dapatkan.“Bu Endang, siapa yang tidak iri dengan prestasi Ratna yang cemerlang itu. Tapi ada kalanya jika sudah memiliki semuanya tidak menyombongkan diri dan merendahkan orang lain seperti saya ini,” jawabku agar bu Endang tidak lagi merendahkan orang lain.“Ternyata kamu iri dengan anakku ya Dara. Ya wajar sih karena kamu tidak mampu seperti anak saya,” celetuk bu Endang lagi.Ibuku sudah mau marah mendengar ucapan bu Endang. Tapi aku mencegahnya untuk marah tidak baik seperti bertengkar dengan tetangga hanya karena hal sepele. Sudahlah setiap perbuatan ada balasannya. Lebih baik aku berkeliling desa dulu mencari informasi pergosipan yang beredar.“Eh jeng Sri tahu nggak si
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal