“Ibu Arum lihat sendiri ‘kan Dara menghindari kami. Ibu saya baru negur dikit langsung sewot,” jawab Ratna dengan gaya angkuh.
Aku tidak mempedulikan lagi apa yang akan dikatakan bu Endang ataupun Ratna anaknya. Mereka berdua sama-sama sombong dan suka merendahkan orang. Aku yakin penampilan Ratna yang berbeda dengan dulu itu akibat dia salah pergaulan di kota orang. Sampai dirumah aku merebahkan badan di kasur empuk dikamarku. Tiba-tiba ponselku berdering tanda ada telepon masuk. Aku segera mengangkatnya.
“Dara aku punya gosip nih, mau dengerin nggak?” tanya temanku semasa smk teman Ratna juga.
“Malas ah aku mendengarnya. Di desa ini sudah banyak gosip untuk apa aku harus mengotori telingaku demi gosip yang lainnya,” jawabku.
“Ini gosip heboh tentang teman kita sekaligus tetanggamu loh, yakin nggak mau dengar?” tanya temanku lagi.
Apakah yang dimaksud adalah si Ratna. Aku mendengarkan cerita da
Aku tertegun dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh bu Endang. Aku memang iri kalau Ratna bersekolah di universitas negeri juga mendapat beasiswa. Tapi ah sudahlah rejeki setiap manusia itu berbeda aku tidak berhak iri dan harus mensyukuri apa yang aku dapatkan.“Bu Endang, siapa yang tidak iri dengan prestasi Ratna yang cemerlang itu. Tapi ada kalanya jika sudah memiliki semuanya tidak menyombongkan diri dan merendahkan orang lain seperti saya ini,” jawabku agar bu Endang tidak lagi merendahkan orang lain.“Ternyata kamu iri dengan anakku ya Dara. Ya wajar sih karena kamu tidak mampu seperti anak saya,” celetuk bu Endang lagi.Ibuku sudah mau marah mendengar ucapan bu Endang. Tapi aku mencegahnya untuk marah tidak baik seperti bertengkar dengan tetangga hanya karena hal sepele. Sudahlah setiap perbuatan ada balasannya. Lebih baik aku berkeliling desa dulu mencari informasi pergosipan yang beredar.“Eh jeng Sri tahu nggak si
Jawaban dari pak Nurdin adalah Ratna akan di titipkan kepada adiknya yang kebetulan menetap di solo dekat dengan kampus Ratna. Semua ini demi kebaikan Ratna, sebagai seorang bapak pak Nurdin tidak mau kecolongan untuk yang kedua kalinya. Demi anak tersayang dia harus berani bertindak tegas.“Saya sudah tahu pak akan melakukan apa. Sementara nanti Ratna akan tinggal di tempat adik saya agar ada yang mengawasinya,” jawab pak Nurdin.“Kalau begitu pak Nurdin sudah tenang boleh pulang pak. Maaf ya bukan maksud saya mencampuri urusan rumah tangga. Kalau warga saya damai semuanya akan hidup berdampingan pak,” ucap pak RT.Aku lega pak Nurdin tidak kalap mata. Malam itu masalah pak Nurdin dan istrinya sudah selesai. Bisa saja jika ibu-ibu tidak melapor ke pak RT dan tidak ada penengah pak Nurdin kalap mata dan memukul istrinya karena emosi. Pagi ini di warung bu Sri seperti biasa aku mendengar gosip-gosip tetangga.“Sudah tahu belum
Hidup itu memang tidak mudah apalagi punya tetangga yang hidupnya suka komentarin urusan orang lain. Contohnya nih ya ibu-ibu yang suka ngegosip di lingkungan sekitarku. Apa saja diomongin sama mereka. Jadi ada tetanggaku sebut saja dia mamanya Daus. Ibu milenial versus ibu jaman dulu itu kan berbeda ya cara mengurus anaknya. Yah itu juga tak luput dari bahan gosip mereka.“Mamanya Daus siang-siang mau kemana sih, rapi banget?” tanya bu Endang.“Beli pampers bu buat anak saya, dirumah sudah habis,” jawab mama Daus.“Mama jaman sekarang mah pada males. Nggak mau repot nyuci celana bekas ompol anak sendiri. kalau mama jaman dulu mah rajin seperti saya ini. Kedua anak saya nggak pernah pakai pampers,” balas bu Endang.Mama Daus menjawab kalau jaman dulu memang tidak ada pampes. Tapi bu Endang menyudutkan mama Daus kalau jadi ibu itu males. Tidak seperti jaman dahulu yang selalu rajin. Mama Daus melanjutkan jalannya menuju
Aku mendengar pertanyaan dari ibu dan segera menjawabnya, “Iya bu sebentar lagi,”Ibu memelukku dan menguatkanku. Beliau berkata tidak usah mendengar omongan bu Endang yang terkenal memang menyayatkan hati. Sebelumnya aku sudah memberitahu ibu kalau semalam habis dari shorum bersama bu Sari beliau yang membayar kontan mobil. Nanti aku cukup mengangasurnya potong gaji dan bonusku tidak keluar sebagai ganti membayar mobil.“Terima kasih ya, bapakmu nanti akan senang jika pulang dari pasar. Sekarang Dara berangkat kerja dulu,” ucap ibuku.“Baik bu, doakan Dara supaya rejekinya lancar ya bu,” pintaku seraya mangambil tas untuk berangkat kerja.Sampai tempat kerja aku seperti biasa aku langsung mengerjakan kerjaanku. Aku fokus dengan beberapa lembar berkas yang ada dimejaku. Tiba-tiba Irma datang dan menyindirku di depan banyak orang. Aku sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti ini dari Irma. Tidak di rumah tidak di kantor
Bu Lastri menjawab setiap rejeki orang beda-beda. Randi gajinya kecil sebagian dikasih saya untuk tambah biaya kebutuhan rumah. Walau ayahnya memberikan nafkah ke saya. Namanya uang anak ya tetap saya terima saya yang muterin uangnya.“Rejeki orang beda-beda bu Endang. Randi dapat banyak kok hasil kerjanya. Ada ponsel adiknya, baju, biaya kuliah,” jawab bu Lastri.“Tuh kan hanya barang-barang kecil. Tuh Dara dapatnya barang mewah,” ucap bu Endang.“Sudahlah mungkin nyimpen uangnya pinter. Nggak udah bandingin rejeki orang bu,” balas bu Lastri.Syukurlah bu Lastri tetangga yang pikirannya nggak sempit seperti bu Endang. Aku heran kenapa bu Endang ini semakin hari semakin membenciku. Padahal suaminya pegawai negeri anak-anaknya pinter keuangan juga lebih bagus."Alah bu Lastri dari perbedaan Rendi dan Dara yang sama-sama bekerja kita itu bisa lihat kalau Dara itu sepertinya menghasilkan uang lebih cepat daripada si
Aku kaget dengan suara yang menyebut aku sombong karena tidak mau menegur sapa. Beliau juga mengatakan aku sudah kaya, aku aminkan saja siapa tahu aku nanti kaya beneran. Semoga doanya dikabulkan aku menjadi orang yang kaya ilmu, rejeki dan tidak sombong. Aku menoleh dan menyunggingkan senyuman dan ternyata itu si biang gosip bu Endang. Malas banget rasanya meladeni bu Endang ini.“Maaf bu saya tidak lihat bu Endang, saya habis pesan makanan langsung main ponsel tidak toleh kanan-kiri, bu Endang sendiri mungkin datangnya duluan saya jadi tidak lihat,” ucapku.“Halah alasan saja kamu itu. Baru bisa kredir mobil bekas saja sudah berlagak. Apalagi nanti dapat suami kaya raya pasti tidak mau kenal tetangga lagi!” seru bu Endang.Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sungguh bu Endang ini sengaja mencari masalah di depan umum. Aku memilih diam saja karena tidak mau manjadi bahan omongan para tetangga karena adu debat dengan bu Endang di tempa
Ibuku berjalan keluar rumah menuju sumber suara minta tolong untuk mengetahui apa yang terjadi. beberapa anak muda yang nongkrong di pos ronda berlari juga menghampiri bu Sri. Dengan sigap mereka menolong permintaan bu Sri.“Ada apa bu Sri kok teriak-teriak minta tolong?” tanya ibuku.“Bu Endang tiba-tiba pingsan bu, bu Siti pulang saja nggak apa-apa biar kami yang mengurus bu Endang,” jawab bu Sri.Ibuku pulang ke rumah atas permintaan bu Sri yang akan mengabari apa yang terjadi besok pagi. Bu Sri berkata akan menunggu bu Endang siuman baru pulang. Salah satu anak muda yang nongkrong tadi ke musola mencari pak Nurdin mengabari kalau istrinya pingsan.Ibu sudah sampai rumah lagi dan memelukku. Mungkin ibu tahu apa yang aku pikirkan mala ini. aku juga tidak menyangka bu Endang sebegitu bencinya denganku sehingga memberikan label aku seorang simpanan om-om tanpa bukti yang kuat.“Kak jangan sedih lagi. Lebih baik kita ma
Bukannya aku diam saja karena di bully nanti akan ada saatnya aku membantah mereka. Untuk saat ini aku memilih diam karena jika bertengkar di tempat kerja akan membuat buruk citra kepada atasan. Dan mempengaruhi kinerjaku.“Ada saatnya diam juga ada saatnya kita melawan Metta. Sekarang belum saatnya, kita harus mempertahankan nama baik kita di perusahaan,” jawabku.“Dara, jika hatimu lembut seperti ini orang akan terus-terusan jahat sama kamu!” seru Metta.“Mengalah belum tentu kalah Metta. Tunggu saja tanggal mainnya aku pasti akan bertindak,” jawabku.Aku senang Metta mengerti apa maksudku. Aku menambahkan orang yang diam saat ditindas bukan berarti lemah. Mungkin aku sedang menyiapan sebuah kejutan untuk orang jahat itu. Aku percaya orang yang jahat akan mendapatkan balasan dari yang maha kuasa atas perbuatannya. Seperti hukum tabut tuai. Siapa yang menanam akan memanen apa yang ia tanam.“Saya baru kelu
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal