Jadi certianya bu Lastri menghubungi ponsel ibuku. Tapi berhubung ibuku itu sedang ke kamar mandi aku yang angkat telepon itu. Beliau juga minta ijin karena ingin menjenguk aku yang sedang di rawat di rumah sakit. Kebiasan di desa Sukma Jaya ini memang masih memiliki rasa tenggang rasa walupun banyak tukang gosipnya. Mereka akan datang membesuk tetangganya yang sakit atau menolong tetangga yang kesusahan itulah sisi baiknya hidup di desa ini.
"Bu siti, apa benar anak ibu di rawat di rumah sakit, boleh kan kami menjenguk?” tanya bu Lastri lewat sambungan telepon.
“Betul bu Lastri saya memang di rawat di rumah sakit, maaf ya saya yang angkat telepon ibu sedang berada di toilet,” jawabku.
“Eh nak Dara, kata Doktter kamu sakit apa?” tanya bu Latri lagi.
“Oh hanya kecapekan saja bu, saya ada telat makan, jadi lambung saya kena,” jawabku atas pertanyaan bu Lastri.
Aku juga menegaskan kepada bu Lasti untuk tidak usah repot-repot datang ke rumah sakit karena tinggal nunggu Dokter untuk memeriksa aku sudah bisa pulang. Kemungkinan habis magrib aku sudah bisa pulang ke rumah. Ibu-ibu bisa datang ke rumah jika ingin membesuk pasti pintu rumahku akan terbuka lebar. Juga aku berjanji akan menjawab semua pertanyaan yang akan diberikan oleh ibu-ibu semua yang penasaran kenapa bisa aku masuk rumah sakit.
“Oh begitu ya Dara, baik kalau begitu semoga lekas sembuh ya dara,” ucap bu Lastri sambil mematikan teleponnya.
Aku merasa lega karena sudah menjelaskan kepada bu Lastri tentang penyakit apa yang menimpaku. Para warga desa sukma jaya yang mendengar aku sudah sampai di rumah terutama ibu-ibu mereka bersiap untuk datang ke rumahku. Informasi ini aku dapatkan dari ibu Lastri yang selalu mengirim pesan ke ponsel pribadi.
Singkat cerita ibu Endang si biang gosip ini aku dengar berteriak di rumah bu Sri si penjual sayuran. Maklum jarak rumah kami hanya dua rumah jadi kan ya kedengeran.
“Bu Sri, jadi ke rumah ke ibu Siti nggak menjenguk anaknya yang baru pulang dari rumah sakit, saya sudah siap ini bu!” teriak bu Endang sambil mengetuk pagar rumah bu Sri.
“Eh bu Endang, ngapain teriak-teriak di depan rumah orang seperti ini, cukup bunyikan bel saja saya sudah dengar. Ganggu orang ibadah saja ini kan masih waktu magrib!” teriak suami dari bu Sri.
Bu Endang mendebat perkataan dari suami bu Sri yang semakin aku pusing mendengarnya. Beliau berdua terdengar semakin keras beradu argument sehingga mengganggu warga sekitar. Bu Endang ini memang keras kepala sekali.
“Bu Endang ini loh kok nggak mau kalah, suami saya ‘kan benar ini masih masuk waktu magrib jadi banyak warga yang masih ibadah,” ucap bu Sri.
“Di muhola saja sudah selesai solat kok, emang keluarga bu Sri ini doa apa kok lama banget. Apa jangan-jangan ikut aliran sesat?” tanya Bu Endang.
Terdengar pula dari rumah kalau suami bu Sri semakin kesal dengan ulah bu Endang yang semakin menjadi. Aku sampai kesal juga mendengarnya dari rumah karena suaranya bu Endang ini sungguh super keras sekali. Memang benar sih mengganggu orang yang masih beribadah. Untung suami bu Sri ini tidak menanggapi karena di katakan menganut aliran sesat.
“Sudah pak masuk rumah saja sana, bu Endang mulutnya juga jangan kelewatan untuk yang ibu hadapi ini suami saya, coba kalau sama orang lain bisa di tampar mulut ibu!” seru ibu Sri.
“Gitu aja marah, udah itu telpon bu lastri juga ibu-ibu yang lainnya keburu malam nanti,” balas ibu Endang sewot.
Aku mengintip dari balik jendela kamarku yang berada di lantai atas. Terlihat ibu Sri sedang memainkan ponsel mungkin menunggu ibu-ibu yang lainnya yang akan menjenguk ke rumah. Duh harus kuat mental kalau menghadapi bu Endang dan ibu-ibu lainnya ini. Mereka akan senang jika ada gosip juga akan membicarakannya selama berhari-hari.
“Akhirnya bu Lastri datang juga, dandan lama amat sih sampai jamuran aku menunggu di rumah bu Sri,” ucap bu Endang.
“Saya sebelum keluar rumah itu menyiapkan makanan untuk suami yang baru pulang kerja juga buat anak-anak memangnya saya terlihat dandan menor apa?” tanya bu Lastri yang kesal dengan kalimat yang keluar dari bu Endang.
Suara mereka terus terdengar dari dalam rumahku. Bu Endang terus memprovokasi ibu Lastri yang tampak sudah kelihatan sewot itu. “Anak sudah pada gede juga ditinggal besuk tetangga sebentar juga bisa kali,
Aku juga masih mendengar bu Endang mengoceh yang mungkin jika aku jadi bu Lastri akan merasa sakit hati dan tidak mau lagi berteman dengannya. Sungguh mulut tetangga yang tidak bisa dikontrol.
“Bu Lastri ini jaman sudah canggih loh. Bisa pesan online makanan jika istri sedang ada urusan sebentar, suami kok manjanya minta ampun,” ibuh bu Endang.
“Bu Endang harusnya paham, kenapa istri harus pandai memasak dan mampu melayani suami, karena jaman sekarang banyak pelakor. Kalau bu Endang santai-santai saja bagaimana kalau suami bu Endang tiba-tiba kawin lagi hayo?” tanya bu Lastri.
Aku tertawa sendiri dari dalam kamar mendengar obrolan mereka, sungguh tetangga yang unik apa-apa di bahas kena mental nggak tuh bu Endang di skak sama bu Lastri. Bu Endang masih bisa bercanda kalau suaminya berani kawin lagi akan memotong burungnya. Sungguh membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Terdengar pula itu Sri meminta mereka berdua untuk segera berhenti berdebat karena masih menunggu satu ibu-ibu lagi geng mereka namanya bu Arum.
“Jangan berantem lagi coba kamu telpon bu Arum untuk segera datang karena hari sudah malam,” pinta bu Sri.
“Halo ibu-ibu maaf ya menunggu lama,” ucap bu Arum sebelum di telpon sudah muncul di antara mereka.
Sepertinya aku mendengar kegaduhan lagi. Karena terdengar dari pertanyaan bu Endang yang penasaran dengan apa yang dibawa oleh ibu Arum. Waduh gawat nih pasti ada gosip apa lagi ya setelah ini. Aku kembali menguping percakapan mereka.
“Lama banget sih sih bu Arum, eh tapi bu Arum sedang bawa apa itu?” tanya bu Endang yang siap bergosip.
“Ini brosur biaya pendidikan di kampus anak saya, ini buat Dara!” tegas bu Arum.
Aku masih setia menguping percapakan mereka. Apakah yang akan dikatakan oleh bu Endang setelah mengetahui aku memang titip ambil brosur kuliah di tempat anaknya bu Arum tetanggaku yang dulu satu smk denganku.
“Brosur kampus? Aku jadi penasaran gajinya Dara itu berapa untuk lulusan SMK juga kerja dimana sih sebenarnya?” tanya bu Endang mulai kepo.
“Bu Endang ini kenapa sih, gaji kecil kalau mau hidup prihatin juga bakal kesampaian apa yang diimpikan, sudah ayo lekas ke rumah bu siti jangan menggosip terus!” seru bu Arum.
Aku mengintip dari jendela kamar mereka berempat sudah berjalan menuju rumahku. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu kalau mereka akan menjenguk aku. Duduk diam di kamar saja agar tidak kelihat habis mengintip dan menguping pembicaraan mereka.
“Assalamualaikum bu Siti! Kita datang rame begini ganggu enggak ya?” seru bu Endang.
“Masuk bu ibu, enggak apa-apa kok, ayo silahkan duduk,” balas ibuku.
Ibuku memanggil aku yang ada di dalam kamar untuk turun ke bawah menemui ibu-ibu yang datang menjenguk. Sebenarnya aku sangat malas sekali karena harus meladeni ibu tukang gosip seperti ibu Endang ini.
“Gimana Dara keadaan kamu, kata Dokter sakit apa?” tanya bu Endang yang sudah tidak sabar mengorek informasih.
“Hanya asam lambung naik karena telat makan dan juga kecapekan kerja,” jawabku singkat.
Aku menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang ditanyakan oleh ibu Endang yang kepo tingkat dewa. Seakan memancing keributan. Aku hanya bisa menahan amarah karena merasa ibu Endang lebih tua tidak pantas kan kalau aku harus membantahnya apalagi di depan orang banyak. Asyik mengobrol dengan para ibu-ibu ini sebuah rombongan datang ke rumahku.
“Assalamualaikum, ibu Siti kami datang menjenguk Dara,” ucap seseorang dari rombongan yang baru datang ke rumahku.
“Walaikumsalam, eh siapa ya kok pakai pakaian formal dan wajahnya cantik dan bagus? Aku belum pernah melihat kalian loh di Desa ini!” celetuk bu Endang yang tingkat kekepoannya tinggi.
Aku yang menjawab pertanyaan bu Endang itu. Tentu saja bu Endang belum pernah melihat teman-teman kerjaku sebelumnya karena semuanya bukan penduduk asli desa Sukma Jaya tempat tinggalku.“Mereka adalah teman-teman kerjaku bu Endang,” jawabku singkat.“Ayo-ayo silahkan masuk,” ajak Bu Endang.Aku memperhatikan gerak-gerik bu Endang yang mungkin mulutnya sudah gatal ingin bertanya banyak kepada teman-temanku. Beruntung bu Lastri berinisiatif mengajaknya pulang sebelum mengorek informasi lebih kepada teman kerjaku.“Bu Endang ayo kita pulang, gantian yang berkunjung. Kita kan sudah lama mengobrolnya,” ajak bu Lastri.“Loh kok buru-buru ngapain sih bu Lastri, saya belum selesai mengobrol dengan anak-anak uda ini. dandanan necis mirip sales panci ini pada kerja dimana. Bener to bu mereka ini berpakaian mirip sales panci yang suka keliling desa?!” ucap bu Endang asal saja.Aku ingin marah mendengar u
Menurut informasi yang aku dengar dari tetangga Bu Endang membawa anaknya untuk periksa ke Dokter. Keluhan yang dia rasakan adalah mual muntah, kepala pusing seperti penyakit lambung yang aku alami beberapa hari lalu karena kecapekan kerja dan telat makan.“Dokter kok antrenya ngalahin antre sembako ya ma,” ucap Fitri sambil menahan mual.“Namanya juga Dokternya terkenal bukan Dokter abal-abal ya ngantri lah Fit, kamu ini gimana,” balas bu Endang.Fitri ke toilet karena tidak tahan dengan mualnya. Dia lemas di dalam toilet dan mengingat apa yang ia lakukan. Ia sampai ketakukan sendiri tidak berani segera keluar toilet. Sampai bu Endang menggedor pintunya karena sebentar lagi gilirannya periksa.“Fitri kamu tidak pingsan di toilet ‘kan, jangan buat mama khawatir sebentar lagi giliranmu periksa loh,” ucap bu Endang dari luar toilet.“Enggak kok ma Fitri baik-baik saja, tunggu sebentar ya,” jawab F
Aku sudah sampai rumah segera mandi dan ganti baju. Dari balik kamarku terdengar gosip kalau bu Endang sedang bertengkar dengan suaminya. Ia protes karena tak tega mendengar Fitri menangis dan tidak betah berada di pondok pesantren. Waktu telepon dengan keluarga juga terbatas. Bu Endang dan pak Nurdin beradu debat masalah ini.“Ibu nggak mau tahu pak, pindahkan Fitri ke sekolah agama dekat sini saja, nggak perlu di pesantren segala. Bapak nggak kasihan sama anak?!” seru bu Endang.“Ibu sendiri toh yang bilang ke tetangga kalau anak kita sedang memperdalam ilmu agama, kenapa sekarang berubah pikiran,” jawab pak Nurdin.“Memperdalam ilmu agama nggak harus ke pesantren ‘kan pak, sekarang banyak berdiri sekolah agama terpadu kok,” balas bu Endang.“Ibu kalau terus-terusan membela Fitri yang berbuat salah. Bapak masukkan ibu ke pesantren saja sekalian biar enggak ngegosip saja kerjaannnya sama tetangga, kalau sud
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa ditambah atau dikurangai. Aku memang menunggu Rendi anaknya bu Lastri di depan gang. Kenapa tidak di rumah karena Rendi dari arah tempat kerjanya jika harus pulang masuk gang menjemputku masuk gang itu akan sangat merepotkan bukan?“Begitu ceritanya pak RT dan warga sekalian, lagipula kami sudah menjelaskan kepada bu Endang kenapa bertemu di depan gang,” ucapku.“Dara betul pak kami memang janjian berangkat ke kampus bersama. Hari ini kami pertama masuk itu juga bu Endang sudah tahu. Beliau kan suka kepo sama urusan orang. Kenapa jadi malah bertengkar dengan ibu saya?” tanya Rendi.Warga yang mendengar klarifikasiku dan Rendi langsung langsung menyoraki bu Endang yang emang pembawa malapetaka alias tukang fitnah yang tidak jelas sehingga menyebabkan keributan di rukun tetangga sini. Untung pak RT di sini bisa menjadi penengah dan tidak membela salah satu pihak.“Tenang bapak-b
Aku tertawa mendengar pertanyaan pak Nurdin ke istrinya. Ya sudah pastilah pak istrinya kepanasan kalau enggak kenapa julid terus minta pasang dirumah. Eit tunggu biasanya kalau sedang bertengkar dengan suami atau permintaanya tidak keturutan bu Endang tetanggaku itu akan membuat ulah. Kira-kira akan membuat ulah apa ya?“Dara ini mangga dari kampung, saya bagi sedikit ya daripada nggak kemakan,” ucap bu Sri.“Wah terima kasih ya bu Sri, semoga rejekinya semakin berkah,” jawabku.“Amin sama-sama Dara, saya kan sering ngerepotin ibumu, jadi ya ada sedikit rejeki saya bagi,” balas bu Sri lagi.Bu Sri sudah berjalan meninggalkan rumahku. Aku lihat bu Sri berjalan ke rumah bu Arum dan bu Lastri. Namanya bertetangga kan emang rumahnya berdekatan. Waduh sepertinya mangga yang bu Sri tadi bawa sudah habis.“Loh bu Sri kok nggak ke rumah bu Endang?” gumamku.“Kenapa toh Dar?” tanya ibuku ya
Ibuku menghela nafas panjang lalu mengucapkan kata yang membuatku tidak habis pikir. Ibuku berkata jika sampai bu Endang menggosipkanku akan mendoakan balik supaya terjadi pada anaknya sendiri. Ibuku ingin lihat bagaimana bu Endang mengatasi masalah jika anaknya sendiri yang hamil di luar nikah.“Sudah biarkan saja Dara, nanti juga kena karma sendiri. Kalau misal omongannya balik ke anaknya sendiri apakah juga akan bu Endang akan menggosipkannya juga,” jawab ibuku yang terlihat kesal.“Yah tapi ‘kan ya tidak enak bu menjadi bahan gosip sedangkan kita sendiri tidak dalam posisi itu gitu loh bu,” balas ku.Yah ibuku memang benar tidak perlu menanggapi bu Endang yang suka menggosip itu. Cukup doakan saja supaya lekas tobat dan tidak lagi menggosipkan tetangga yang belum tentu benar adanya. Takutnya suatu hari mendapatkan karma akan gila sendiri. Aku pamit ke rumah bu Lastri karena ada yang akan aku diskusikan dengan Rendi.&ldqu
Aku malas meladeni pertanyaan dari bu Endang ini. jam sepuluh malam seperti ini kenapa masih berada di luar rumah. Aku merasa bu Endang cocok menjadi hansip karena dua malam seperti ini masih ngurusin urusan tetangganya.“Saya baru pulang kuliah bu, ibu sendiri jam segini diluar rumah sedang apa?” jawabku.“Kuliah apa jam segini baru pulang kerja, kamu jangan bohong Dara sama saya bilang saja kalau habis kencan sama pacar kamu pulang sampai larut malam. Kalau saya keluar karena sedang lapar beli nasi goreng,” celetuk bu Endang.Ku hembuskan nafas panjang agar tidak tersulut emosi mendengar perkataan bu Endang ini. ku ucapkan permisi agar terkesan masih sopan terhadap beliau yang lebih tua. Terserah deh mau berkata apa lagi itu bu Endang yang maha tahu segalanya. Percuma juga di jelasin nggak bakal percaya juga.Kunikmati kerja dipagi hari dan kuliah disore hari selama empat hari ini. Rasanya memang lelah dibadan tapi ini kan sudah
“Ibu Arum lihat sendiri ‘kan Dara menghindari kami. Ibu saya baru negur dikit langsung sewot,” jawab Ratna dengan gaya angkuh.Aku tidak mempedulikan lagi apa yang akan dikatakan bu Endang ataupun Ratna anaknya. Mereka berdua sama-sama sombong dan suka merendahkan orang. Aku yakin penampilan Ratna yang berbeda dengan dulu itu akibat dia salah pergaulan di kota orang. Sampai dirumah aku merebahkan badan di kasur empuk dikamarku. Tiba-tiba ponselku berdering tanda ada telepon masuk. Aku segera mengangkatnya.“Dara aku punya gosip nih, mau dengerin nggak?” tanya temanku semasa smk teman Ratna juga.“Malas ah aku mendengarnya. Di desa ini sudah banyak gosip untuk apa aku harus mengotori telingaku demi gosip yang lainnya,” jawabku.“Ini gosip heboh tentang teman kita sekaligus tetanggamu loh, yakin nggak mau dengar?” tanya temanku lagi.Apakah yang dimaksud adalah si Ratna. Aku mendengarkan cerita da
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal