Aku tidak menggubris pertanyaan bu Endang. Karena sudah ada angkot yang datang aku segera naik ke angkot. Aku bisa gila jika meladeni bu Endang yang gemar bergosip ria itu. Aku menggerutu kesal di dalam angkot.
“Sepertinya sudah aman, walau dia teriak-teriak seperti orang gila begitu aku tidak peduli,” gumam ku setelah angkot melaju.
“Dasar tidak sopan ditanya orang tua tidak menjawab, awas saja berita heboh Dara mau kuliah akan segera aku sebar di desa ini. Semalam ia pulang di antar mobil sekarang mau kuliah, pasti dia sekarang menjadi simpanan om-om,” gerutu bu Endang sambil jalan.
Bu Endang kembali ke warung sayuran milik bu Sri dan kembali bergosip di sana. Masih banayk ibu-bu yang silih berganti ke tukang sayuran itu. Dengan nada tinggi biar semua ibu-ibu mendengarkan bu Endang memulai gosipnya.
"Dara itu kerja apa to, sebenarnya?" tanya bu Endang yang pura-pura memilih sayuran.
"Admin kan bu, di kantoran," Jawab bu Sri.
"Aku kok mulai curiga lo sama anaknya bu Siti itu, baru pertama gajian udah bisa beli tv, terus semalem dianter pulang naik mobil, apa itu kalau nggak mencurigakan," kata bu Endang dengan semangatnya.
"Hati hati ketulah dengan omonganya loh bu," kata bu Sri.
Aku kembali ke rumah setelah sampai kantor karena ada hal yang harus di urus dadakan bersama tim kerjaku. Bu Endang dan yang lainnya melihat sampai matanya mau copot mungkin dalam hati mereka bertanya siapakan gerangan yang berhenti di depan rumahku membawa mobil. Hatiku merasa tak enak denagn apa yang akan terjadi soalnya aku diantar mobil bu Sari.
"Itu mobil yang semalam aku lihat menurunkan Dara di ujung jalan, bukankah tadi Dara sudah berangkat kerja untuk apa mobil itu kesana?" bu Endang heboh sendiri.
Aku turun dari mobil bersama dua orang temanku. Hari ini aku harus kunjungan ke luar kota dadakan karena ada masalah di salah satu cabang jadi pulang dulu mengambil baju ganti sekalian berpamitan kepada ayah dan ibuku. Kebetulan sekali ayah dan ibuku belum berangkat ke pasar. Selesai berpamitan mobil yang sudah melaju akan keluar gang di hadang oleh bu Endang. Perasaanku langsung tidak enak apa yang ingin dilakukan oleh biang gosip itu?
“Dara mau kemana toh, tadi bukannya sudah berangkat kerja, kok balik lagi?” tanya Bu Endang.
“Kami mau mengecek toko-toko di luar kota, ada apa ya bu?” bu Sari membuka kaca mobil.
Bu sari memberikan brosur kosmetik kepada bu Endang, juga memberikan alamat website penjualan produk kosmetik mereka. Dia juga bisa melihat staff dan jajaran melalui website tersebut. Mobil kembali melaju karena sudah mulai siang. Aku bernafas lega karena mempunyai bos yang baik hati.
"Tuh kan ibu-ibu desa Jati Asih yang cerdas. Jangan langsung percaya dengan adanya gosip, kalau ada apa-apa dicari tahu kebenaranya dulu, jangan main omong sana sini, kalau sudah seperti ini terlanjur ngomong, tapi ngomongnya nggak bener ‘kan jadi malu sendiri!" seru bu Sri.
"Jadi gimana bu Endang, sudah tidak curiga lagi kan dengan Dara?" tanya bu Lastri.
"Alah baru begitu saja, Dara itu sudah sombong banget," jawab bu Endang dan dia pergi meninggalkan warung bu Sri.
"Loh nggak jadi belanja, bu Endang?" tanya bu Lastri.
"Orang kesini mau gosipin anak orang doang, bukan mau belanja bu Lasrti dia itu," sahut bu Sri.
Mobil sudah melaju jauh meninggalkan desa Sukma Jaya yang sedang banyak tukang gosip dipagi hari. Ku ucapkan terima kasih kepada bu Sari karena mau menjelaskan mau kemana dan tujuannya apa mengantarku pulang ke rumah mengambil baju ganti membawa mobil. Aku juga merasa malu karena mempunyai tetangga yang suka gosip seperti itu, sampai menghadang mobil yang aku pakai dinas bersama teman kerjaku.
***
"Jeng Sri, apa bener anak bu Siti dirawat di rumah sakit?" tanya bu Lastri.
"Hehehe orang anak bu Siti itu sering pulang malam bu, saya sering mergoki," sahut bu Endang sambil memilih sayuran.
"Ah yang bener bu Endang?" tanya bu Sri.
"Loh masa saya bohong sih bu, saya sering lihat emang dia pulang malam, mungkin sudah kena pergaulan malam sama teman temanya." Sahut bu Endang.
Gosip yang aku dengar dari seorang tetangga juga kata mereka sering melihatku pulang malam. Itu memang benar karena pekerjaanku banyak dan ini adalah akhir tahun. Perusahaan tempatku bekerja melakukan stok opname barang di gudang kantor pusat. Aku sering lembur dan akhirnya jatuh sakit. Aku juga sering mendapatkan informasi dari salah satu tetangga kalau aku ini sering di gosipkan. Bagiku itu sudah biasa.
“Saya juga pernah lihat loh bu, beberapa kali si Dara itu pulang malam dianter mobil,” ucap salah satu warga desa Sukma Jaya yang berbelanja.
“Tuh kan, bukan cuman saya saja yang lihat,” timpal ibu Endang.
Menurut informasi yang aku terima dari salah satu ibu-ibu pagi itu para ibu-ibu sibuk bergosip di warung bu Sri. Tentu saja mereka menggosipkan aku yang sedang sakit ini. mereka merasa paling benar tidak tahu apakah aku sedang banyak kerjaan atau tidak main tuduh saja sembarangan. Aku kadang berdoa supaya mereka ketulah dengan apa yang mereka gosipkan.
“Mungkin si Dara itu lembur bu kerja bu, ya wajar pulang malam,” ucap bu Sri.
“Masa lembur hampir setiap hari sih, dia sampai masuk rumah sakit begitu jangan-janagn hamil karena sering kencan sampai larut malam baru pulang,” sahut bu Endang yang mulutnya lemes.
Hanya bu Lastri yang menurutku sedikit masih waras. Bahkan beberapa kali beliau membelaku dan mengingatkan bu Endang agar tidak sembarangan bicara dulu. Beliau sempat menelponku menanyakan sakit apa sehingga masuk rumah sakit. Pasti kan sakit parah kalau sampai masuk rumah sakit. Beliau juga menceritakan kalau ibu-ibu di desa Sukma Jaya sudah beramsumsi macam-macam tentangku. Aku jawab belum bisa memberikan penjelasan tapi jika bu Lastri mau bertanya bisa datang ke rumah sore hari saat ibuku sedang istirahat pulang.
“Tidak usah berucap yang menimbulkan fitnah dulu bu ibu, nanti sore saya coba ke rumah bu Siti dulu sebenarnya anaknya sakit apa,” ucap bu Lastri.
“Ya nggak bakal kalau ngaku anaknya sedang hamil toh bu Lastri, mana mungkin maling mau ngaku, kalau ngaku penjara penuh dong!” seru bu Endang.
“Hus bu Endang ini jangan asal bicara kalau ngomong, belum ada bukti juga bicara sembarangan kerjaannya,” sahut bu Lastri lagi.
Bu Latri menghubungiku kalau sore ini beliau ke rumahku tapi tidak ada orang yang menjawab saat mengetuk pintu rumahnya. Motor ayahku juga tidak ada beliau berpikir bahwa mungkin mereka masih di rumah sakit menjagaku. Aku jawab memang belum pulang masih di rumah sakit. Sedangkan adik-adikku sedang diungsikan di rumah nenek.
“Bagaimana bu Lasti, ada nggak orang di rumah, udah deh percaya sama saya, nggak ada orang dirumah pasti ada apa-apa yang disembunyikan,” ucap bu Endang yang tahu-tahu nongol.
“Astagfirllah bu Endang, kapan munculnya mengagetkan saya saja!” bentak bu Lastri.
Entah dari mana munculnya bu Endang. Bu Lasti berinisiatif untuk mengunjungi rumah sakit. Dia ingin menjengukku sendirian dulu sebelum memberikan informasi ke para ibu-ibu yang gemar begosip di desa Sukma Jaya ini. belum selesai bicara bu Endang sudah mengumumkan tentang akan menjenguk ke rumah sakit melalui aplikasi pengirim pesan kepada para ibu-ibu. Dalam sekejap ibu-ibu sudah berkumpul di depan rumah ibu Siti.
“Kita ke rumah sakit mana bu?” tanya bu Sri.
“Loh kok bu Sri sudah rapi dan ibu-ibu yang lain juga!” seru bu Lasti kaget.
“Kami di japri bu Endang katanya bu Lastri mau jenguk anak bu Siti, suruh kumpul di sini.” Jawab merek kompak.
Bu Lastri melirik bu Endang kesal. Sedangkan Bu Endang senyum-senyum kegirangan karena nanti di rumah sakit akan melihat sebuah pertunjukan. Dalam pikirannya bu Siti pasti malu karena anaknya hamil di luar nikah. Dia sudah berencana akan mengatakan pada bu Siti nanti jika benar aku sedang hamil karena sering pulang malam. Mendengar cerita seperti ini dari bu Lastri aku merasa semakin pusing kepalaku. Kenapa bisa sih aku mempunyai tetangga mulutnya lemes seperti itu.
“Kenapa toh bu Lastri ini melihat saya seperti ini, kalau jenguk bareng-bareng jangan sendirian, masa nanti kalau dapat informasi sendirian kita juga mau tahu sebenarnya sakit apaan anaknya bu Siti itu!” seru bu Endang.
Bu Lastri mendengus kesal karena ulah bu Endang ini yang selalu seenaknya, “Sebentar ya ibu-ibu saya konfoirmasi dulu ke bu Siti, anaknya dirawat di rumah sakit mana,” ucap bu Lastri.
~Bersambung~
Jadi certianya bu Lastri menghubungi ponsel ibuku. Tapi berhubung ibuku itu sedang ke kamar mandi aku yang angkat telepon itu. Beliau juga minta ijin karena ingin menjenguk aku yang sedang di rawat di rumah sakit. Kebiasan di desa Sukma Jaya ini memang masih memiliki rasa tenggang rasa walupun banyak tukang gosipnya. Mereka akan datang membesuk tetangganya yang sakit atau menolong tetangga yang kesusahan itulah sisi baiknya hidup di desa ini."Bu siti, apa benar anak ibu di rawat di rumah sakit, boleh kan kami menjenguk?” tanya bu Lastri lewat sambungan telepon.“Betul bu Lastri saya memang di rawat di rumah sakit, maaf ya saya yang angkat telepon ibu sedang berada di toilet,” jawabku.“Eh nak Dara, kata Doktter kamu sakit apa?” tanya bu Latri lagi.“Oh hanya kecapekan saja bu, saya ada telat makan, jadi lambung saya kena,” jawabku atas pertanyaan bu Lastri.Aku juga menegaskan kepada bu Lasti
Aku yang menjawab pertanyaan bu Endang itu. Tentu saja bu Endang belum pernah melihat teman-teman kerjaku sebelumnya karena semuanya bukan penduduk asli desa Sukma Jaya tempat tinggalku.“Mereka adalah teman-teman kerjaku bu Endang,” jawabku singkat.“Ayo-ayo silahkan masuk,” ajak Bu Endang.Aku memperhatikan gerak-gerik bu Endang yang mungkin mulutnya sudah gatal ingin bertanya banyak kepada teman-temanku. Beruntung bu Lastri berinisiatif mengajaknya pulang sebelum mengorek informasi lebih kepada teman kerjaku.“Bu Endang ayo kita pulang, gantian yang berkunjung. Kita kan sudah lama mengobrolnya,” ajak bu Lastri.“Loh kok buru-buru ngapain sih bu Lastri, saya belum selesai mengobrol dengan anak-anak uda ini. dandanan necis mirip sales panci ini pada kerja dimana. Bener to bu mereka ini berpakaian mirip sales panci yang suka keliling desa?!” ucap bu Endang asal saja.Aku ingin marah mendengar u
Menurut informasi yang aku dengar dari tetangga Bu Endang membawa anaknya untuk periksa ke Dokter. Keluhan yang dia rasakan adalah mual muntah, kepala pusing seperti penyakit lambung yang aku alami beberapa hari lalu karena kecapekan kerja dan telat makan.“Dokter kok antrenya ngalahin antre sembako ya ma,” ucap Fitri sambil menahan mual.“Namanya juga Dokternya terkenal bukan Dokter abal-abal ya ngantri lah Fit, kamu ini gimana,” balas bu Endang.Fitri ke toilet karena tidak tahan dengan mualnya. Dia lemas di dalam toilet dan mengingat apa yang ia lakukan. Ia sampai ketakukan sendiri tidak berani segera keluar toilet. Sampai bu Endang menggedor pintunya karena sebentar lagi gilirannya periksa.“Fitri kamu tidak pingsan di toilet ‘kan, jangan buat mama khawatir sebentar lagi giliranmu periksa loh,” ucap bu Endang dari luar toilet.“Enggak kok ma Fitri baik-baik saja, tunggu sebentar ya,” jawab F
Aku sudah sampai rumah segera mandi dan ganti baju. Dari balik kamarku terdengar gosip kalau bu Endang sedang bertengkar dengan suaminya. Ia protes karena tak tega mendengar Fitri menangis dan tidak betah berada di pondok pesantren. Waktu telepon dengan keluarga juga terbatas. Bu Endang dan pak Nurdin beradu debat masalah ini.“Ibu nggak mau tahu pak, pindahkan Fitri ke sekolah agama dekat sini saja, nggak perlu di pesantren segala. Bapak nggak kasihan sama anak?!” seru bu Endang.“Ibu sendiri toh yang bilang ke tetangga kalau anak kita sedang memperdalam ilmu agama, kenapa sekarang berubah pikiran,” jawab pak Nurdin.“Memperdalam ilmu agama nggak harus ke pesantren ‘kan pak, sekarang banyak berdiri sekolah agama terpadu kok,” balas bu Endang.“Ibu kalau terus-terusan membela Fitri yang berbuat salah. Bapak masukkan ibu ke pesantren saja sekalian biar enggak ngegosip saja kerjaannnya sama tetangga, kalau sud
Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa ditambah atau dikurangai. Aku memang menunggu Rendi anaknya bu Lastri di depan gang. Kenapa tidak di rumah karena Rendi dari arah tempat kerjanya jika harus pulang masuk gang menjemputku masuk gang itu akan sangat merepotkan bukan?“Begitu ceritanya pak RT dan warga sekalian, lagipula kami sudah menjelaskan kepada bu Endang kenapa bertemu di depan gang,” ucapku.“Dara betul pak kami memang janjian berangkat ke kampus bersama. Hari ini kami pertama masuk itu juga bu Endang sudah tahu. Beliau kan suka kepo sama urusan orang. Kenapa jadi malah bertengkar dengan ibu saya?” tanya Rendi.Warga yang mendengar klarifikasiku dan Rendi langsung langsung menyoraki bu Endang yang emang pembawa malapetaka alias tukang fitnah yang tidak jelas sehingga menyebabkan keributan di rukun tetangga sini. Untung pak RT di sini bisa menjadi penengah dan tidak membela salah satu pihak.“Tenang bapak-b
Aku tertawa mendengar pertanyaan pak Nurdin ke istrinya. Ya sudah pastilah pak istrinya kepanasan kalau enggak kenapa julid terus minta pasang dirumah. Eit tunggu biasanya kalau sedang bertengkar dengan suami atau permintaanya tidak keturutan bu Endang tetanggaku itu akan membuat ulah. Kira-kira akan membuat ulah apa ya?“Dara ini mangga dari kampung, saya bagi sedikit ya daripada nggak kemakan,” ucap bu Sri.“Wah terima kasih ya bu Sri, semoga rejekinya semakin berkah,” jawabku.“Amin sama-sama Dara, saya kan sering ngerepotin ibumu, jadi ya ada sedikit rejeki saya bagi,” balas bu Sri lagi.Bu Sri sudah berjalan meninggalkan rumahku. Aku lihat bu Sri berjalan ke rumah bu Arum dan bu Lastri. Namanya bertetangga kan emang rumahnya berdekatan. Waduh sepertinya mangga yang bu Sri tadi bawa sudah habis.“Loh bu Sri kok nggak ke rumah bu Endang?” gumamku.“Kenapa toh Dar?” tanya ibuku ya
Ibuku menghela nafas panjang lalu mengucapkan kata yang membuatku tidak habis pikir. Ibuku berkata jika sampai bu Endang menggosipkanku akan mendoakan balik supaya terjadi pada anaknya sendiri. Ibuku ingin lihat bagaimana bu Endang mengatasi masalah jika anaknya sendiri yang hamil di luar nikah.“Sudah biarkan saja Dara, nanti juga kena karma sendiri. Kalau misal omongannya balik ke anaknya sendiri apakah juga akan bu Endang akan menggosipkannya juga,” jawab ibuku yang terlihat kesal.“Yah tapi ‘kan ya tidak enak bu menjadi bahan gosip sedangkan kita sendiri tidak dalam posisi itu gitu loh bu,” balas ku.Yah ibuku memang benar tidak perlu menanggapi bu Endang yang suka menggosip itu. Cukup doakan saja supaya lekas tobat dan tidak lagi menggosipkan tetangga yang belum tentu benar adanya. Takutnya suatu hari mendapatkan karma akan gila sendiri. Aku pamit ke rumah bu Lastri karena ada yang akan aku diskusikan dengan Rendi.&ldqu
Aku malas meladeni pertanyaan dari bu Endang ini. jam sepuluh malam seperti ini kenapa masih berada di luar rumah. Aku merasa bu Endang cocok menjadi hansip karena dua malam seperti ini masih ngurusin urusan tetangganya.“Saya baru pulang kuliah bu, ibu sendiri jam segini diluar rumah sedang apa?” jawabku.“Kuliah apa jam segini baru pulang kerja, kamu jangan bohong Dara sama saya bilang saja kalau habis kencan sama pacar kamu pulang sampai larut malam. Kalau saya keluar karena sedang lapar beli nasi goreng,” celetuk bu Endang.Ku hembuskan nafas panjang agar tidak tersulut emosi mendengar perkataan bu Endang ini. ku ucapkan permisi agar terkesan masih sopan terhadap beliau yang lebih tua. Terserah deh mau berkata apa lagi itu bu Endang yang maha tahu segalanya. Percuma juga di jelasin nggak bakal percaya juga.Kunikmati kerja dipagi hari dan kuliah disore hari selama empat hari ini. Rasanya memang lelah dibadan tapi ini kan sudah
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal