Sebuah mobil CRV hitam terhenti pada kafe di pinggiran jalan kota yang terletak di tengah-tengah plaza dan pusat perbelanjaan. Bayang-bayang Safa yang telah ia lecehkan secara fisik maupun seksual terus menghantui pikirannya.
Arjuna ingat, malam itu ia hanya meninggalkan jas untuk menutupi tubuhnya karena pakaian Safa rusak oleh ulahnya. Sempat merasakan kepuasan, namun batinnya mendadak tak tenang. Ada saja waktu yang mengantarkannya untuk mengingat Safa.
Bahkan Arjuna juga sedikit merasa menyesal telah membuat Safa kehilangan kesuciannya, seharusnya sejak awal Arjuna membunuhnya saja jika memang sudah terlanjur kesal.
Mungkin karena Arjuna takut jika Safa akan menjebloskannya ke penjara? Oh, tapi sejak awal Arjuna sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Bukankah Arjuna punya banyak lawyer yang bisa membelanya. Bermodalkan uang yang banyak, Arjuna bisa menyewa pengacara-pengacara hebat untuk membebaskannya dari tuntutan.
Ia memutuskan untuk menunggu di luar kafe, berharap bisa melihat Safa dari kejauahan dari balik kaca mobil. Namun Arjuna memang tak pandai dalam urusan menunggu, ia tipe orang yang tidak sabaran dalam segala hal. Akhirnya ia masuk ke dalam berpura-pura datang sebagai pelanggan.
Tidak terlalu buruk juga bersantai di sini sejenak dari jam kantor yang melelahkan. Tempatnya lumayan cozy dan interiornya didonimasi warna cokelat berunsur modern namun terlihat sederhana. Kekurangan tempat seperti ini hanya satu bagi Arjuna, ia tidak menemukan kedamaian di sini. Tempat ini terlalu ramai dan berisik.
"Permisi, mau pesan apa mas?" Seorang laki-laki bertubuh besar datang menghampirinya dengan sebuah buku catatan kecil dan pensil yang selalu menggantung di lehernya.
Pria itu lama menjawab dan sedikit kebingungan karena memang ia tak berniat memesan apapun. "Bisa lihat menunya? Saya baru pertama kali datang ke sini." Ucapnya sedikit dingin. Pelayan sekaligus pemilik kafe, bernama Dimas itu menyodorkan selembar menu kepada Arjuna.
Singkat, Arjuna menunjuk satu menu minuman tanpa melihat namanya. "Ada lagi?" Arjuna menggeleng, "Cukup."
"Baik, tunggu sebentar." Tatapan tajam dari manik Arjuna terus mengikuti langkah dari pelayan itu pergi. Ia yakin, jika orang tadi tahu tentang keberadaan Safa. Tidak untuk sekarang, ia harus mencari waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu padanya.
Arjuna mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kafe terutama area dapur, tak ada pelayan lain selain laki-laki tadi, apalagi Safa.
Saking sibuk mencari sosok Safa, Arjuna tak menyadari jika pesanannya sudah sampai di mejanya. "Selamat menikmati."
Tanpa basa-basi Arjuna langsung meminum mocacino yang dipesannya karena haus. Refleks Juna menjulurkan lidahnya, rasa manis dari mocacino yang sangat tidak ia sukai. "Minuman apa ini?" Rasanya Arjuna telah salah memesan minuman untuknya karena tidak sesuai selera.
"Mas!" Arjuna melambaikan tangannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Dimas lagi yang datang, membuat Arjuna menghembuskan napas berat.
"Saya ingin bertanya, kemana perempuan yang bekerja di sini?" Dimas mengkerutkan kening, "Safa?" Arjuna mengangguk, "Iya, di mana dia?"
"Safa sudah dua hari tidak masuk kerja, alasannya saya juga tidak tahu. Mungkin sakit, tapi saya belum dapat kabar apapun darinya."
"Atau mungkin sudah dapat pekerjaan baru." Jelasnya yang juga penasaran kenapa Safa dua hari ini tidak masuk kerja, jika memang sudah dapat pekerjaan baru seharusnya Safa menghubunginya sebagai teman yang baik.
"Mas ini kalau boleh tahu siapanya Safa?"
"Saya... Mantan atasannya Safa."
"Kalau begitu coba saja datangi rumahnya, jika sakit tolong kabari saya karena saya juga temannya." Arjuna tidak menanggapi ia kemudian membayar tagihan dan keluar dari kafe membuat Dimas menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
Keluar dari kafe, Arjuna pergi menuju rumah Safa. Daerah padat penduduk, rumah dan pertokoan yang berhimpitan membuat Arjuan miris. Arjuan menemukan kontrakan dengan nomor yang sesuai alamat yang pernah Safa cantumkan untuk melamar pekerjaan.
TOK... TOK... TOK
"Permisi, ada orang di dalam?"
TOK... TOK... TOK
Tak lama suara orang membuka pintu dari dalam sepertinya seorang perempuan. "Ada apa?"
"Saya cari Safa Rizka Amalia, apa benar ini tempat tinggalnya?" Gadis yang kira-kira berumur 20 tahun itu mengamati Arjuna dari atas sampai bawah dengan kekaguman. Namun ia segera menemukan kesadarannya. "Iya betul, anda siapa?"
"Saya ada urusan dengan Safa." Rima menghela napas, ditanya apa jawabnya apa sudah pasti bukan orang baik dilihatnya saja sudah sombong..
"Safa sedang sakit dan tidak bisa diganggu." Jelasnya dengan suara masih sopan dan lembut.
"Tapi saya ada urusan dengannya, saya atasannya." Rima memandang dengan sinis, karena pria yang ada di hadapannya terlihat angkuh dan sedikit memaksa."Mohon maaf pak, Safa sedang tidak bisa diganggu jadi silahkan anda pergi."
Arjuna memaksa masuk hingga Rima harus sekuat tenaga mendorongnya supaya keluar. "Anda maksa?! Mau saya laporkan pada warga?! Di sini penghuninya perempuan anda tidak punya sopan santun ya?! " Sentaknya yang sudah sebal dengan sikap Arjuna yang dinilai kurang sopan.
"Kamu ancam saya?!" Rima mundur ketika Arjuna selangkah maju seraya melayangkan tatapan menusuknya. Tapi Rima tak gentar, ia terus mempertahankan kewarasnnya, berdiri di depan pintu agar Arjuna tidak menerobos masuk ke dalam. "IYA SAYA LAGI NGANCAM! KENAPA?! SAYA BISA TERIAK SUPAYA WARGA DATANG DAN KEROYOK ANDA!" Ancamnya dengan muka nyolot serta mata yang terlihat mau keluar.
"ANDA INI TIDAK PUNYA TATA KRAMA YA?! BAJU DOANG KEREN KELAKUAN KAYAK BINATANG MAIN SELONONG MASUK KE RUMAH PEREMPUAN!" Dengusnya sambil berkacak pinggang di tengah-tengah pintu masuk. Rima memamg tipe perempuan badas yang tidak kenal takut meski dengan lawan gendernya.
"SEKARANG PERGI SEBELUM SAYA BENAR-BENAR SURUH WARGA UNTUK MATAHIN TULANG-TULANG ANDA!" Lantangnya membuat Arjuna menyerah, ia tak mau mati konyol karena dikeroyok warga. Lagipula, Arjuna punya urusan dengan Safa bukan dengan bocah ingusan yang ada di depannya itu. Arjuna melonggarkan dasinya karena gerah setelah mendapat banyak bentakkan dari remaja ingusan yang ada di hadapannya itu. Seumur hidup mungkin baru kali ini terjadi dalam hidup Arjuna. Rima masih setia berdiri menghadang Arjuna, menunggu sampai pria itu pergi dari kontrakan kecilnya sambil terus mempertahankan wajah judesnya itu.
Arjuna kemudian pergi, setelah melayangkan tatapan tajamnya ke arah Rima. "Akan kupastikan masa depanmu buruk." Bisiknya namun Rima masih bisa mendengar dengan jelas, ia hampir saja melemparkan sendal karetnya pada punggung pria yang sudah menjauh itu.
Rima kembali masuk ke kamar dan melihat pemandangan yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Melihat Safa dengan duduk melamun sambil memeluk lututnya di atas tempat tidur. Sudah beberapa hari ini Safa tak mau makan atau melakukan aktifitas normal lainnya. Tatapannya terlihat kosong, sesekali keluar cairan bening keluar dari kedua samudera indahnya menggambarkan begitu buruk suasana hatinya. Safa sudah terlihat seperti mayat hidup karena tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun.
"Mbak, Rima pergi ke kampus sebentar ada kumpul organisasi. Nasinya jangan lupa dimakan." Rima sebetulnya ragu meninggalkan Safa sendirian tapi kegiatan kampus memaksanya untuk pergi.
Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. "Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" SREETT Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" Di dunia ini hal yang paling membosan
Tanpa membalas pertanyaan Renita, Arjuna tetap melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di sana ia meninggalkan Mamanya dan meminta supir untuk mengantarkannya pulang sebelum ia mendatangi tempat tadi.Sesuatu telah menarik Arjuna untuk datang kembali menemui Safa yang sudah dalam puncak kehancurannya.Layaknya tertusuk belati, dadanya terasa sesak, seiring langkah tangguhnya mendekati Safa yang masih menutup mata. Aura sedingin es memenuhi ruangan ketika Arjuna mendekat dan bersuara."Safa kenapa?"Rima seketika menegang ketika mendengar suara berat yang masih tersimpan di memori otaknya dengan kejadian waktu itu. Pria menyebalkan itu rupanya masih tak kapok sudah dihadiahi semprotan tajam darinya meski baru pertama kali bertemu."Kamu?!" Padahal baru saja melihat wajah tampan Arjuna, Rima langsung memasang tampang judesnya. Entah kenapa insting Rima mengatakan jika Arjuna bukanlah pria baik-baik meskipun memiliki wajah rupawan.
"Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas. Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua. Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar. Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan pen
: KekecewaanSepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran."Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyaya
: Rencana Keji "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan."Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya."Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas."Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang."Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih.Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekali
Pembalasan Dendam Arjuna! Aroma tanah basah membuat Safa terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kuyup akibat hujan yang turun semalaman. Safa dapat merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya. Tubuh Safa masih sangat lemas, ia berusaha menyadarkan diri dari apa yang sedang terjadi padanya. Yang pertama kali ia lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit yang masih hitam. Mungkin hari sudah hampir pagi saat ini, sama sekali tak terlihat bintang di langit yang berkabut itu hanya ada bulan yang bersembunyi di balik kabut putih. Perlahan ingatan kejadian beberapa jam yang lalu bermunculan. Safa ingat, orang terakhir yang ia temui Arjuna. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan dan Safa masih dalam pengawasannya sampai detik ini.Safa tidak bisa bergerak karena kedua tangannya diikat ke belakang. Bawahannya memakai rok span selutut yang lumayan ketat sehingga menambah kesulitan untuk bergerak."Tolong!
Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sep
Tanpa membalas pertanyaan Renita, Arjuna tetap melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di sana ia meninggalkan Mamanya dan meminta supir untuk mengantarkannya pulang sebelum ia mendatangi tempat tadi.Sesuatu telah menarik Arjuna untuk datang kembali menemui Safa yang sudah dalam puncak kehancurannya.Layaknya tertusuk belati, dadanya terasa sesak, seiring langkah tangguhnya mendekati Safa yang masih menutup mata. Aura sedingin es memenuhi ruangan ketika Arjuna mendekat dan bersuara."Safa kenapa?"Rima seketika menegang ketika mendengar suara berat yang masih tersimpan di memori otaknya dengan kejadian waktu itu. Pria menyebalkan itu rupanya masih tak kapok sudah dihadiahi semprotan tajam darinya meski baru pertama kali bertemu."Kamu?!" Padahal baru saja melihat wajah tampan Arjuna, Rima langsung memasang tampang judesnya. Entah kenapa insting Rima mengatakan jika Arjuna bukanlah pria baik-baik meskipun memiliki wajah rupawan.
Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. "Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" SREETT Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" Di dunia ini hal yang paling membosan
Sebuah mobil CRV hitam terhenti pada kafe di pinggiran jalan kota yang terletak di tengah-tengah plaza dan pusat perbelanjaan. Bayang-bayang Safa yang telah ia lecehkan secara fisik maupun seksual terus menghantui pikirannya.Arjuna ingat, malam itu ia hanya meninggalkan jas untuk menutupi tubuhnya karena pakaian Safa rusak oleh ulahnya. Sempat merasakan kepuasan, namun batinnya mendadak tak tenang. Ada saja waktu yang mengantarkannya untuk mengingat Safa.Bahkan Arjuna juga sedikit merasa menyesal telah membuat Safa kehilangan kesuciannya, seharusnya sejak awal Arjuna membunuhnya saja jika memang sudah terlanjur kesal.Mungkin karena Arjuna takut jika Safa akan menjebloskannya ke penjara? Oh, tapi sejak awal Arjuna sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Bukankah Arjuna punya banyak lawyer yang bisa membelanya. Bermodalkan uang yang banyak, Arjuna bisa menyewa pengacara-pengacara hebat untuk membebaskannya dari tuntutan.Ia memu
Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sep
Pembalasan Dendam Arjuna! Aroma tanah basah membuat Safa terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kuyup akibat hujan yang turun semalaman. Safa dapat merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya. Tubuh Safa masih sangat lemas, ia berusaha menyadarkan diri dari apa yang sedang terjadi padanya. Yang pertama kali ia lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit yang masih hitam. Mungkin hari sudah hampir pagi saat ini, sama sekali tak terlihat bintang di langit yang berkabut itu hanya ada bulan yang bersembunyi di balik kabut putih. Perlahan ingatan kejadian beberapa jam yang lalu bermunculan. Safa ingat, orang terakhir yang ia temui Arjuna. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan dan Safa masih dalam pengawasannya sampai detik ini.Safa tidak bisa bergerak karena kedua tangannya diikat ke belakang. Bawahannya memakai rok span selutut yang lumayan ketat sehingga menambah kesulitan untuk bergerak."Tolong!
: Rencana Keji "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan."Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya."Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas."Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang."Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih.Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekali
: KekecewaanSepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran."Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyaya
"Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas. Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua. Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar. Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan pen