: Kekecewaan
Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.
Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran.
"Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyayang yang sangat menghormati perempuan. Safa sampai tak percaya jika Zhafran telah selingkuh. Pada akhirnya yang memutuskan hubungan adalah Zhafran dengan alasan ia telah mencintai perempuan lain.
"Apa kesalahanku mas?! Kenapa kamu malah pergi dengan perempuan lain?!"
"Aku mencintainya, lebih dari perasaanku padamu sa," Tiada kata maaf yang Zhafran ucapkan, ia tak menyesali keputusannya untuk berpaling dari Safa.
Meski begitu, rasanya Safa tak pernah rela melepaskan Zhafran begitu saja.
"Mas, adikmu jahat! Kenapa dia katakan bahwa aku yang membunuhmu? Jangankan mengambil nyawamu, membunuh perasaanku padamu saja aku tidak sanggup." Tangisnya berberai di ruangan kecil itu, hingga menjelang menjelang malam.
Matanya masih sembab karena menangis lagi semalaman. Seharian itu Safa tak menyapa Rima karena mengunci diri di kamar, bahkan Rima mengira Safa masih berada di tempat kerjanya. Ia baru mengetahui Safa ada di dalam kamar karena suara dering ponsel ketika Rima meneleponnya.
"Mbak Safa kenapa matanya sembab?" Tanya Rima ketika Safa sedang meneguk air putih dalam gelas.
"Tidak pergi kerja mbak?" Safa menggeleng, air matanya ingin mengalir lagi.
"Bukannya sudah diterima? Atau kesalahan informasi?" Tanya Rima terus menerus. Ditatapnya wajah sedikit tembam dan lugu itu dengan serius, meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah. "Aku mengundurkan diri."
Bola mata Rima membelalak, terkejut. "Kenapa mbak bukannya mbak suka pekerjaan itu?"
"Iya aku suka, tapi sepertinya atasanku tak menyukaiku. Tatapannya seperti ingin membunuh padahal baru pertama kali bertemu." Sungguh, kesan pertama mengenal atasannya membuat Safa tidak mau lagi datang ke Phionext Magazine. Kini ia sudah tahu bahwa citra sohor yang menghormati kesetaraan gender hanya tipuan belaka. Nyatanya pimpinannya saja tidak bisa menghargai perempuan.
"Yang benar mbak?!"
"Kalau tidak melakukan kesalahan tentu saja aneh. Sudah mbak, jangan dipikirkan pasti ada gantinya." Lanjutnya semabari mengelus punggung Safa untuk menguatkannya.
Ditatapnya sendu gelas plastik yang berada di meja. Safa bersedih bukan karena tidak dapat pekerjaan tapi kabar kematian Zhafran yang sangat mendadak ia ketahui.
"Jadi mbak Safa sedih karena itu, ya?"
"Bukan juga."
"Lalu karena apa?" Safa menatap lagi wajah Rima dengan air mata yang terlanjur mengalir. "Mas Zhafran. Mas Zhafran meninggal." Tangis Safa membuncah ke sekian kali. Rima kemudian memeluknya. Hanya Rima satu-satunya orang yang bisa menguatkannya saat ini ketika ia jauh dari kedua orang tuanya. Safa juga bingung, apa yang harus ia jelaskan pada kedua orang tuanya jika ia resign di hari pertamanya kerja. Rasanya tak mungkin jika ia menceritakan perlakuan buruk atasannya itu.
"Yang sabar mbak, doakan khusnul khatimah."
Hari-hari yang gelap itu, lama-kelamaan sirna. Kesedihan adalah sesuatu yang sementara meskipun kejadian pahitnya tak pernah bisa dilupakan. Safa mulai menata kembali hidup dan masa depannya. Safa mulai mencari lowongan pekerjaan baru melalui online maupun datang ke perusahaannya langsung.
Safa cukup tahu diri untuk kembali ke kantor itu, meskipun di kampung kedua orang tuanya sangat berharap ia mendapatkan pekerjaan yang bagus untuk membantu perekonomian mereka.
Tak terasa sudah hampir seminggu Safa berkeliling kota untuk mencari lowongan pekerjaan namun tak ada yang mau menerimanya. Rasanya semakin bosan dan pasrah saja. Entah syaratnya dipersulit atau dengan alasan ketidaksesuaian dengan perusahaan yang dilamar. Safa sampai bingung, jika perusahaan terkenal saja bisa menerimanya lalu kenapa yang lainnya tidak?
Impiannya kini sebatas angan yang harus ia kubur dalam-dalam. Mengetahui kematian mantan kekasih membuatnya semakin terpukul, kini masalah berat menimpanya secara bersamaan.
Kemarin-kemarin sudah puas rasanya Safa menangis meratapi kepergian Zhafran. Bahkan sebatas ingin mengucap salam perpisahan saja tak bisa karena Safa tak tahu di mana kuburannya.
Safa mengembuskan napas kasar kesekian kali. Tenggorokannya terasa kering, sejak pagi mencari pekerjaan tak ada yang kunjung mau menerimanya. Sebotol air mineral telah tandas ia minum di bawah terik sinar matahari yang berada tepat di atas puncak kepalanya.
Safa sudah enggan masuk ke Phionext Magazine yang nyatanya begitu merendahkan perempuan sepertinya. Syukur-syukur ada perusahaan baru yang mau menampungnya saat ini. Namun sayangnya, sejak tadi lamarannya ditolak tanpa ada alasan yang jelas.
Entah karena pimpinan redaksi yang kejam padanya, menghalalkan segala cara agar tak ada perusahaan yang mau menerima dirinya?
Sehebat itukah seorang Arjuna?
"Ah, mana mungkin pasti hanya pikiranku saja." Pikirnya sambil berusaha menghilangkan pikiran buruk yang ada di kepalanya.
Safa berhenti sejenak untuk beristirahat. Ia duduk di kursi yang berada di trotoar jalan. Kini Jakarta semakin bagus dan rapih saja, disekelilingnya sudah mulai terlihat bersih tanpa ada pedagang kaki lima yang mangkal di sana. Namun kemajuan itu membuat Safa semakin merasa tertinggal, semuanya jadi terasa lebih menyulitkan baginya.
"Hei Safa!" Safa yang tadinya menunduk, menoleh ketika mendengar suara itu.
"Iya betul, Safa." Tebaknya ketika melihat wajah Safa yang terkena terpaan sinar matahari.
Safa menyipit untuk memperjelss wajah Dimas yanh tak bisa ia lihat dengan jelas karena silau."Dimas?"
Dimas, teman SMA nya yang sekarang sudah sukses berkarir di bidang kuliner. Wajahnya sedikit bulat dan perutnya buncit karena hobinya menyicip masakan dan memasak. Berkat bantuan kacamata membuat dirinya masih terlihat awet muda, masih sama seperti saat masa sekolah dulu.
"Ngapain?"
"Duduk santai." Balasnya sambil tersenyum. "Panas-panas begini duduk santai di trotoar?" Safa tersenyum, lebih tepatnya meringis.
"Lebih baik mampir di kafe ku, yuk?" Safa menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Safa hanya punya uang untuk makannya selama sebulan ini, itupun ia dapatkan dari sisa uang beasiswa semester terakhir. Cukup untuk menyambung hidup dengan menu makan sederhana, biaya skincare juga perlu, belum lagi jika ada keperluan mendadak. Sayang sekali jika uangnya terpakai untuk bersantai di kafe yang jelas tak akan membuatnya kenyang.
"Eng-gak dulu deh," Katanya sungkan.
"Ayolah, gratis kupon makan teman lama." Dimas menarik lengan Safa sehingga ia tak bisa mengelak lagi. Safa hanya bisa garuk-garuk kepala, Dimas mengajaknya entah karena terlihat jelas kalau Safa lagi susah atau bagaimana.
Sementara itu, diam-diam seseorang memperhatikan mereka dari kaca mobil. Rupanya sejak awal, Safa telah diikuti oleh seseorang.
Seringaian jahat ditunjukkan kepada kedua orang yang berada jauh dari posisinya sekarang."Rupanya benar, mantan kekasihmu itu perempuan murahan.”
: Rencana Keji "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan."Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya."Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas."Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang."Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih.Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekali
Pembalasan Dendam Arjuna! Aroma tanah basah membuat Safa terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kuyup akibat hujan yang turun semalaman. Safa dapat merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya. Tubuh Safa masih sangat lemas, ia berusaha menyadarkan diri dari apa yang sedang terjadi padanya. Yang pertama kali ia lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit yang masih hitam. Mungkin hari sudah hampir pagi saat ini, sama sekali tak terlihat bintang di langit yang berkabut itu hanya ada bulan yang bersembunyi di balik kabut putih. Perlahan ingatan kejadian beberapa jam yang lalu bermunculan. Safa ingat, orang terakhir yang ia temui Arjuna. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan dan Safa masih dalam pengawasannya sampai detik ini.Safa tidak bisa bergerak karena kedua tangannya diikat ke belakang. Bawahannya memakai rok span selutut yang lumayan ketat sehingga menambah kesulitan untuk bergerak."Tolong!
Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sep
Sebuah mobil CRV hitam terhenti pada kafe di pinggiran jalan kota yang terletak di tengah-tengah plaza dan pusat perbelanjaan. Bayang-bayang Safa yang telah ia lecehkan secara fisik maupun seksual terus menghantui pikirannya.Arjuna ingat, malam itu ia hanya meninggalkan jas untuk menutupi tubuhnya karena pakaian Safa rusak oleh ulahnya. Sempat merasakan kepuasan, namun batinnya mendadak tak tenang. Ada saja waktu yang mengantarkannya untuk mengingat Safa.Bahkan Arjuna juga sedikit merasa menyesal telah membuat Safa kehilangan kesuciannya, seharusnya sejak awal Arjuna membunuhnya saja jika memang sudah terlanjur kesal.Mungkin karena Arjuna takut jika Safa akan menjebloskannya ke penjara? Oh, tapi sejak awal Arjuna sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Bukankah Arjuna punya banyak lawyer yang bisa membelanya. Bermodalkan uang yang banyak, Arjuna bisa menyewa pengacara-pengacara hebat untuk membebaskannya dari tuntutan.Ia memu
Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. "Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" SREETT Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" Di dunia ini hal yang paling membosan
Tanpa membalas pertanyaan Renita, Arjuna tetap melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di sana ia meninggalkan Mamanya dan meminta supir untuk mengantarkannya pulang sebelum ia mendatangi tempat tadi.Sesuatu telah menarik Arjuna untuk datang kembali menemui Safa yang sudah dalam puncak kehancurannya.Layaknya tertusuk belati, dadanya terasa sesak, seiring langkah tangguhnya mendekati Safa yang masih menutup mata. Aura sedingin es memenuhi ruangan ketika Arjuna mendekat dan bersuara."Safa kenapa?"Rima seketika menegang ketika mendengar suara berat yang masih tersimpan di memori otaknya dengan kejadian waktu itu. Pria menyebalkan itu rupanya masih tak kapok sudah dihadiahi semprotan tajam darinya meski baru pertama kali bertemu."Kamu?!" Padahal baru saja melihat wajah tampan Arjuna, Rima langsung memasang tampang judesnya. Entah kenapa insting Rima mengatakan jika Arjuna bukanlah pria baik-baik meskipun memiliki wajah rupawan.
"Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas. Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua. Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar. Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan pen
Tanpa membalas pertanyaan Renita, Arjuna tetap melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di sana ia meninggalkan Mamanya dan meminta supir untuk mengantarkannya pulang sebelum ia mendatangi tempat tadi.Sesuatu telah menarik Arjuna untuk datang kembali menemui Safa yang sudah dalam puncak kehancurannya.Layaknya tertusuk belati, dadanya terasa sesak, seiring langkah tangguhnya mendekati Safa yang masih menutup mata. Aura sedingin es memenuhi ruangan ketika Arjuna mendekat dan bersuara."Safa kenapa?"Rima seketika menegang ketika mendengar suara berat yang masih tersimpan di memori otaknya dengan kejadian waktu itu. Pria menyebalkan itu rupanya masih tak kapok sudah dihadiahi semprotan tajam darinya meski baru pertama kali bertemu."Kamu?!" Padahal baru saja melihat wajah tampan Arjuna, Rima langsung memasang tampang judesnya. Entah kenapa insting Rima mengatakan jika Arjuna bukanlah pria baik-baik meskipun memiliki wajah rupawan.
Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. "Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" SREETT Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" Di dunia ini hal yang paling membosan
Sebuah mobil CRV hitam terhenti pada kafe di pinggiran jalan kota yang terletak di tengah-tengah plaza dan pusat perbelanjaan. Bayang-bayang Safa yang telah ia lecehkan secara fisik maupun seksual terus menghantui pikirannya.Arjuna ingat, malam itu ia hanya meninggalkan jas untuk menutupi tubuhnya karena pakaian Safa rusak oleh ulahnya. Sempat merasakan kepuasan, namun batinnya mendadak tak tenang. Ada saja waktu yang mengantarkannya untuk mengingat Safa.Bahkan Arjuna juga sedikit merasa menyesal telah membuat Safa kehilangan kesuciannya, seharusnya sejak awal Arjuna membunuhnya saja jika memang sudah terlanjur kesal.Mungkin karena Arjuna takut jika Safa akan menjebloskannya ke penjara? Oh, tapi sejak awal Arjuna sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Bukankah Arjuna punya banyak lawyer yang bisa membelanya. Bermodalkan uang yang banyak, Arjuna bisa menyewa pengacara-pengacara hebat untuk membebaskannya dari tuntutan.Ia memu
Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sep
Pembalasan Dendam Arjuna! Aroma tanah basah membuat Safa terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kuyup akibat hujan yang turun semalaman. Safa dapat merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya. Tubuh Safa masih sangat lemas, ia berusaha menyadarkan diri dari apa yang sedang terjadi padanya. Yang pertama kali ia lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit yang masih hitam. Mungkin hari sudah hampir pagi saat ini, sama sekali tak terlihat bintang di langit yang berkabut itu hanya ada bulan yang bersembunyi di balik kabut putih. Perlahan ingatan kejadian beberapa jam yang lalu bermunculan. Safa ingat, orang terakhir yang ia temui Arjuna. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan dan Safa masih dalam pengawasannya sampai detik ini.Safa tidak bisa bergerak karena kedua tangannya diikat ke belakang. Bawahannya memakai rok span selutut yang lumayan ketat sehingga menambah kesulitan untuk bergerak."Tolong!
: Rencana Keji "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan."Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya."Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas."Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang."Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih.Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekali
: KekecewaanSepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran."Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyaya
"Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas. Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua. Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar. Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan pen