Tanpa membalas pertanyaan Renita, Arjuna tetap melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di sana ia meninggalkan Mamanya dan meminta supir untuk mengantarkannya pulang sebelum ia mendatangi tempat tadi.
Sesuatu telah menarik Arjuna untuk datang kembali menemui Safa yang sudah dalam puncak kehancurannya.
Layaknya tertusuk belati, dadanya terasa sesak, seiring langkah tangguhnya mendekati Safa yang masih menutup mata. Aura sedingin es memenuhi ruangan ketika Arjuna mendekat dan bersuara.
"Safa kenapa?"
Rima seketika menegang ketika mendengar suara berat yang masih tersimpan di memori otaknya dengan kejadian waktu itu. Pria menyebalkan itu rupanya masih tak kapok sudah dihadiahi semprotan tajam darinya meski baru pertama kali bertemu.
"Kamu?!" Padahal baru saja melihat wajah tampan Arjuna, Rima langsung memasang tampang judesnya. Entah kenapa insting Rima mengatakan jika Arjuna bukanlah pria baik-baik meskipun memiliki wajah rupawan.
"Ku tanya sekali lagi, Safa kenapa?" Tanyanya kali ini dengan penuh penekanan.
"Dia telah menyayat tangannya sendiri dengan pisau." Arjuna berjalan mendekati Safa yang masih pulas karena efek obat tidur, kemudian meraih tangannya yang diperban. Ini jelas bukan inginnya, lagi-lagi sesuatu yang aneh memerintahnya untuk mengasihani perempuan lemah itu.
"Berani sekali kamu menyentuh tangannya?!" Rima dengan berani menyingkirkan tangan Arjuna yang memegang tangan Safa. Iya yakin jika Safa bangun, ia juga akan melakukan hal yang sama menjauhi pria itu. Karena ia kenal betul Safa adalah perempuan yang sangat menghindari kontak fisik bahkan dengan kekasihnya sendiri, itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwa Safa adalah perempuan baik-baik yang sangat menjaga harga diri dan tubuhnya.
"Siapa kamu?! Mau apa?! " Pria itu membalas menatap membuat Rima sedikit goyah karena hunusan tajam dari kedua netra pria itu."Bukan urusanmu!" Acuhnya menantang Rima untuk semakin meladeninya.
"Kalau begitu keadaan Safa juga bukan urusanmu! Sekarang pergi dari sini!" Rima mendorong Arjuna hingga ia mundur beberapa langkah, keberanian itu Rima dapatkan karena ia tak pernah tahu siapa Arjuna sebenarnya.
Juga berbekal bela diri yang ia pelajari semasa sekolah dan kuliah ia ingin melindungi dirinya sendiri dan orang sekitarnya jika sudah merasa diganggu
"Kamu itu siapanya sih?! Mamahnya? Saudaranya? Atau neneknya?!" Cicit Arjuna dengan nada sinis dan terkesan mengejek Rima yang begitu ikut campur urusan Safa dengan dirinya.
"Aku teman sekontrakannya." Arjuna berdecih, hanya teman sekontrakan sudah berani membuatnya repot. "Kalau begitu kenapa kamu sangat repot?! Dasar bocah!" Pekiknya sehingga Rima semakin geram, namun ia berusaha agar tangannya tak mengeluarkan jurus-jurus bela dirinya ketika berurusan dengan pria berdasi itu.
"Lalu kamu siapanya? Kenapa kamu juga ngotot ingin menemui Safa?" Timpalnya balik bertanya. Arjuna menghela napas, mimpi apa ia sampai selalu diajak berdebat dengan anak kuliahan seperti Rima.
"Oh, jangan-jangan kamu yang bikin Safa jadi begini? IYA?!" Rima memberikan nada tinggi diujung kalimat. Tiba-tiba jantung Arjuna memompa darah lebih cepat dari biasanya. Ia sedikit gugup meskipun tak terlihat dengan jelas perbedaannya. Tentu saja Arjuna merasa tersindir atas fakta yang Rima ucapkan.
"Kamu apakan mbak Safa?!" Keadaan semakin menegang, namun Arjuna tak menggubris pertanyaan konyol dari bocah nakal yang selalu mengganggu rencananya itu.
"JAWAB!" Gertaknya seolah menantang Arjuna, ia mulai kesal. Jiwa iblisnya mungkin akan muncul lagi dalam waktu dekat. Jika saja ia bisa membuat Safa begitu rusaknya, bagaimana dengan Rima yang sangat kecil di matanya. Sangat mudah baginya membuat gadis itu sama hancurnya dengan Safa, atau mungkin lebih.
Tanpa mereka berdua sadari, perdebatan panjang mereka telah mengganggu orang lain yang masih dalam pengaruh obat penenang.
Seharusnya Arjuna cukup lega karena ia tak perlu lagi menjawab pertanyaan dari Rima. Namun kini keadaannya akan jauh lebih tegang karena Safa terbangun dan melihat pria yang telah merusaknya berada di dalam ruangan yang sama.
Lagi, Safa menangis histeris meminta pertolongan ketika melihat Arjuna berada di hadapannya. Bukan karena pengaruh obat yang membuatnya berhalusinasi atau efek trauma yang membuatnya membayangkan sosok Arjuna berada di puncak pikirannya. Tapi kini ia benar-benar sedang melihat Arjuna, si pria yang telah merampas kesuciannya waktu lalu.
Safa menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh seolah seseorang telah melihat tubuhnya yang telanjang.
"Pergi kamu! Lihat mbak Safa nangis lagi!" Racau Rima yang kembali mendorong tubuh tegap Arjuna hingga ke pintu keluar. Arjuna bukannya tak mampu melawan balik gadis kecil itu, tangkapan mata ketika melihat Safa begitu menyedihkan membuatnya mundur sendiri.
"Dugaanku benar, kejadian ini memang ada hubungannya denganmu?!" Arjuna menatap tajam perempuan di hadapannya, mungkin jika ia jujur apa Rima akan takut padanya sehingga memberikan jarak yang pantas untuk mereka berdua.
Langkah besar Arjuna ambil untuk memangkas jarak dengan Rima yang sudah gemetar karena ketakutan, perasaan gentarnya menggelora ketika Arjuna seperti sedang menyalakan api pertempuran padanya. Tapi ini rumah sakit, siapa yang berani menyakitinya di tempat umum seperti ini. Setidaknya, itu yang membuat Rima lebih tenang.
"Iya, ini semua memang ada hubungannya denganku. Mau tahu apa hubungannya?" Suaranya terdengar dingin hingga Rima membeku.
Dengan sedikit menundukkan kepala agar Rima yang jauh lebih pendek darinya agar suaranya dapat dengan jelas masuk ke telinga Rima." Aku telah memperkosanya beberapa hari yang lalu. Apa kau juga mau nasibmu seperti dirinya?" Hembusan napas sekaligus suara yang pelan itu menggeletar di telinga Rima, melolos di telinganya dengan sempurna. Kata perkatanya telah terekam dengan sangat detail di otak. Membuatnya terbayang betapa sadis dan kejamnya pria berdasi ini.
Rima tak punya pilihan selain menunduk, membiarkan keangkuhannya luluh lantah di hadapan pria itu setelah mengetahui perbuatan biadabnya. Ini bukan hanya soal kejahatan, baginya merebut kehormatan perempuan adalah kejahatan paling buruk di antara paling buruk lainnya. Karena efeknya bisa sampai bertahun-tahun dirasakan, bahkan mungkin sampai hembusan napas terakhir akan terbayang bagaimana mahkotanya dirampas dengan paksa tanpa ada ikatan.
Rima tergugu di hadapan Arjuna yang menang telah sehingga membuatnya membisu. Perasaan paniknya tak kunjung mereda meski beberapa kali ia mengambil napas panjang, Rima hampir ingin menangis saat itu juga. Sungguh Rima takut sekali nasibnya akan sama dengan Safa.
"Jangan nangis anak manis, aku tidak sekejam itu kok." Arjuna hampir menyentuh pipi Rima jika saja ia tak menepisnya dengan kasar. Kemenangan telak Arjuna dapatkan hingga tawanya menggelegar. Di samping itu dokter datang menghampiri ruangan Safa yang dipenuhi atmosfer buruk.
"Aku harap tuhan memberikan hukuman setimpal padamu!" Lirihnya dengan suara bergetar, air matanya mengalir tanpa ia perintah mengingat sehancur apa sahabatnya itu.
Arjuna tak bersuara hanya saja rahangnya menegas tiap kali mendengar getaran dari bibir gadis itu.
Rima sudah tak tahan lagi menanggapi Arjuna yang semakin lantang menginjak harga diri perempuan. Ia memilih masuk ke dalam untuk merengkuh Safa dalam pelukannya. Kini ia tahu seberapa hancur Safa baik dari fisik dan hatinya.
"Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas. Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua. Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar. Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan pen
: KekecewaanSepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran."Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyaya
: Rencana Keji "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan."Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya."Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas."Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang."Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih.Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekali
Pembalasan Dendam Arjuna! Aroma tanah basah membuat Safa terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kuyup akibat hujan yang turun semalaman. Safa dapat merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya. Tubuh Safa masih sangat lemas, ia berusaha menyadarkan diri dari apa yang sedang terjadi padanya. Yang pertama kali ia lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit yang masih hitam. Mungkin hari sudah hampir pagi saat ini, sama sekali tak terlihat bintang di langit yang berkabut itu hanya ada bulan yang bersembunyi di balik kabut putih. Perlahan ingatan kejadian beberapa jam yang lalu bermunculan. Safa ingat, orang terakhir yang ia temui Arjuna. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan dan Safa masih dalam pengawasannya sampai detik ini.Safa tidak bisa bergerak karena kedua tangannya diikat ke belakang. Bawahannya memakai rok span selutut yang lumayan ketat sehingga menambah kesulitan untuk bergerak."Tolong!
Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sep
Sebuah mobil CRV hitam terhenti pada kafe di pinggiran jalan kota yang terletak di tengah-tengah plaza dan pusat perbelanjaan. Bayang-bayang Safa yang telah ia lecehkan secara fisik maupun seksual terus menghantui pikirannya.Arjuna ingat, malam itu ia hanya meninggalkan jas untuk menutupi tubuhnya karena pakaian Safa rusak oleh ulahnya. Sempat merasakan kepuasan, namun batinnya mendadak tak tenang. Ada saja waktu yang mengantarkannya untuk mengingat Safa.Bahkan Arjuna juga sedikit merasa menyesal telah membuat Safa kehilangan kesuciannya, seharusnya sejak awal Arjuna membunuhnya saja jika memang sudah terlanjur kesal.Mungkin karena Arjuna takut jika Safa akan menjebloskannya ke penjara? Oh, tapi sejak awal Arjuna sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Bukankah Arjuna punya banyak lawyer yang bisa membelanya. Bermodalkan uang yang banyak, Arjuna bisa menyewa pengacara-pengacara hebat untuk membebaskannya dari tuntutan.Ia memu
Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. "Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" SREETT Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" Di dunia ini hal yang paling membosan
Tanpa membalas pertanyaan Renita, Arjuna tetap melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Sesampainya di sana ia meninggalkan Mamanya dan meminta supir untuk mengantarkannya pulang sebelum ia mendatangi tempat tadi.Sesuatu telah menarik Arjuna untuk datang kembali menemui Safa yang sudah dalam puncak kehancurannya.Layaknya tertusuk belati, dadanya terasa sesak, seiring langkah tangguhnya mendekati Safa yang masih menutup mata. Aura sedingin es memenuhi ruangan ketika Arjuna mendekat dan bersuara."Safa kenapa?"Rima seketika menegang ketika mendengar suara berat yang masih tersimpan di memori otaknya dengan kejadian waktu itu. Pria menyebalkan itu rupanya masih tak kapok sudah dihadiahi semprotan tajam darinya meski baru pertama kali bertemu."Kamu?!" Padahal baru saja melihat wajah tampan Arjuna, Rima langsung memasang tampang judesnya. Entah kenapa insting Rima mengatakan jika Arjuna bukanlah pria baik-baik meskipun memiliki wajah rupawan.
Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. "Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" SREETT Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri. "Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" Di dunia ini hal yang paling membosan
Sebuah mobil CRV hitam terhenti pada kafe di pinggiran jalan kota yang terletak di tengah-tengah plaza dan pusat perbelanjaan. Bayang-bayang Safa yang telah ia lecehkan secara fisik maupun seksual terus menghantui pikirannya.Arjuna ingat, malam itu ia hanya meninggalkan jas untuk menutupi tubuhnya karena pakaian Safa rusak oleh ulahnya. Sempat merasakan kepuasan, namun batinnya mendadak tak tenang. Ada saja waktu yang mengantarkannya untuk mengingat Safa.Bahkan Arjuna juga sedikit merasa menyesal telah membuat Safa kehilangan kesuciannya, seharusnya sejak awal Arjuna membunuhnya saja jika memang sudah terlanjur kesal.Mungkin karena Arjuna takut jika Safa akan menjebloskannya ke penjara? Oh, tapi sejak awal Arjuna sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Bukankah Arjuna punya banyak lawyer yang bisa membelanya. Bermodalkan uang yang banyak, Arjuna bisa menyewa pengacara-pengacara hebat untuk membebaskannya dari tuntutan.Ia memu
Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sep
Pembalasan Dendam Arjuna! Aroma tanah basah membuat Safa terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kuyup akibat hujan yang turun semalaman. Safa dapat merasakan hawa dingin menyelimuti dirinya. Tubuh Safa masih sangat lemas, ia berusaha menyadarkan diri dari apa yang sedang terjadi padanya. Yang pertama kali ia lihat ketika membuka kedua matanya adalah langit yang masih hitam. Mungkin hari sudah hampir pagi saat ini, sama sekali tak terlihat bintang di langit yang berkabut itu hanya ada bulan yang bersembunyi di balik kabut putih. Perlahan ingatan kejadian beberapa jam yang lalu bermunculan. Safa ingat, orang terakhir yang ia temui Arjuna. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan dan Safa masih dalam pengawasannya sampai detik ini.Safa tidak bisa bergerak karena kedua tangannya diikat ke belakang. Bawahannya memakai rok span selutut yang lumayan ketat sehingga menambah kesulitan untuk bergerak."Tolong!
: Rencana Keji "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan."Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya."Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas."Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang."Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih.Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekali
: KekecewaanSepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran."Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyaya
"Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas. Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua. Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar. Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan pen