Mohon maaf sekali, saya berbulan-bulan terpaksa off dari dunia menulis karena harus mengurus banyak hal di dunia nyata. Insya Allah akan mulai lanjut cerita ini.
Part 79Motor kulajukan dengan kecepatan tinggi. Ingin rasanya cepat sampai ke rumah untuk bertanya pada Ibu. Ah tidak. Lebih tepatnya aku akan melakukan protes.Sampai di rumah hampir senja. Gegas aku sholat lebih dulu agar hati tenang dan tidak terpancing amarah karena merasa Ibu sudah mempermalukanku.Wanita yang sangat kukasihi itu sedang menata piring di lemari. Aku segera menghampiri.“Buk ....”Beliau menoleh dan tersenyum.“Sudah diantar pulang Sekar-nya?” tanya Ibu.“Sudah. Bu, Ibu apa-apaan sih menjodohkanku dengan Sekar? Ibu pernah bilang ‘kan kalau tidak mau aku menikah dengan perempuan yang tidak sepadan? Ini kenapa mencarikan gadis yang masih kuliah? Dia juga umurnya jauh dibawahku pastinya,” kataku tidak tahan langsung memprotes.“Siapa yang menjodohkan kamu dengan Sekar? Ibunya sendiri yang minta kok. Ibu tidak berani lah, catur cari-cari jodoh buat kamu. Lagian, kenapa sih, kamu belum menceraikan Ambar? Masih berharap dia kembali?” Ibu malah balik menyalahkanku. “Catu
Part 80Semua makanan yang akan ku kirim ke tempat Sekar mengadakan camping sudah siap. Dengan dibantu karyawan, makanan itu juga sudah ada di mobil pick up dan aku sendiri yang akan mengantarkan ke tempat itu. menahan rasa kecewa karena sebelumnya sudah berencana akan menemui Ambar.Sekar sudah menelpon dan akan menunggu di pinggir jalan saja, katanya. Agar aku tidak kerepotan mengantarkan sampai tempat parkir. Dari kejauhan sudah kulihat Sekar berdiri di pinggir jalan. Ia memakai setelan olahraga dan menungguku dengan seorang teman. Teman yang kemarin juga bersamanya saat bertemu di sekitar daerah kampus.“Mas Catur,” sapa Sekar sambil mendekatiku yang baru saja turun dari mobil.“Sudah lama menunggu, ya?” tanyaku.“Belum. Baru saja aku sampai di sini. Oh, iya, turunkan saja semuanya. Nanti aku yang bawa kesana,” kata Sekar lagi.“Ini ada titipan cemilan dari Ibu,” kataku sambil memberikan sebungkus kotak makanan ringan. Ibu memang menitipkan untuk Sekar.“Oh, iya, terima kasih,” ka
Part 80Semua makanan yang akan ku kirim ke tempat Sekar mengadakan camping sudah siap. Dengan dibantu karyawan, makanan itu juga sudah ada di mobil pick up dan aku sendiri yang akan mengantarkan ke tempat itu. menahan rasa kecewa karena sebelumnya sudah berencana akan menemui Ambar.Sekar sudah menelpon dan akan menunggu di pinggir jalan saja, katanya. Agar aku tidak kerepotan mengantarkan sampai tempat parkir. Dari kejauhan sudah kulihat Sekar berdiri di pinggir jalan. Ia memakai setelan olahraga dan menungguku dengan seorang teman. Teman yang kemarin juga bersamanya saat bertemu di sekitar daerah kampus.“Mas Catur,” sapa Sekar sambil mendekatiku yang baru saja turun dari mobil.“Sudah lama menunggu, ya?” tanyaku.“Belum. Baru saja aku sampai di sini. Oh, iya, turunkan saja semuanya. Nanti aku yang bawa kesana,” kata Sekar lagi.“Ini ada titipan cemilan dari Ibu,” kataku sambil memberikan sebungkus kotak makanan ringan. Ibu memang menitipkan untuk Sekar.“Oh, iya, terima kasih,” ka
Part 82“Kita akan menyelesaikan masalah setelah kamu keluar dari sel tahanan. Aku akan mempersiapkan persyaratan perceraian kita,” kataku membuat mata Ambar membulat sempurna.“Wanita hamil tidak boleh diceraikan, Mas,” tolak Ambar.“Jika wanita itu hamil denganku. Kenyataannya, wanita itu hamil dengan orang lain.”“Mas, kamu tidak mendengar permintaan Gendis tadi? Gendis meminta kita untuk bisa hidup bersama dengan bahagia. Apalagi dia sebentar lagi mau punya adik. Apa kamu tega membiarkan Gendis menderita?” Wajah Ambar berubah masam.“Jadi kamu ingin kembali padaku dalam keadaan mengandung anak orang lain?”“Mas, tidak ada istilah anak orang lain. Selama kita masih terikat pernikahan, maka benih yang ada dalam rahimku, masih dianggap orang sebagai anakmu.”“Orang yang mana? Kamu ‘kan, orangnya? Kamu menganggap dia anakku?” tanyaku sambil menunjuk perutnya.“Aku sudah bilang, setiap orang punya ujian sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau diuji dengan posisi sepertiku saat ini, Mas.”“
Part 83Langit sore di ufuk barat memancarkan warna merah saga. Mobil kami melaju menuju rumah yang hanya hitungan kilometer. Gendis sudah bangun dan ia selalu terdiam. Meminta duduk di pinggir, pandangannya terarah ke luar jendela.“Nanti malam kita jalan-jalan, ya? Ndis mau?” tanyaku.Ia menggeleng lemah.“Ndis mau nonton?”Dia menggeleng lagi.“Ayah, aku rindu Bunda. Ayah, aku ingin berada di dekat Bunda. Apa anak kecil boleh ikut ibunya ke penjara? Kalau boleh, antarkan aku kesana, Yah. Aku mau menemani Bunda,” ucap Gendis setelah lama terdiam.“Kalau orang dipenjara, tidak boleh ada keluarga yang ikut,” jawabku.“Aku ingin sama Bunda ....”Aku memilih tidak menanggapi ucapan Gendis, karena Ibu sudah terlihat berdiri di depan rumah. “Eyang sudah menunggu,” ucapku.Tidak ada yang Ibu tanyakan. Beliau hanya menatap kami dengan tatapan yang susah diartikan. Mengikuti aku dan Gendis masuk ke dalam kamar.“Ayah, aku mau sendiri. Ayah tutup pintu kamarnya,” pinta Gendis yang langsung me
Part 84“Tur, ada yang menelpon,” kata Ibu sambil mengulurkan ponsel yang tadi masih ada di saku jaket.Rasyid memanggil. Aku segera menekan tombol angkat. “Gimana, Syid?”“Sekar pergi sama cewek yang tadi marah-marah ke warung, Mas. Mereka naik motor bersama dan Sekar kelihatan memeluk erat dari belakang. Eh, mereka ‘kan sama-sama cewek ya, Mas,” jawab Rasyid.“Ok, terus, kamu ikuti?” tanyaku lagi.“Enggak, Mas, aku kehilangan jejak.”“Baik. Gak papa, kamu coba cari tahu nama gadis yang tadi sama Sekar dan kalau bisa, cari info sebanyak-banyaknya!”“Iya, Mas,”“Ndis, Ayah pergi sebentar, ya? Kamu nanti makan sama Eyang,” kataku yang sudah tidak tahan ingin tahu tentang Sekar dan temannya itu.Mengambil langkah cepat menuju halaman depan rumah, tempat mobil terparkir, lalu mengendarai motor dengan cepat.Rumah Sekar terlihat lengang. Hanya kicauan burung milik tetangganya yang terdengar. Pintu rumah langsung dibuka saat aku baru saja turun dari motor. Wanita yang memintaku datang kema
Part 85“Maaf, Bu Lik, aku harus segera pergi dari sini,” kataku sama Bu Lik Sri.“Lhoh, kita bicara belum selesai lho, Tur ....” Bu Lik Sri mencoba menghalangiku yang bersiap memakai jaket.“Ada yang harus kuurus segera.”“Tapi, Tur ....”“Ini berkaitan dengan Sekar.”“Sekar? Apa maksudnya?” Bu Lik Sri bertanya panik.“Nanti aku jelaskan, Bu Lik.” Aku gegas pergi meninggalkan Bu Lik Sri yang memasang wajah cemas.Rasyid baru saja memberitahuku kalau perempuan jadi-jadian bernama Boy mereview makananku di akun media sosialnya. Dia mengatakan yang buruk-buruk tentang masakan kami.Aku segera menelpon Sekar untuk mengajaknya bertemu.“Baik, Mas, kita ketemu di sekitar Malioboro,” kata Sekar.Gas kutancap tinggi menuju tempat yang kami sepakati.Adzan Maghrib berkumandang saat aku sampai di trotoar sebuah gedung. Aktivitas malam mulai terasa ramainya. Kulihat Sekar duduk di salah satu kursi dan melambaikan tangannya.“Kita sholat dulu,” ajakku saat sudah berhadapan dengannya.“Aku sedang
Part 86POV Sekar.Micella atau yang sering dipanggil Cella sama dosen, dia adalah sosok yang kukenal saat pertama kali masuk kampus ini. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Cella anak yang tomboy, tetapi manis. Rambutnya panjang dan sering dikuncir kuda. Aku sangat suka melihat dan memperhatikan wajahnya lama.Kadang berpikir, aku saja yang perempuan suka melihat dia. Apalagi mahasiswa cowok?Saat kegiatan orientasi, Cella kerap dikerjain oleh senior. Mungkin karena kecantikan dan gaya asyik yang dia miliki.Tidak seperti kebanyakan mahasiswa baru, Cella santai saat disuruh maju. Melakukan apa saja yang diperintahkan padanya. Kadang malah senior cowok yang merasa salah tingkah. Iya, sejak pertama bertemu, aku sudah memperhatikan dia sedetail itu.Kami satu jurusan, tetapi beda kelas. Suatu ketika, aku mendaftar kegiatan kampus Mapala, Mahasiswa Pecinta Alam. Di sanalah kami akhirnya kenalan. Lebih tepatnya dia mengenalku, kalau aku sudah sering mencari tahu siapa Cella.Cella orang yang s