Part 78 Aku duduk diantara mereka. Namun, tidak berhadapan dengan anak Bu Lik Wati yang belum ku ketahui namanya itu. “Mas Catur, ini anak Bu Lik, namanya Sekar. Dia masih kuliah semester akhir mengambil jurusan akuntansi,” kata Bu Lik Wati memperkenalkan. Bibir tertarik membuat sebuah lengkungan kecil. Mengangguk pada pemilik nama Sekar. Ia pun menarik bibirnya sedikit. Seperti terpaksa. Mata ini lalu melirik Ibu. Apa-apaan, Ibu menjodohkanku dengan anak kuliahan? Bukannya Ibu sendiri yang mengatakan kalau aku tidak boleh menikah dengan perempuan yang berpendidikan tinggi? Ah, tidak, waktu itu Ibu hanya bilang perempuan yang berseragam. Namun, Sekar anak kuliahan. Pasti tidak akan mau menikah denganku. Suara Pak Dhe Bagyo yang mengucapkan salam pembuka membuatku kaget dan menoleh. “Terima kasih atas kedatangan keluarga Pak Mujiono dan Ibu Wati. Kami merasa sangat tersanjung dengan niat dan keinginan Bapak dan Ibu untuk menjodohkan putra putri kita,” sambung Pak Dhe Bagyo. Meski
Part 79Motor kulajukan dengan kecepatan tinggi. Ingin rasanya cepat sampai ke rumah untuk bertanya pada Ibu. Ah tidak. Lebih tepatnya aku akan melakukan protes.Sampai di rumah hampir senja. Gegas aku sholat lebih dulu agar hati tenang dan tidak terpancing amarah karena merasa Ibu sudah mempermalukanku.Wanita yang sangat kukasihi itu sedang menata piring di lemari. Aku segera menghampiri.“Buk ....”Beliau menoleh dan tersenyum.“Sudah diantar pulang Sekar-nya?” tanya Ibu.“Sudah. Bu, Ibu apa-apaan sih menjodohkanku dengan Sekar? Ibu pernah bilang ‘kan kalau tidak mau aku menikah dengan perempuan yang tidak sepadan? Ini kenapa mencarikan gadis yang masih kuliah? Dia juga umurnya jauh dibawahku pastinya,” kataku tidak tahan langsung memprotes.“Siapa yang menjodohkan kamu dengan Sekar? Ibunya sendiri yang minta kok. Ibu tidak berani lah, catur cari-cari jodoh buat kamu. Lagian, kenapa sih, kamu belum menceraikan Ambar? Masih berharap dia kembali?” Ibu malah balik menyalahkanku. “Catu
Part 80Semua makanan yang akan ku kirim ke tempat Sekar mengadakan camping sudah siap. Dengan dibantu karyawan, makanan itu juga sudah ada di mobil pick up dan aku sendiri yang akan mengantarkan ke tempat itu. menahan rasa kecewa karena sebelumnya sudah berencana akan menemui Ambar.Sekar sudah menelpon dan akan menunggu di pinggir jalan saja, katanya. Agar aku tidak kerepotan mengantarkan sampai tempat parkir. Dari kejauhan sudah kulihat Sekar berdiri di pinggir jalan. Ia memakai setelan olahraga dan menungguku dengan seorang teman. Teman yang kemarin juga bersamanya saat bertemu di sekitar daerah kampus.“Mas Catur,” sapa Sekar sambil mendekatiku yang baru saja turun dari mobil.“Sudah lama menunggu, ya?” tanyaku.“Belum. Baru saja aku sampai di sini. Oh, iya, turunkan saja semuanya. Nanti aku yang bawa kesana,” kata Sekar lagi.“Ini ada titipan cemilan dari Ibu,” kataku sambil memberikan sebungkus kotak makanan ringan. Ibu memang menitipkan untuk Sekar.“Oh, iya, terima kasih,” ka
Part 80Semua makanan yang akan ku kirim ke tempat Sekar mengadakan camping sudah siap. Dengan dibantu karyawan, makanan itu juga sudah ada di mobil pick up dan aku sendiri yang akan mengantarkan ke tempat itu. menahan rasa kecewa karena sebelumnya sudah berencana akan menemui Ambar.Sekar sudah menelpon dan akan menunggu di pinggir jalan saja, katanya. Agar aku tidak kerepotan mengantarkan sampai tempat parkir. Dari kejauhan sudah kulihat Sekar berdiri di pinggir jalan. Ia memakai setelan olahraga dan menungguku dengan seorang teman. Teman yang kemarin juga bersamanya saat bertemu di sekitar daerah kampus.“Mas Catur,” sapa Sekar sambil mendekatiku yang baru saja turun dari mobil.“Sudah lama menunggu, ya?” tanyaku.“Belum. Baru saja aku sampai di sini. Oh, iya, turunkan saja semuanya. Nanti aku yang bawa kesana,” kata Sekar lagi.“Ini ada titipan cemilan dari Ibu,” kataku sambil memberikan sebungkus kotak makanan ringan. Ibu memang menitipkan untuk Sekar.“Oh, iya, terima kasih,” ka
Part 82“Kita akan menyelesaikan masalah setelah kamu keluar dari sel tahanan. Aku akan mempersiapkan persyaratan perceraian kita,” kataku membuat mata Ambar membulat sempurna.“Wanita hamil tidak boleh diceraikan, Mas,” tolak Ambar.“Jika wanita itu hamil denganku. Kenyataannya, wanita itu hamil dengan orang lain.”“Mas, kamu tidak mendengar permintaan Gendis tadi? Gendis meminta kita untuk bisa hidup bersama dengan bahagia. Apalagi dia sebentar lagi mau punya adik. Apa kamu tega membiarkan Gendis menderita?” Wajah Ambar berubah masam.“Jadi kamu ingin kembali padaku dalam keadaan mengandung anak orang lain?”“Mas, tidak ada istilah anak orang lain. Selama kita masih terikat pernikahan, maka benih yang ada dalam rahimku, masih dianggap orang sebagai anakmu.”“Orang yang mana? Kamu ‘kan, orangnya? Kamu menganggap dia anakku?” tanyaku sambil menunjuk perutnya.“Aku sudah bilang, setiap orang punya ujian sendiri-sendiri. Tidak ada yang mau diuji dengan posisi sepertiku saat ini, Mas.”“
Part 83Langit sore di ufuk barat memancarkan warna merah saga. Mobil kami melaju menuju rumah yang hanya hitungan kilometer. Gendis sudah bangun dan ia selalu terdiam. Meminta duduk di pinggir, pandangannya terarah ke luar jendela.“Nanti malam kita jalan-jalan, ya? Ndis mau?” tanyaku.Ia menggeleng lemah.“Ndis mau nonton?”Dia menggeleng lagi.“Ayah, aku rindu Bunda. Ayah, aku ingin berada di dekat Bunda. Apa anak kecil boleh ikut ibunya ke penjara? Kalau boleh, antarkan aku kesana, Yah. Aku mau menemani Bunda,” ucap Gendis setelah lama terdiam.“Kalau orang dipenjara, tidak boleh ada keluarga yang ikut,” jawabku.“Aku ingin sama Bunda ....”Aku memilih tidak menanggapi ucapan Gendis, karena Ibu sudah terlihat berdiri di depan rumah. “Eyang sudah menunggu,” ucapku.Tidak ada yang Ibu tanyakan. Beliau hanya menatap kami dengan tatapan yang susah diartikan. Mengikuti aku dan Gendis masuk ke dalam kamar.“Ayah, aku mau sendiri. Ayah tutup pintu kamarnya,” pinta Gendis yang langsung me
Part 84“Tur, ada yang menelpon,” kata Ibu sambil mengulurkan ponsel yang tadi masih ada di saku jaket.Rasyid memanggil. Aku segera menekan tombol angkat. “Gimana, Syid?”“Sekar pergi sama cewek yang tadi marah-marah ke warung, Mas. Mereka naik motor bersama dan Sekar kelihatan memeluk erat dari belakang. Eh, mereka ‘kan sama-sama cewek ya, Mas,” jawab Rasyid.“Ok, terus, kamu ikuti?” tanyaku lagi.“Enggak, Mas, aku kehilangan jejak.”“Baik. Gak papa, kamu coba cari tahu nama gadis yang tadi sama Sekar dan kalau bisa, cari info sebanyak-banyaknya!”“Iya, Mas,”“Ndis, Ayah pergi sebentar, ya? Kamu nanti makan sama Eyang,” kataku yang sudah tidak tahan ingin tahu tentang Sekar dan temannya itu.Mengambil langkah cepat menuju halaman depan rumah, tempat mobil terparkir, lalu mengendarai motor dengan cepat.Rumah Sekar terlihat lengang. Hanya kicauan burung milik tetangganya yang terdengar. Pintu rumah langsung dibuka saat aku baru saja turun dari motor. Wanita yang memintaku datang kema
Part 85“Maaf, Bu Lik, aku harus segera pergi dari sini,” kataku sama Bu Lik Sri.“Lhoh, kita bicara belum selesai lho, Tur ....” Bu Lik Sri mencoba menghalangiku yang bersiap memakai jaket.“Ada yang harus kuurus segera.”“Tapi, Tur ....”“Ini berkaitan dengan Sekar.”“Sekar? Apa maksudnya?” Bu Lik Sri bertanya panik.“Nanti aku jelaskan, Bu Lik.” Aku gegas pergi meninggalkan Bu Lik Sri yang memasang wajah cemas.Rasyid baru saja memberitahuku kalau perempuan jadi-jadian bernama Boy mereview makananku di akun media sosialnya. Dia mengatakan yang buruk-buruk tentang masakan kami.Aku segera menelpon Sekar untuk mengajaknya bertemu.“Baik, Mas, kita ketemu di sekitar Malioboro,” kata Sekar.Gas kutancap tinggi menuju tempat yang kami sepakati.Adzan Maghrib berkumandang saat aku sampai di trotoar sebuah gedung. Aktivitas malam mulai terasa ramainya. Kulihat Sekar duduk di salah satu kursi dan melambaikan tangannya.“Kita sholat dulu,” ajakku saat sudah berhadapan dengannya.“Aku sedang
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 94 “Maaf, Bu, saya tidak tahu apa-apa. Saya seorang muslim dan saya tidak akan berpindah agama. Cella, kamu keterlaluan melakukan ini semua. Aku tidak suka dengan cara kamu ini,” ucap Sekar marah. “Cella, memilih sebuah agama atau berpindah keyakinan, itu adalah keinginan dari setiap orang. Kamu memaksa orang seperti ini? Maaf, Cella, kami tidak akan pernah menerima siapapun. kamu sudah sangat salah melakukan ini,” kata suster kecewa. Sekar menangis sejadi-jadinya. “Bu, tolong pesankan saya taksi untuk pulang. Saya takut dengan dia, Bu, dia sudah membawa saya ke rumah yang di sana ada pesta s e x sesama jenis. Saya sangat takut dan saya ingin pulang,” kata Sekar yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengadu. Suster yang sudah berusia di atas lima puluh tahun itu menatap marah pada Boy. “Benar kamu melakukan ini?” “Saya pamit pulang. Saya akan mengantar dia,” kata Cella menarik lengan Sekar secara paksa. “Tidak! Aku akan pulang sendiri,” kata Sekar sambil mengusap air mata
Part 93Sekar ketakutan setengah mati. Terlebih saat merasakan pintu seperti ada yang menggedor. Ia menangis sejadi-jadinya.“Bapak, Ibu, maafkan aku ...,” lirihnya sambil berurai air mata.“Sekar, buka pintunya! Sekar, ini aku, Boy. Buka pintunya!” teriak seseorang dari luar.Antara takut dan ingin mendapat pertolongan, Sekar ragu untuk membuka. Sempat terlintas keinginan untuk kabur, tetapi jendela rupanya memiliki teralis besi yang sangat kuat.“Sekar, buka pintunya!” teriak Sekar dari luar.Sekar bangkit perlahan dan mulai memutar kunci. Membuka sedikit dan berjaga-jaga. Rupanya di luar sudah sepi dan lampu sudah menyala terang, tidak seperti tadi yang menggunakan lampu remang-remang.“Boy, kamu dari mana?” pekik Sekar bernapas lega.“Maaf, aku tadi lama ya keluarnya? Kamu menangis? Buka yang lebar pintunya,” kata Cella yang memahami jika Sekar ketakutan.“Siapa mereka, Boy? Siapa mereka?” tanya Sekar.“Siapa? Tidak ada siapa-siapa,” jawab Cella.“Tidak, Boy, aku tadi melihat bebe
Selama beberapa hari di rumah, Sekar sama sekali tidak berani bermain media sosial. Ia takut berhubungan dengan Boy meskipun rindu dalam hatinya sudah menggunung.Hardi sering menasehati Sri untuk tidak terlalu keras. “Anak kita sedang butuh pertolongan, beri kasih sayang pada dia agar tidak merasa butuh kasih sayang dari orang lain.” Begitulah kalimat yang selalu diucapkan pada sang istri.Perlahan hati Sri mulai melunak. Pagi hari ia akan membangunkan Sekar untuk sholat Subuh, lalu mengajak Sekar berbelanja dan memasak. Wanita itu berusaha mendekatkan diri dengan putrinya.Sekar mulai mau beribadah lima waktu, meski terkadang ia melakukan itu karena merasa terpaksa.“Tuhan itu ada dalam hati kita. Kalau kita beriman pada Tuhan, cukuplah setiap waktu mengingatNya, cukuplah setiap saat menjadi waktu untuk beroda. Tak perlu kamu beribadah lima waktu sehari yang itu justru membebani kamu. Agama itu jangan dijadikan beban. Kalau kamu terus menerus mengingat ibadah, kamu tidak akan punya
Part 91Sekar berlari menghampiri Boy yang hendak masuk.“Kenapa?” Boy bertanya saat paham dirinya seperti ditahan masuk.“Jangan masuk dulu, Boy! Ibu sedang sensitif sekali,” jawab Sekar dengan menahan rasa tidak enak.“Ok, aku bawa kabar bahagia untuk kamu. Aku sudah beli rumah untuk kita tinggali, jadi, kamu tidak akan kubawa hidup di tempat kontrakan lagi,” ucap Boy dengan posisi terhalang pintu pagar setinggi satu meter.“Iya, tapi aku tidak bisa pergi sekarang. Ibu masih membutuhkanku,” sahut Sekar.Meski kecewa, Boy berusaha tersenyum. “Tak apa, kamu akan kujemput kapanpun kamu sudah siap.”Sekar dilema. Wajahnya terlihat bimbang. “Bisakah kamu belajar melupakanku? Aku juga akan belajar melupakan kamu. Bagaimanapun apa yang kita lakukan ini salah,” katanya dengan wajah yang berubah sedih.“Aku tidak akan melarang kamu untuk merawat ayah kamu kok. Kita akan hidup bersama, suatu hari nanti. Aku akan setia menunggu sampai kamu selesai dengan tugasmu di rumah ini,” ucap Boy.Sekar
Part 90POV AuthorDiary Cella.Lembar pertama.Masa SMA yang bahagia. Pulang naik bus, berdesak-desakan dengan siswa dari sekolah lain rasanya menyenangkan. Meski Mami dan Papi selalu menyediakan sopir, tetapi aku lebih senang naik bus. Apalagi setiap pagi sudah janjian dengan Andrew di ujung gang komplek perumahan.Kami dekat dan selalu bersama sejak SMP karena belajar di satu sekolah yang sama terus. Aku dan Andrew sudah sepakat kami pacaran. Dia ganteng dan sangat digemari siswa perempuan. Aku sangat beruntung mendapatkannya. Andrew sosok yang sangat perhatian. Kami banyak merangkai mimpi bersama dan saling janji akan menjaga cinta ini sampai dewasa nanti.***Sekar mengambil sebuah foto yang terletak balik halaman yang sudah dibaca. Foto Cella memakai seragam SMK bersama seorang yang diduga itu Andrew. Nampak serasi sekali. Tiba-tiba Sekar merasa dibakar api cemburu. Ia gegas membaca lagi halaman berikutnya.Lembar keduaHari ini adalah hari yang terberat dalam hidupku. Setelah u
Part 89Kami duduk di kursi taman depan rumah sakit sekarang. Alih-alih ingin memakan makanan yang dibawa Boy agar ia tidak kecewa, aku justru kehilangan seluruh rasa lapar. Sambil memegang styrofoam berisi mie lethek yang isinya masih penuh, aku memandangnya yang duduk di samping dengan tatapan kosong.“Kamu juga harus makan. Aku tidak akan muat makan segini banyak. Mienya saja masih banyak. Karena lihat kamu yang murung seperti itu.” Aku berusaha mengalihkan isi pikiran Boy.Ia menghela napas panjang tanpa beralih pandang.“Aku bukain, ya? Atau aku suapin mie?” Lama tak mendapat jawaban, aku berkata lagi.“Tidak perlu. Kamu makan saja sendiri. Kamu butuh tenaga untuk menghadapi segala kondisi yang mungkin tidak menyenangkan.” Kali ini ia mau memandangku.Aku tersenyum senang. Seperti ini saja sudah cukup. Iya, melihat tatapan Boy yang sangat penuh cinta, dunia ini tidak terasa sepi. Benar apa kata Boy, jika dengannya sudah menemukan bahagia, tak perlu juga mencari pasangan hidup yan
Part 87 (Masih POV Sekar) Setelah membereskan urusan Mas Catur, Boy jadi mendiamkan aku. Pagi itu, dia berangkat kuliah tanpa sarapan. “Aku sudah masak makanan kesukaan kamu. Kok langsung mau berangkat?” Aku menegur Boy yang tengah memakai sepatunya. Dia diam tidak menjawab. “Apa aku bawakan bekal buat kamu?” Aku bertanya lagi. Dia tetap diam. “Kamu marah karena aku menyuruhmu membersihkan nama Mas Catur?” Kali ini Boy mau menatapku. “Kamu suka lelaki itu?” Ia bertanya sinis. “Kalau aku suka Mas Catur, aku akan menerima perjodohan dan menikah dengannya. Buktinya aku masih disini menemani kamu, ‘kan? Apa ini belum cukup untuk membuktikan kalau aku menyayangimu dan lebih memilihmu?” Aku balik bertanya. “Dari dulu kamu tidak peduli dengan siapapun cowok yang kubuat menderita karena dekat dengan kamu. Kenapa sekarang kamu berbeda? Kamu mau mengelak kalau kamu punya rasa sama dia?” “Ibunya Mas Catur pernah berjasa pada keluargaku. Aku pernah berhutang budi pada mereka. Tidak seha
Part 86POV Sekar.Micella atau yang sering dipanggil Cella sama dosen, dia adalah sosok yang kukenal saat pertama kali masuk kampus ini. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Cella anak yang tomboy, tetapi manis. Rambutnya panjang dan sering dikuncir kuda. Aku sangat suka melihat dan memperhatikan wajahnya lama.Kadang berpikir, aku saja yang perempuan suka melihat dia. Apalagi mahasiswa cowok?Saat kegiatan orientasi, Cella kerap dikerjain oleh senior. Mungkin karena kecantikan dan gaya asyik yang dia miliki.Tidak seperti kebanyakan mahasiswa baru, Cella santai saat disuruh maju. Melakukan apa saja yang diperintahkan padanya. Kadang malah senior cowok yang merasa salah tingkah. Iya, sejak pertama bertemu, aku sudah memperhatikan dia sedetail itu.Kami satu jurusan, tetapi beda kelas. Suatu ketika, aku mendaftar kegiatan kampus Mapala, Mahasiswa Pecinta Alam. Di sanalah kami akhirnya kenalan. Lebih tepatnya dia mengenalku, kalau aku sudah sering mencari tahu siapa Cella.Cella orang yang s