“Imah, tolong kami!”“Toloooong ...!” Jerit dan rintihan mirip suara Kesi dan Badrun bergantian terdengar. Kadang mendekat, kadang menjauh. Saimah dan Parman memidai sekitar yang gelap gulita. Hanya ada pancaran cahaya rembulan yang jadi harapan keduanya untuk mencari keberadaan dua sumber suara barusan. “Kesiiii ...!” Teriakan Saimah bergaung hingga membangunkan kelelawar yang berdiam di dalam gua.Bunyi kepakan sayap puluhan kelelawar seketika mengaburkan suara Kesi dan Badrun. Beberapa saat kemudian, hewan-hewan hitam tersebut kembali ke tempat semula dan tidur menggantung.“Sst ...! Gak usah ikutan teriak, Dek,” ucap Parman setengah berbisik.“Iya, Mas. Jadi gak denger suara mereka lagi,” balas Saimah yang berusaha mempertajam pendengaran.Tiba-tiba keadaan sangat sunyi. Hingga suara angin pun enggan semilir. Pasutri tersebut merasakan keanehan tersebut.“Mas, sepi sekali. Ada apa, ya?” tanya Saimah berbisik ke telinga suaminya.“Ya, Dek. Kita tunggu saja. Setelah apa yang terja
Saimah semakin terisak-isak sambil mata tak lepas dari menatap mayat terbakar di hadapannya. Dia mengingat perjumpaan terakhir mereka saat Sarto menyerahkan kunci ruko.“Mbak Saimah, terima kasih atas bantuannya selama ini. Beruntung sekali suamiku punya partner ritual sejujur Mbak. Banyak kejadian, setelah ritual terakhir para suami terpikat partnernya. Bukannya kaya, malah jadi hancur karena ritual keterusan,” ucap wanita berlesung pipi dengan senyum manis tersebut.“Ya, terima kasih kembali atas pemberian bonus besar ini, Mbak. Benar-benar tak terduga. Aku berharap usaha kalian semakin sukses,” balas Saimah ramah. Padahal dalam hati, dirinya menyesal karena tak bisa kasih tahu ke wanita tersebut bahwa mulai saat itu, suaminya adalah milik penguasa Gunung Kemukus.“Dek, kenapa kamu nangis?” tanya Parman yang seketika membuyarkan lamunan Saimah. “Eh, ya, Mas. Aku sedih lihat kematian tragis yang harus dialami orang sebaik dia,”balas Saimah seraya menghapus bekas air mata.“Mas juga.
Sinar matahari berasa menyengat hangat lalu semakin memanas. Saimah dan Parman seketika kegerahan. Di sisi lain, tubuh membeku yang terbujur mulai meleleh.Air seketika menggenang di bangku dan lantai bagian penumpang. Saimah terkejut melihatnya. Parman yang menatap lurus ke depan baru menyadari tak ada jalan yang mereka lewati. Hanya tampak warna angkasa yang biru dengan gumpalan-gumpalan awan.“Ya, ampun! Dek, lihat ke luar jendela!” suruh Parman.Saimah yang sedang menunduk memperhatikan genangan air dengan perasaan cemas, seketika mendongak dan langsung dibuat kaget. Wanita tersebut melihat tak ada ruas jalan, tak ada pepohonan dan bangunan apa pun. Taksi yang mereka tumpangi sedang terbang.“Pak, ini bukan dunia kami!” seru Saimah ke arah pengemudi.Parman menoleh ke samping dan melihat si pengemudi geming, tak menghiraukan teriakan Saimah. Pria tersebut fokus menatap depan. Tiba-tiba baik Saimah maupun Parman tak merasakan apa pun.“Mas Parman!”Sarto memanggil pria yang tergele
“Aku juga berhubungan dengan Gunung Kemukus sejak kasus Pak Sobir. Kenapa gak kena?” tanya Parman sambil memandang terenyuh ke arah Saimah dan kedua calon pengantin. Sementara itu, baik Kesi maupun Badrun hanya menunduk tanpa sepatah kata pun. Pasangan calon pengantin tersebut berangkulan dengan ekspresi sedih. “Mas tak pernah melakukan ritual di sendang. Itu yang membuat posisi Mas aman, meski tak bisa terjamin 100%.” “Apa maksudmu, Dek?” Parman memandang ke arah Saimah dengan rasa panik. “Maksudnya, siapa pun yang masuk sendang sudah pasti 100% jadi incaran Penguasa Gunung Kemukus, tapi meski tak masuk sendang karena Mas telah masuk area punden juga bisa jadi target,” jelas Saimah yang membuat Parman langsung bergidik. “Kok bisa begitu? Emang bisa ambil target tanpa perjanjian?” Parman tak terima dengan kenyataan yang harus dihadapi. Dia pun tak tahu bahwa sesungguhnya, begitu Saimah disahkan jadi pendamping ritual, risikonya sama dengan pelaku. Saimah hanya tersenyum miris mel
“Im, siapa tadi?” tanya Kesi setengah berteriak. Tampak sekali dia syok dengan kedatangan wanita tua tersebut. Badrun segera memeluk tubuh Kesi yang gemetar. Baik Parman dan Saimah yang juga tak kalah syok melihat ke sekeliling. “Ke mana dia?” tanya Saimah dengan wajah pucat pasi. “Cepat sekali,” sahut Parman kemudian. Namun, pasangan suami istri tersebut tak mendapatkan keberadaan si nenek maupun keanehan lain. Seketika Saimah teringat dengan benda pemberian wanita tua barusan. Wanita berkulit bersih ini menutup hidung lalu mengulurkannya ke arah Parman. Si pria berbadan kekar sama halnya dengan istrinya sambil menutup hidung lalu membuka bungkusan kain berwarna kumal dengan kedua tangan. “Tulang belulang dengan rambut uban!” Saimah berseru dengan membelalakkan mata. “Ini milik manusia,” ungkap Parman sambil mengorak-arik benda-benda tersebut dengan potongan kayu yang dia ambil dari tanah. “Buruan bungkus, Mas. Baunya,” sahut Saimah dengan menahan napas lalu cekatan mengikat k
‘Bruumm ...!’ Tiba-tiba dari kap depan, api berkobar lalu secepat kilat membakar habis seluruh bodi mobil. “Auch ...!” jerit Sarto lalu menghilang ditelan oleh keramaian orang yang berbondong-bondong menghampiri tempat kejadian perkara. Musibah yang terjadi tak jauh dari ruko memicu rasa penasaran Saimah dan yang lain. Keempat orang tersebut segera berlari ke arah kerumunan warga. Namun, saat mereka sampai di sana, para warga sedang bengong mengamati bekas mobil yang terbakar. Dalam kendaraan tak ditemukan jasad si pengemudi. “Kita balik ke ruko saja. Bentar lagi polisi datang,” ujar Saimah mengajak yang lain untuk segera menghindari masalah. “Sebaiknya kita langsung ke hotel yang dipesan kamu, Dek,” saran dari Parman yang dirasa lebih efisien. Kesi dan Badrun yang mendengar ide dari pasutri tersebut segera saling berbisik. Kemudian saat langkah kaki mereka berhenti di depan ruko, barulah Kesi bersuara. “Kami mau ambil barang-barang di kamar dulu, Mas Parman, Im.” “Oh, ya, ya.
Pesan yang dikirim oleh Saimah telah dibaca Pak Brahim. Terbukti tanda centang dua telah berwarna biru. Terdengar tawa lepas dari bangku pengemudi. Keempat penumpang kaget dan langsung berpandangan. Mereka pun serentak menatap spion, kecuali Parman yang langsung bisa menatap ke samping. “Sudah sampe tujuan. Silakan periksa barang bawaan agar tak ada yang tertinggal.” Pengemudi dengan suara lantang memberi peringatan kepada para penumpang. Saimah segera mengambil bungkusan plastik dari dalam tas dan langsung menaruh di pojok bangku. Keempat penumpang turun tepat di depan lobby hotel. Satu per satu dari mereka bersalaman dengan Pak Brahim. “Jaga diri kalian. Waktu saya sudah habis,” ucap Pak Brahim kepada mereka. Sesaat Pak Brahim akan masuk mobil, Saimah berjalan menghampiri. “Bagaimana membalas kebaikan Bapak?” tanya Saimah dengan pandangan sendu. “Hancurkan ruko itu! Hentikan korban tumbal,” jawab Pak Brahim dan seketika lenyap dari pandangan. Saimah terpaku tanpa bisa berkata-
“Terima kasih, Mbah,” balas Saimah langsung memeluk lelaki tua tersebut. “Aku sudah puluhan tahun tak melakukannya,” sahut kuncen yang merasa bahagia karena petualangan mereka barusan. Benar saja apa yang dikatakan oleh kuncen Gunung Kemukus. Sebulan setelah ritual khusus, Saimah telah berdiri di depan rumah mewah milik bapak dan istri simpanannya. Dalam waktu sebulan bisnis bapaknya hancur karena musibah kebakaran yang menewaskan semua karyawan yang sedang bekerja di dalamnya. Hari ini Saimah datang untuk melihat istri simpanan bapaknya yang terserang penyakit aneh yang membuat sekujur tubuh bernanah. Tampak sebuah ambulans sedang bersiap membawa wanita dengan bau busuk yang sangat menyengat tersebut ke rumah sakit. Sementara tak ada seorang pun tenaga medis yang mau mendampingi selama perjalanan, kecuali sopir. Di saat bersamaan bapak Saimah sedang digelandang oleh polisi karena kasus kebakaran yang diduga karena human error. Saimah berjalan mendekat ke arah mobil polisi yang ak