"Ughh," lenguh Kiana pelan, dia memegangi kepalanya yang berputar. Kembali, bayangan mama dan Arkan hadir menghantuinya. Padahal satu minggu yang lalu, sudah tidak ada, tapi kali ini, bayangan menakutkan itu muncul lagi. Halusinasi yang entah dari mana datangnya, mengganggu Kiana lagi. Bahkan Kiana sangat amat merasakan bagaimana perasaan sakit dan sedih bercampur menjadi satu.
Kiana ketakutan. Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa Kiana merasa seperti ini? Dia yakin, ini bukan karena perasaan bersalahnya. Kenyataannya, setelah lama mendekam di rumah sakit jiwa, perasaan dendamnya terhadap Sashi, sudah mulai dia lupakan. Kiana malah lebih sering merenungi perbuatannya yang mungkin memang sudah sangat keterlaluan. Namun untuk masalah mamanya, jelas itu beda lagi. Kiana tidak peduli jika mamanya sudah tewas karena dia bunuh. Ah, mama. Apa pantas panggilan itu terucap dari bibirnya? Wanita yang hanya melahirkannya saja tanpa memberiKen masuk ke dalam rumah milik Rafael dalam keadaan marah. Menggebrak pintu dengan kasar saat seorang pelayan baru saja membukakannya. Dia berjalan tergesa-gesa menuju kamar Rafael. Laki-laki itu sama sekali tidak kembali ke rumah sakit, padahal dia sudah menunggunya sampai waktu pulang. Tentu saja untuk menanyakan maksud obat yang diberi nama Kiana. "RAFAEL! AKU INGIN BICARA SESUATU DENGANMU!" teriak Ken menggema di seluruh sudut ruangan. Menatap sekitar lalu beranjak menuju kamar milik Rafael. Dia tentu sudah sangat hapal rumah temannya yang selalu suram dan hening seperti kuburan, baik siang hari atau malam hari. Bahkan, beberapa bagian ruangan terlihat gelap meski ini masih siang hari. Rumah yang sebenarnya terlalu luas untuk ditinggali sendiri dan beberapa pelayan. Kenapa Rafael tidak tinggal bersama kakeknya? Kenapa laki-laki itu malah tetap berada di sini. Rumah peninggalan orang tuanya yang menyimpan banyak kenangan menyakitkan
"Dokter Ken, apa yang Anda pikirkan?" tanya seorang perawat di sebelah Ken. Menatap sang dokter dengan penuh kebingungan. Saat sedang memeriksa pasien, Ken terlihat tidak fokus dan seperti gelisah. Terus-menerus memerlihatkan ekspresi kosong. "Ah, tidak apa-apa. Mungkin aku hanya lelah. Apa tidak ada pasien lagi?" "Tidak ada, Dok." "Baguslah, sepertinya aku harus istirahat," ucap Ken sembari berjalan menuju ruangannya. Meninggalkan sang perawat. Sesampainya di ruangan, Ken duduk di meja sembari menutup kedua wajahnya. Meletakan kepalanya di sana dan berusaha untuk fokus. Tidak memikirkan apa yang sempat terjadi kemarin antara dia dan Rafael. Meski Ken sama sekali tidak habis pikir, bagaimana bisa Rafael yang dia kenal benar-benar berbeda dari yang biasanya? Temannya benar-benar berubah sampai Ken merasa sulit mengenali. Berengsek! Apa yang harus dilakukannya pada
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain berdiam diri dan merenungi apa yang terjadi dalam gelapnya malam. Terduduk tanpa bisa memejamkan matanya barang sejenak pun. Pikirannya benar-benar kacau setelah mengetahui fakta yang begitu mengejutkannya. Ketakutan, perasaan sedih dan terancam terasa melingkupinya. Emosinya benar-benar terguncang. Kiana yang setelah mendengar percakapan kedua orang itu hanya bisa ketakutan sendiri. Dia tidak mengerti kenapa Rafael melakukan semua ini. Apa salahnya? Apa tujuan laki-laki itu sebenarnya? Demi Tuhan! Kiana tidak pernah merasa ada masalah dengan Rafael sebelumnya. Bahkan laki-laki itu yang dari awal memantik emosinya. Ah, apa diagnosis yang menyebutkan dia gila, juga merupakan akal-akalan dari Rafael? Laki-laki itu sengaja merencanakan semua ini agar dia mendekam di rumah sakit jiwa hingga lama-kelamaan mengalami stress? Benarkah seperti itu? Tidak. Kiana harap dugaannya salah. Itu
Ken tidak memiliki alasan untuk membiarkan Kiana tinggal lebih lama lagi di rumah sakit jiwa ini. Setelah dia mengetahui niat busuk Rafael, Ken berencana membuat Kiana pergi. Bagaimana pun caranya. Meski itu artinya, dia mengkhianati Rafael sebagai teman. Mungkin saja, konsekuensi akan Ken terima saat Rafael tahu bisa menyengsarakannya. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain. Entah keberuntungan atau apa, saat ini Rafael tengah terlibat masalah dengan keluarganya. Hingga laki-laki itu tidak masuk kerja. Ken mendengar kalau temannya itu dijodohkan dengan seorang wanita. Berita pertunangan mereka pun sudah menyebar. Namun Rafael yang keras kepala terus menolak. Apalagi saat Guzman berniat mewariskan hampir seluruh hartanya pada Rafael, termasuk perusahaan. Ken sedikitnya tahu kalau ada pertentangan di antara keluarga itu, saat paman Rafael melakukan protes. Menyebabkan keluarga besar yang dipimpin Guzman cukup berguncang. Mungkin itu jug
"Kakek sangat senang akhirnya kau mau bertunangan," ucap Guzman pada Rafael yang hanya diam tanpa ekspresi. Dia sama sekali tidak menanggapi perkataan kakek tua di depannya dan hanya menatap ke arah meja. Tidak peduli ada Mili yang duduk di sebelahnya dengan orang tua dari wanita itu duduk tepat di depannya. Pertunangan yang sama sekali tidak dia inginkan harus terjadi. Waktu telah ditetapkan. Membuat Rafael benar-benar marah sampai tidak bisa berkutik. Sialan! Kakek tua itu mengancam akan mencabut jabatannya sebagai penanggung jawab di rumah sakit jiwa, kalau Rafael menolak keinginannya untuk bertunangan dengan Mili. Hingga mau tak mau, Rafael menurutinya. Walaupun dia memberikan syarat, kalau Rafael tidak ingin media menyorot pertunangannya. Dia ingin hanya keluarga dekat saja yang datang. Permintaannya tentu tidak langsung disetujui. Menuai pro-kontra antara kakek dan keluarga tunangannya. Namun Rafael tidak peduli. Hingga mau tak m
Andrew sudah bangun lebih awal dari Kiana. Laki-laki juga yang menyiapkan sarapan saat wanitanya yang masih tertidur pulas karena kegiatan panas semalam. Meski hubungan mereka tidak lebih dari sekadar teman. Mungkin untuk sekarang seperti itu, tapi suatu saat Andrew berharap Kiana bisa menjadi miliknya dan mereka membangun sebuah keluarga kecil bahagia. Senyum manis tersungging di bibirnya. Andrew sangat berharap kalau Kiana hamil. Dia hanya ingin anaknya lahir dari rahim Kiana, bukan wanita lain. Setelah selesai menyiapkan makan dan bersiap-siap berangkat kerja, Andrew menyempatkan diri untuk membangunkan Kiana yang masih tertidur lelap dengan selimut hitam yang membungkus separuh tubuhnya. Kulit yang biasanya terlihat putih itu memerlihatkan bekas kecupan dan cumbuannya semalam. Andrew benar-benar tidak bisa menahan perasaannya untuk memiliki Kiana. Dia sangat amat mencintai wanita itu. "Kiana? Ah, maksudku Ana. Bang
Rutinitas yang sekarang biasa Kiana lakukan adalah merawat tanaman, membersihkan rumah dan menyiapkan makan untuk Andrew pulang. Dia berusaha melupakan semua masalahnya di masa lalu dan pelan-pelan bangkit dengan identitas baru. Kiana yang tinggal berdua bersama Andrew, tidak mau menjadi beban untuk laki-laki itu. Dia sadar kalau dia sudah cukup menjadi beban bagi Andrew. Tidak ada banyak hal yang bisa Kiana lakukan. Dia ingin ikut bekerja sebenarnya dan mengumpulkan uang bersama Andrew, namun Kiana takut pergi ke luar rumah. Apalagi ke pusat kota. Meski identitasnya sekarang bukan lagi Kiana, tapi jika dia terlibat masalah dengan polisi, maka tamatlah riwayatnya. Rumah yang ditinggalinya pun cukup kecil dan berada di tempat terpencil, tapi bukan berarti itu adalah hal buruk baginya. Dia cukup senang dan ternyata di balik semua itu, masih ada hal yang menyenangkan. Sebuah halaman yang begitu luas karena jarangnya rumah-rumah di sekitar
"Tadi, Kak Arkan telepon. Dia memintamu untuk datang malam ini," ucap Kiana pada Andrew yang tertidur dengan pahanya yang menjadi sandaran. Andrew yang lelah setelah bekerja, langsung mencari Kiana dan tidur di pangkuan wanita itu. Dia bahkan belum sempat makan atau ganti pakaian. Sementara Kiana sendiri membiarkannya. Dia dengan lembut mengusap kening Andrew yang berkeringat. Perasaan hatinya menjadi sedikit lebih tenang setelah Andrew datang. "Kamu mengangkatnya?" Mata Andrew yang tadinya terpejam, mulai terbuka dan menatap wajah cantik Kiana dengan bingung. Dia lupa, kalau dia memang meninggalkan ponselnya begitu saja di rumah. "I-iya, Kak Arkan terlihat khawatir. Katanya, Tante Nina dan Om Vino ingin bertemu denganmu, sekalian mereka akan mengadakan syukuran anak-anak Kak Arkan." Lidah Kiana terasa sulit untuk bicara. Dia sama sekali tidak nyaman mengatakan ini. Apalagi kenya
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal