Aku terkikik melihat reaksi Dendy. Sumpah, aku kangen banget bercanda begini sama bocah yang sekarang tingginya sudah melampaui aku itu. "Gue es teler aja deh, samain kayak Danar.""Buset dah, lo disamain kayak es teler, Bang, sama Kak Wina." Danar terkekeh. "Nggak apa-apa. Itu artinya gue nyegerin." "Bener tuh. Meski namanya es teler, tapi nggak bikin teler dan malah nyegerin. "Den! Jadi enggak, sih?!" Dean menyusul muncul. Mukanya ditekuk, dan terlihat bete. "Nanyanya kelamaan." Dendy nyengir. "Sori, Bang. Diajak debat dulu sama Kak Wina. Yuk, ah! Cabut! Lo di rumah aja, Kak. Sama ibu. Ibu tadi pesen es pisang ijo."Aku membiarkan mereka bertiga pergi. Sempat kudengar mereka meributkan siapa yang akan menyupir. Dua lawan satu, Dendy kalah, dia akhirnya yang jadi supir. Aku masih duduk santai di teras menikmati hari yang nggak begitu terlalu terik. Di tempat tinggal ibu ini masih banyak pohon rindang. Jadi, cuacanya lumayan adem. "Ibu kira kamu ikut mereka." Ibu datang nggak
"Cendol, Es teler, Es Kelapa, ready!" Aku gagal memejamkan mata setelah panggilan dari Tama berakhir. Sampai Dendy dan lainnya sudah kembali, aku memutuskan menyongsong kedatangan mereka. "Es cincau gue mana?" tanyaku mengintip kantong plastik hitam yang ada di meja ruang tengah. "Kagak ada. Males gue keliling nyari tukang cincau. Udah, yang ada aja," sahut Dendy, beranjak duduk di sofa ruang tengah. Ibu datang membawa beberapa mangkok dari dapur. "Nih, pake ini. Wina, taruh es-es itu ke dalam mangkok." Aku membongkar satu persatu isi plastik hitam itu. Ada dua es teler, satu es pisang ijo, dan dua es Cendol. "Es Cendol dua punya siapa nih?" tanyaku sembari menaruh dua bungkus ke mangkok. "Punya gue sama Dendy. Lo sama Danar es teler. Emak lo es pisang ijo, sahut Dean menarik salah satu mangkok cendol. "Wuih, jadi ibu nih yang beda sendiri." Ibu tersenyum lalu mengambil salah satu mangkok yang baru saja aku tumpahin es teler dan menyerahkannya kepada Danar. "Ih, ibu itu kan p
"Ada tamu rupanya. Loh, Win? Minumannya mana?" tanya Ibu setelah mengucapkan salam. Giko langsung berdiri menyambut ibu dan mengulurkan tangannya. "Ibu apa kabar? Sehat?" "Alhamdulillah Ibu sehat," sahut Ibu menyambut uluran tangan Giko. "Kamu tambah ganteng aja, ya. Lama banget ibu nggak liat kamu." "Terima kasih, Bu. Tahu aja kalau saya dari dulu ganteng," ujar Giko nyengir. Aku memutar bola mata jengah. Nggak bisa dikasih hati. Di mana-mana kepercayaan dirinya tetap melangit. "Ini siapa ya?" tanya Giko menunjuk Dendy yang dari tadi cuma berdiri di samping ibu tanpa berniat menyapanya. Aku yakin Dendy sengaja melakukan itu agar Giko bingung. Narsisnya adikku itu kan sebelas dua belas dengan si playboy. "Lo lupa sama gue?" tanya Dendy, sok galak. Giko menggeleng dengan tatapan heran. "Siapa memangnya lo? Jangan bilang lo calon suami Wina."Dendy menyeringai. Aku bisa melihat Devil di atas kepalanya. Melalui pelototan mata aku memperingatkan anak itu agar tidak berbuat macam.
Minggu ini jatahku pertama yang mengikuti acara Goes To School. Dari tim marketing tiga orang termasuk aku dan Arin. Ditambah dua orang dari General affair. Ada lima orang yang akan berkunjung di salah satu sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Kami berlima menggunakan mobil kantor sekaligus membawa barang-barang promosi. "Kalau udah sampai sana kabari, ya," ucap Danar sebelum mobil meninggalkan kantor. Dia ikut mengantar hingga teras lobi. "Kalau ada waktu senggang saya nyusul." "Acaranya sampai jam tiga doang loh, Pak," sahut Arin. "Iya, kalau jam makan siang ada waktu dan nggak sibuk, saya ke sana. Meninjau. Semoga lancar acara kalian." Aku duduk di kursi tengah bersama Arin, dan Fathur salah satu orang general affair. Dua orang lainnya di depan. Sementara barang-barang bawaan kami ada di bagian belakang. "Pak Danar suka sama salah satu di antara kalian, ya?" tanya Fathur tiba-tiba. Aku dan Arin saling berpandangan sejenak. "Kok bisa mikir sampai sana, Mas?" tanyaku hera
"Habis ini kamu langsung pulang, ya," ujarku ketika makanan yang Tama pesan datang. "Kok langsung pulang? Padahal aku mau lihat acara kalian." "Nggak usah. Please, kali ini nurut sama aku. Aku nggak mau ada masalah lagi, Danar akan ada di sini juga." Aku menarik es jeruk yang kupesan. "Cuma Danar, kan? Giko nggak. Nggak masalah dong kalau gitu." Hidungku mengembang lebar ketika aku mengembuskan napas. Nggak Giko, nggak Tama, susah banget diajak kerja sama. "Kalau kamu masih mau kita ketemu, tolong nurut." Aku terpaksa mengancam. "Kalau gitu, apa password baru apartemen kamu?" Aku memundurkan badan dan menatapnya. "Sori, aku nggak mau kasih tau. Aku nggak mau kejadian yang terakhir itu terulang lagi." "Kali ini nggak akan terjadi. Aku janji."Aku menggeleng tegas. "Sori, aku nggak bisa." Tama tampak menghela napas, lalu mengangguk. "Pulang aku jemput, kali ini jangan nolak. Aku nggak nerima penolakan." Ini lebih nggak mungkin. Gimana dengan Giko? "Tam, itu kayaknya nggak mung
Menghubungi Luffy? Aku nggak punya kerjaan kalau itu beneran aku lakukan. Setelah acara Goes To School, aku masih lanjut mengerjakan laporan, Arin bahkan langsung ikut Danar bertemu klien. Semua orang sibuk, jadi aku nggak ada waktu menghubungi siapa pun, khususnya Luffy. Aku beneran nggak tahu mau orang itu apa. Sikapnya sebelas dua belas sama Giko, ngeselin. Aku baru saja merapikan meja ketika ponselku yang tergeletak di dekat laptop bergetar. Layarnya bercahaya dan menampilkan nama Tama di sana. Aku mengabaikan panggilan itu hingga nada deringnya berakhir. Namun, saat aku mematikan layar laptop, ponsel itu kembali berbunyi. Masih dari Tama. "Ada apa, Tam?" tanyaku yang pada akhirnya mengalah, mengangkat panggilannya. Aku mengapit ponsel di antara bahu dan telinga, sementara dua tanganku menyimpan laptop ke dalam tas. "Aku udah ada di lobi kantor kamu." Spontan mataku terpejam. Beruntung Giko sempat memberiku kabar kalau dia nggak bisa mengantarku pulang. Jadi, aku sedikit aman.
Arin memang bisa diandalkan. Saat ini aku berada di mobilnya. Meskipun tempat tinggal kami berlawanan arah, tapi dia tidak masalah mengantarku pulang. "Thanks ya, Rin. Gue nggak tau apa jadinya kalau nggak ada lo tadi." Aku mengembuskan napas lelah. "Kok bisa begini, ya?" Dia menggeleng. "Lo diperebutkan banyak cowok banget, Win. Ini untung apa musibah buat lo?" tanya Arin lantas terkekeh. Seandainya dia tahu keadaan sesungguhnya. "Itu musibah. Gue nggak mau ada dalam situasi begini." "Tinggal pilih salah satu dari mereka, kan?" Arin bicara seakan hal ini mudah saja."Gue nggak mau pilih salah satu pun dari mereka." "Iya juga ya, mereka membingungkan. Tapi kalau gue jadi lo Pak Giko gue skip. Tinggal Pak Tama dan Pak Luffy. Nah, mereka sama-sama berbobotnya." Dan, kalau Arin tahu Tama yang sebenarnya, aku yakin dia bakal skip juga. Lalu tersisa Luffy sebagai pilihan yang sama sekali nggak aku ingin juga. Ya Tuhan ribet banget sih hidup gue? Rasanya aku ingin segera menenggelamka
Dia mengajakku nikah siri. Tidak. Aku nggak pernah memimpikan pernikahan seperti itu. Aku memiliki konsep pernikahan impian. Tidak mewah namun sakralnya dapat. Bertempat di suatu lokasi yang bisa menghasilkan debur ombak dan aroma kayu secara bersamaan. Tama memang orang yang aku cintai, tapi aku juga nggak ingin dibutakan oleh cinta. Aku masih punya otak untuk berpikir, tidak mau ambil resiko yang akhirnya bisa merugikan diri sendiri. Bukankah nikah siri itu sangat merugikan pihak perempuan? Enak di lo nggak enak di gue. Ketukan pintu terdengar bahkan sebelum aku sampai di ranjang tidur. "Wina, oke. Aku minta maaf soal yang tadi. Tapi bisakah kita bicara lagi?" Suara Tama terdengar. Aku mendadak malas padanya. Akhir-akhir ini aku memang menjadi lebih sensitif, mungkin karena masalah yang terlalu menumpuk. Aku membuang napas dan berbalik menatap bilah pintu yang masih saja diketuk. Tama di sana nggak berhenti memanggil namaku. Sampai aku mengalah dan membuka pintu kamar. Wajah p