"Jadi gini ya Rade, setiap media itu punya ciri khas masing-masing. Coba deh baca media-media besar . Itu gaya penulisan mereka identik banget, " terang Rafly.
"Iya juga ya Bang. Kadang satu berita yang sama bisa ditulis dari berbagai sudut."
"Nah, tu pinter. Kalau untuk tabloid kita ini, sejak awal kita ingin mengarahkan dengan gaya jurnalisme sastrawi. Pemberitaan tapi bergaya sastra gitu. Bahasa yang mengalir. Kebayang kan, kita yang cuma terbit seminggu sekali mengangkat berita yang sama dengan koran harian. Bisa kegilas kita kalau gak punya ketajaman penulisan. "
"Iya, Bang. Saat satu momen mungkin udah basi, nah kita bari terbit. "
"Yups. Makanya kita harus beda. Udah sini kita evaluasi dulu di mana ini tulisan kamu bisa diperbaiki. "
Rade tersenyum kemudian dengan semangat meraih mouse. Sedetik berselang, tangan Rafly pun meraih mouse tersebut. Tangan Rafly tepat berada di atas tangan Rade. Hening sejenak. Rafly tidak melepaskan tangannya, Rade pun tertegun. Keduanya ada dalam gelombang yang sama. Bergetar dan berdebar.
Handphone Rade berdering, di layar kontak tertulis "yang nakal". Dering itulah yang membuat Rade dan Rafly tersadar dan melepaskan sentuhan tangan mereka.
Rade mengangkat telepon dan mengatakan sebentar lagi akan pulang.
"Yang nakal? Lucu banget nama kontaknya, " canda Rafly. "Eh, iya Bang. Itu.... ""Pacar, " sambar Rafly. "Eh, anu Bang... Pernah jadi pacar. Baru mau jadi pacar lagi. ""O.... "Suasana menjadi kaku. Diam sejenak. Mereka berdua salah tingkah. Rade merasa seperti sedang dipergoki melakukan kesalahan. Padahal tidak ada yang salah. Sah saja Ferdi meneleponnya.
"Rade kalau mau pulang silakan, besok kita bahas lagi ya soal tulisan. Besok, Rade jalan lagi dana Riska, " ucap Rafly.Rade tak mau terlalu dini menilai ekspresi Rafly, karena ia tak mau merasa kegeeran. Namun, hati kecilnya berkata Rafly tidak nyaman mengetahui tentang Ferdi.
"Gak mungkin, gak mungkin Rade. Jangan halu. Masa iya Bang Rafly cemburu. Kenal aja baru. Jangan sok kecakepan deh Rade," Rade mengomeli dirinya sendiri sambil menyentuh keningnya dengan telunjuk.
******
"Kakak mau ke mana udah cantik begitu?" Mama menyapa Rade.
"Mau jalan sama Ferdi, Ma."
"Ini, kamu beneran balikan sama Ferdi? Udah cek and ricek belum dia punya pacar atau enggak? "
"Udah,Ma. Ferdi bilang dia belum punya pacar. "
"Kakak yakin?""Yakin bingits, Mommy. Heheh dari dulu Ferdi gak berubah Mam, tetep penyayang dan kocak. "
"Nah, kamu beneran yakin masih sayang Ferdi?"
"Gak jelas juga sih, Ma. Tapi sementara ini, Rade merasa cocok aja sama Ferdi.""Mudah-mudahan bukan cuma karena kamu masih baperan masa SMA. Inget kak, kamu udah dewasa bukan ABG lagi."
Ferdi tiba di rumah Rade. Setelah menyapa ramah Mama Rade.
"Hari ini gak naik motor?" tanya Mama.
"Enggak, Tan. Hari udah malam, kasihan nanti Rade kedinginan jadi bawa mobil aja deh."
"Okeh, tapi tetap hati-hati ya, dan jangan pulang larut."
"Siap, Tan," Ferdi tersenyum sumringah. Deratan giginya rapi dan bersih meskipun ia seorang perokok.
Mobil Ferdi membelah keramaian kota di malam hari. Terdengar alunan tangga lagu terkini dari radio mobilnya. Mereka bernyanyi bersama beberapa lagu yang liriknya mereka hapal kemudian.
"Mencintaimu sepanjang waktu..., " Ferdi menyanyikan lirik lagu.
"Bukan sepanjang waktu, tapi setulus hati, " Rade mengoreksi.
"Sepanjang waktu."
"Setulus hati."
"Apapun deh, yang pasti aku mencintaimu sepanjang waktu setulus hati," Ferdi menatap nakal ke arah Rade.
"Apaan sih, gombal."
"Tapi suka kan?"
"No," balas Rade manja.
Sejenak Rade mengingkari diri sendiri. Logikanya mengatakan Ferdi gombal, hatinya berbunga-bunga.
Setalah 45 menit berkendara, mereka tiba di resto dengan konsep terbuka. Kerlip lampu menghadirkan suasana romantis. Alunan instrumen jazz melengkapi syahdunya malam.
"Jauh banget kita sampai di sini."
"Iya, De. Aku ingin ngobrol sama kamu di tempat yang romantis kayak gini. Aku udah pesan tempat di situ," Ferdi menunjuk ke satu arah. Saat menuju meja yang dipesan, Ferdi menggandeng tangan Rade. Mukanya kaget, tapi Rade membiarkan saja."Kamu inget kan, waktu kamu belum balik ke sini, aku pernah bilang bahwa ingin melanjutkan lagi hubungan kita?"
"Iya. Salah satu alasan aku balik ke sini selain karena permintaan Mama, ya karena kamu."
"Sejak kita bertengkar lalu putus kemudian kamu kuliah di luar, kita hilang komunikasi. Aku gak pernah berhubungan dengan siapapun. Sulit banget buat ngelupain kamu. Aku belajar. Belajar untuk ngelupain. Tapi makin pengen aku ngelupain makin aku inget kamu. "
Rade tertegun mendengar pengakuan Ferdi. Ia tak menyangka Ferdi akan bicara seserius itu.
"Kalau memang kamu gak bisa ngelupain aku, kenapa kamu gak minta balikan lagi waktu kita putus?""Waktu itu aku gengsi. Aku menganggap kamu yang salah. Kamu ego. Kamu melarang aku gaul bareng dengan teman bandku. Kamu posesif. Padahal aku gak pernah membatasi kamu dengan teman teatermu."
"Aku kira waktu itu kamu benar-benar benci sama aku. Sebagai cewek aku juga gengsi kalau harus ngajak balikan duluan. Padahal, hampir setiap kamu sama bandmu manggung aku selalu hadir. Diam-diam mengambil fotomu lalu memandangnya dan bicara sendiri."
"Rade, waktu itu, kita adalah dua orang bodoh yang tidak mau jujur pada diri sendiri bahwa kita masih saling sayang. Kalau saja waktu itu ada di antara kita yang mau memulai lebih dulu, tidak mungkin kita seperti ini. Sekarang aku gak mau menyia-nyiakan kesempatan dan waktu. Waktu memang gak bisa diputar balik, tapi peristiwa yang sama bisa kita tulis lagi."
Rade terpaku menatap mata Ferdi. Ia yakin benar, Ferdi mengungkapkan perasaannya dengan serius. Bagaimana bisa ia melawan gejolak hatinya. Terbayang masa ketika ia mengurung diri di kamar, menangis hingga matanya bengkak ketika ia menyatakan putus pada Ferdi. Kala itu, ia menyesal. Namun gengsinya terlalu tinggi untuk menarik kembali kata itu. Setiap hari ia menanti Ferdi menelepon untuk meminta maaf dan mengajak berbaikan. Namun, telepon yang ditunggj tak juga ada.
Teringat pula kala ia menulis berpuluh puisi galau di belakang buku sekolahnya. menulis nama Ferdi dengan tulisan indah. Melamun saat jam belajar hingga yang muncul di papan tulis bukan lagi materi belajar tetapi nama Ferdi. Kini, sosok yang pernah membuatnya patah hari kala remaja itu mengungkapkan isi hatinya. Lelaki itu mengatakan kata-kata yang pernah ditunggunya 6 tahun lalu. Rade tak kuasa menahan gejolak. Ingin sekali memeluk Ferdi. Namun, ia mengurungkan niatnya karena tak mau terlalu agresif.Malam makin menua. Rade dan Ferdi masih berbincang. Banyak kata yang mereka ungkapkan tentang perasaan di masa lalu. Mereka saling jujur dan terbuka. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan Ferdi. Sesuatu yang kelak akan membuat Rade terluka."Mulai sekarang, kita seperti dulu lagi ya?" tanya FerdiRade mengangguk lalu tersenyum. Gemintang memandikan mereka dengan kerlip kemilau. Cahayanya menembus hingga ke relung hati Rade."Kita pulang sekarang? Sudah larut.""Okeh."*****Keesokan pagi, Rade tiba di kantor lebih awal. Ia ingin segera bertemu Rafly. Ia meminta office boy untuk membuatkan secangkir kopi pahit. Ia duduk di meja Redaksi kemudian membaca headline dari beberapa media. Koran cetak dan berita online semua menjadi sarapan Rade."Selamat pagi," suara berat Rafly menyapa seisi ruangan redaksi."Selamat pagi juga, Bang," jawab Rade."Bagaimana kencannya semalam?" pertanyaan Rafly pada Rade menyulut perhat
Suasana ruang redaksi Tabloid WeekNews dihebohkan oleh pengakuan Rade bahwa tulisannya telah terbit di media lain. Padahal tulisan itu akan terbit pada tabloid mereka besok. Ia merasa bahwa ada seseorang yang telah mencuri tulisannya.“Bang Rafly, ini bagaimana? Kok bisa tulisanku terbit di media lain?” Rade bersungut-sungut kesal.“Kamu yakin ini sama persis?”“Persis banget, Bang. Ini benar-benar diplagiat tanpa diedit sama sekali. Bagaimana ini, Bang. Mereka sudah terbit hari ini, sedangkan kita besok. Kita yang bakal dibilang ngikutin mereka, Bang,” Rade mulai sedih.Rafly lalu membaca tulisan yang tayang di koran tersebut. Ia kemudian membandingkan dengan tulisan Rade. Ia pun terkejut karena tulisan itu sama persis.“Sungguh keterlaluan, siapa yang mencuri data kita?”“Bang Rafly, memang kita gak ada bukti untuk menuduh siapapun. Tapi coba deh liha
Sejak kejadian “pencurian” tulisan Rade oleh orang dari media lain, tim redaksi semakin waspada. Apalagi mereka masih melihat Aden datang dengan leluasa ke kantor. Mereka merasa percuma mengatakan kepada Bang Arif karena ia tidak percaya bahwa Aden pelakunya. Tiba-tiba pagi itu Bang Arif meminta semua anggota redaksi berkumpul di ruang rapat. “Kita kedatangan anggota baru yang akan bergabung di tim redaksi sebagai wartawan. Ia wartawan senior dan cukup kompeten. Rekan-rekan wartawan dapat belajar darinya,” Bang Arif membuka perkenalan sembari menyilakan Aden masuk ke ruang rapat. Semua mata terbelalak melihat Aden masuk ke ruang rapat sebagai orang yang diperkenalakan menjadi anggota baru tim redaksi. Semua orang menyimpan tanda tanya dalam benaknya masing-masing.&
Malam hari Ferdi menjemput Rade pada jam yang telah dijanjikan. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota karena Rade sedang tidak ingin makan malam. Susana hingar-bingar taman kota begitu kental.Taman yang terletak di pusat kota itu memang memiliki fasilitas yang lengkap. Ada arena bermain untuk anak-anak. Beberapa orang menyewakan mobil-mobilan, sepeda, atau becak mini. Ada juga arena melukis untuk anak-anak, permainan tradisional, dan area untuk bersantai. Di pinggir taman, deretan gerobak penjaja makanan kecil silih berganti didatangi pengunjung.“Ferdi, nanti kamu mau punya anak berapa?” tanya Rade sambil melihat ke arah anak-anak yang asik bermain.“Anak?”“Iya, anak. Coba kamu lihat di sana, orang tua dengan bahagia menemani anak mereka bermain. Aku ingin nanti kita juga seperti itu?”Ferdi tersedak mendengar ucapan Rade. Ia merasa bersalah kepada Rade karena ia tidak memiliki pem
Rade duduk sendiri menikmati kelapa muda. Matanya menatap hampa pada gulungan ombak di pantai. Semilir angin menampar lembut wajahnya. Suara ombak memecah batuan mendesau-desau di telinganya. Gesekan daun pohon kelapa yang dipermaikan angin melengkapi irama pagi. Sementara itu, matahari masih malu-malu muncul ke peraduannya. Menjingga merah merona cahayanya perlahan-lahan memantul dan berkilau di laut. Belum ada siapapun di pantai ini kecuali para pedagang. Mungkin Rade adalah pengunjung pertama di pantai ini. Ia ingin menenangkan diri karena masih belum dapat menerima peristiwa semalam. “Bagaimana mungkin kamu bisa begitu jahat padaku, Ferdi,” Rade bicara sendiri. Rade masih
Aden menyeruput es kopi di kafe tempat biasa. Ia duduk sendiri sembari menggeser-geser layar Hp-nya. Sesekali ia tersenyum dan tertawa kecil. Entah apa yang dibacanya. Tetapi sepertinya ia sangat menikmati sesuatu di layar hp. Ia bersiap berdiri karena ingin segera ke kantor lagi. Saat itu, ia melihat Surya, temannya di Harian Realita baru saja duduk dan memesan kopi. Surya tidak sendiri, ia ditemani seorang perempuan yang dikenal Aden. “Apa kabar, Bro?” Aden menyapa Surya. “Wee, Bang Aden. Baik Bang, udah lama ni kita gak jumpa.” Aden melirik pada teman wanita Surya, “Nining, kamu...,” s
Kamu Orang AnehRade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“F
Sesosok perempuan memasuki ruangan redaksi. Perempuan itu tidak menyalakan lampu. Sambil celingak-celinguk dan berjalan perlahan, ia duduk depan komputer. Karena gelap, perempuan itu tidak menyadari ada sosok lain di ruangan. Setelah komputer menyala dan cahaya memendar dari layarnya, perempuan itu dikejutkan oleh bayangan yang terpantul di tembok.“Aaaaaaaaaa,” ia berteriak.Sesosok di belakangnya langsung mendekap mulutnya.“Jangan ribut kalau kau tidak ingin ada yang tahu keberadaanmu.”Perempuan itu mengangguk pelan dan ketakutan. Ketika dekapan dimulutnya telah dikendorkan, ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok Aden.“Aaanu, kamu ngapain di sini?” tanya perempuan itu.“Aku yang harusnya bertanya, kamu ngapain di sini?” bentak Aden.“Akuu...aakuu.”“Kamu mau mencuri data lagi kan?
“Bang Rafly udah makan siang?” tanya Rade.“Abang mau makan siang ini sebentar lagi.”“Makan bareng mau?” tanya Rade.“Maaf, Abang makan di rumah ya.”“Tumben?” tanya Rade.“Iya, ada calon kakakmu di rumah.”“Calon kakak?”“Hehe Iya. Ya udah, Abang pulang duluan ya, nanti kakakmu marah,” ujar Rafly sambil terus beranjak pergi.Rade masih kebingungan dengan sosok yang disebut Rafly sebagai calon kakaknya. Belum habis kebingungan Rade, ia terperanjat melihat Nining dan Aden makan bersama. Nining sedang berusaha menyuapi Aden. Aden yang melihat Rade terpaku menatapnya dan Nining langsung membuka mulut menerima suapan Nining. Rade yang melihat itu hanya tersenyum sinis.“Ternyata doyan yang seksi juga,” kata Rade dalam hati.Sesaat setelah Rade beranjak, Aden menempis tangan Nin
Rade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“Ferdi mengantarkan undangan pernikahan.
Sesosok perempuan memasuki ruangan redaksi. Perempuan itu tidak menyalakan lampu. Sambil celingak-celinguk dan berjalan perlahan, ia duduk depan komputer. Karena gelap, perempuan itu tidak menyadari ada sosok lain di ruangan. Setelah komputer menyala dan cahaya memendar dari layarnya, perempuan itu dikejutkan oleh bayangan yang terpantul di tembok.“Aaaaaaaaaa,” ia berteriak.Sesosok di belakangnya langsung mendekap mulutnya.“Jangan ribut kalau kau tidak ingin ada yang tahu keberadaanmu.”Perempuan itu mengangguk pelan dan ketakutan. Ketika dekapan dimulutnya telah dikendorkan, ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok Aden.“Aaanu, kamu ngapain di sini?” tanya perempuan itu.“Aku yang harusnya bertanya, kamu ngapain di sini?” bentak Aden.“Akuu...aakuu.”“Kamu mau mencuri data lagi kan?
Kamu Orang AnehRade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“F
Aden menyeruput es kopi di kafe tempat biasa. Ia duduk sendiri sembari menggeser-geser layar Hp-nya. Sesekali ia tersenyum dan tertawa kecil. Entah apa yang dibacanya. Tetapi sepertinya ia sangat menikmati sesuatu di layar hp. Ia bersiap berdiri karena ingin segera ke kantor lagi. Saat itu, ia melihat Surya, temannya di Harian Realita baru saja duduk dan memesan kopi. Surya tidak sendiri, ia ditemani seorang perempuan yang dikenal Aden. “Apa kabar, Bro?” Aden menyapa Surya. “Wee, Bang Aden. Baik Bang, udah lama ni kita gak jumpa.” Aden melirik pada teman wanita Surya, “Nining, kamu...,” s
Rade duduk sendiri menikmati kelapa muda. Matanya menatap hampa pada gulungan ombak di pantai. Semilir angin menampar lembut wajahnya. Suara ombak memecah batuan mendesau-desau di telinganya. Gesekan daun pohon kelapa yang dipermaikan angin melengkapi irama pagi. Sementara itu, matahari masih malu-malu muncul ke peraduannya. Menjingga merah merona cahayanya perlahan-lahan memantul dan berkilau di laut. Belum ada siapapun di pantai ini kecuali para pedagang. Mungkin Rade adalah pengunjung pertama di pantai ini. Ia ingin menenangkan diri karena masih belum dapat menerima peristiwa semalam. “Bagaimana mungkin kamu bisa begitu jahat padaku, Ferdi,” Rade bicara sendiri. Rade masih
Malam hari Ferdi menjemput Rade pada jam yang telah dijanjikan. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota karena Rade sedang tidak ingin makan malam. Susana hingar-bingar taman kota begitu kental.Taman yang terletak di pusat kota itu memang memiliki fasilitas yang lengkap. Ada arena bermain untuk anak-anak. Beberapa orang menyewakan mobil-mobilan, sepeda, atau becak mini. Ada juga arena melukis untuk anak-anak, permainan tradisional, dan area untuk bersantai. Di pinggir taman, deretan gerobak penjaja makanan kecil silih berganti didatangi pengunjung.“Ferdi, nanti kamu mau punya anak berapa?” tanya Rade sambil melihat ke arah anak-anak yang asik bermain.“Anak?”“Iya, anak. Coba kamu lihat di sana, orang tua dengan bahagia menemani anak mereka bermain. Aku ingin nanti kita juga seperti itu?”Ferdi tersedak mendengar ucapan Rade. Ia merasa bersalah kepada Rade karena ia tidak memiliki pem
Sejak kejadian “pencurian” tulisan Rade oleh orang dari media lain, tim redaksi semakin waspada. Apalagi mereka masih melihat Aden datang dengan leluasa ke kantor. Mereka merasa percuma mengatakan kepada Bang Arif karena ia tidak percaya bahwa Aden pelakunya. Tiba-tiba pagi itu Bang Arif meminta semua anggota redaksi berkumpul di ruang rapat. “Kita kedatangan anggota baru yang akan bergabung di tim redaksi sebagai wartawan. Ia wartawan senior dan cukup kompeten. Rekan-rekan wartawan dapat belajar darinya,” Bang Arif membuka perkenalan sembari menyilakan Aden masuk ke ruang rapat. Semua mata terbelalak melihat Aden masuk ke ruang rapat sebagai orang yang diperkenalakan menjadi anggota baru tim redaksi. Semua orang menyimpan tanda tanya dalam benaknya masing-masing.&
Suasana ruang redaksi Tabloid WeekNews dihebohkan oleh pengakuan Rade bahwa tulisannya telah terbit di media lain. Padahal tulisan itu akan terbit pada tabloid mereka besok. Ia merasa bahwa ada seseorang yang telah mencuri tulisannya.“Bang Rafly, ini bagaimana? Kok bisa tulisanku terbit di media lain?” Rade bersungut-sungut kesal.“Kamu yakin ini sama persis?”“Persis banget, Bang. Ini benar-benar diplagiat tanpa diedit sama sekali. Bagaimana ini, Bang. Mereka sudah terbit hari ini, sedangkan kita besok. Kita yang bakal dibilang ngikutin mereka, Bang,” Rade mulai sedih.Rafly lalu membaca tulisan yang tayang di koran tersebut. Ia kemudian membandingkan dengan tulisan Rade. Ia pun terkejut karena tulisan itu sama persis.“Sungguh keterlaluan, siapa yang mencuri data kita?”“Bang Rafly, memang kita gak ada bukti untuk menuduh siapapun. Tapi coba deh liha