Sejak kejadian “pencurian” tulisan Rade oleh orang dari media lain, tim redaksi semakin waspada. Apalagi mereka masih melihat Aden datang dengan leluasa ke kantor. Mereka merasa percuma mengatakan kepada Bang Arif karena ia tidak percaya bahwa Aden pelakunya. Tiba-tiba pagi itu Bang Arif meminta semua anggota redaksi berkumpul di ruang rapat.
“Kita kedatangan anggota baru yang akan bergabung di tim redaksi sebagai wartawan. Ia wartawan senior dan cukup kompeten. Rekan-rekan wartawan dapat belajar darinya,” Bang Arif membuka perkenalan sembari menyilakan Aden masuk ke ruang rapat.
Semua mata terbelalak melihat Aden masuk ke ruang rapat sebagai orang yang diperkenalakan menjadi anggota baru tim redaksi. Semua orang menyimpan tanda tanya dalam benaknya masing-masing.
“Saya rasa semua sudah kenal dengan Raden Wijaya Kesuma,” Bang Arif menyebutkan nama panjang Aden.
“Senang bergabung dengan tim Tabloid WeekNews, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik,” Aden menyapa dengan senyum sumringah.
Senyum Aden tak cukup mampu menggugah perasaan anggota tim redaksi yang kadung tak menyukainya. Mereka hanya membalas dengan sunggingan senyum yang dipaksakan.
Usai perkenalan, Rafly mendatangi Arif ke ruangannya. “Bang Arif kok gak bilang dulu sama saya bahwa ada wartawan baru,” protes Rafly.
“Ia, maaf aku tidak berkoordinasi sebelumnya sama kamu. Tapi gak masalah, Aden bukan wartawan bau kencur. Dia sudah lama malang melintang di dunia jurnalistik. Usianya dengan kamu juga tak berbeda jauh,” kata Arif.
“Iya, Bang. Tapi semua tetap harus sesuai prosedur penerimaan wartawan baru. Kita harus bersikap adil kepada siapa saja yang menjadi anggota baru di tim kita,” Rafly bersikeras.
“Udahlah, jangan dibuat rumit. Tidak mungkin Aden magang dulu seperti wartawan lainnya.”
Rafly mulai tidak merasa nyaman dengan sikap Arif, terlebih kehadiran Aden. Rafly merasa Aden akan menjadi saingannya meskipun secara jabatan ia lebih tinggi dari Aden. Ia tidak suka jika ada yang akan dianggap lebih senior darinya.
***
Matahari dengan garang menerpa bumi. Rade dan Ferdi sedang menikmati jus buah di sebuah kafe.
“Aku lagi kesel nih, Fer.”
“Kamu kesel sama siapa?”
“Aden yang kemarin aku ceritain kemarin sekantor sama aku. Aku sekarang lagi kesel banget,” katanya.
Ferdi hanya terus mendengarkan saja sembari beredeham semua keluhan Rade. Ia menyimak dengan saksama sampai Rade puas menumpahkan semua kekesalannya. Sebenarnya ada hal penting yang ingin disampaikan Ferdi pada Rade. Namun, ia mengurungkan niatnya karena ia melhiat sepertinya suasana belum mendukung.
“Kamu kok diem aja. Oh iya, tadi katanya ada hal penting yang mau kamu sampaikan ke aku. Ada apa?” tanya Rade.
“Nanti malam saja ya, kalau kamu sudah gak kesel lagi,” kata Ferdi.
Rade mengernyitkan kening. Ia merasa curiga pada apa yang akan disampaikan oleh Ferdi, tetapi ia membuang jauh-jauh pikiran buruk. Ia merasa tidak mungkin Ferdi menyakitinya karena ia kenal benar dengan Ferdi, sosok yang sangat penyayang.
“Berarti nanti malam kamu jemput aku lagi?”
“Iya, aku jemput kamu pas pulang kantor ya, kita sekalian makan malam,” kata Ferdi.
***
Rade tiba di kantor usai makan siang. Ia lalu mulai mendengarkan rekaman wawancara dengan narasumber. Ia mencari beberapa data pendukung lain sebagai bahan tulisan. Ketika sedang serius menulis, ia melihat Aden mendekat dan duduk di sebelahnya.
Aden tidak tersenyum, menyapa, juga tidak berbicara pada Rade. Ia hanya sibuk di depan komputer kemudian membaca beberapa artikel. Sesekali Rade menoleh, tetapi Aden tetap cuek seolah Rade tidak ada di sebelahnya.
“Sombong banget, amit-amit,” bisik Rade dalam hati.
“Kalau bikin tulisan itu harus fokus, jangan sibuk lirik-lirik orang lain. Bagaimana bisa dapat tulisan bagus kalau gak fokus?” tiba-tiba Aden mengeluarkan celetukan.
Rade merasa celetukan itu adalah penghakiman yang tidak beralasan terhadap dirinya. Perkataan Aden secara tersirat mengatakan bahwa tulisan Rade tidak bagus.
“Tunggu dulu, kamu ngomong sama saya?” tanya Rade.
Aden lalu melihat sekeliling kemudian berujar, “saya rasa di ruangan ini hanya ada kamu dan saya. Jadi tidak mungkin saya ngomong sama tembok atau sama bangku ini kan?” Aden berujar ketus sambil menunjuk kursi yang didudukinya.
“Maksudnya apa ya? Kenapa mengatakan bahwa tulisan saya tidak bagus?”
“Hello, Anda bisa mendengar jelas kalimat saya kan? Saya tidak mengatakan bahwa tulisan Anda tidk bagus.”
“Tapi, tadi kamu yang bilang, bagaimana tulisan bisa bagus kalau gak fokus?”
“Berarti kamu mengakui bahwa kamu sedang tidak fokus.”
“Nyebelin banget,” ucap Rade pelan.
Sudut bibir Aden menyungging ke atas. Ia melirik Rade lalu menoleh ke komputer tanpa menjawab ucapan Rade.
Rade lalu mematikan komputernya dan meninggalkan Aden. Aden memperhatikan Rade menuju ruangan Rafly.
“Dasar bodoh, pasti masuk kandang buaya lagi,” gumam Aden.
Rade melihat Rafly sedang menelepon seseorang sehingga ia mengurungkan diri untuk masuk. Namun, Rafly melambai pertanda menyilakan Rade masuk. Rade lalu masuk dan duduk di sofa.
“Nanti aku telepon lagi ya, titip cium untuk anak-anak. I love you,” Rafly mengakhiri pembicaraan di telepon.
Kalimat itu sontak membuat darah Rade berdesir. Ia merasakan semacam ketidakrelaan mendengar kalimat itu. Namun, ia juga merasa bahwa tidak berhak untuk merasakan kecemburuan.
“Telepon siapa, Bang?” kecemburuan Rade telah mendahului logikanya.
“Oh, itu. anak-anak.”
“Anak-anak atau mamanya anak-anak.”
Rafly merasa puas dalam hatinya melihat sikap Rade. Ia melihat itu sebagai bentuk romansa Rade padanya.
“Oh iya, ada perlu apa ke sini, Rade?” Rafly mengalihkan pembicaraan.
“Gak jadi deh, Bang. Aku gak mau ganggu Abang,” ucap Rade ketus kemudian ke luar ruangan.
Bukannya marah, Rafly malah tambah senang dengan sikap Rade. Ia merasa bahagia karena membuat Rade cemburu.
“Manis banget sih kamu, Rade,” ujarnya saat Rade membalikkan badan.
Rade keluar ruangan Rafly dengan wajah kecewa. Aden yang masih duduk di depan komputer melirik ke arah Rade. Seketika mata Rade dan Aden saling pandang. Tetapi, tidak seperti saat bertatapan dengan Rafly, Rade merasa kesal baradu pandang dengan Aden.
“Apaan sih, ni orang.”
Aden membuang pandangan dari Rade kemudian kembali menantap layar komputer. Ia kembali fokus membaca berbarapa artikel dengan ekspresi datar. Namun, tiba-tiba konsentrasinya hilang karena bayangan wajah Rade melintas. Ia lalu mematikan komputer kemudian menuju ke parkiran motor.
Motor Suzuki GSX-R150 warna hitan ditunggangi Aden membelah jalanan kota. Saat berkendara, wajah Rade terus membayang di benaknya. Semakin bayangan itu muncul semakin ia tidak menyukai Rade. Terlebih saat ia memergoki Rafly dan Rade malam itu. Ia tidak tau pasti pasti alasannya, tetapi ada rasa benci dan kesal setiap melihat Rade.
Cara berjalan, bicara, ekspresi wajah, membuatnya teringat pada seseorang sangat dibencinya. Padahal, tidak ada kemiripan identik antara Rade dengan orang itu. Aden menambah laju motornya, ia ingin membuang jauh-jauh wajah Rade. Bayangan-bayangan masa lalu tentang perempuan yang dibencinya berkelebat. Semakin ia mencoba melupakan, semakin bayang-bayang itu tampak jelas.
Malam hari Ferdi menjemput Rade pada jam yang telah dijanjikan. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota karena Rade sedang tidak ingin makan malam. Susana hingar-bingar taman kota begitu kental.Taman yang terletak di pusat kota itu memang memiliki fasilitas yang lengkap. Ada arena bermain untuk anak-anak. Beberapa orang menyewakan mobil-mobilan, sepeda, atau becak mini. Ada juga arena melukis untuk anak-anak, permainan tradisional, dan area untuk bersantai. Di pinggir taman, deretan gerobak penjaja makanan kecil silih berganti didatangi pengunjung.“Ferdi, nanti kamu mau punya anak berapa?” tanya Rade sambil melihat ke arah anak-anak yang asik bermain.“Anak?”“Iya, anak. Coba kamu lihat di sana, orang tua dengan bahagia menemani anak mereka bermain. Aku ingin nanti kita juga seperti itu?”Ferdi tersedak mendengar ucapan Rade. Ia merasa bersalah kepada Rade karena ia tidak memiliki pem
Rade duduk sendiri menikmati kelapa muda. Matanya menatap hampa pada gulungan ombak di pantai. Semilir angin menampar lembut wajahnya. Suara ombak memecah batuan mendesau-desau di telinganya. Gesekan daun pohon kelapa yang dipermaikan angin melengkapi irama pagi. Sementara itu, matahari masih malu-malu muncul ke peraduannya. Menjingga merah merona cahayanya perlahan-lahan memantul dan berkilau di laut. Belum ada siapapun di pantai ini kecuali para pedagang. Mungkin Rade adalah pengunjung pertama di pantai ini. Ia ingin menenangkan diri karena masih belum dapat menerima peristiwa semalam. “Bagaimana mungkin kamu bisa begitu jahat padaku, Ferdi,” Rade bicara sendiri. Rade masih
Aden menyeruput es kopi di kafe tempat biasa. Ia duduk sendiri sembari menggeser-geser layar Hp-nya. Sesekali ia tersenyum dan tertawa kecil. Entah apa yang dibacanya. Tetapi sepertinya ia sangat menikmati sesuatu di layar hp. Ia bersiap berdiri karena ingin segera ke kantor lagi. Saat itu, ia melihat Surya, temannya di Harian Realita baru saja duduk dan memesan kopi. Surya tidak sendiri, ia ditemani seorang perempuan yang dikenal Aden. “Apa kabar, Bro?” Aden menyapa Surya. “Wee, Bang Aden. Baik Bang, udah lama ni kita gak jumpa.” Aden melirik pada teman wanita Surya, “Nining, kamu...,” s
Kamu Orang AnehRade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“F
Sesosok perempuan memasuki ruangan redaksi. Perempuan itu tidak menyalakan lampu. Sambil celingak-celinguk dan berjalan perlahan, ia duduk depan komputer. Karena gelap, perempuan itu tidak menyadari ada sosok lain di ruangan. Setelah komputer menyala dan cahaya memendar dari layarnya, perempuan itu dikejutkan oleh bayangan yang terpantul di tembok.“Aaaaaaaaaa,” ia berteriak.Sesosok di belakangnya langsung mendekap mulutnya.“Jangan ribut kalau kau tidak ingin ada yang tahu keberadaanmu.”Perempuan itu mengangguk pelan dan ketakutan. Ketika dekapan dimulutnya telah dikendorkan, ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok Aden.“Aaanu, kamu ngapain di sini?” tanya perempuan itu.“Aku yang harusnya bertanya, kamu ngapain di sini?” bentak Aden.“Akuu...aakuu.”“Kamu mau mencuri data lagi kan?
Rade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“Ferdi mengantarkan undangan pernikahan.
“Bang Rafly udah makan siang?” tanya Rade.“Abang mau makan siang ini sebentar lagi.”“Makan bareng mau?” tanya Rade.“Maaf, Abang makan di rumah ya.”“Tumben?” tanya Rade.“Iya, ada calon kakakmu di rumah.”“Calon kakak?”“Hehe Iya. Ya udah, Abang pulang duluan ya, nanti kakakmu marah,” ujar Rafly sambil terus beranjak pergi.Rade masih kebingungan dengan sosok yang disebut Rafly sebagai calon kakaknya. Belum habis kebingungan Rade, ia terperanjat melihat Nining dan Aden makan bersama. Nining sedang berusaha menyuapi Aden. Aden yang melihat Rade terpaku menatapnya dan Nining langsung membuka mulut menerima suapan Nining. Rade yang melihat itu hanya tersenyum sinis.“Ternyata doyan yang seksi juga,” kata Rade dalam hati.Sesaat setelah Rade beranjak, Aden menempis tangan Nin
BAB INAMA YANG UNIK Sudah sepuluh menit Rade mematung di depan lemari baju. Ia bingung, baju harus ia kenakan pagi ini. Baju yang tepat untuk sesi wawancara kerja. Ini adalah wawancara kerja pertamanya. Ia merasa kesan pertama yang ditampilkan harus maksimal. Namun, ia bingung penampilan seperti apa yang kiranya akan memukau pewawancara. Ia ingin menggunakan blazer hitam resmi, tapi rasanya tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilamarnya, wartawan. Ia juga ragu untuk mengenakan kaus dan celana jeans saja seperti wartawan kebanyakan. Tidak sopan, pikirnya. “Rade, ini sudah hampir pukul 08.00 WIB, mau berangkat jam berapa lagi kamu,” teriak mamanya.“Iya, Ma. Ini Rade lagi bingung, mau pakai baju apa. Nanti terlalu formal atau terlalu santai,” jawab Rade.
“Bang Rafly udah makan siang?” tanya Rade.“Abang mau makan siang ini sebentar lagi.”“Makan bareng mau?” tanya Rade.“Maaf, Abang makan di rumah ya.”“Tumben?” tanya Rade.“Iya, ada calon kakakmu di rumah.”“Calon kakak?”“Hehe Iya. Ya udah, Abang pulang duluan ya, nanti kakakmu marah,” ujar Rafly sambil terus beranjak pergi.Rade masih kebingungan dengan sosok yang disebut Rafly sebagai calon kakaknya. Belum habis kebingungan Rade, ia terperanjat melihat Nining dan Aden makan bersama. Nining sedang berusaha menyuapi Aden. Aden yang melihat Rade terpaku menatapnya dan Nining langsung membuka mulut menerima suapan Nining. Rade yang melihat itu hanya tersenyum sinis.“Ternyata doyan yang seksi juga,” kata Rade dalam hati.Sesaat setelah Rade beranjak, Aden menempis tangan Nin
Rade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“Ferdi mengantarkan undangan pernikahan.
Sesosok perempuan memasuki ruangan redaksi. Perempuan itu tidak menyalakan lampu. Sambil celingak-celinguk dan berjalan perlahan, ia duduk depan komputer. Karena gelap, perempuan itu tidak menyadari ada sosok lain di ruangan. Setelah komputer menyala dan cahaya memendar dari layarnya, perempuan itu dikejutkan oleh bayangan yang terpantul di tembok.“Aaaaaaaaaa,” ia berteriak.Sesosok di belakangnya langsung mendekap mulutnya.“Jangan ribut kalau kau tidak ingin ada yang tahu keberadaanmu.”Perempuan itu mengangguk pelan dan ketakutan. Ketika dekapan dimulutnya telah dikendorkan, ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok Aden.“Aaanu, kamu ngapain di sini?” tanya perempuan itu.“Aku yang harusnya bertanya, kamu ngapain di sini?” bentak Aden.“Akuu...aakuu.”“Kamu mau mencuri data lagi kan?
Kamu Orang AnehRade tiba di rumah lebih cepat dari biasanya. Meskipun sudah menjelang naik cetak, tetapi Rade tidak sedang jadi pejuang deadline. Semua tulisannya sudah rampung.“Tumben, Kakak pulang lebih awal,” kata Mama sembari melirik pada jam dinding.“Iya, Ma. Tulisan Rade udah beres semua, jadi gak ada yang mesti dikejar lagi.”“Oh iya, tadi Ferdi datang ke sini.”Mendengar nama Ferdi membuat Rade terdiam. Ada luka belum sembuh yang kini tersayat kembali.“Ferdi? Ngapain dia ke sini, Ma?”Mama sangat memahami anak gadisnya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin menanyakan tentang Ferdi kepada Rade. Beberapa hari ia melihat Rade yang tampak murung dan tidak pernah lagi terlihat berkomunikasi dengan Ferdi. Namu, ia menunggu agar anak gadisnya yang mengutarakan secara langsung.“F
Aden menyeruput es kopi di kafe tempat biasa. Ia duduk sendiri sembari menggeser-geser layar Hp-nya. Sesekali ia tersenyum dan tertawa kecil. Entah apa yang dibacanya. Tetapi sepertinya ia sangat menikmati sesuatu di layar hp. Ia bersiap berdiri karena ingin segera ke kantor lagi. Saat itu, ia melihat Surya, temannya di Harian Realita baru saja duduk dan memesan kopi. Surya tidak sendiri, ia ditemani seorang perempuan yang dikenal Aden. “Apa kabar, Bro?” Aden menyapa Surya. “Wee, Bang Aden. Baik Bang, udah lama ni kita gak jumpa.” Aden melirik pada teman wanita Surya, “Nining, kamu...,” s
Rade duduk sendiri menikmati kelapa muda. Matanya menatap hampa pada gulungan ombak di pantai. Semilir angin menampar lembut wajahnya. Suara ombak memecah batuan mendesau-desau di telinganya. Gesekan daun pohon kelapa yang dipermaikan angin melengkapi irama pagi. Sementara itu, matahari masih malu-malu muncul ke peraduannya. Menjingga merah merona cahayanya perlahan-lahan memantul dan berkilau di laut. Belum ada siapapun di pantai ini kecuali para pedagang. Mungkin Rade adalah pengunjung pertama di pantai ini. Ia ingin menenangkan diri karena masih belum dapat menerima peristiwa semalam. “Bagaimana mungkin kamu bisa begitu jahat padaku, Ferdi,” Rade bicara sendiri. Rade masih
Malam hari Ferdi menjemput Rade pada jam yang telah dijanjikan. Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota karena Rade sedang tidak ingin makan malam. Susana hingar-bingar taman kota begitu kental.Taman yang terletak di pusat kota itu memang memiliki fasilitas yang lengkap. Ada arena bermain untuk anak-anak. Beberapa orang menyewakan mobil-mobilan, sepeda, atau becak mini. Ada juga arena melukis untuk anak-anak, permainan tradisional, dan area untuk bersantai. Di pinggir taman, deretan gerobak penjaja makanan kecil silih berganti didatangi pengunjung.“Ferdi, nanti kamu mau punya anak berapa?” tanya Rade sambil melihat ke arah anak-anak yang asik bermain.“Anak?”“Iya, anak. Coba kamu lihat di sana, orang tua dengan bahagia menemani anak mereka bermain. Aku ingin nanti kita juga seperti itu?”Ferdi tersedak mendengar ucapan Rade. Ia merasa bersalah kepada Rade karena ia tidak memiliki pem
Sejak kejadian “pencurian” tulisan Rade oleh orang dari media lain, tim redaksi semakin waspada. Apalagi mereka masih melihat Aden datang dengan leluasa ke kantor. Mereka merasa percuma mengatakan kepada Bang Arif karena ia tidak percaya bahwa Aden pelakunya. Tiba-tiba pagi itu Bang Arif meminta semua anggota redaksi berkumpul di ruang rapat. “Kita kedatangan anggota baru yang akan bergabung di tim redaksi sebagai wartawan. Ia wartawan senior dan cukup kompeten. Rekan-rekan wartawan dapat belajar darinya,” Bang Arif membuka perkenalan sembari menyilakan Aden masuk ke ruang rapat. Semua mata terbelalak melihat Aden masuk ke ruang rapat sebagai orang yang diperkenalakan menjadi anggota baru tim redaksi. Semua orang menyimpan tanda tanya dalam benaknya masing-masing.&
Suasana ruang redaksi Tabloid WeekNews dihebohkan oleh pengakuan Rade bahwa tulisannya telah terbit di media lain. Padahal tulisan itu akan terbit pada tabloid mereka besok. Ia merasa bahwa ada seseorang yang telah mencuri tulisannya.“Bang Rafly, ini bagaimana? Kok bisa tulisanku terbit di media lain?” Rade bersungut-sungut kesal.“Kamu yakin ini sama persis?”“Persis banget, Bang. Ini benar-benar diplagiat tanpa diedit sama sekali. Bagaimana ini, Bang. Mereka sudah terbit hari ini, sedangkan kita besok. Kita yang bakal dibilang ngikutin mereka, Bang,” Rade mulai sedih.Rafly lalu membaca tulisan yang tayang di koran tersebut. Ia kemudian membandingkan dengan tulisan Rade. Ia pun terkejut karena tulisan itu sama persis.“Sungguh keterlaluan, siapa yang mencuri data kita?”“Bang Rafly, memang kita gak ada bukti untuk menuduh siapapun. Tapi coba deh liha