Ia menghampiri para rakyat jelata, tanpa diminta oleh mereka Ajeng langsung membagikan setiap keping secara merata.
"Sungguh mulia hatimu nak, belum pernah ada seorang bangsawan turun secara langsung untuk memberi kepada rakyat seperti kami, terimakasih." Kata seorang Kakek tua memuji kebaikan Ajeng Adiwidya.
"Jangan berterimakasih kepadaku, melainkan kepada yang Maha Kuasa." Balas Ajeng sambil tersenyum menatap pria tua yang sudah tidak berdaya itu.
"Terimakasih, Nona."
"Terimakasih, Nona."
"Terimakasih, Nona."
Ada begitu banyak kata terimakasih yang Ajeng dengar dari setiap rakyat yang ia beri, bahkan ada sebagian dari mereka sampai menangis karena melihat perlakukan Ajeng begitu baik.
"Dengan Kepeng tadi kalian bisa membeli makanan, minuman, dan pakaian yang layak. Jangan tinggal dipinggiran seperti ini, ini terlalu berbahaya apalagi disaat ada kuda atau tandu yang lewat kalian bisa celaka, terutama untuk anak kecil itu tidak baik."
Ia memberi beberapa arahan kepada mereka, para prajurit dan dayang sampai dibuat kagum dengan perlakuan baik dari Ajeng Adiwidya.
"Ada apa dengan Nona, semenjak ia jatuh kedalam kolam dia banyak berubah." Bisik Dayang kepada yang lain, hal itu didengar langsung oleh Rahadi Byakta.
"Apapun yang terjadi biar lah berlalu, karena aku lebih menyukai Nona Ajeng sekarang ini!" Tukas Rahadi Byakta, menatap tajam kepada dayang.
Setelah selesai Ajeng masuk kembali kedalam tandu, untuk segera pulang karena hari sudah malam. Ia pulang tanpa membeli sesuatu.
"Tunggu... Tuan, tolong berhenti!!"
Disaat tandu sudah cukup jauh meninggalkan daerah pasar, terdengar ada suara teriakan anak laki laki dari belakang.
"Hei, siapa kau?! Katakan apa mau mu!!" Rahadi Byakta mengacungkan sebuah pedang keleher anak itu, membuatnya ketakutan.
"Tu-tuan, aku ingin meminta tolong kepada Kakak yang berbaik hati waktu dipasar tadi."
Mendengar keributan, Ajeng langsung keluar untuk melihatnya. Ia terkejut begitu melihat Rahadi Byakta mengacungkan pedang ke leher anak kecil.
"Rahadi Byakta, apa yang sedang kau lakukan?!" Teriak Ajeng begitu ketakutan.
"Maaf Nona, aku tidak tahu apa maksud anak ini mengejar tandu Nona. Bisa saja dia suruhan dari seorang penjahat, karena itu aku sedang mengintrogasi nya." Jelas Rahadi Byakta, menurunkan sedikit pedangnya ke arah perut anak laki laki itu.
"Turunkan pedangmu, kau membuat anak itu ketakutan!!" Titah Ajeng, bernada tegas.
"Baik, Nona."
Ajeng maju beberapa langkah kearah anak itu, namun masih dalam pengawasan para prajurit dari belakang untuk berjaga jaga.
"Emh, ada apa sampai kau mengejar tandu ku sejauh ini?" Nada suara Ajeng sedikit melembut ketika berbicara.
"Sebelumnya izinkan anak petani memperkenal diri, Putri namaku adalah Cayapata. Aku tinggal diatas gunung, belakang ini keluargaku tidak bisa menanam padi karena Ibu ku sedang jatuh sakit. Aku tidak punya uang untuk membawa Ibu ke Tabib, karena semuanya sudah digunakan untuk membayar pajak kepada Prabu... Nona, tolong selamatkan Ibu ku, hanya dia lah yang ku punya saat ini tidak ada yang lain." Anak bernama Cayapata memohon pertolongan kepada Ajeng untuk kesembuhan sang Ibu.
Entah mengapa Ajeng langsung menangis mendengar kata akhir dari Cayapata, "Nona, ada apa?" Tanya Rahadi Byakta menepuk pelan pundaknya.
Ajeng tidak menggubris perkataan Rahadi, ia malah berpaling kearah Cayapata. "Dimana keberadaan Ibu sekarang?"
"Aku meninggalkan nya digubuk, karena demi mengejar tandu Nona." Ucap Cayapata
"Baiklah, mari kita jemput Ibu mu agar dibawa ketabib."
"Nona, kita tidak bisa melakukan ini. Lebih baik kita pulang saja, ini demi keselamatanmu." Jelas Rahadi Byakta
"Keselamatan Ibu anak ini, jauh lebih penting. Bagaimana jika kalian berada di posisi seperti dia?"
Seluruh para prajurit berserta dayang tertunduk malu mendengar ucapan Ajeng, akhirnya mereka mengikuti kemauan sang gadis...
Sesampai digubuk, memang terlihat ada seorang wanita parubaya terbaring lemah. Tubuhnya begitu lemah, sampai ia tidak mampu untuk berdiri. Terpaksa para prajurit membopong tubuh wanita itu masuk kedalam tandu Nona besar.
Diikuti oleh Cayapata dari belakang, udara malam memang cukup terbilang dingin apalagi dekat dengan penggunungan. Ajeng secara rela memberikan mantel hangat pemberian Rahadi kepada Ibu Cayapata.
"Ibu, pakailah ini. Agar tubuhmu tetap hangat." Seru Ajeng, melingkarkan mantel ketubuh Ibu Cayapata.
"Terimakasih... Kau gadis cantik, dan baik hati kedepannya kau harus berhati hati ketika memasuki Bhumi." Bisik Ibu Cayapata ketelinga Ajeng, namun ia tidak paham maksud dari ucapan barusan.
Setelah sampai di tempat tabib, Ibu Cayapata langsung diperiksa begitu cepat karena melihat ia datang bersama dengan para bangsawan.
Rahadi Byakta, mengeluarkan sebuah dekrit yang terbuat dari ukiran emas bercampur gio putih. Lalu menunjukkan kepada kepala tabib.
"I-ini, dekrit bawahan Jendral. Dan gadis itu pasti adalah Putri, Tuan Wajendra. Aku tidak boleh melakukan kesalahan kepada mereka, pasti keluargaku akan menjadi imbasnya nanti." Ucap kepala tabib dalam hati, sambil gugup menatap wajah Rahadi Byakta.
"Tabib, tolong periksa keadaan Ibu anak ini dengan teliti!" Seru Ajeng dengan cemas melihat wajah Ibu Cayapata begitu pucat dan lemah.
"Ba-baik, Nona."
Begitu selesai diperiksa, tabib memberikan sebuah minuman ramuan kepada Ibu Cayapata. Tanpa menunggu lama, wanita parubaya itu pun langsung tertidur.
"Tabib, apa yang terjadi pada Ibu ku?!" Tanya Cayapata begitu kaget, melihat sang Ibu langsung menutup mata.
"Ibumu akan baik baik saja, dia hanya sedang beristirahat saat ini. Tolong, agar kita semua segera keluar demi menjaga keamanan beliau sekarang."
Mereka pun mengikuti perkataan tabib, dan memilih menunggu diluar ruangan.
"Dokter bagaimana keadaan nya nanti setelah ini?" Tanya Ajeng
"Nona tenang saja, jika selama 1 minggu beliau bisa beristirahat dengan cukup. Tubuhnya bisa pulih kembali." Jawab tabib, didengar juga oleh Cayapata.
"1 minggu? Padahal disaat itu para prajurit suruhan Prabu akan mengutip kembali sisa uang pajak yang belum bisa kami lunasi." Kata Cayapata
Hati Ajeng terasa sangat begitu kasihan melihat anak kecil seperti Cayapata sudah harus hidup keras diusia terlalu muda, hampir sama dengan kehidupannya yang dulu. Hanya saja, mental Ajeng sudah kuat berbeda dari Cayapata.
Nona, menarik tangan Rahadi Byakta untuk menjauh dari hadapan tabib. "Emh, apa kau masih memiliki sekantung ke-kepeng lagi?" Tanya Ajeng, malu malu saat menatap pria dihadapannya.
Pria itu ingin tertawa melihat tingkah lucu dari gadis didepannya, tapi dia tidak berani melakukan hal itu karena dia juga harus tahu batasan.
"Ini, Nona." Kata Rahadi Byakta berwajah datar, padahal Ajeng hanya minta 1 kantung tapi dia memberikan 2 kantung.
"Eh, aku hanya meminta satu."
"Berikan saja satu laginya kepada Cayapata, dia lebih memerlukan dari pada saya." Tambah Rahadi Byakta.
"Baiklah..."
Ia memberikan 2 kantung Kepeng kepada Cayapata, sedangkan biaya pemeriksaan tabib sudah ditanggung oleh Dekrit bawahan Jendral.
"Hari sudah hampir larut malam, kami permisi dulu." Kata Rahadi Byakta, menyudahi pembicaraan mereka.
"Terimakasih..." Balas tabib
"Cayapata, kami kembali dulu yah. Jaga Ibu mu dengan baik, agar bisa cepat pulih."
"Terimakasih Nona, suatu saat aku akan membalas kebaikanmu baik dikehidupan ini ataupun selanjutnya." Ucap Cayapata
"Aku menunggunya untuk itu..."
Malam ini, memang terasa sangat begitu melelahkan bagi Ajeng tapi dia senang karena bisa membantu orang lain disaat seperti ini.
---------------------------------------------------------------
Halo semuanya, tetap dukung aku terus yah untuk kedepannya 🙂🙏
Note:
-Tandu: Sejenis kereta kuda, seperti delman.
-Tabib: Panggilan untuk seorang dokter.-Gubuk: Rumah terbuat dari kayu-Dekrit : Tanda pengenal untuk bangsawan ataupun bawahan bangsawan.Kebaikan Ajeng memberi kepada rakyat jelata sudah tersebar luas keseluruh penjuru kota bahkan sampai kepada Prabu Lakeswara Lingga."Siapa wanita ini?!!" Teriak Prabu begitu murka, karena sudah kehilangan muka kepada seluruh penjabat pemerintahan."Di-dia, adalah Putri Jendral." Jawab Mangkubumi gelagapan, sambil tersungkur dibawah kaki Prabu."Apa?! Bukankah wanita itu selalu mengurung diri!!" Teriak Prabu semangkin murka, ia membuang seluruh kertas laporan keuangan dari atas meja sampai berhamburan."Lebih baik aku cabut saja gelar kebangsawanan Wajendra, sekalian posisinya sebagai Jendral akan kuhapuskan!!!""Jangan, Prabu ku. Jika Prabu melakukan hal itu, seluruh rakyat akan memberontak kepadamu setelah semua pengorbanan yang Jendral lakukan terhadap kerajaan selama ini... Maaf jika hamba terlalu lancang mengatakannya." Lugas Mangkubumi"Kau benar, Mangkubumi. Lebih baik awasi saja kediaman Jendral, suruh beberapa prajurit bawahanmu. Ing
Hari ini keluarga besar Wajendra menerima sebuah undangan khusus dari Prabu Lakeswara Lingga, untuk menghadiri sebuah festival megah sebagai bentuk kemenangan mereka dalam perang beberapa waktu lalu. (Sebelum Casandra sadar dari kematiannya.)"Ayah, apa ada sebelum konspirasi dalam festival ini?" Desis Dewandaru."Entah, tapi Ayah rasa kita hanya perlu waspada kepada Prabu sekarang ini." Kata Jendral, dalam keadaan tenang. Kota kecil"Jadi bagaimana apakah kita akan menghadiri festival ini?" Sambung Cakara."Tentu saja, jika tidak hadir salah satu dari kalian yang akan menerima hukuman bukan Ayah. Begitu lah peraturan Prabu!" Tukas Jendral"Baiklah, malam ini kita akan bersiap siap untuk berangkat menuju Bhumi." Tambah Cakara, beranjak dari tempat duduknya."Tetapi bagaimana dengan Ajeng, apa ia harus kita bawa juga?" Tambah Dewandaru, mengerutkan alis matanya."Sudah perintah Prabu untuk membawa seluruh anggota keluarga, jadi tidak mungkin
Hubungan ini terlalu berat untuk diperjuangkan, kenapa? Yah, karena kamu adalah bintang sedangkan aku hanya tanah. Sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bertemu apalagi bersatu.Mungkin akan lebih baik jika kita berdua tidak pernah bertemu, ataupun saling bertukar senyum. Semua ini hanya akan menyakiti perasaan kita saja, bukan kita tapi aku. Yah, aku lah yang paling tersakiti disini.Tapi berkat dirimu juga lah aku tahu, mana yang serius dan mana yang cuman bercanda doang. Pada akhirnya aku sampai di titik ini, sedang berusaha melupakan semua tentang dirimu jadi tolong jangan pernah kembali lagi, yah ganteng."Laras, apa tugasmu sudah selesai?"Ada begitu banyak orang yang peduli kepadanya, tapi dia berusaha untuk menjauh dari mereka semua. Seakan ia tidak ingin mengenal siapapun di dunia ini."Maya, Lo kenapa sih baik banget sama sih Laras? Padahal dia gak pernah tuh ngomongin Lo."Ada orang yang terlihat baik dari depan tapi mun
Sepulang dari kampus Casandra menyempatkan diri untuk mampir ke toko pakaian demi membeli sebuah hadiah kecil untuk sang Ayah, yang sedang berulang tahun hari ini.Ia melirik kearah dasi kupu-kupu yang begitu keren dan elegan jika dikenakan tapi ia merasa infil, jika sang Ayah mengenakan dasi itu kekantor pasti akan menjadi bahan tertawaan.Akhirnya Casandra memilih sebuah dasi formal berwarna hitam, menurutnya dasi itu akan cocok jika digunakan dengan kemeja yang sering dikenakan Tuan Kusuma."Terimakasih Nona, selamat datang kembali." Ucap pelayan toko begitu ramah."Sama sama..."Casandra berlari menuju tempat penungguan bus, dan langsung naik ketika ada sebuah bus yang berhenti."Semoga, Ayah suka dengan hadiah kecilku ini." Gumam Casandra dalam hati.Ibu Casandra sudah meninggal saat dia berumur 14 tahun, penyebab kematian Ibu nya masih belum bisa dipastikan sekarang ini. Apakah karena sakit atau keracunan. Semenjak saat itu lah,
Kemana ia harus pergi sekarang? Tuan Kusuma tidak pernah mengenalkan Casandra kepada sanak saudara, makanya tidak memiliki orang terdekat kecuali Ayahnya. Selama berada dikampus dia juga tidak pernah memiliki teman, karena susah untuk bergaul."Argh! Kemana aku harus pergi !!!" Teriak Casandra begitu kencang, tanpa memperdulikan penggunaan jalan saat melihat kearahnya.Matanya yang kabur karena tidak mengerti bahwa tidak ada gangguan, ia tidak menyadari bahwa dari belakang ada sebuah truk melaju kencang. Supir truk sudah memberi kl
Sekarang sudah hampir 1 minggu, tubuh Ajeng sudah mulai pulih perlahan-lahan, dia sudah mulai bisa menggerakkan seluruh tubuhnya."Bosan sekali, kenapa didalam ruangan ini terlalu banyak buku sastra ketimbang novel!" Ajeng berdecak kesal, menatap seluruh rak buku.Diluar ruangan terdengar suara kedua Kakaknya sedang ribut, "Pasti mereka akan datang kemari..." Ajeng langsung membuka pintu ruangannya, dan tersenyum manis menyambut mereka berdua."Wah, tiap hari kau semangkin tambah cantik Dik jika tersenyum." Goda Cakara, berpangku tangan melirik Ajeng."Lupakan, apa kakak tidak ingin masuk?" Tanya Ajeng"Tentu saja kami ingin masuk." Sahut mereka berdua serentak, tanpa berpikir untuk bersamaan dari awal.Didalam ruangan Dewandaru dan Cakara duduk saling berhadapan, sementara Ajeng sedang menyajikan segelas teh untuk mereka bertiga nikmati."Ada apa gerangan Kakak kemari?" Tanya Ajeng, langsung keintinya saja."Ternyata kau paham j
Hubungan ini terlalu berat untuk diperjuangkan, kenapa? Yah, karena kamu adalah bintang sedangkan aku hanya tanah. Sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bertemu apalagi bersatu.Mungkin akan lebih baik jika kita berdua tidak pernah bertemu, ataupun saling bertukar senyum. Semua ini hanya akan menyakiti perasaan kita saja, bukan kita tapi aku. Yah, aku lah yang paling tersakiti disini.Tapi berkat dirimu juga lah aku tahu, mana yang serius dan mana yang cuman bercanda doang. Pada akhirnya aku sampai di titik ini, sedang berusaha melupakan semua tentang dirimu jadi tolong jangan pernah kembali lagi, yah ganteng."Laras, apa tugasmu sudah selesai?"Ada begitu banyak orang yang peduli kepadanya, tapi dia berusaha untuk menjauh dari mereka semua. Seakan ia tidak ingin mengenal siapapun di dunia ini."Maya, Lo kenapa sih baik banget sama sih Laras? Padahal dia gak pernah tuh ngomongin Lo."Ada orang yang terlihat baik dari depan tapi mun
Hari ini keluarga besar Wajendra menerima sebuah undangan khusus dari Prabu Lakeswara Lingga, untuk menghadiri sebuah festival megah sebagai bentuk kemenangan mereka dalam perang beberapa waktu lalu. (Sebelum Casandra sadar dari kematiannya.)"Ayah, apa ada sebelum konspirasi dalam festival ini?" Desis Dewandaru."Entah, tapi Ayah rasa kita hanya perlu waspada kepada Prabu sekarang ini." Kata Jendral, dalam keadaan tenang. Kota kecil"Jadi bagaimana apakah kita akan menghadiri festival ini?" Sambung Cakara."Tentu saja, jika tidak hadir salah satu dari kalian yang akan menerima hukuman bukan Ayah. Begitu lah peraturan Prabu!" Tukas Jendral"Baiklah, malam ini kita akan bersiap siap untuk berangkat menuju Bhumi." Tambah Cakara, beranjak dari tempat duduknya."Tetapi bagaimana dengan Ajeng, apa ia harus kita bawa juga?" Tambah Dewandaru, mengerutkan alis matanya."Sudah perintah Prabu untuk membawa seluruh anggota keluarga, jadi tidak mungkin
Kebaikan Ajeng memberi kepada rakyat jelata sudah tersebar luas keseluruh penjuru kota bahkan sampai kepada Prabu Lakeswara Lingga."Siapa wanita ini?!!" Teriak Prabu begitu murka, karena sudah kehilangan muka kepada seluruh penjabat pemerintahan."Di-dia, adalah Putri Jendral." Jawab Mangkubumi gelagapan, sambil tersungkur dibawah kaki Prabu."Apa?! Bukankah wanita itu selalu mengurung diri!!" Teriak Prabu semangkin murka, ia membuang seluruh kertas laporan keuangan dari atas meja sampai berhamburan."Lebih baik aku cabut saja gelar kebangsawanan Wajendra, sekalian posisinya sebagai Jendral akan kuhapuskan!!!""Jangan, Prabu ku. Jika Prabu melakukan hal itu, seluruh rakyat akan memberontak kepadamu setelah semua pengorbanan yang Jendral lakukan terhadap kerajaan selama ini... Maaf jika hamba terlalu lancang mengatakannya." Lugas Mangkubumi"Kau benar, Mangkubumi. Lebih baik awasi saja kediaman Jendral, suruh beberapa prajurit bawahanmu. Ing
Ia menghampiri para rakyat jelata, tanpa diminta oleh mereka Ajeng langsung membagikan setiap keping secara merata."Sungguh mulia hatimu nak, belum pernah ada seorang bangsawan turun secara langsung untuk memberi kepada rakyat seperti kami, terimakasih." Kata seorang Kakek tua memuji kebaikan Ajeng Adiwidya."Jangan berterimakasih kepadaku, melainkan kepada yang Maha Kuasa." Balas Ajeng sambil tersenyum menatap pria tua yang sudah tidak berdaya itu."Terimakasih, Nona.""Terimakasih, Nona.""Terimakasih, Nona."Ada begitu banyak kata terimakasih yang Ajeng dengar dari setiap rakyat yang ia beri, bahkan ada sebagian dari mereka sampai menangis karena melihat perlakukan Ajeng begitu baik."Dengan Kepeng tadi kalian bisa membeli makanan, minuman, dan pakaian yang layak. Jangan tinggal dipinggiran seperti ini, ini terlalu berbahaya apalagi disaat ada kuda atau tandu yang lewat kalian bisa celaka, terutama untuk anak kecil itu tidak baik.
Sekarang sudah hampir 1 minggu, tubuh Ajeng sudah mulai pulih perlahan-lahan, dia sudah mulai bisa menggerakkan seluruh tubuhnya."Bosan sekali, kenapa didalam ruangan ini terlalu banyak buku sastra ketimbang novel!" Ajeng berdecak kesal, menatap seluruh rak buku.Diluar ruangan terdengar suara kedua Kakaknya sedang ribut, "Pasti mereka akan datang kemari..." Ajeng langsung membuka pintu ruangannya, dan tersenyum manis menyambut mereka berdua."Wah, tiap hari kau semangkin tambah cantik Dik jika tersenyum." Goda Cakara, berpangku tangan melirik Ajeng."Lupakan, apa kakak tidak ingin masuk?" Tanya Ajeng"Tentu saja kami ingin masuk." Sahut mereka berdua serentak, tanpa berpikir untuk bersamaan dari awal.Didalam ruangan Dewandaru dan Cakara duduk saling berhadapan, sementara Ajeng sedang menyajikan segelas teh untuk mereka bertiga nikmati."Ada apa gerangan Kakak kemari?" Tanya Ajeng, langsung keintinya saja."Ternyata kau paham j
Kemana ia harus pergi sekarang? Tuan Kusuma tidak pernah mengenalkan Casandra kepada sanak saudara, makanya tidak memiliki orang terdekat kecuali Ayahnya. Selama berada dikampus dia juga tidak pernah memiliki teman, karena susah untuk bergaul."Argh! Kemana aku harus pergi !!!" Teriak Casandra begitu kencang, tanpa memperdulikan penggunaan jalan saat melihat kearahnya.Matanya yang kabur karena tidak mengerti bahwa tidak ada gangguan, ia tidak menyadari bahwa dari belakang ada sebuah truk melaju kencang. Supir truk sudah memberi kl
Sepulang dari kampus Casandra menyempatkan diri untuk mampir ke toko pakaian demi membeli sebuah hadiah kecil untuk sang Ayah, yang sedang berulang tahun hari ini.Ia melirik kearah dasi kupu-kupu yang begitu keren dan elegan jika dikenakan tapi ia merasa infil, jika sang Ayah mengenakan dasi itu kekantor pasti akan menjadi bahan tertawaan.Akhirnya Casandra memilih sebuah dasi formal berwarna hitam, menurutnya dasi itu akan cocok jika digunakan dengan kemeja yang sering dikenakan Tuan Kusuma."Terimakasih Nona, selamat datang kembali." Ucap pelayan toko begitu ramah."Sama sama..."Casandra berlari menuju tempat penungguan bus, dan langsung naik ketika ada sebuah bus yang berhenti."Semoga, Ayah suka dengan hadiah kecilku ini." Gumam Casandra dalam hati.Ibu Casandra sudah meninggal saat dia berumur 14 tahun, penyebab kematian Ibu nya masih belum bisa dipastikan sekarang ini. Apakah karena sakit atau keracunan. Semenjak saat itu lah,