Satu tahun sudah berlalu sejak hari itu. Hari ini juga bertepatan dengan satu tahun pernikahan Jihan dan Burhan. Cobaan demi cobaan mulai menerpa rumah tangga mereka. Tinggal di hunian tua pinggir sungai yang seringkali kebanjiran kala hujan deras melanda, perekonomian yang semakin memprihatinkan, serta kesehatan Jihan yang terus menurun akibat kesulitan menyesuaikan lingkungan. Sudah dua kali kebun yang dikelola Burhan gagal panen dan berakhir merugi. Mondar-mandir dia mencari bantuan yang sudi meminjamkan uang untuk sekadar makan atau membeli obat Jihan. Di atas dipan kayu beralaskan kasur tipis itu dia melihat tubuh istrinya menggigil kedinginan. Wajah jelita yang dulu selalu tampak berseri dihiasi bedak tipis dan perona merah muda, kini pucat pasi dan cekung tak terurus. Hatinya nyeri melihat saat mengingat bagaimana sang istri rela meninggalkan segala kemewahan hanya untuk bersamanya dengannya seorang. Perlahan dia menghampiri tubuh Jihan yang terbaring dengan posisi meny
Di hadapan gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Burhan Hakim itu, Jihan duduk bersimpuh dengan kedua tangan mengepal. Sebulan sudah berlalu sejak suaminya pergi dengan berbagai misteri yang ditinggalkan. Baru kali ini tangis perempuan itu tumpah di atas pusara terakhir lelaki yang dulu begitu dia kagumi sebagai sosok seorang imam. Pertahan yang sudah lama dia bangun kokoh, harus roboh ditelan kenyataan yang begitu menyakitkan tentang kisah kelam yang baru dimulai. Rasa sesak akibat pengkhianatan tak seberapa pedih dibandingkan fakta yang baru terkuak setelah salah satu pihak meninggal dengan mengenaskan. Siapa? Siapa yang bisa disalahkan sekarang? Apa yang bisa Jihan lakukan bila yang bersangkutan tak lagi ada dalam genggaman tangan? "Seandainya ... seandainya saat itu aku memaksakan diri untuk pulang, seandainya ... seandainya saat itu aku tak terbuai akan lantunan ayat yang kamu kumandangkan. Seandainya kita tak pernah bertemu. Mungkin aku tak perlu menerima siksaan seke
"Galiiihh tolongg ...." "Hos, hos, hos ...." Galih terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin yang bercucuran dari pelipis. Hampir semalaman dia tak bisa tidur karena gangguan makhluk astral yang terus mengikutinya semenjak pulang dari Rumah Gina. Bahkan dia juga mendapati sesosok hantu bergaun putih yang menghuni lantai dua di sekolahnya. Baru sejam sejak memejamkan mata, setelah memastikan Jihan baik-baik saja-- sebuah mimpi menyeramkan mengusiknya. Dalam mimpi itu Galih melihat dirinya, Gina, adik-adik, juga beberapa anak lain diikat dalam sebuah papan berbentuk melingkar, mengelilingi sebuah pohon besar yang dihuni Ular Putih besar yang lebih dulu mengigit Gina tepat di tanda lahir mereka. Entah apa artinya, yang pasti Galih semakin gelisah dibuatnya. Ranjang yang nyaman, kasur empuk, juga suasana kamar yang damai sama sekali tak mampu mengusir ketakutan yang semakin hari semakin kuat dia rasakan. Di tengah kecemasan itu, tiba-tiba Galih merasakan ranjangnya berguncang,
"Saya terima nikah dan kawinnya Nisya Zahira binti Sandi Septian dengan maskawin tersebut. Tunai!""Sah."Akad lantang dan gema suara saksi itu masih terngiang di telinga Nisya sepanjang perjalanan menuju kediaman barunya yang sudah Zidan persiapkan di luar ibukota. Tepatnya, Kota Hujan, Bogor. Hatinya bergemuruh senang, tapi di satu sisi juga bimbang. Entah apa yang menyebabkan perasaannya begitu tak tenang bahkan dalam kebisuan. Erat jemari lentik itu menggenggam tangan besar yang tertaut di atas paha, sementara sang empunya sibuk memfokuskan pandangan ke jalanan di depan."Apa pun yang terjadi kamu tak akan pernah meninggalkanku, kan, Mas?" Nisya mengiba. Nanar tatapan itu dia arahkan pada Zidan yang masih fokus menyetir."Kita baru saja menikah, Sya. Kenapa kamu harus berpikir jauh tentang itu?" Zidan balik bertanya dengan nada lembut yang sedikit ditekan.Sejenak Nisya terdiam, dia mencondongkan tubuh lalu menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Entah, aku hanya takut saja," aku
"Kasus ini bukan sesuatu yang bisa kita tangani hanya dengan bantuan kepolisian dan pihak berwenang. Pesugihan dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib memang sukar untuk dipertanyakan, tapi sudah terbukti keberadaan dan kebenarannya yang tak akan bisa kita sangkal. Maka dari itu, saya dan ayah sepakat untuk meminta bantuan pihak ketiga atau ahli supranatural yang bisa menangani kasus serupa. Hari ini juga saya dan Nova akan berangkat ke Bandung untuk menemui beliau dan meminta bantuan. Terkait perkembangan kasus yang masih belum menemukan titik terang, sedikit banyaknya akan saya kabarkan pada Mas Fahri nanti." Panjang lebar Jihan memaparkan pada Detektif Fahri tentang tujuan Jihan melibatkan orang ketika dalam memecahkan kasus suaminya. Lelaki yang terlihat begitu berkariswa di usia empat puluhan itu mengangguk maklum. Dia menatap Pak Ridwan sejenak, lalu beralih pada Nova yang duduk di sebelah Jihan. "Saya mengerti. Lagi pula kita semua tahu Jihan dan saya bukan mahram, k
"Sekte Ular Putih adalah organisasi rahasia yang terdiri dari ketua, eksekutor, algojo, anggota VIP, dan anggota biasa. Sampai saat berhenti saya tak pernah tahu seperti apa wujud dari pendiri SUP, karena setiap pertemuan dia selalu memakai jubah dan topeng. Ada yang pernah bilang kalau dia pria paruh baya berusia 70-an, ada juga yang bilang dia lebih tua dari itu. Entahlah. Sementara sang eksekutor yang biasa mengeksekusi para korban diketahui seorang Dokter Forensik berusia pertengahan tiga puluh. Kalau kamu ingin merobohkan organisasi, rusak dulu pondasinya. Temukan sang eksekutor atau langsung berhubungan dengan para VIP, karena hanya mereka yang mempunyai akses dengan petinggi." Tiba-tiba Jihan kembali teringat keterangan yang diberikan satu-satunya saksi terkait Sekte Ular Putih yang dia temui bersama Detektif Fahri hari itu. Dengan tubuh gemetar wanita paruh bawa itu bena-benar memaparkan semua informasi yang dia ketahui. "Bagaimana bisa Mbak berpikir itu Sari?" Pertanyaan No
Ketukan pintu terdengar beberapa kali di depan pintu kamar Gina yang entah sejak kapan tak pernah lagi dibuka olehnya. Rumah besar dengan nuansa kelam itu memang acap kali membuat para penghuninya tak nyaman sesingkat apa pun mereka singgah. Sudah dua hari sejak gadis berusia empat belas tahun itu tinggal di rumah neneknya. Sejak tragedi kesurupan tersebut, Gina memang kehilangan keceriaan dan binar di mananya. Tak ada lagi ekspresi semangat yang biasa ditunjukkan. Dia seolah makin pasrah menerima nasib yang sudah ditentukan. "Na, Gina!" Kali itu ketukannya ditambah dengan panggilan yang cukup keras. Akhirnya setelah beberapa saat menimang-nimang, Gina beranjak dari ranjang dan menanggapi panggilan yang dia ketahui berasal dari sepupunya, Galih. Pintu terbuka. Tanpa kata Gina menatap Galih sejenak, lalu kembali ke tempat semula. Memeluk lutut sembari bersandar di kepala ranjang. "Hei, ada apa?" tanya Galih sembari menepuk bahu gadis yang kini tak lagi menguncir rambutnya. "Kita u
"... jangan lupa siapkan kamar kosong untuk tempat singgah Nyai." "Jaga dirimu baik-baik, peralat Zidan sebaik mungkin. Jangan sampai nasibmu berakhir seperti Burhan. Ibu tak ingin kehilangan anak lagi karena kebodohan yang sengaja atau tidak kalian lakukan. Buang jauh-jauh rasa kemanusiaan itu, tujuan kita bergabung dengan organisasi adalah untuk menjadi pengikut Nyai, dan mendapatkan kesenangan duniawi!" Di depan sebuah kamar kosong yang terletak jauh di belakang, Nisya berdiri. Beberapa kali ponsel di genggaman tangannya berbunyi, muncul notifikasi dari kakak dan ibunya yang sejak semalam dia abaikan. [ Kenapa kamu tidak menghadiri ritual malam tadi? ] [ Tubuhmu bukan hanya milik Zidan, Adik Bodoh! ] [ Sudah saatnya kamu mengandung Tumbal Spesial, jadi berhenti bermain-main!!] Nisya menghela napas panjang setelah tak sengaja membaca notifikasi pesan dari Bu Yuli dan Bahar yang tertera di bar status yang selalu muncul di atas ponsel pintarnya. Dia memijit kening, kemudian m